Bagian 5

2023 Words
Sudah sebulan ini aku hidup sendiri di sebuah indekos berukuran 3×4 meter. Hanya Marta yang menemani kesendirianku. Gadis berkulit seputih porselen itu sering menginap di tempatku. Terutama saat weekend, di mana kami mendapat jatah libur dari kantor. Biasanya kami menghabiskan waktu bersama untuk menonton drama Korea terbaru atau pun sekedar mengobrol tentang berbagai hal. Tapi tidak untuk weekend kali ini,  Marta akan mempersiapkan keperluan pernikahannya dengan Simon. Kami berpelukan sewaktu di parkiran tadi dan gadis itu meminta maaf karena tidak bisa menemaniku kali ini. Aku mengatakan jika aku akan baik-baik saja meski kurasa akan kesepian di dalam kamar kos seorang diri. Salahkan aku yang tumbuh menjadi si introver. Yang lebih suka menutup diri dari pada berbaur dengan teman satu indekos lainnya. Hujan turun cukup deras membasahi tiap jengkal tanah yang menguarkan aroma khas. Kilatan petir bersahutan di langit yang kian menggelap. Hari masih sore, tapi cuaca gelap membuatnya seperti malam. Aku baru saja sampai di , tepat saat hujan turun menyapa bumi. Setelah membersihkan badan dan mengisi perut, aku berbaring menatap langit-langit kamar, ditemani suara gemercik air hujan yang entah mengapa mengantarkanku pada kesedihan mendalam. Di sini, di ruangan sempit ini, aku sendiri. Benar-benar merasa sendirian. Tak ada yang tahu aku tinggal di tempat ini. Orang tuaku, mertuaku, Adi maupun Melati. Mereka tak ada yang tahu. Hanya Marta. Aku sengaja tak memberitahu orang tua kami. Dan Adi yang konon statusnya suamiku, sama sekali tak menghubungiku sejak pertengkaran kami malam itu. Sedangkan Melati beberapa kali menghubungiku, memintaku untuk pulang ke rumah dan meminta maaf atas nama Adi. Aku tak menggubrisnya. Untuk apa aku kembali ke sana, sedangkan suamiku sendiri sama sekali tak mencari keberadaanku. Akhirnya rasa kantuk menyerang. Aku tertidur dengan air mata yang telah mengering untuk beberapa saat. Dan sebuah suara ketukan pada pintu kamar membangunkanku. Siapa? "Assalammu'alaikum." Dengan malas aku membuka mata dan menjawab salam dengan suara pelan. "Assalammu'alaikum." Suara laki-laki yang tak asing di telingaku kembali mengucap salam. Aku meraih kerudung lalu memakainya. Dan melangkah menuju pintu. Kuputar lubang kunci dan menarik gagang pintu. Detik selanjutnya pintu terbuka. Ferdi. Laki-laki yang di beberapa bagian bajunya basah berdiri di depanku dengan badan menggigil. "Ferdi. Ka-kamu ngapain di sini?" "Aku ingin bicara." Setelah mempersilakannya duduk di teras, aku masuk ke dalam kamar untuk membuatkannya teh hangat dan memberikannya handuk. Tempat kosku terdiri dari enam belas pintu dengan kamar saling berhadapan. Dan lorong di depan kos kami memang dijadikan teras untuk menerima tamu. Sehingga, tamu tidak perlu masuk ke kamar. Dan di sini kami sekarang. Duduk bersisian dengannya di sebuah kursi panjang terbuat dari anyaman bambu. Hujan telah berganti dengan gerimis kecil. Kami masih sama-sama diam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Suasana kos nampak lengang. Hanya terlihat dua gadis yang tadi sempat menyapa kami. Mereka baru saja pulang kerja. "Ada apa?" tanyaku memecah keheningan di antara kami. Setelah Ferdi menyesap tehnya dan mengeringkan rambut dengan handuk yang kupinjamkan. "Kenapa nggak cerita?" tanyanya seraya menatapku lekat. "Tentang apa?" Aku tahu arah  pertanyaannya, tetapi entah mengapa justru aku kembali bertanya padanya, bukannya menjawab. "Tentang rumah tanggamu yang justru membuatmu terluka." Ferdi menatapku iba. Aku melengos, tak ingin lama-lama bersitatap dengannya. Bagaimana pun aku seorang istri. Duduk berdua dengannya saja sudah membuatku merasa bersalah pada Adi. Tapi aku tak tega mengusir lelaki di sampingku yang akhir-akhir ini tampak begitu kacau. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya seorang istri lakukan. Rasanya kurang pantas kalau aku membicarakan perihal rumah tanggaku pada laki-laki lain." "Kenapa harus seperti ini? Kenapa saat itu kamu nggak berusaha menolaknya?" Aku mengembuskan napas. Berusaha mengurai sesak yang mengimpit d**a. Aku tahu rasanya terluka, Fer. Aku tahu! "Ada perasaan orang tuaku yang harus kujaga, Fer. Kadang ... takdir memang sekejam ini. Menjodohkan kita dengan orang yang tidak kita cintai, pun dengan orang yang tidak mencintai kita." Bibir Ferdii terbuka hendak bicara. Namun kugerakkan tanganku ke bibirku, menyuruhnya diam. "Jangan temui aku lagi. Jika tanpa sengaja kita bertemu, anggap saja kita nggak saling kenal. Carilah wanita lain yang lebih baik segalanya dariku. Aku nggak pantas untuk kamu cintai sedalam ini, Fer." Demi Allah aku berusaha untuk tegar. Mengatur intonasi suara agar terdengar setenang mungkin. Ferdi menatapku sendu. Kilatan luka dan iba melebur jadi satu. Inginnya mungkin memintaku berpisah dengan Adi. Tapi ia tak sampai hati mengatakannya. Aku tahu, Ferdi bukan lelaki yang mengambil kesempatan dalam keruhnya biduk rumah tangga seseorang. "Baik. Anggap kita nggak saling kenal." Ferdi tak sungguh-sungguh mengatakannya. Aku tahu itu. Matanya berbicara lain, seolah memintaku untuk tetap di sisinya apa pun statusku saat kini. **** Berteman sedih Berkawan rindu Aku merindukannya Kamu yang membuatku merana Send to @anyelirsecret Masih dengan perasaan yang sama, aku melanjutkan hidup meski terseok-seok. Di sudut kota industri ini, aku menatap langit yang bertabur ribuan kerlip bintang. Malam ini langit nampak begitu megah. Aku duduk di depan kos di bangku panjang sendirian. Memainkan gawaiku, sekadar mengusir waktu. Ini malam minggu, sebagian besar penghuni kos memilih menghabiskan waktunya dengan jalan-jalan atau sekadar hangout di kafe langganan. Atau bahkan hanya menghabiskan malam di taman kota. Sebuah pesan masuk di IG-ku. Melati: [Pulanglah, Anyelir. Ada yang diam-diam merindukanmu di sini]. Aku membeliakkan mata. Berusaha mencerna pesan yang baru saja dikirimkan maduku itu. Siapa yang merindukanku? Jangan-jangan orang tuaku ada di rumah Adi. Me : [Orang tuaku ada di sana, Mel? Datang kapan? Kamu gak bilang kalau aku ngekos kan?] Lima menit berlalu, belum ada jawaban dari Melati. Cemas aku dibuatnya. Lalu sebuah panggilan masuk ke ponselku. Nama Adi berkelip-kelip di layar ponsel. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Barangkali mataku salah melihat nama yang tertera di sana. Tapi benar, itu nomor Adi, suamiku. Ada apa dia menghubungiku? Dengan ragu aku menggeser lencana hijau di layar ponsel. Kudekatkan benda pipih buatan negeri Oppa-Oppa tampan ini ke telingaku. "Assalammu'alaikum." Hening. Tidak ada sahutan dari lawan bicaraku. "Mel." Aku tak terlalu percaya diri menyebut nama Adi. Bukan apa-apa, terlihat mustahil rasanya Adi tiba-tiba menghubungiku. "Ini aku." Tetapi justru suara bariton Adi yang terdengar di seberang sana. "A—adi?” Aku spontan berdiri saking tidak menyangkanya. "Jadi kamu di sini?" Suara Adi tidak seperti di telepon. Suaranya terdengar nyata ada di sini. Mungkinkah? Lantas melalui ekor mataku aku menangkap siluet tubuh di dekat gerbang utama. Seketika aku menoleh ke arah jalanan di sebelah kananku. Dan aku melihat Adi, tengah berdiri bersandar di pintu mobil dengan ponsel masih di genggaman. Ia tersenyum kecil padaku. Aku melongo dibuatnya. Untuk sesaat aku hanya terpaku di tempatku berdiri. Memastikan jika ini bukanlah mimpi. Adi tahu aku tinggal di sini? Adi melangkah kearahku dengan langkah lebar dan penuh percaya diri, seperti biasa. Jantungku bertalu-talu tak beraturan. Sekian lama tidak bertemu dengannya, membuatku salah tingkah. Relax, Anye. Adi ke sini bukan berarti dia mencintaimu. "Kita pulang sekarang." Adi berkata pelan setelah sampai di depanku. Tubuhnya menjulang tinggi. "A—aku tidak bisa." "Ayo kemasi barangmu." Adi menggenggam tanganku, menuntunku masuk ke dalam kamar. "Biarkan terbuka pintunya," kataku saat Adi ingin menutup pintu. Aku tak ingin menimbulkan prasangka orang. Penghuni kos di sini mengenalku sebagai Anyelir si gadis jomlo. Memang sengaja aku menyembunyikan tentang statusku. Untuk apa juga aku pamerkan? Toh ini hanya pernikahan menyedihkan. Tak ada kebahagiaan sama sekali di dalamnya. Aku berdiri termangu menatap pria yang sibuk memasukkan barang-barangku ke dalam koper. Ada apa dengan Adi? "Ayo bantu aku!" titahnya memandangku sekilas lalu kembali melanjutkan aktivitas yang seharusnya aku yang melakukan. "Aku mau di sini," kataku kemudian. Adi menghentikan gerakan tangannya. Ia menatapku. Kali ini dengan air muka yang berbeda. Tak seramah saat pertama kali datang. "Kalau begitu aku yang akan menginap di sini,” putusnya. Adi mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Tapi aku sadar bukan karena dia mencintaiku. Entahlah, aku hanya curiga pria di depanku ini sedang merencanakan sesuatu. Maafkan aku Tuhan, karena sudah berprasangka buruk. "Kita bisa dikira pasangan kumpul kebo, Di. Aku tidak ingin membuat masalah." "Aku bisa menjelaskannya pada mereka. Kita suami istri yang sah di mata agama dan negara." Adi berjalan menuju pintu. Menutupnya cepat kemudian menguncinya. "Di ...." Aku masih termangu. Belum mengerti dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba berubah, tak sedingin biasanya. Adi melepas kemeja dan celana jeans-nya. Menyisakan kaos putih dan celana pendek di atas lutut. Kupalingkan wajah menatap ke tempat lain. Ada gelenyar aneh yang seketika menerjangku, melihat Adi memakai pakaian itu. Bagaimana pun Adi pernah menyentuhku. Meski mulut dan otakku menolak. Tapi saat kejadian itu tubuhku merespons lain. Aku menikmati ketika jemari kokoh Adi menguasaiku. Dan saat ini kami hanya berdua saja di dalam kamar sempit ini. Hawa panas yang memang terbiasa kurasakan setiap hari karena memang tak ada AC di sini, membuatku semakin merasa kepanasan.  Anye, jangan berpikir terlalu jauh! Aku duduk di atas kasur. Menyalakan TV tanpa menontonnya. Pikiranku sibuk berkelana. Bertanya-tanya dengan perubahan sikap Adi. Berspekulasi tentang kemungkinan yang membuatnya tiba-tiba muncul di depanku. Aku mengirimi pesan pada induk semangku. Menjelaskan padanya jika malam ini suamiku menginap di kamarku. Mengirimkan foto pernikahan sebagai bukti. Meski awalnya ibu kosku terkejut, tapi kemudian beliau percaya. Urusan izin menginap selesai. Beralih ke urusan tidur, tidak mungkin aku tidur dengan Adi di atas kasur yang sama. Ukuran kasurnya yang terlalu sempit dan .... Aku menutup mata. Adi tidak mungkin melakukannya, Anye! Pintu kamar mandi terbuka. Adi keluar terlihat lebih segar dengan rambut sedikit basah. "Ada handuk?" Aku beranjak menuju lemari plastik, mengambil handuk baru lalu memberikan padanya. "Sudah makan?" "Sudah." "Mau minum apa?" "Adanya apa?" "Teh sama susu." "Teh saja." Aku bergegas membuatkan teh untuknya. "Ini." Aku memberikannya pada Adi yang kini tengah duduk di atas kasur. "Terima kasih." Aku memilih duduk di karpet. Sedikit menjauh darinya. "Duduklah di sini." Adi menepuk kasur di sampingnya. "Kamu tidak pulang? Melati sendirian." Adi bergeming. Matanya lurus ke arah TV, sedang mulutnya menyesap perlahan teh yang kubuat tadi. "Di. Mengapa kamu kemari?" "Apa ada larangan menemui istri sendiri?" Mungkinkah kepala Adi terkena sesuatu sebelu ke sini? "Kamu tidak mau tidur?" Adi beranjak meletakkan tehnya di samping dispenser lalu membaringkan tubuhnya di kasur sempitku. Kuhela napas panjang. Mengalah, akhirnya aku memilih berbaring di atas karpet di sebelah kasur. "Jangan tidur di situ. Di sini saja. Kasur ini cukup kok untuk kita berdua." "Aku di sini saja." Adi berdecak kesal. Ia beranjak menghampiriku. Tangannya bersiap mengangkat tubuhku. Aku melotot dibuatnya. "Aku bisa sendiri, Di." Aku menyerah, berpindah ke kasur. Adi ikut berbaring di sampingku. Kami berbaring saling memunggungi. "Maaf," ucapnya setelah hening beberapa saat. Aku masih terdiam. Masih tak percaya dengan perubahan sikap Adi yang justru membuatku bergidik ngeri. "Maaf untuk sikapku selama ini." Adi kembali mengutarakan permintaan maafnya. Aku bingung harus menjawab apa. Di satu sisi aku bahagia, Adi tiba-tiba menemuiku dan meminta maaf. Tapi disisi lain ada kecurigaan di kepalaku. Ya, aku curiga jika ada sesuatu dengan Adi yang membuatnya rela datang kemari. Aku tak mau percaya diri kalau saat ini Adi telah membuka hati untukku. Impossible! Melati terlalu sempurna jika dibandingkan denganku. Jadi, aku yakin ini karena sesuatu dan itu berhubungan dengan Melati. "Nye." "Hm." "Besok kita pulang ya," bujuknya lagi. "Aku sudah nyaman di sini." Aku merasakan pergerakan di belakangku. Kemudian sebuah tangan telah berada di pinggangku. Memelukku erat. Hampir saja aku memekik jika tak ingat pria ini adalah suamiku. Perlahan aku mencoba memindahkan tangan Adi dari pinggangku. Aku risi. Bayangan Adi akan meminta haknya memenuhi kepalaku. Aku belum siap. Sungguh. Namun Adi tak memedulikan penolakanku. Pria berambut lurus dengan kulit kekuningan dan mata sipit bak Oppa Korea ini justru semakin mempererat pelukannya. Bukan hanya tangannya, tubuhnya juga kini menempel ke tubuhku. "Di. Jangan." "Diamlah. Aku hanya akan memelukmu." Akhirnya aku membiarkan Adi memelukku. Aku mencoba memejamkan mata demi menghalau desiran aneh yang menyelusup di d**a. Ini memang bukan pertama kali Adi menyentuhku, tapi perlakuannya yang lembut membuat hatiku menghangat seiring dengan debaran jantung yang berpacu lebih cepat. Cinta mungkin belum bersambut Rindu mungkin belum jua berbalas Tapi lakunya telah membuat hati yang hampir mengeras ini, melembut Semoga ini bukanlah sekadar bunga tidur Yang esok hari berganti dengan kenyataan lebih menyakitkan @anyelirsecret Kuunggah sebuah tulisan di Instastory untuk mengungkapkan isi hatiku saat ini, setelah mendengar dengkuran halus dari pria yang tengah memelukku dari arah belakang. Aku tersenyum lalu memejamkan mata perlahan. Malam yang indah. Dalam hati aku meminta pada Sang Pencipta, semoga akan ada malam-malam seperti ini lagi ke depannya. Bersambung            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD