bc

Fatal Error

book_age18+
59.0K
FOLLOW
395.2K
READ
possessive
one-night stand
pregnant
badboy
drama
bxg
coming of age
crime
affair
substitute
like
intro-logo
Blurb

Karena kejadian satu malam, Ayara harus menikah dengan Raka Andreas. Batin Ayara tersiksa, ia bukan gadis yang Raka inginkan. Raka membencinya, Raka menganggapnya adalah duri dalam hubungannya dengan kekasihnya Fiona. Raka terlalu dalam menorehkan luka, tapi Ayara harus bertahan demi anak yang sedang dikandungnya.

Kamu adalah kesalah fatal terbesar yang pernah saya lakukan, Ara! ―Raka Andreas―

chap-preview
Free preview
Kesalahan Fatal
“Ara! Ke mari! Itu tolong benahi eye shadow-nya!” titah MUA kepada seorang gadis yang sedari tadi mondar-mandir seperti setrika. Ayara baru selesai menata peralatan make up di meja sebelah. Tanpa disuruh dua kali, gadis itu segera mematuhi ucapan MUA. Ia segera membenahi eye shadow penyanyi terakhir yang akan mengisi acara hari ini. Ayara Prima, gadis yang biasa dipanggil Ara. Karena keuletan dan kerja kerasnya yang mencari peruntungan di kota, Ara bisa bekerja menjadi asisten MUA. Saat melamar kerja, Ara membuktikan bahwa dirinya layak. Dia adalah gadis lugu yang ceria, ia juga tidak mudah mengeluh. Awal bekerja, Ara memang dimanfaatkan karena keluguannya oleh rekan kerja. Tapi lama-kelamaan, rekan kerja Ara sadar memanfaatkan orang yang salah. Ara terlalu baik, mereka tidak tega. Gadis itu sangat tulus. Itu kenapa ia disukai di tempat kerja. “Kak Je, sudah bagus?” tanya Ara kepada Jena, MUA yang mempekerjakannya sebagai asisten. Jena kembali menghampiri penyanyi tersebut dan mengangguk puas dengan kinerja Ara. Asistennya itu memang tidak pernah mengecewakan Jena. Ara selalu bisa ia andalkan, itu kenapa Jena tidak lagi mengganti asisten dengan alasan tidak cocok. Ara sudah satu tahun lamanya ikut bekerja dengannya. Dan selama itu kemampuan Ara meningkat pesat. Tidak ada alasan untuk Je mengganti asisten pribadi lagi. “Ara, abis ini lo beresin make up yang ada di kamar hotel mau? Soalnya sebelum lo datang ke sini, gue make up-in pembawa acara. Dia mau gue make up di kamar hotelnya, dan belum gue beresin.” “Iya Kak Je, nanti Ara beresin.” “Setelah itu lo boleh pulang.” “Serius, Kak?!” Ara riang menjawab. Jarang-jarang Ara yang posisinya adalah asisten pribadi MUA bisa pulang cepat jika ada acara seperti ini. Biasanya ia akan pulang dini hari setelah acara selesai. “Ya serius, Ra. Gue tahu lo dari siang tadi bantuin gue. Nggak berhenti-berhenti. Pasti lo capek, ‘kan? Jadi setelah lo beresin peralatan make up di kamar hotel, lo bebas.” “Makasih banyak Kak Je!” seru Ara riang. *** Di tengah acara, seorang pria duduk dengan setelan jas mahalnya tengah menatap seorang akris yang menjadi guest star acara yang diselenggarakan perusahaannya untuk peluncuran produk baru. Pria itu terlihat menahan mabuk karena minuman yang ada di atas meja. Biasanya ia tidak mudah mabuk, tapi entah kenapa setelah meminum segelas wine yang diberi pelayan yang memang bertugas berkeliling menawarkan wine kepada para tamu undangan, kepala pria itu menjadi pusing. Sekarang pria itu mati-matian menahan mabuknya. Raka Andreas, nama pria itu. Dia adalah penyelenggara acara. “Raka, lo nggak apa-apa?” Seorang pria dengan headset yang menggantung di lehernya tampak khawatir kepada temannya itu. “Gue cuma pusing aja, Di.” Jelas Raka seraya memegangi kepalanya yang pening. “Lo kenapa nggak istirahat aja di kamar hotel?” “Gue tungguin Fiona.” “Loh? Fiona kayaknya abis ini langsung ke kamar hotel yang udah disiapin EO deh.” “Fiona nggak bilang ke gue.” “Lupa kali. Itu Fiona udah turun panggung. Kayaknya dia bakal ke kamar hotel.” Raka melihat aktris yang tadi masih berbincang mengenai produk sudah turun dari panggung. Kepalanya yang pening membuatnya susah fokus. Aktris itu bernama Fiona. “Kayaknya gue mabuk.” “Emang lo minum berapa gelas kenapa sampe mabuk, Ka?” “Nggak tahu, nggak kayak biasanya gue mabuk hanya karena segelas wine.” “Mau gue anter?” “Nggak usah, lo kan masih harus ngawasin acara. Ini siaran langsung.” Adi mengangguk. Ia adalah sutradara yang bertanggung jawab dalam acara live peluncuran produk baru ini. Meski acara hanya berjalan satu jam, dan saat ini sedang break, tetap saja Raka tidak mau menyusahkan temannya. Raka berusaha berdiri dan berjalan dengan normal meski pandangannya semakin tidak karuan. “Oh ya, Ka. Kamarnya nomor 109.” “Iya, Di.” Saat keluar dari lift, Raka sudah mabuk parah. Kepalanya serasa berputar. Pria itu mencari kamar nomor 109 seperti yang sudah Adi bilang padanya. Dan saat berada di depan pintu kamar bernomor 106, Raka yang mabuk malah tersenyum bahagia karena berhasil menemukan kamar yang dimaksud. “Nah ini kamarnya!” Raka menunjuk-nunjuk nomor kamar hotel yang salah di depannya. Saat masuk, ia melihat seorang gadis yang sedang membereskan peralatan make up. Raka yang mabuk mengira dia adalah Fiona, kekasihnya. Raka mengunci pintu kamar hotel, ia mendekati gadis itu dan memeluknya dari belakang. “Sayang….” Jeritan terdengar. Gadis itu berontak saat ia berada di dekapan pria asing yang tiba-tiba masuk ke kamar hotel. Dia Ara. “Kamu siapa!” Ara berteriak histeris karena takut. “Kenapa kamu tanya siapa? Aku pacar kamu, Sayang. Raka. Jangan acting.” “Saya nggak punya pacar. Kamu salah orang!” “Gimana aku salah orang? Sudah jelas-jelas ini kamu. Sayang… Fiona… please berhenti bercanda.” “Saya nggak lagi bercanda. Sepertinya kamu mabuk. Saya bukan Fiona.” “Yakin bukan Fiona?” “Iya… bukan.” Raka tertawa keras. “Hahahaha… kamu bohong.” Ara yang selesai membereskan peralatan make up merasa pria asing itu gila, ia berjalan menghindari pria itu untuk segera keluar. Pria itu seperti salah kamar. Jelas-jelas MC yang menempati kamar itu sudah memindahkan barangnya di backstage karena sekarang ia sedang bekerja untuk membawa acara. Dan pasti selesai acara akan langsung pulang. Otomatis kamar ini kosong dan belum ditempati siapa-siapa. “Kamu mabuk. Makanya jangan mabuk biar nggak gila.” Ara menasihati dengan polosnya. Ia sudah menenteng tas make up milik Jena. “Fiona kamu mau ke mana? Temenin aku, Sayang. Aku lagi pusing.” Raka mencekal tangan Ara. Pria itu melempar tas yang Ara pegang, membuat Ara terkejut dan panik seketika. “Jangan dibanting! Kalau ada yang rusak nanti saya dimarahi. Kalau dimarahi tidak masalah, tapi kalau disuruh ganti rugi saya hmpft!” Raka membungkam ocehan Ara dengan menciumnya kasar. Ara membulatkan matanya terkejut. Ia mendorong sekuat tenaga laki-laki mabuk itu. Gadis itu menampar keras pipi Raka. Ara menangis karena takut. Dan hal itu membuat Raka tersulut emosi. Fiona tidak pernah menolaknya, tapi sekarang Fiona sangat kasar. Raka yang masih mengira Ara adalah Fiona kekasihnya malah memaksa hal yang menjadi mimpi buruk untuk Ara. Malam itu adalah awal takdir mengikat Ara dan Raka. Tentu, mimpi buruk untuk keduanya. Kesalahan besar terjadi. *** Ara tidak berhenti menangis. Ia merasa hina karena kejadian itu. Raka tidak merasa bersalah sama sekali. Dia malah tidur nyenyak dan mengucapkan terima kasih dengan menyebut nama Fiona. Perempuan yang tidak Ara kenal. Hari sudah mulai pagi, tapi Ara baru ada niat untuk keluar dari kamar mandi setelah memberanikan diri. Ia ingin segera pergi dari sana. Ara bahkan belum mengeringkan rambutnya. Saat melihat pria itu belum bangun, rasa takut Ara semakin jadi. Apa bisa ia melaporkan ini? Bukankah hal ini bisa disebut sebagai kejahatan? Ara diperkosa. Meski pria itu mabuk, tetap saja ia korban. Tapi Ara takut, ia bingung mau membiaran ini atau membela dirinya dengan melapor ke pihak berwajib karena sudah dilecehkan. Air mata Ara kembali meluruh. Sampai pikiran jahat terlintas. “Atau aku bunuh aja dia?” Ara mengambil pena hotel, ia memegangnya dengan tangan gemetar. Air mata Ara tidak berhenti mengalir deras. Ara berpikir, ia bisa membunuh pria itu dengan menusuknya menggunakan pena, namun untuk meggerakkan tangannya saja tidak bisa Ara lakukan. Ara tidak bisa membunuh hewan, bagaimana ia bisa membunuh manusia? Rupanya tangis Ara membangunkan pria itu. Ara kembali merasa ketakutan. Langkahnya mundur saat pria itu terkejut dengan keberadaannya. “Siapa kamu?” “Saya akan melaporkan kamu ke polisi. Saya… saya akan menjebloskan kamu ke penjara.” Ujar Ara berusaha memberanikan diri meski ia sangat ketakutan. Raka merasa bingung, ia mencerna situasi tapi tidak kunjung paham. Sampai Raka mengintip tubuhnya yang tidak berbusana. Raka juga terkejut saat melihat bercak darah. Raka melirik gadis yang masih menangis itu. Sekarang ia mulai paham dengan apa yang terjadi. Raka mabuk, ia salah mengira semalam tidur dengan kekasihnya Fiona. “Ouh! s**t!” Raka mengacak rambutnya frustasi. “Saya akan lapor polisi.” Ara mengambil ponselnya yang ada di tas. Saat Ara hendak mengarahkan ponselnya di telinga, Raka yang tidak kalah cepat merampas ponsel Ara dan membantingnya kasar. Ara semakin takut, ia memundurkan langkahnya untuk menghindar. Sekarang ia bingung mau melakukan apa. “Mau berapa?” tanya Raka. Ara mendongak untuk menatap wajah Raka. Entah kapan, tapi Raka sudah melilitkan selimut tipis untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. “Maksudnya apa?” Ara bertanya balik. Ia sungguh tidak paham dengan apa yang diucapkan Raka. “Kamu mau uang berapa banyak untuk kompensasi? Saya akan kasih berapa pun yang kamu mau, asal jangan perpanjang masalah kecil ini. Saya nggak ada waktu. Sekalipun kamu mau lapor polisi, di pengadilan nanti kamu bakal kalah.” Ara merasa harga dirinya diinjak-injak oleh mulut pedas Raka. Gadis itu tidak tahu kenapa Raka bisa setega itu padanya. Padahal masalah yang Raka anggap kecil, sangat besar untuk Ara. Entah mendapat keberanian dari mana, Ara melayangkan tamparan keras pada pipi Raka. Sesudahnya Raka melotot, ia menunjuk wajah Ara yang semakin menunduk. “Sial! Untung kamu perempuan, saya tidak pukul perempuan. Beraninya kamu tampar saya! Kamu tidak tahu siapa saya?!” “Tidak punya hati. Jahat.” Ara mengambil ponsel yang layarnya sudah pecah, kemudian mengambil tas make up Jena dan pergi dari kamar hotel itu. Ara tahu dia bodoh karena pergi begitu saja, tapi Ara benar-benar takut. Ia merasa terintimidasi meski sudah mencoba untuk berani sekalipun. *** Ara tidak berhenti menangis. Di kost, ia berusaha untuk melupakan kejadian malam itu. Tapi ia tidak bisa dengan mudah melakukan hal itu. Ara mengalami trauma. Ponsel Ara berdering. Meski layarnya retak, Ara masih bisa melihat siapa yang sedang meneleponnya. Tertera nama Kak Jena di sana. Ara yang sedang menangis buru-buru menenangkan dirinya. Meski Ara sadar sangat susah melakukannya. Tapi Ara juga tidak bisa mengabaikan panggilan Jena. Akhirnya ia nekat mengangkat telepon meski dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. “Ara lo di mana? Make up yang kemarin di hotel udah ada di lo, ‘kan?” “Kak Jena…” “Lo nangis? Ra… lo kenapa?” “Nggak apa-apa, Kak. T… tapi hari ini apa Ara boleh izin? Ara lagi nggak enak badan, Kak.” “Gue ke sana sekarang.” “Nggak usah, Kak. Kak Jena pasti lagi sibuk. Ara cuma pusing aja, Kak. Nggak apa-apa.” “Lo pusing tapi nangisnya kayak habis ditonjok orang, Ra. Gue khawatir. Gue ke sana.” “Beneran, Kak Jena. Ara nggak apa-apa. Besok Ara udah masuk kerja, kok. Ara hanya butuh istirahat aja, Kak.” “Lo yakin, Ra? Lo nggak butuh obat atau makanan gitu? Biar gue ke kost lo buat bawain.” “Udah ada kok, Kak. Kak Jena lanjut aja. Maaf Ara nggak bisa masuk kerja sekarang. Pasti Kak Jena repot sendiri.” “Take your time, Ra. Ini pertama kalinya lo izin. Nggak masalah. Lo istirahat yang cukup ya.” “Iya Kak Jena. Makasih, Kak.” Saat Ara mau menutup sambungan telepon, Jena menghentikannya. “Ra….” “Iya, Kak Jena?” “Kalau ada apa-apa ngomong sama gue, Ra. Gue tahu lo di sini nggak punya siapa-siapa. Jadi jangan sungkan kasih tahu gue ya, Ra?” Setelah sambungan telepon terputus, Ara semakin kencang menangis. Ia benci menjadi dirinya. Banyak yang ia sesali. Jika ia laki-laki, ia tidak mungkin lemah dan bisa dengan mudah melawan pria itu. Kenapa ia tidak berdaya? Kenapa tenaganya tidak sebanding dengan pria itu? Ara marah, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa. “Kenapa hidup di kota berat sekali?” *** Sejak kejadian itu, Raka benar-benar tidak bisa tenang. Pria itu tidak bisa fokus kerja. Ia seperti sudah mengkhianati Fiona kekasihnya. Bagaimana bisa ia meniduri seorang gadis, dan parahnya gadis itu masih virgin. Yang semakin membuat Raka tidak tidur tenang, gadis itu tidak mau menerima kompensasi darinya. Raka kehilangan jejak gadis itu, ia tidak tahu namanya, ia tidak tahu dia siapa. Raka kira dia salah satu pekerja hotel, tapi rupanya Raka salah. Setelah ia menyelidiki semuanya, dia bukan pekerja di hotel itu. Raka menutup wajahnya, ia merasa frustasi. Lagi-lagi pekerjaannya terbengkalai karena tidak bisa fokus. Banyak berkas yang harus ia periksa dan tandatangani, tapi karena pikirannya tidak bisa fokus, pekerjaannya menjadi lambat. Teleponnya berdering, saat melihat dari siapa, Raka membalik layar teleponnya. Sudah sebulan sejak kejadian itu, dan ia masih tidak mau menjawab telepon dari Fiona. Saat ini Fiona sedang ada di Malaysia untuk syuting film. Kekasihnya memang sangat terkenal, bahkan sampai negara tetangga. Tok! Tok! Tok! Raka terkesiap, dia menyuruh orang yang tidak tahu siapa itu masuk. Dia Adi, sahabat Raka. “Gue kira siapa, Di. Ada apa?” “Nggak… gue lagi senggang aja hari ini. Berhubung masuk jam makan siang, yuk ngerokok di atap.” Merokok adalah opsi terbaik untuk mengalihkan pikiran Raka tentang gadis itu. Raka mengiyakan. Ditambah memang jam makan siang sudah lewat sepuluh menit lalu. Di atap, Raka melonggarkan dasinya sebelum menyesap rokok. Pria itu mengembuskan napasnya melepaskan beban. “Lo kenapa akhir-akhir ini?” tanya Adi. “Nggak papa.” “Fiona telepon gue mulu. Dia tanyain kabar lo. Lo nggak angkat telepon dari dia? Kenapa?” Raka lagi-lagi membuang napas kasar. Ia butuh seseorang untuk mendengarkan ceritanya. “Di… lo bisa gue percaya, ‘kan? Gue mau cerita.” “Cerita aja. Kenapa?” Setelah berpikir beberapa detik bercerita atau tidak, akhirnya Raka memutuskan untuk bercerita. “Gue perawanin anak orang, Di.” Adi terkejut bukan main, ia melotot karena tidak percaya dengan ucapan yang Raka lontarkan. “Gak lucu bercanda lo, Ka.” “Apa sekarang gue kelihatan lagi bercanda ya?” “Ka… lo serius?” Adi menjatuhkan rokoknya karen shock. “Gue salah masuk kamar. Gue mabuk lo tahu sendiri. Gue pikir tuh cewek Fiona, tapi ternyata bukan. Sialnya gue kehilangan jejak dia.” Adi paham sekarang. Kenapa Raka tidak masuk kamar yang sudah ia sediakan untuk menjebaknya. Apa rencana gue berhasil tanpa disengaja? Batin Adi. “Terus?” “Gue masih cari siapa cewek itu, Di. Nggak lucu kalau dia sebar rumor. Bisa-bisa perusahaan gue terancam. Media zaman sekarang jahat. Kalau dia lapor polisi masih gampang. Pengacara gue bisa atasi itu semua. Tapi kalau dia main licik sampe bawa-bawa media, gak tahu lagi nyokap gue bakal gimana ngamuknya sama gue.” “Kalau dia hamil gimana?” Raka menatap tajam Adi, “Nggak usah ngaco lo! Gue cuma lakuin sekali. Nggak mungkin langsung jadi lah.” “Nggak ada yang nggak mungkin, Ka. Lo juga nggak pakai pengaman, ‘kan? Apa yang nggak mungkin?” “Lo jangan nambah beban pikiran gue kenapa, Di!” “Oke, sorry… terus? Lo mau ngindar gitu aja dari Fiona? Mau sampai kapan?” “Sampai gue tenang, Di. Lagian Fiona lagi di Malaysia. Ini waktu buat gue kelarin masalah ini. Pertama gue harus ketemu lagi sama cewek itu. Gue harus mastiin dia nggak macem-macem sama gue.” *** Satu bulan berlalu, Ara semakin menyibukkan dirinya dengan bekerja. Gadis itu tidak mau banyak berpikir tentang masalahnya. Karena trauma, Ara jadi sensitif jika ada laki-laki. Dia selalu menghindar dan berusaha untuk tidak melakukan kontak fisik dengan mereka sekalipun itu hanya berjabat tangan. Ara trauma, ia ketakutan setiap saat. Dan sikap Ara sela-‘/ma sebulan yang terlihat aneh itu membuat Jena curiga. “Ra… lo kok pucet banget hari ini? Lo nggak apa-apa?” tanya Jena. “Uh? Nggak apa-apa Kak Jena.” “Yakin?” Ara membalas dengan anggukan. Gadis itu kembali menata rambut pelanggan mereka. Sampai akhirnya pelanggan mereka itu membaca sebuah majalah. Dan foto pria itu terpampang nyata di sana. Ara gemetar, ia berusaha untuk bersikap normal tapi tidak bisa. Dari kaca, pelanggan yang sedang ditata rambutnya oleh Ara menyadari ekspresi Ara yang berubah. “Mbak kenapa?” tanya pelanggan itu. “Uh? E… tidak apa-apa. M… maaf.” “Mbak kaget ya lihat foto ini? Terpesona kah? Tapi emang Raka Andreas ganteng ya, Mbak. Dia pengusaha sukses.” “Ra… Raka Andreas?” “Iya. Masa Mbak nggak tahu siapa dia?” “Saya nggak tahu.” “Hmm… pantesan Mbak kayak kaget pas lihat foto dia. Kenapa, Mbak? Pernah ketemu?” Perut Ara terasa teraduk. Ia ingin muntah, mengingat kejadian malam itu membuatnya mual. Ara menutup mulutnya. Berkali-kali ia meminta maaf kepada pelanggan mereka. “Maaf… Maaf… Sepertinya saya harus ke kamar mandi.” Ara mengarah pada Jena. “Kak Jena, perut Ara nggak enak. Ara mau ke kamar mandi.” “Oh… ya udah sana. Biar gue aja yang lanjutin.” “Maaf, Kak…” Ara kembali merasakan mual. Ia menutup mulutnya dan berlari ke kamar mandi. Pelanggan merasa ada yang aneh melihat Ara. “Mbaknya nggak apa-apa? Dia kayak pucet gitu.” “Iya, Kak. Saya rasa dia memang sedang tidak enak badan.” Pelanggan mengangguk mengerti. Ia kembali sibuk membolak-balikkan majalah. *** Masalah tidak berhenti sampai di sana. Ara tidak hanya sakit, dia hamil. Dia sudah memeriksanya melalui test pack. Ara curiga karena dia terlambat haid. Sekarang ia bingung harus melakukan apa. Ara ingin menelepon orang tuanya yang ada di kampung, tapi Ara tidak punya nyali. Ia hamil dan ia belum memiliki suami. Ditambah bapaknya sedang sakit keras, bisa-bisa Ara malah memperburuk kondisi bapaknya.  “Aku harus apa?” Ara tidak berhenti menggigit kukunya. Ara memegang perutnya, ada kehidupan di dalam sana. Ia kembali menangis. “Apa yang harus aku lakuin? Apa?”  “Laki-laki jahat! Kenapa harus aku?” Ara melempar test pack ke sembarang arah. Ara mengambil ponselnya, ia masih ingat namanya. Dia Raka Andreas. Kalau dia pebisnis terkenal, pasti di internet namanya tidak akan asing. Ia mencari tahu tentang pria itu. Bagaimanapun sekarang Ara mengandung anak pria itu. Ara harus menemuinya, Ara harus bilang kalau dia hamil. Meski Ara takut, meski sebenarnya Ara tidak mau bertemu lagi dengannya, tapi keadaan memaksanya untuk berani. Demi anaknya. *** Ara berdiri di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Belum apa-apa ia sudah takut. Benar ucapan pria itu. Meski Ara melaporkannya ke polisi, ia tidak akan menang. Ini alasannya. Pria itu sangat kaya. Ara menunduk, melihat perutnya yang masih rata. “Apa aku harus masuk? Apa aku harus kasih tahu dia?” tanya Ara pada dirinya sendiri. Ia memejamkan kedua matanya rapat, berhitung sampai sepuluh dalam hati. Saat membuka matanya, gadis itu sudah berani untuk melangkah masuk ke dalam. Ara menemui resepsionis di lobi. Di sana Ara sangat gugup apalagi saat resepsionis menanyainya ada keperluan apa. “Hm… bisa bertemu dengan Raka Andreas?” Resepsionis melirik rekan kerjanya sebelum kembali melayangkan pertanyaan kepada Ara. “Ada keperluan apa? Sudah buat janji sebelumnya?” “Belum buat janji, tapi saya ada kepentingan.” “Maaf, kalau belum membuat janji, kami tidak bisa mengantarkan anda ke ruangan Pak Raka.” Ara menggigit bibir bawahnya. Ia tahu hal ini akan terjadi. Tidak akan mudah bertemu dengan pria itu. “K… kalau begitu. Bilang Ara mau bertemu dengan Pak Raka. Kalau beliau menolak, saya akan pergi. Tapi setidaknya beri tahu beliau saya ingin bertemu.” Resepsionis membuang napas, terlihat kesal kepada Ara. Akhirnya petugas resepsonis menelepon sekretaris Raka. “Halo… Pak Raka ada?” “…” “Ada yang ingin bertemu dengan Pak Raka. Ada kepentingan.” “…” “Namanya Ara. Apa tidak bisa kamu beritahu Pak Raka? Kalau Pak Raka tidak mau menemui, dia akan pergi.” “…” Petugas rerseptionis menutup meletakkan kembali telepon setelah cukup lama menunggu, ia menatap Ara. “Pak Raka tidak mau bertemu dengan orang asing. Beliau juga bilang tidak kenal Anda.” Ara menunduk sedih, ia memaksakan senyum kepada resepsionis. “Terima kasih sudah memberi tahu beliau. Maaf merepotkan. Terima kasih.” Ara berbalik, ia berjalan keluar dari lobi. Air matanya tiba-tiba menetes tanpa komando. Ini pasti akan terjadi. Tidak mungkin pria bernama Raka itu mengingatnya, mereka bahkan tidak tahu nama satu sama lain. Namun saat Ara sudah di luar, tangannya dicekal oleh seseorang. Membuat Ara berbalik. Matanya yang basah bertemu dengan mata pria tajam pria itu. Pria jahat yang sudah membuatnya trauma. Pria yang melecehkan dan merendahkannya. Dia tampak mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Raka usai berlari. “Ternyata kamu. Akhirnya saya menemukan kamu juga.” Ujarnya.    - To be continued -

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook