bc

Pengantin Pengganti

book_age18+
10.9K
FOLLOW
84.4K
READ
arrogant
badgirl
dare to love and hate
drama
bxg
genius
highschool
regency
enimies to lovers
first love
like
intro-logo
Blurb

Benar-benar sebuah kesialan bagi Kezia Krasnitari karena harus terpaksa menikah dengan tunangan kakaknya, Antonino Pranadipa. Bisa-bisanya kakaknya, Belinda, kabur di hari H acara pernikahannya sendiri bersama dengan pacarnya yang nggak direstui oleh kedua orang tua mereka.

Demi menjaga nama baik dua keluarga, akhirnya Kezia terpaksa menerima pernikahan yang nggak pernah diinginkannya ini. Pasalnya, pria bernama Antonino yang akan menjadi suaminya itu, adalah pria yang ia benci setengah mati. Entah apa yang membuat Kezia sangat membenci Nino, yang gadis itu tahu, ia hanya selalu kesal dan ingin memukul kepala pria itu setiap kali bertemu dengannya.

Jadi, bagaimana kisah rumah tangga Kezia dan Nino yang diawali dengan keterpaksaan? Apakah bisa dua garis yang berlawanan, berpotongan pada satu titik?

chap-preview
Free preview
Pengantin Pengganti - Prologue
Sedari tadi mataku menangkap banyak orang yang berlalu lalang masuk ke dalam rumah. Orang-orang itu kemudian duduk di tempat yang sudah disediakan. Para tamu undangan itu kini sudah duduk dengan rapi untuk menjadi saksi di akad nikah kakakku, Belinda Krasnitika. Kebaya bewarna abu-abu muda dan kain songket yang membungkus sampai ke mata kaki membuatku kesulitan bergerak. Kain yang didominasi oleh warna coklat dengan aksen batik itu benar-benar membatasi ruang gerakku sedemikian rupa. Aku bahkan harus berjalan dengan penuh kehati-hatian karena takut membuat kain ini robek. Salahkanlah kebiasaan berjalanku yang cepat dan sigap karena aku lebih sering beraktivitas dengan mengenakan celana jeans. Di tengah kesusahanku yang diakibatkan oleh kain songket ini, aku ditugaskan untuk menjaga dan memastikan bahwa Kak Abel nggak akan kabur di hari pernikahannya ini. Ayah dan Bunda juga sudah mewanti-wanti agar aku membantu mereka untuk menjaga Kak Abel. Takut-takut kakakku itu akan kabur dari sini karena pernikahan hasil perjodohan ini. Karena ini adalah pernikahan hasil dari perjodohan kedua orang tua calon pengantin, maka kemungkinan Kak Abel untuk kabur dari pernikahan ini sangatlah besar. Begitulah kata Ayah. Jadi, aku hanya mengiyakan tanpa bertanya lebih banyak lagi dan melaksanakan perintah sesuai dengan titah ayah. Ketika aku baru kembali dari kamar kecil,  sosok Kak Abel sudah nggak tampak di tempatnya saat kutinggal tadi. Padahal aku hanya membuang air kecil yang bahkan nggak memerlukan waktu tiga menit lamanya. Tapi sekarang, sosok kakakku itu sudah raib dari pandangan. Peluh mulai bercucuran menuruni pelipisku karena nggak kunjung menemukan Kak Abel. Seluruh ruangan sudah kumasuki, satu per satu ruangan di lantai dua ini kutelusuri dengan saksama. Dalam hati aku berdoa agar apa yang ditakutkan oleh orang tuaku nggak benar-benar terjadi saat ini. Kalau sampai itu terjadi, aku nggak tahu lagi kemurkaan seperti apa yang akan kudapatkan dari kedua orang tuaku yang kelihatannya sangat bahagia menantikan pernikahan ini. Aku segera berlari ke lantai bawah dengan ekspresi panik yang ketara menuju tempat di mana para orang tua dan calon suami Kak Abel berkumpul. Napasku tersenggal, tanganku berada di d**a untuk menetralkan napasku yang sudah nggak beraturan ini. Para orang tua itu menatapku dengan pandangan bertanya-tanya, sedangakn Mas Nino, calon suami Kak Abel itu hanya memandangiku dengan ekspresi datarnya. Apa ekspresinya masih bisa sekaku kain kanebo kayak gitu kalau tau calon istrinya nggak ada?! batinku berteriak dalam hati. Aku memejamkan mata sejenak, bersiap untuk mengeluarkan kabar yang akan menjungkir balikkan dunia para orang tua itu. Pasti Ayah dan Bunda akan murka atas kelalaianku ini. Dengan ragu, aku akhirnya memberanikan diri membuka suara. "Ayah. Bunda," panggilku dengan suara mencicit seperti tikus yang terjepit pintu. Tanganku saling bertaut untuk mengumpulkan keberanian agar bisa melanjutkan kalimat berikutnya. "Kenapa kamu keluar? Belum ada aba-aba, ‘kan?" tanya Ayah yang menambah ketakutan dalam diriku. Aku bahkan sampai mengigiti bibirku saking takutnya. "It—itu." Aku tergagap, rasanya nggak sanggup lagi untuk melanjutkan kalimatku dengan benar. Aku ingin segera kabur saja dari sini kalau bisa. Masalahnya, hal itu nggak mungkin kulakukan. Kecuali kalau aku bersedia menanggung risiko namaku yang akan dicoret dari daftar kartu keluarga. "Kamu kenapa?" tanya Bunda yang kini membuka suara. "Sampai banjir keringat begitu," lanjut beliau sambil meneliti penampilanku. Aku memejamkan mata untuk kedua kalinya lalu menghembuskan napas perlahan. "Kak Abel nggak ada di kamar," gumamku ketakutan dengan kepala menunduk, nggak berani menatap lima orang yang ada di depanku ini. Rasanya detik ini juga, aku ingin menenggelamkan diriku di dasar laut ketika mendengar kesiap kaget dari para orang tua itu. Bahkan tempurung kepalaku rasanya seperti dilubangi karena tatapan Ayah yang sungguh tajam mengarah padaku. "Seriusan kamu? Kamu jangan bercanda, deh, Kez," kata Bunda yang sudah mulai tampak panik setelah mencerna ucapanku. Sesaat kemudian, beliau lalu berlari kecil menuju kamar Kak Abel yang berada di lantai atas. "Kenapa kamu ceroboh banget, sih, Kezia?" Ayah jarang sekali memanggil namaku seperti itu. Pasti beliau murka sekali saat ini. Amarah tampak jelas di kedua bola mata pria paruh baya itu yang kupanggil ayah itu. Habis lah kamu, Kez! gumamku dalam hati. Lebih tepatnya mengutuki kelalaianku sendiri. Bunda turun seorang diri dari lantai atas tanpa adanya sosok Kak Abel yang terlihat. Ibunya Mas Nino kini terlihat cemas. Sedangkan suaminya—ayah Mas Nino, hanya berdiam diri sembari mengamati situasi yang sedang terjadi. Mas Nino sendiri masih tetap menampilkan ekspresi yang sama datarnya dengan sebelumnya tanpa ada perubahan sedikit pun pada wajahnya. Entah pria itu terlalu minim emosi dan ekspresi, atau bahkan sebenarnya Mas Nino memang nggak menginginkan pernikahan ini terjadi? Bisa nggak, sih, mukanya jangan datar terus? Kira-kira kalau aku lempar kursi atau gelas ke mukanya, apa masih bisa sedatar itu? batinku dalam hati pada diri sendiri. "Gimana bisa kabur, sih?" desis Ayah bertanya. Aku menggeleng, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan itu, sedangkan aku saja nggak ada di TKP saat Kak Abel kabur. Aku bahkan nggak tahu bagaimana caranya kakakku itu bisa kabur dari lantai atas tanpa menuruni tangga menuju lantai dasar rumah kami. Nggak mungkin Kak Abel terjun payung dari lantai dua, 'kan? Aku yakin, pasti ada seseorang yang membantu wanita itu untuk menyukseskan acara kaburnya ini. "Jadi ini gimana sekarang?" tanya Bunda yang kini sudah benar-benar panik. Terbukti dari kaki beliau yang sudah berjalan mondar-mandir seperti sebuah setrikaan. Aku diam menunduk tanpa mampu menatap pada salah satu di antara mereka. "Tad Kezia ke kamar kecil sebentar. Waktu balik, Kak Abel udah nggak ada di sana," gumamku menjawab pertanyaan Bunda. Tapi, sepertinya ini bukan sepenuhnya salahku juga, 'kan? Sebenarnya apa faedah dari perjodohan ini? Lagipula, umur Kak Abel masih 23 tahun. Lalu, dimana letak kesalahannya sampai-sampai ia harus dijodohkan seperti di zaman Siti Nurbaya? Sepertinya dua puluh tiga tahun belum bisa digolongkan sebagai perawan tua, ‘kan? "Nggak mungkin dibatalkan lagi. Semua tamu undangan udah sampai di sini dan udah duduk rapi di ruang tamu, " kata ayah Mas Nino membuka suara. Mas Nino masih juga bungkam sedari tadi. Pria itu nggak sekali pun mengeluarkan suaranya. Aku kini ragu, sebenarnya Mas Nino berniat serius menikahi Kak Abel atau... jangan-jangan pria itu terlalu senang sampai-sampai nggak bisa bersuara karena calon pengantinnya kabur sehingga ia nggak harus menikah dengan terpaksa? Aku yakin, pasti kemungkinan kedua lah merupakan jawaban yang paling masuk akal untuk saat ini. Buktinya nggak ada sedikit pun raut cemas atau panik yang ditunjukkan oleh pria itu sekarang. "Nggak ada cara lain lagi." Ibu Mas Nino akhirnya kembali membuka suara setelah para tetua lainnya bungkam selama beberapa menit. "Kezia aja yang menikah sama Nino. Bagaimana?" sambung beliau memberikan usulan. Raut wajah wanita paruh baya itu tiba-tiba kembali cerah bersinar seperti matahari di pagi hari. Namun, berbeda denganku. Kedua pupil mataku sontak terbelalak mendengar usalan beliau yang sangat nggak masuk akal itu. Sumpah, kalimatnya tadi adalah hal terkonyol yang pernah kudengar seumur hidup. Aku bahkan masih 18 tahun menuju 19 tahun. Bahkan ijazah SMA saja belum kudapatkan dan kini aku harus menikah dengan mantan calon suami kakakku sendiri? Tenggelamkan saja aku ke dalam laut untuk disantap oleh ikan hiu di sana. Takut-takutnya, kejiwaanku akan tergganggu jika apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya Mas Nino benar-benar terjadi. "Nggak!" jawabku dengan spontan. Ayah dan Bunda melayangkan tatapan tajam ketika mendengar pekikanku yang tiba-tiba itu, sepasang orang tua itu memberi isyarat padaku agar mulut ini segera bungkam. "Bagaimana, Nino? Kamu mau?" tanya ayah Mas Rion pada putranya. Ayah dan Bunda bahkan nggak memberiku kesempatan untuk menolak pernikahan spontan sekaliagus gila ini seakan-akan usul dari ibunya Mas Nino adalah jalan terbaik untuk mengatasi masalah yang sedang terjadi. Kulihat Mas Nino mendesah pelan kemudian menjawab, "Oke, Kezia will be my bride."    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
75.7K
bc

Papah Mertua

read
530.1K
bc

Rujuk

read
908.8K
bc

The Ensnared by Love

read
103.8K
bc

Perfect Marriage Partner

read
809.9K
bc

Bridesmaid on Duty

read
162.1K
bc

Pengantin Pengganti

read
1.4M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook