bc

Vogel Im Kafig

book_age18+
19
FOLLOW
1K
READ
revenge
warrior
tragedy
mystery
straight
ambitious
soldier
high-tech world
weak to strong
like
intro-logo
Blurb

Adelia hanya terlalu naif berpikir tentang dunia yang baik-baik saja. Realitanya berbicara sebaliknya. Dunia tempat tinggalnya menyimpan sejuta misteri termasuk hancurnya sebuah distrik secara massal dalam waktu semalam yang hilang tanpa bekas.

Dunia seolah tutup mata tentang malam berdarah Distrik Jane yang kini menjadi dongeng pengantar mimpi buruk. Begitu pula teka-teki yang terlahir dari mantan Panglima perang, Akira, mencoba menerobos batasan baru dengan menantang kematian atas nama reputasi dan penyesalan setelah landasan negara berubah.

Rahasia demi rahasia terkuak. Bahkan tanah yang gersang tidak lagi bisa menampung kebenaran busuk yang terpendam selama belasan tahun.

chap-preview
Free preview
1 - the tragedy
Sepuluh tahun lalu. Semua bermula dari sini. Ketika jeritan, teriakan meminta tolong, tangisan, serta isakan lirih dari sudut kamar perlahan-lahan mengudara. Tempat ini memang sudah mati. Menjadi kota yang tidak lagi hidup setelah sepuluh tahun lalu. Malam mencekam yang meredam banyak keributan. Kegaduhan itu kini lenyap, terkikis oleh waktu dan kenangan. Tanah tidak lagi berbau anyir. Pekatnya darah mengisi celah-celah berlubang dari setiap dinding yang menua seiring waktu. Tanpa hati, mereka membuang bangkai kapal yang sempat menjadi mimpi buruk satu negara. Begitu saja. Tanpa peduli bagaimana duka itu semua berasal. Yang tersisa hanya rasa sakit. Yang tersisa hanya kenangan samar berbentuk garis putih. Menghiasi mimpi-mimpi indah dan berubah buruk setelahnya. Yang tersisa hanya misi balas dendam. Membutuhkan waktu sampai kemenangan itu tiba. Hanya perlu waktu sebelum matahari terbit dari barat dan bumi berguncang hebat. Hanya perlu waktu untuk bertahan. . . . Merayakan sepuluh tahun pembantaian manusia di Distrik Jane. Orang-orang mulai serius ketika televisi plasma menampilkan Distrik Jane dalam keadaan sepi. Kota itu kini telah mati. Namanya terkenang dalam sejarah sebagai pembantaian besar kaum manusia selama sejarah terjadi. Para ahli menyatakan bahwa pembantaian sebanyak dua ribu manusia bukan sesuatu yang patut dibanggakan, melainkan sebagai sesuatu yang perlu dilihat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia. Berkaca pada kejadian kelam yang membuat dunia berduka. "Rasanya seperti kita hidup di dunia berbeda." Dania bersuara lirih. Menatap Adelia yang merenung, memandang layar televisi tanpa suara. Setelah mereka berbelanja kebutuhan rumah, keduanya memutuskan untuk mampir ke kedai kopi terdekat. Ini akhir pekan, dan mereka patut merayakan kebebasan selama satu hari penuh. "Distrik Jane tidak terlalu jauh dari sini," ujar Adelia lirih. "Gerbang itu terlampau tinggi dan kokoh. Tidak semua orang bisa masuk. Rasanya seperti masuk ke dimensi lain." "Seakan mereka tidak membiarkan siapa pun masuk." Dania menukas pahit. "Apa yang mereka sembunyikan?" "Banyak hal." Lalu menyesap kopi s**u miliknya. Adelia memilih untuk melempar pandangan ke arah jalan. Melihat mobil dan motor yang berdampingan memakai jalan. Mematuhi rambu dan orang-orang yang tertib menunggu sampai lampu lalu lintas berganti. "Bisa aku tanya sesuatu?" "Hm, silakan." Dania mengernyit, terlihat penuh rasa bersalah. "Kau dan Elyas tidak sekandung, kan?" "Tidak." Adelia membalas ringan. "Itu bukan sesuatu yang perlu kami tutupi karena aku dan dirinya benar-benar bersaudara. Kami memang tidak sedarah, tetapi aku dan Elyas saling melindungi. Kami menjaga satu sama lain." "Kadang-kadang saudara tidak sekandung terlihat lebih baik." Dania berujar muram. "Aku menyadari kalau hubungan persaudaraan kami tidak sebaik itu. Mempunyai kakak yang egois dan adik yang terus menghabiskan uang membuatku pergi ke Tokyo yang keras." Adelia tersenyum. "Kau anak yang baik. Ibumu pasti bangga dengan jalan yang kau pilih." Kepala Dania tertunduk, menatap Cappucino Latte dengan dengusan pelan. "Kuharap. Aku hanya mencoba menepis bayangan ibu memakiku dari surga karena meninggalkan rumah yang membesarkanku sampai dewasa." "Itulah hidup." Adelia mengiyakan. "Tokyo terlampau besar untuk kita yang kerdil." Dania tersenyum. Melanjutkan obrolan dengan membahas topik lain. Sementara pemberitaan berubah menjadi dua kandidat presiden yang siap merubah tatanan politik setelah kekaisaran runtuh. "Juru bicara mereka terlalu banyak membual," ucap Adelia dingin. "Melihat mereka terus mengoceh, aku tidak percaya demokrasi dan kebebasan benar-benar ada." "Aku tidak bisa mendengar ocehan mereka dari sini." Dania bergumam sarkatis. "Juru bicara itu pasti dibayar mahal. Lagi pula, dua kandidat sama-sama kaya raya. Uang mereka banyak." Dan kenangan Adelia terlempar ketika ia pulang dari kedai. Melihat satu-satunya limusin mewah yang melintas, dan mendapati si penumpang adalah calon termuda yang siap memimpin negeri. "Kau mau pergi ke Distrik Jane nanti?" "Bisakah?" "Aku penasaran." "Kita akan berburu harta karun?" Dania bertanya. "Kau tidak takut hantu?" "Matahari masih bersinar terik," tunjuknya ke langit. "Kau percaya hantu di siang bolong?" "Aku percaya pada suara dari dimensi lain. Mereka mungkin menangis atau meminta tolong tanpa menunjukkan wujud." Dania menghela napas panjang. "Tapi aku ikut. Karena aku penasaran. Kita perlu mengajak Vania?" "Kau mau menggendongnya nanti?" Dania memasang ekspresi geli. "Tidak. Terima kasih. Kita berdua saja." *** Distrik Jane seolah terabaikan. Terasingkan setelah sepuluh tahun mati. Kota ini benar-benar tidak lagi dapat terselamatkan. Yang ada pemerintah setempat membangun gerbang besar dengan kawat berduri sebagai pelindung. Adelia dan Dania memasuki celah sempit. Mereka tidak bisa menemukan jalan masuk dan satu-satunya hanya bisa melewati lubang untuk bergantian masuk. Mungkin saja pencuri atau penjarah barang membuat lubang ini untuk masuk atau melarikan diri. "Aku seperti masuk ke dunia The Hunger Games. Mengapa bulu kudukku tiba-tiba merinding?" Adelia menyodorkan sebotol air minum dingin. "Kau baik-baik saja?" "Ya. Tentu." Dania mengangguk, meminum airnya dengan terburu-buru. "Aku masih sanggup berjalan. Kita tidak perlu berlama-lama, kan?" "Santai saja." Mereka berjalan berdampingan. Menyusuri puing-puing yang hancur karena termakan usia dan api. Seseorang mencoba membakar tempat ini setelah sekian lama. Seolah mencoba melenyapkan bukti dengan membuatnya benar-benar tidak terdeteksi. "Tempat apa ini?" Dania bertanya, menunjuk sebuah bangunan empat lantai yang menghitam karena api. "Perkantoran?" "Panti asuhan." "Panti asuhan?" Adelia menunjuk tempelan besar yang separuh terkelupas dari sisi gedung. "Ini, tulisannya masih membekas." "Oh, ya Tuhan." Dania menutup mulutnya yang terbuka. "Aku tidak bisa membayangkan kehidupan anak-anak di tempat ini." Adelia membuang napasnya dengan berat. "Kau tidak perlu membayangkan mereka. Ingin mencoba masuk?" tawarnya pada Dania. "Kau yakin?" "Hanya di lantai satu," kata Adelia setelah mengintip masuk ke dalam. "Kita tidak akan menaiki lantai dua. Kau melihatnya sendiri. Tangga itu tidak lagi bisa kita naiki." "Aku merinding sekarang." Adelia masuk lebih dulu. Sementara Dania menyusul. Memerhatikan sekitar dengan lebih teliti. Melihat ada barang-barang yang tersisa tak lagi berbentuk utuh. Mulai dari boneka, bola, lukisan dan masih banyak lagi. Termsuk perabotan yang tidak lagi bisa terselamatkan. "Aku seperti mencium bau amis," ungkap Dania sedih. "Astaga. Rasanya seperti mendengar jeritan mereka." "Kau baik-baik saja?" Dania mengangguk. "Ya, Adelia. Jangan cemas. Aku tidak apa. Kau mau masuk lebih dalam? Aku penasaran." Adelia melirik Dania yang perlahan memasuki ruangan lain. Dengan hati-hati, mereka mencoba menyusuri lantai yang kotor dari sisa puing dan kayu. Dania masuk semakin dalam, dan Adelia mendengar suara gemerisik lain dari luar bangunan. Sial. Apa ada seseorang di tempat ini selain mereka? "Dania?" "Ya?" "Aku akan ke samping bangunan." "Baiklah." Adelia mencari sesuatu sebagai pegangan. Untuk senjata dan berjaga-jaga kalau seseorang menyerangnya dengan senjata tajam. Ia mungkin saja mati di tempat ini. Karena terlalu nekat dan berlagak bisa menghadapi bahaya tak kasat mata. Namun, Adelia tidak bisa mundur lagi. Di dalam ada Dania, temannya harus selamat dan berhasil melarikan diri. "Adelia?" Dania berteriak dari dalam. "Aku baik-baik saja." "Oke." Langkahnya semakin mantap menuju pintu utama. Luar tampak sepi dan tenteram. Tidak ada suara mencurigakan yang membuat gemuruh jantung Adelia menggelegar keras. Ia hanya punya kekuatan dan tekad seadanya untuk melawan. "Semua aman. Ada penjarah yang terjebak dan mati karena kelaparan di lantai tiga. Selebihnya tidak ada yang mencurigakan." Adelia mengernyit, mengangkat alis mendengar suara dingin dari balik tembok bangunan yang besar dan sepi. Kemudian terkejut karena mendapati moncong senapan laras panjang menempel erat di pelipisnya. "Bergerak sedikit saja, isi otakmu tercecer." Potongan balok itu tergeletak jatuh tak berdaya. *** Rasanya pengap dan sempit. Aroma busuk dari tikus yang mati dan sirkulasi udara yang buruk membuat Adelia terbatuk, nyaris muntah karena mual. "Kau penjarah?" "Bukan." "Pemburu harta karun?" Adelia mendongak untuk melihat si pria bengis yang dengan sok keren meminta anak buahnya menurunkan senapan. Pelipisnya hampir menjadi sasaran. Dan Adelia terpaksa ikut untuk melindungi Dania yang mungkin terancam dan menjadi target mereka selanjutnya. "Aku bukan bajak laut," kata Adelia acuh. "Mengapa kau membawaku kemari?" "Hanya untuk memastikan." Adelia berdecih. Yang memungkin dirinya bisa melarikan diri dan mendobrak pintu. Tapi rasanya mustahil. Ia hanya tikus kecil dengan predator buas. Dirinya tidak sehebat itu untuk berhasil lolos. "Siapa namamu?" Tidak ada jawaban. Si pria terlihat tidak sabar. "Aku bisa saja mencuri dompetmu sekarang dan melihat kartu identitasmu. Tapi sekarang? Aku tidak melakukannya dan memilih bertanya." Akira Tan memang sesuai reputasinya. Adelia pikir, pria arogan itu lepas dari jabatannya karena terlalu sombong. Dan berusaha menebus kesalahannya dengan menjadi presiden di masa depan. "Adelia." "Dan temanmu?" "Dania." "Tidak ada marga?" Kepala itu menggeleng. "Tidak." "Kau berasal dari Tokyo?" Lagi-lagi menggeleng. "Osaka." "Berapa lama?" "Dua puluh tahun." Adelia membalas enggan. Ia tidak suka membahas dirinya. "Apa aku dibebaskan? Aku tidak mematai-matai tempat ini." "Lantas?" "Aku penasaran." Adelia mengakui dengan dengusan. "Aku dan kakakku baru saja pindah dan menyadari kalau kediaman kami tidak jauh dari distrik ini. Aku dan temanku berniat melihatnya dan masuk melalui lubang." Akira menarik napas, seolah terkesan dengan penjelasannya. "Aku bisa melihatmu berbohong." Adelia menghela napas. Mengepalkan tangan di atas paha dengan seurai senyum tipis. "Aku tidak mencoba mengelabui siapa pun. Karena apa? Nyawaku terancam." "Kau terlihat pandai berbicara," sahut Akira dingin. "Matamu tidak menunjukkan ketakutan sama sekali. Kupikir ada penjarah cantik yang tersesat dan mencoba mencari jalan pintas untuk kabur." "Aku bukan penjarah," akunya muram. "Dan tidak berniat menjadi pencuri." Dari manik matanya, Adelia bisa melihat pria berbadan tegap dengan jas hitam tengah memegang senapan laras panjang. Jumlahnya hanya tiga orang. Dan hanya satu yang memakai senapan laras panjang, sisanya terlihat tidak memegang senjata apa pun walau tampak berbahaya. "Kau melihat pria yang memakai senapan laras panjang? Dia seorang penembak jitu dari militer Angkatan Darat." Akira bersuara santai. "Dan sisanya tentara bayaran. Kehidupanku tidak pernah jauh dari militer yang keras." Adelia hanya diam. "Aku tidak memintamu duduk dan menyuruh untuk memberikan suara untuk pemilihan umum nanti. Aku tidak bermain secara licik seperti itu," tambah Akira dingin. "Karena terlihat tidak ada bedanya dengan kandidat sebelah." Adelia menarik napas, mengangkat kepalanya dengan kening berkerut dalam. "Aku tidak berniat memilihmu atau kandidat lainnya." "Ah, kau berniat untuk netral?" "Karena tidak ada yang bisa kupercaya dari kalian berdua." Seseorang baru saja membuat gerakan seolah menggertak karena kalimatnya. "Aku serius sekarang." "Adelia!" Itu suara Dania. Yang terdengar putus asa dan lirih. Dania terus berteriak, memanggil namanya tanpa lelah. Dan Adelia merasakan darahnya berdesir cemas. Sepasang mata kelam Akira memicing, mengamatinya penuh perhitungan serta sinis. "Karena kau di sini, bisakah aku mencurigai sesuatu?" Adelia dengan lamat bersuara, menahan rasa takut karena terintimidasi oleh sepasang manik gelap pria itu. "Mungkin saja kau terlibat dalam insiden besar pembantaian penduduk Distrik Jane sepuluh tahun lalu?" Hening. Yang terdengar hanya deru napas para manusia di dalam ruangan. *** Dania melamun, memandang Adelia yang duduk setelah mereka berhasil melarikan diri dari Distrik Jane secepat angin. Ia bahkan menyadari kalau kemampuan larinya sangat payah, berubah pesat luar biasa karena merasa takut serta was-was. "Kau terluka?" Alis Dania yang rapi terpaut. "Kau tidak salah bertanya? Tuhan, kau yang tiba-tiba menghilang dari pandanganku. Kau tahu, aku panik sekali." "Aku tergelincir dan masuk ke sebuah ruangan," kata Adelia pelan. "Baru benar-benar terbangun setelah mendengar suaramu. Terima kasih, penyelamat." "Ya Tuhan. Aku panik sekali. Apa kita tidak dikejar? Semua aman?" Adelia mengangguk. "Aman. Kita aman." "Syukurlah." Pemandangan jalan yang ramai membuatnya sedikit bernapas lega. Setidaknya Adelia bisa melihat orang-orang melintas di depannya alih-alih puing berserakan berkat kebakaran besar. "Kau pucat." "Aku berpikir sudah mati," akunya muram. Menarik napas dalam-dalam. "Ini benar-benar menegangkan. Aku tidak akan membawamu ke sana lagi." "Kita tidak akan mengambil risiko," sahut Dania masam. "Benar. Kita akan mengurangi risiko membunuh diri sendiri. Tempat itu berbahaya. Berhantu. Aku seperti mendengar suara teriakan, tangisan dan peluru?" "Kau ingin makan es krim? Kopi?" "Es krim," potong Dania cepat. "Aku butuh minuman manis." "Oke. Sebentar." Adelia bangun. Mengeluarkan dua lembar uang tunai untuk membeli es krim. Sedangkan Dania menunggu, menatap orang-orang yang melintas di trotoar dan menghela napas panjang. "Kita bisa melupakannya besok," sela Adelia melihat temannya masih tampak syok. "Aku tidak akan pergi ke sana lagi. Mengurangi risiko ocehan Elyas. Ini akan menjadi rahasia kita berdua, ingat?" "Oke." Dania mengangguk, mengacungkan kelingkingnya dan Adelia menautkan kelingking kanannya. Tersenyum. "Aku tidak akan bicara pada Vania tentang ini." "Bagus. Es krimnya akan meleleh sebentar lagi." Dania terburu-buru menyantap. Sementara Adelia melamun, menatap lurus ke jalan. Diam-diam mengutuk mulut pintarnya yang tidak tahu adab. Mengapa pertanyaan yang muncul terlampau menuduh? Bagaimana jika bukan Akira pelakunya? Bagaimana jika orang lain? Militer itu luas, konsepnya tidak hanya ada pada satu orang. "Kau bertemu hantu?" "Tidak." Adelia meneleng. "Mungkin seperti bayangan penduduk yang kesakitan. Entahlah. Bagaimana cara mengungkapkannya?" Dania melempar tatapan sengit. "Kau tidak bisa membahasnya sekarang. Aku mau tidur nyenyak." "Sepertinya kalimat keingintahuan bisa membunuhmu itu benar adanya," ucap Adelia dengan senyum. "Aku menyadarinya sekarang." "Dan kita berjanji tidak akan mengulanginya?" "Benar." Dania mendesah. "Ya Tuhan. Aku banyak berdoa hari ini." Mereka menghabiskan es krim dengan terburu-buru. Adelia pergi ke supermarket setelahnya dan Dania memutuskan untuk pulang. Kemudian berjalan, melihat Elyas melambai dengan sebungkus makanan Cina. "Uh?" "Adelia!" sang kakak melambai senang. Melihat adiknya yang berlari kecil, menghampirinya dengan senyum sumringah. "Kau baru pulang?" "Yep. Aku membawakanmu ini. Khusus malam ini, kau tidak perlu memasak. Kita bisa menyantapnya bersama." Mereka menunggu bus bersama. Satu-satunya transportasi murah dan terjangkau. Elyas yang berbaik hati membayarkan ongkos selagi Adelia mencari tempat duduk. *** "Kau bersenang-senang dengan Dania?" Adelia mengangguk. "Ya. Kau terdengar iri?" "Apa? Tidak," Elyas mendengus, menyumpit sepotong udang goreng dari piring. "Tapi sepertinya tidak berakhir baik. Wajahmu muram." "Apa sejelas itu?" Ekspresi Elyas lantas berubah. "Aku tidak percaya baru saja mengatakan lelucon dan ternyata realita. Apa yang terjadi?" Adelia mendesah, menggeleng sebagai jawaban. Ia hanya tidak tahu harus memulai darimana. "Kau tidak mau bercerita?" "Kami sempat mengobrol tentang anak buah salah satu calon kandidat yang mampir ke kedai," kata Adelia lamat. "Dania tiba-tiba merasa ngeri. Mengapa mereka ada di tempat ini?" Elyas mengangkat alis. "Mereka membutuhkan suara. Apa lagi?" "Selain itu?" "Aku tidak tahu," aku Elyas pahit. "Aku tidak bisa menampik bahwa beberapa dari kita kekurangan edukasi tentang pejabat yang gemar mengumbar janji manis. Termasuk sistem pemerintahan. Mereka juga sangat sering bersikap semaunya." Adelia menggigit ujung sumpitnya dengan cibiran. "Aku tidak percaya dengan keduanya. Meski mereka berprestasi sekalipun." "Bahkan dengan Akira?" "Dia dari militer, ingat?" "Pembantaian umat manusia di Distrik Jane karena militer. Semua orang mencoba membahas insiden kelam itu dan mengaitkannya dengan Akira hanya karena dia berasal dari militer," ucap Elyas. "Bagaimana kalau dugaan publik salah?" "Apa dia membuat klarifikasi?" Elyas menggeleng. "Semua diam. Kasus ditutup dan selesai." Melihat reaksi sang adik, Elyas lantas menaruh sumpit dan menatapnya cemas. "Aku menduga kau menemukan sesuatu. Kau tidak biasanya menjadi pemurung." "Aku tipe pemikir," sahut Adelia ringan. "Kau meremehkan adikmu?" "Kau tidak biasanya begitu," potong Elyas geli. "Ada apa? Kita bisa bertukar pikiran, kan?" "Besok sepuluh tahun perayaan Distrik Jane." Adelia menunduk, mengaduk sup di mangkuk. "Aku akan hadir sebentar sebelum kembali bekerja. Kau ikut?" "Aku selalu hadir." Elyas mendesah. "Semua orang yang memiliki hati, pasti datang dan menitipkan karangan bunga. Mereka juga berdoa. Dua ribu manusia mati sia-sia." "Makanan ini enak. Kau membelinya di tempat biasa?" Elyas menggeleng. "Ini tidak dekat dengan pabrik. Aku membelinya seratus meter dari tempat kerja. Kata atasan, ini enak. Aku mencobanya. Harganya lebih murah." "Tapi kau perlu berjalan jauh." Senyum kakaknya mengembang ramah. "Bukan masalah. Hanya berjalan sebentar dan membawakanmu makan malam. Kau sudah berbelanja kebutuhan rumah." Adelia memberi kedipan mata sebelah. "Aku akan bekerja keras." "Aku menyesal karena kau tidak bisa pergi kuliah seperti teman-temanmu," ujar Elyas lirih. "Biaya kampus tidak murah dan mendapat beasiswa tidak semudah itu. Kau menolaknya hanya karena ingin bekerja?" "Pekerjaan lamaku tidak bisa membuatku bertahan dan aku melepasnya demi menutupi kebutuhan kita berdua," sela Adelia. "Kita tidak perlu membahas ini lagi, kan? Semua sudah terjadi. Aku baik-baik saja sekarang." "Semua belum terlambat." Elyas terburu-buru menambahkan. "Aku punya sedikit tabungan untuk mendaftarkanmu kuliah." "Kalau aku menolak?" "Adelia." "Kakak, simpan saja uangnya untukmu sendiri. Aku tidak ingin memakai uang itu. Kau punya kehidupan sendiri. Sudahlah." Dan memilih untuk memotong perdebatan dengan memberi dua potong udang goreng kepada Elyas, lalu memindahkan sisanya ke mangkuknya sendiri. "Benar-benar," Elyas mendengus. "Kau bekerja terlalu keras sampai kehilangan banyak berat badan." "Aku makan cukup banyak," sahut Adelia santai. Lalu terkekeh ringan. "Serius. Kau bisa tanyakan ini pada Dania atau Vania." *** "Seharusnya kemarin aku ikut denganmu dan Dania. Bukan malah menghabiskan waktu untuk berbenah. Hah." Vania kembali menggerutu setelah semua pesanan diantar. Dania bertugas membersihkan meja dan membantu dapur. Selepas itu, Vania yang menunggu di ruang makan. "Aku bosan sekali di rumah," keluhnya. Adelia menanggapi dengan senyum. Melihat pengunjung kedai tidak terlalu ramai malam ini membuatnya cukup rileks. "Sepertinya mereka penjudi dari bar terdekat," ujar Vania seraya berbisik. "Aku pernah melihat yang paling kurus keluar dengan perempuan dan muntah di pinggir jalan." "Bar?" "Kau tidak tahu?" Vania terperangah. "Ada bar bawah tanah di ujung lorong. Dulu sempat ditutup karena terdapat dua korban penembakan. Sekarang, kembali dibuka dan bebas. Yang kudengar kalau pelanggannya bukan orang sembarangan." "Ini hanya gosip?" "Ish. Aku berani bertaruh setelah selesai makan, mereka akan pergi ke bar untuk berjudi." Adelia mengamati ketiga pria di meja nomor tujuh dalam diam. Sedangkan Vania membungkuk setelah meja nomor satu dan dua kosong. Mereka membayar, lalu pergi. "Bagaimana jika kita kalah lagi?" Terdengar suara agak berisik dari meja nomor tujuh yang mengusik konsentrasi Adelia. "Kita bisa membunuhnya di tempat." "Kau gila?" si pria yang gemuk mendorong bahu rekannya. "Kita sama saja mencari mati kalau begitu. Aku tidak bisa bermain malam ini. Lebih baik mencari aman." Ia memilih untuk berdeham. Berpura-pura sibuk menghitung pecahan uang kembali alih-alih mendengarkan percakapan. "Bagaimana bisa pendatang baru sehebat itu? Aku curiga padanya." "Apa kita bisa membahasnya di tempat umum?" salah seorang bangun, mengeluarkan dompet setelah selesai makan. "Kita harus pergi. Berbahaya bergosip sembarangan di kedai seramai ini." Mereka berangsur-angsur membubarkan diri. Bersama-sama pergi ke kasir untuk membayar, menunggu Adelia mentotal jumlah makanan yang dipesan. "Aku seperti pernah melihatmu sebelumnya?" Adelia mendongak, mengernyit. "Benarkah?" "Hei, kau bercanda. Tidak ada p*****r secantik ini di bar itu, sial." Salah satunya menggerutu, memukul kepala si pria kurus dengan tangan gemuknya. "Kalau bicara hati-hati." "Apa kalimatku mengarah pada p*****r?" rekannya tidak terima. "Wajahnya tidak asing dan ternyata aku baru melihatnya hari ini." "Ini total keseluruhannya. Ingin membayar tunai atau kartu?" "Kami membayar tunai." Salah seorang mengeluarkan lembaran tunai dan Adelia menyiapkan kembali. "Kau tahu, ada bar di dekat sini. Tapi kehidupannya jauh lebih bising dan tidak terkendali. Berbeda di tempat ini." Adelia memberikan kembalian dan struk bukti lunas setelah membayar. "Benarkah? Aku baru mendengarnya." "Kau orang baru?" "Tiga tahun. Aku bukan orang sini." "Darimana asalmu?" "Osaka." "Osaka? Cukup jauh," sahut mereka. "Kau bisa mampir ke bar untuk melepas penat. Kebanyakan para remaja melakukannya demi bersenang-senang. Lantai dasar memang khusus untuk rakyat jelata." "Ada tempat khusus?" "Apa kita perlu membahas itu sekarang?" mereka berlalu pergi dan tidak memberi Adelia jawaban yang memuaskan. Adelia kembali mengunci mesin kasir saat melihat Dania menyeret plastik sampah melalui pintu belakang. "Dania!" "Ya?" "Biar aku yang membuang sampahnya." Adelia melambai, mengejar Dania sebelum gadis itu sadar. "Hanya tersisa tiga pengunjung lagi. Kau bisa kembali ke dapur." "Oke, terima kasih banyak." Dania berlalu dengan senyum. Sedangkan Adelia perlu menyeret kantung besar sampah itu ke tempat yang telah disediakan. Agar truk sampah setiap pagi buta bisa mengangkut sampah-sampah itu dan membuangnya ke pembuangan umum. Matanya tertuju pada sekumpulan anak-anak remaja berpakaian minim yang berbelok ke arah lorong gelap. Adelia mengangkat alis, berdiri di bawah tiang lampu pinggir jalan hanya untuk melihat mereka, mengawasi dari kejauhan. Ada dua orang gadis dan dua orang laki-laki. Saling bergandengan tangan satu sama lain dan masuk semakin dalam. Rupanya, Vania benar. Bar itu kembali hidup setelah sekian lama. Dari jarak sejauh ini, Adelia tidak bisa melihat jelas bar yang tampak seperti rumah biasa jika dilihat dari bagian depan. Dan kini, semua semakin jelas. Itu hanya kamuflase. Benar-benar berhasil mengecoh banyak orang. Menyembunyikan sebuah bar malam yang besar mungkin saja membawa petaka baru bagi si pemilik jika tertangkap basah. Ia hanya perlu waktu untuk melihat dan menunggu. Adelia kembali masuk ke dalam, mencuci tangan dan pergi ke meja kasir.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Scandal Para Ipar

read
693.7K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.5K
bc

Marriage Aggreement

read
80.8K
bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.0K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
624.3K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook