bc

GOODBYE, JULIET

book_age18+
486
FOLLOW
1.3K
READ
dark
reincarnation/transmigration
princess
royalty/noble
drama
tragedy
swordsman/swordswoman
sword-and-sorcery
magical world
sacrifice
like
intro-logo
Blurb

Selama ini orangtuaku tidak mencintaiku, sementara kerabat dekat hanya menganggapku sebagai aib. Bahkan orang-orang yang aku kira sebagai teman pun ternyata tidak menyukaiku. Aku seperti binatang peliharaan yang dicampakkan. Getir. Hanya mengerti mengenai cara mengemis cinta tanpa mendapat balas. Sepanjang hidup aku habiskan dalam keterpurukan. Hingga akhirnya keputusasaan mendatangiku.

Tanpa ragu aku memutuskan untuk melarikan diri dari hidup. Mati.

Selamat tinggal, dunia yang tidak mencintaiku.

Akan tetapi, aku justru terjebak dalam tubuh gadis bernama Juliet.

***

"Apa kita tidak bisa makan malam bersama?"

Aeron, putra tertua Duke Charion, berusaha menjadi teman yang tidak aku butuhkan.

"Hei, kau tidak boleh mengabaikanku!"

Rowan, adik Aeron, sepertinya tidak memahami bahasa manusia.

"Juliet, bukankah dulu kau mencintaiku?"

Abel, cinta pertama Juliet, mencoba mendekatiku.

Ini bukanlah kehidupan yang aku inginkan.

chap-preview
Free preview
1
Rasanya seperti tenggelam. Seluruh energi terserap oleh ketidakberdayaan. Kaki, tangan, kepala ... seluruh tubuh seakan lumpuh. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan hanyalah berserah diri. Mengaku kalah dan berharap seluruh rasa sakit segera lenyap bersama dengan kesedihan yang mengendap dalam d**a. Sekali, dua kali, hingga akhirnya benar-benar bisa menghirup udara—memaksa paru-paru kembali berfungsi seperti sedia kala. Begitu udara membanjir masuk, kebekuan dan kekakuaan yang tadinya melanda, akhirnya surut. Hanya ada suara terengah. “Lady Juliet!” Juliet. Seseorang memanggilnya sebagai Juliet. “Aku bukan Juliet,” itulah yang ingin ia katakan. Akan tetapi, dia butuh meraup udara sebanyak mungkin. Oleh sebab itu, dia mencoba bangkit. Tangan mencengkeram tiang ranjang lantaran kedua kaki terasa lembek hingga sekadar berdiri pun butuh usaha. Saat berhasil menyeimbangkan diri, barulah ia sadar bahwa dirinya berada di tempat berbeda. Kasur kapuk berganti ranjang bertiang empat. Lantai pualam terasa dingin di bawah tekanan kaki. Lampu gantung dari kristal dan sepuhan emas. Kali ini dia mulai mengedarkan pandang, menjelajah ke setiap sudut yang benar-benar baru. Tiga orang perempuan berseragam hitam dengan apron putih menatap ngeri kepada dirinya. Salah satu dari mereka mencoba mendekat, tetapi dia mengelak—tidak mau didekati. “Lady Juliet....” Rasa sakit berdentum di kepala, seperti palu yang diderakan berkali-kali hingga menembus ke sumsum tulang belakang. Juliet. Nama yang bukan miliknya. Sebab dia tahu nama miliknya: Candra, bukan Juliet. “Apa Sarah sudah memanggil Duke?” “Mereka mungkin akan segera tiba,” jawab seseorang. Jantung Candra berdentam hebat. Kedua matanya membelalak saat melihat rambut berwarna merah muda yang terurai indah laksana tirai sutra. Tanpa sadar Candra menyusuri jalinan rambut yang terasa lembut. Merah muda, seperti kuntum mawar Damaskus. “Cermin!” Candra bergegas mencari Cermin. Bola mata bergerak liar memperhatikan sekitar; nakas, lukisan, jendela, vas bunga, karpet, dan barulah dia menemukan sebuah cermin. Begitu melihat pantulan dalam cermin, bukan wajahnya yang bisa ia lihat, melainkan milik orang lain. Sosok dalam cermin mengenakan gaun tidur berwarna putih gading. Penampilannya amat menawan: Sepasang mata semerah rubi. Bibir mungil. Kulit seputih salju. Apabila seseorang menggambarkan bidadari sebagai perbandingan akan kecantikan gadis dalam cermin, sudah pasti itu bukan bualan belaka. Tidak mungkin, katanya dalam hati. Seharusnya dia tidak berada di sini. Bukan ini yang dia inginkan. Candra ingat kali terakhir menenggak seluruh pil dengan harapan akan terbebas dari semua orang yang membuatnya merasa tercekik. Andai saat ini dia terjatuh di dasar neraka kemudian bertemu sekelompok iblis yang menusukkan garpu tala ke tubuhnya lantaran telah berbuat dosa ... maka ia bisa menerimanya. Gigilan dingin melanda, membuat Candra kehilangan keseimbangan. “Tidak mungkin....” Lutut membentur lantai. Candra bahkan tidak peduli kepada orang-orang yang berusaha menolong. “Duke Charion tiba.” Duke Charion. Hanya ada kekecewaan yang terpantul di kedua matanya yang sehitam jelaga. Bahkan sentuhan hangat sinar mentari tidak mampu mencairkan kekesalan dalam diri lelaki itu. “Juliet,” katanya. “Apa kau belum puas mempermalukan keluarga ini?” Candra hendak membuka mulut, mencoba menjawab. Namun, tidak ada satu kata pun terlontar. Lelaki berambut perak dengan sorot mata sedingin es. Dia bahkan tidak mencoba menawarkan keramahan, walaupun palsu, terhadap gadis bernama Juliet ini. Dalam hati Candra bersimpati atas kehidupan milik Juliet. “Minum racun,” Duke Charion melanjutkan, nada suaranya amat pahit hingga membuat Candra berjengit. “Inikah yang ingin kaubuktikan kepada keluargamu? Mati?” Begitu kata mati terucap, sontak Candra mendapat serangan. Perutnya bergolak, cairan asam merangsek naik ke tenggorokkan. Dia berusaha muntah, tetapi tidak ada apa pun yang keluar dari dalam mulut. Kepingan demi kepingan ingatan milik Juliet menghambur masuk ke dalam dirinya. Candra kesulitan memilah setiap informasi. Bermacam emosi membaur jadi satu. Marah, kecewa, sedih, iri, bahkan kesepian. Seluruh perasaan milik Juliet terasa mencekik. Setelah serangan mereda, Candra terbatuk. Susah payah mencoba bernapas. Candra menatap langsung kepada Duke Charion. Lelaki ini adalah wali asuh, itulah informasi yang Candra dapatkan. Bahkan ketika melihat putrinya sekarat, seperti saat ini, Duke Charion hanya bergeming—satu langkah pun tidak berpindah dari posisinya. Segala keindahan yang melekat pada Duke Charion; pakaian mewah, sepatu mengilat, dan perhiasan intan; amat palsu bagi Candra. “Panggil dokter,” Duke Charion memerintahkan. “Pastikan dia tidak berbuat hal celaka.” Hanya itu yang Duke Charion lakukan; melemparkan tanggung jawab kepada orang lain. Lagi-lagi, Candra merasa kembali ke penjara miliknya. * “Lady, bagian mana yang terasa sakit?” Seorang pria paruh baya berulang kali menanyakan hal sama kepada Candra. Dia tidak perlu bertanya sebab dari ingatan Juliet ia tahu gerangan lelaki tersebut. Dokter kepercayaan Duke Charion. Louis Vernand. Louis duduk di kursi sementara Candra di ranjang. Pening telah mereda. Dia tidak merasakan sakit apa pun. Sesungguhnya yang paling dirasakan Candra hanyalah kekecewaan. “Lady, kenapa Anda tidak menjawab?” Jemari Candra mencengkeram selimut. Meski ada ribuan kata yang ia coba susun menjadi kalimat, seluruh kata selalu pudar begitu hendak terucap. Mungkin ini karena perasaan senasib. Rasa kecewa yang dialami oleh Candra dan Juliet. Rasa sakit yang walaupun coba dijelaskan tetap takkan ada satu orang pun mengerti, bahkan Louis sekalipun. “Lady, saya hanya ingin menolong.” Louis melepas kacamata. “Semua orang benar-benar mengharapkan kesembuhan Anda.” Semua orang. Itu tidak benar. Sebab Candra tahu bahwa Juliet mengalami peristiwa tidak menyenangkan. Duke Charion, di mata Juliet, menganggap dirinya sebagai kegagalan. Kedua putra Duke Charion tidak bersimpati terhadap Juliet dan selalu membandingkannya dengan Yevette, sepupu anak Charion yang kini tinggal seatap bersama keluarga Charion. “Kenapa Anda melakukan itu?” Candra menatap Louis. Di kedua matanya tidak menampilkan emosi apa pun selain kehampaan yang teramat dalam. “Kenapa aku melakukan itu?” Alasan Juliet ingin mengakhiri dirinya tidak lain dikarenakan perasaan tidak berdaya yang selama ini tertanam dalam dirinya. Candra bisa memahami ketidakbahagiaan yang menjangkiti Juliet sebaik miliknya sendiri. Keduanya, Candra dan Juliet, mengalami hal serupa. Bedanya hanya satu: Juliet berhasil sementara Candra terjebak di dalam tubuhnya. “Ya, Lady,” Louis membenarkan pertanyaan Candra. “Mengapa Anda meminum racun?” Kali ini tanpa ada kendala, Candra berhasil berbicara, “Karena merepotkan.” Inilah kebenarannya. Juliet ingin membebaskan diri dari perasaan tidak berdaya. Andai ada satu saja dari mereka, keluarga Juliet, yang bisa melihat tanda-tanda penyakit yang menyerang hati dan jiwa Juliet; mungkin saat ini gadis itu masih ada. Namun, kemampuan bersimpati merupakan barang langka dalam dunia yang menempatkan manusia sebagai produk atas norma tertentu. Juliet harus mematuhi peraturan milik Charion. Selama ini dia selalu dibandingkan dengan Yevette dalam berbagai hal. Walaupun dia berusaha keras menyenangkan keinginan orangtua serta kedua kakak lelakinya, pada akhirnya Yevette yang selalu keluar sebagai pemenang. “Lady, Duke Charion pasti akan sedih bila Anda berkata demikian.” Tawa getir keluar dari bibir Candra. Dia ingin menangisi kepergian Juliet. Ironis. Tidak satu pun dari keluarga Juliet yang sadar bahwa dia telah tiada. Hanya Candra seorang. Hanya dia seorang yang menangisi kepergian Juliet. Candra menangkupkan tangan, mencoba menutup wajah. Air mata berderai seiring kekecewaan yang bergelung dalam d**a. Tubuh bergetar hebat. Bahkan ketika Candra tidak mampu menangisi kemalangan miliknya sendiri, ternyata jauh di lubuk hati, dirinya merasa sedih dengan kepergian Juliet. Saat air mata surut, Candra sadar bahwa Louis telah meninggalkan kamar. Hanya ada dirinya seorang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.1K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.8K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

Time Travel Wedding

read
5.2K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.0K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook