bc

A Descent Into Darkness

book_age18+
16
FOLLOW
1K
READ
dark
dare to love and hate
bxg
mystery
ambitious
swordsman/swordswoman
small town
enimies to lovers
supernatural
like
intro-logo
Blurb

Berlatar pada tahun 1865 saat Kekaisaran Yamazaki menginginkan takhta kembali dari tangan keluarga Tsuchiya yang melegenda, kekacauan besar terjadi hingga memakan ratusan ribu jiwa. Kehancuran, kematian, penderitaan menebar menjadi teror di seluruh penjuru kota setiap menitnya.

Tugas berat yang harus kembali diemban sang legenda. Kenji berpikir kematian gurunya karena memendam penyakit cukup lama tidak pernah berdampak apa pun. Realita berbanding terbalik saat dirinya harus kembali ke Tokyo demi era baru. Harapan sang guru sebelum ajal menjemput.

Lain halnya dengan Aiko, sang legenda perempuan pertama yang datang penuh ambisi. Dia diharuskan bekerja sama, membentuk ikatan dengan Kenji demi memutus rantai kehancuran yang lebih besar di masa depan. Berpura-pura menjadi pasangan yang menikah dan bahagia, bukan sesuatu yang ingin Aiko lakukan bersama pria itu.

chap-preview
Free preview
one - the legends is back
"Kita tidak akan diam saja." Ini saat yang tepat untuk kekaisaran kembali mengambil alih takhta setelah lima ratus tahun lalu tergeser dan membuat Jepang terisolasi dari dunia luar. Kehadiran kapal perang Amerika di perairan Kyoto membuat semua orang terkejut. Peradaban maju dari negara tetangga yang membuat mereka terlihat semakin kerdil, terbelakang. "Kekaisaran tidak menumpahkan darah," ucap salah satu penasihat dengan serius. Mengingatkan petinggi untuk tidak menghunuskan pedang demi membantai manusia lain. "Kita mencintai perdamaian." "Mereka tidak akan menyerah begitu saja. Tidak akan ada era baru tanpa perang." Kebingungan mencemari ruangan dengan kental. Semua orang terpaku pada tempat duduknya, berpikir keras demi mencari solusi terbaik di saat waktu yang tersisa tidak lagi banyak. "Kita akan terus terpukul mundur. Mau bagaimana pun perubahan itu perlu. Kita hanya perlu memgambil tempat yang seharusnya." Pemimpin tertinggi dalam angkatan perang serta keamanan berpaling, melihat tangan kanan terbaiknya yang ikut termenung memikirkan kepentingan bangsa ini cukup serius. "Pergilah mencari pejuang hebat yang tercecer di negara ini, Akira." "Yang tercecer?" "Jasa mereka tidak lagi diperlukan karena mereka menentang ketentuan serta aturan pemerintah yang sekarang." Pimpinan itu bersuara tegas, segala kalimatnya berisi perintah. "Kau harus mencarinya dan membawa mereka padaku. Hanya tersisa dua orang yang masih sanggup melawan ribuan lawan dalam satu malam." "Ke mana sisanya?" "Harakiri. Mereka bunuh diri karena depresi dan rasa sakit berkepanjangan." Akira tercengang. "Kita akan menggunakan mereka?" "Aku tidak punya pilihan. Kaisar harus kembali memimpin. Bagaimana dengan cara lainnya? Waktu kita tidak banyak." Semua orang diam. Pengaruh pemerintah sekarang memporak-porandakan negara dalam lima ratus tahun tanpa ampun. Pengaruh mereka yang luar biasa membuat bangsa ini jauh, terlalu mundur terbelakang tanpa memberi kesempatan untuk maju dan sukses. Perubahan harus terjadi dan kesempatan besar ini tidak akan pendukung kekaisaran akan melakukan segala cara untuk mengambil posisi mereka. "Aku akan memberimu waktu, Akira. Manfaatkan ini sebaik mungkin." Akira membungkuk cukup lama. Menarik napas seraya memejamkan mata erat. "Aku akan berusaha sekeras mungkin untuk mencari mereka. Ini membutuhkan proses yang tidak mudah." "Kau benar. Karena mereka memutuskan memilih jalan sendiri selama ini. Bagaimana pun, ini menjadi tugasmu. Kau harus berhasil meyakini mereka untuk datang. Untuk datang kepadaku." Sang tangan kanan hanya membungkuk. Perintah itu seakan menjadi cambuk untuknya pergi. Kalau saja dirinya punya banyak waktu, mungkin menemukan dua sisanya menjadi tugas paling berat. Dua samurai terhebat yang harus turun tangan demi mendorong kekaisaran kembali berjaya. Era baru. Ini semua demi era baru. "Aku akan berusaha keras." Sang pemimpin mengulum senyum, menepuk kepala Akira yang membungkuk sebelum berlalu pergi. "Aku percaya kepadamu, Akira." Dan setelahnya yang terdengar hanya pintu tertutup. Akira bangun, meluruskan punggungnya yang terasa kaku dan berat. Kini, beban itu berpindah ke pundaknya. Masalah ini tidak akan teratasi jika dirinya belum menemukan solusi. Tidak ada petunjuk, dan dirinya buta arah untuk melakukan tugas berat pertama. "Kau perlu menyamar, Akira." Dia menyemangati dirinya sendiri setelah ditinggalkan dalam sepi. Waktu akan berjalan sangat cepat jika dirinya tidak bergegas. Akira terpaku selama beberapa saat, menatap remangnya ruangan setelah menarik napas panjang. Ini kesempatan. Kemenangan yang seharusnya menjadi prioritas dirinya. Akira hanya harus bergegas untuk mencari. *** Osaka, 1 November 1865. "Kau terlihat kotor. Apa kau baru saja bermain di lumpur sebelum datang kemari?" Salah seorang pemuda yang berbaris secara terang-terangan mencela pemuda lain yang ikut berbaris, mengantri untuk mendapat giliran bantuan sembako dari pemerintah setempat. Hanya karena penampilan lusuhnya, dia menjadi bahan olokan orang lain. "Hei, dia tersinggung." Suara tawa itu terdengar keras. Saat pemuda bermulut pedas itu mendekat, mendorong tubuhnya bermaksud menyerobot antrian, lelaki yang lebih kurus namun terlihat kekar itu mendorong balas tubuhnya hingga pemuda bertubuh gempal itu terjatuh cukup keras, terbanting ke tanah. "Kenapa kau tidak bisa diam?" sindirnya. "Dia bisa bicara!" "Aku tidak bisu," sungutnya sinis. Semua orang hanya menonton pertikaian tanpa berniat menginterupsi. Pemuda itu mencibir, melepas satu dengusan keras saat mengeluarkan pedang pendeknya. "Kemari, pecundang. Kau terlihat ingin bertarung. Tatapan matamu kejam sekali." "Aku tidak ingin bertarung." Para penduduk saling berbisik satu sama lain ketika pemuda itu dengan sembarangan menyerang secara brutal. Mendorong lelaki itu hingga terjerembab jatuh, menghancurkan gerobak semangka milik seseorang. Keributan yang terjadi memancing reaksi beberapa orang. Termasuk petugas keamanan yang sedang berjaga. Sementara Akira ikut berbaris dalam diam, mengawasi pertengkaran tanpa berniat menengahi. "Heh, lemah sekali. Kau bisa terlempar sejauh itu hanya dengan doronganku?" Lelaki itu berusaha bangkit dengan napas tersengal. Ketika sorot gelapnya menajam, berubah dingin dan bangun dengan kedua kakinya sendiri, udara terasa lebih berat. "Aku tidak ingin menciptakan keributan," ujarnya santai setelah mengangkat tangan. "Kembalilah ke barisanmu sendiri. Kau tidak akan menang melawanku." "Kau terdengar cukup sombong sekarang." Akira memandang keduanya dalam diam. Bersama topi jerami yang menutupi separuh wajahnya, pria itu masih bergerak mengawasi. Terutama pada pemuda yang lebih ramping tetapi posturnya menjanjikan. Dia sengaja mundur dan mengalah hanya agar pemuda pembuat onar itu mundur dan tidak mencari masalah. "Kau tidak perlu berbuat sejauh itu, Kenta." Teguran lain mampir saat pemuda itu mengulurkan pedangnya hendak bertarung. Dia tersinggung karena lelaki itu tampak sama sekali tidak terpengaruh atas apa pun. Tidak ada yang membela mereka, menghentikan pertikaian tersebut karena penduduk ketakutan. Tidak semua orang bisa memakai pedang, mengendalikan pedang untuk menang melawan orang lain. Kenta menyerang secara brutal. Teknik bela diri sekaligus ilmu pedang yang berantakan. Terlihat sekali bahwa pemuda itu belum menguasai dasarnya secara utuh. Gerakannya tak beraturan, terkesan terburu-buru hanya agar lawannya terluka. "Dia benar-benar keras kepala," ujar salah satu penduduk dengan gelengan miris. Akira melihat teknik menghindar dari lelaki itu dengan seksama. Menilai keseluruhan bagaimana caranya menangkis serangan hanya dengan satu tangan. Seolah melawan pemuda bernama Kenta tersebut bukan hal yang besar, melainkan hanya bukti remeh kecil sebagai pengganggu. Penduduk menahan napas saat Kenta terlempar mundur dengan pedangnya berhasil direbut. Lelaki itu bangun setelah menyerang titik penting tubuh Kenta dengan tangannya, membuang pedangnya sembarangan. "Kau tidak bisa meremehkan lawanmu, apa pun itu. Ilmu bela diri tidak mengajarkanmu menganggap ringan siapa pun, termasuk temanmu sendiri." Kenta meringis kesakitan. Mulutnya berdarah dan pandangannya berkunang-kunang. Sesaat dia merasa kesakitan setelah meringis dan pihak keamanan menyeretnya paksa untuk menjauh tanpa menghukum lelaki tersebut. Akira terpaku diam. Mengawasi keduanya dengan lekat sebelum menurunkan ujung topinya. Diam-diam mampu menghela napas lega. *** Akira berlari mengejar lelaki itu sebelum dirinya kehilangan jejak. Bukan usaha yang mudah menemukan sosok legenda hebat bersembunyi di suatu tempat. Jika ini bukan perintah dari atasan terhormatnya, Akira hanya akan duduk mengawasi Tokyo dari kejauhan. "Kau bisa mengambil beras ini untukmu sendiri." Sebelah alis lelaki itu terangkat naik. "Kenapa?" "Aku masih punya persediaan lengkap." Seakan wajahnya menyiratkan sesuatu penuh tanya, lelaki itu mengambil jatah beras Akira tanpa pikir panjang. Mengucapkan terima kasih sebelum berjalan pergi. Dan Akira yang mencelus hanya bisa berlari, mengejarnya. "Siapa namamu?" "Mengapa kau ingin tahu?" "Aku mengenalmu." Lagi-lagi wajah datar itu berubah skeptis. "Kita bisa bicara di tempat lain." Akira mengekorinya tanpa suara. Masuk ke sebuah gang sempit yang kumuh dan cukup berantakan. Osaka benar-benar terbelakang dan terlihat cukup menyedihkan. Akira tidak bisa berpikir jernih saat ini selain harus kembali menuntaskan tugasnya. Era baru harus tercipta sebelum kekacauan yang lebih besar antar penduduk sipil semakin melebar. "Apa ini?" "Penginapan." Beras itu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Akira mengawasi pergerakan lelaki itu sampai ke belakang rumah dan dia duduk, melihatnya ikut duduk untuk mendengarkannya bicara. "Sudah berapa lama kau menetap di Osaka?" "Lima tahun." Akira mendengus pendek. "Asalmu dari Tokyo, benar? Kau melarikan diri ke Osaka karena terdesak hubungan panas antara kekaisaran dengan pemerintah yang sekarang." "Mereka masih bertikai dan belum berakhir," si lelaki menjawab datar. "Aku tidak ingin ikut campur." "Aku tidak akan berbasa-basi lagi." "Era baru, benar?" lelaki itu menyahut tanpa ekspresi berarti. "Kaisar ingin merebut kembali takhta miliknya dan memberikan kesempatan negara ini hidup dalam perdamaian. Kekaisaran tidak bisa membunuh karena aturan leluhurnya. Dan itu berlaku pada semua orang yang bekerja untuk mereka." "Kau cukup peka," sahut Akira pelan. "Mendiang guruku menyampaikan hal ini sebelum kematiannya." Akira yang kali ini terperangah. "Mantan gurumu?" "Aku, Kenji. Kau?" "Akira." "Dia punya penyakit yang diidapnya selama puluhan tahun. Selama ini bertahan karena dia mampu. Usianya belum terlalu tua, tetapi dia sudah lelah dan menyerah." Kenji memaparkan kepada Akira sebelum kematian gurunya. Yang membuatnya pergi ke Osaka untuk mengarungi hidup baru. "Apa itu alasanmu pergi ke Osaka?" "Ya. Tokyo tidak lagi menjadi rumahku dan bukan tempat teraman. Aku tidak akan kembali." Sesaat Akira terdiam. Keputusannya membawa Kenji ke Tokyo akan semakin sulit. Dia sudah berjalan sejauh ini, menyamar dari satu tempat ke tempat lain demi mencari mereka yang tersisa. Pahlawan untuk era baru. "Kaisar sedang mencari seseorang yang mau bekerja untuknya?" "Ya, demi era baru. Kehadiran kapal perang negara lain membuatnya tidak bisa tidur. Keterbelakangan negara ini membuatnya semakin sedih. Kaisar tidak bisa berbuat banyak untuk membantu bangsa ini berkembang." Kenji mengerutkan kening secara sekilas. "Pemerintah yang saat ini cukup kuat. Dia juga punya pasukan hebat yang diberi nama Shinsegumi. Kau sudah mendengarnya, bukan?" "Banyak dari pasukan kekaisaran yang tewas di tangan mereka dalam perang satu malam Tokyo. Kaisar memerintahkan semua orang untuk mundur agar korban yang jatuh tidak lebih banyak." Kenji termenung diam. Tidak lagi bersuara saat Akira ikut bersandar, memandang langit yang cerah tanpa suara. *** Kyoto, 1 Desember 1865. Pasar Kyoto sedang ramai karena karnaval. Seseorang merayakan upacara syukuran ketika memberi semangat pada satu sosok yang duduk pada sebuah kursi, diangkat dan diarak berkeliling. Sebelum langkah Akira semakin jauh, dia mendengar seseorang berlari dengan napas tersengal. Memberitahu penduduk lainnya jika dua pendekar samurai sedang bertikai. Kedua mata Akira memicing. Mengamati arah penduduk yang berlari sebelum dirinya menarik pergi. Mereka benar-benar tidak tahu malu karena beradu pedang di sebuah kuil. Yang seharusnya menjadi tempat suci dan bukannya dicemari dengan pertengkaran tidak tentu arah. Tidak ada yang berani melerai. Yang mengherankan lawannya adalah perempuan. Benar-benar seorang perempuan memakai kimono serba putih dan lusuh, wajahnya sedikit kotor karena debu. Sang lawan tidak mempersalahkan jenis kelamin sama sekali ketika Akira berpaling, mendengar tangisan dari bayi yang terikat tepat di depan pintu masuk kuil persembahan. "Iori, bertahanlah sebentar lagi." Suara keras itu datang dari sang ayah yang berdiri gemetar bersama istrinya. Keduanya saling berpegangan tangan, meremas tangan satu sama lain dengan harap cemas. Akira mendengar suara bantingan agak keras dan pendekar perempuan itu terlempar cukup parah. "Kalau kau tidak bisa mengalahkanku, kau sebaiknya mundur dan menangis di rumah." "Pria dan egonya." Wanita itu bangun dengan dengusan keras. Meraih pedang kayunya saat menyerang, memberi sentuhan keras pada organ vital penting sampai pria itu tersungkur, terjatuh bersama raungan sakit. "Kau tidak bisa meremehkan lawanmu. Tidak sama sekali." "Iori!" Suara tangisan bayi terdengar semakin keras. Akira termenung mengamati, memandang keduanya yang masih bertikai satu sama lain. Ketika pedang tajam itu terayun, wanita itu berhasil berguling. Menyerang secara membabi-buta dengan teknik mematikannya. Dia berhasil melumpuhkan lawan dalam dua kali serang, membuat pria itu tersungkur jatuh dan tidak sadarkan diri. Kedua orang tuanya segera berlari. Mengambil sang bayi yang masih menangis karena takut. Pendekar perempuan itu menengadah, menatap keluarga kecil yang saling memeluk bahagia saat kepalanya menoleh, terpaku melihat Akira. "Kau tidak membunuhnya." Bunyi pedang kayu terlempar merebut atensi Akira. Saat pendekar pedang itu berjalan dengan tertatih, mendengus melewati tubuhnya bersama pakaian lusuh dan wajah kotor. "Kenapa kau datang?" "Sudah lama aku tidak melihatmu, Aiko." Akira berbalik, menatap wanita itu datar. "Kemampuanmu masih sehebat dulu. Aku datang untuk menawarkan pekerjaan." "Kembalilah." Penolakan itu seharusnya membuat Akira paham bahwasanya Aiko tidak akan pernah berubah. Wanita itu tetaplah sama seperti lima tahun lalu. Saat dia merubah Tokyo menjadi hujan darah hanya seorang diri. "Shinsegumi semakin menggila." Akira hanya harus berusaha. Dia tidak punya pilihan selain memanfaatkan pejuang terbaik untuk melawan pemerintahan yang keji. "Kau tahu, mereka semakin hebat dan kekaisaran akan terpukul mundur. Era baru tidak akan pernah ada." "Kau berjuang untuk siapa?" Aiko berbalik, memandang Akira sinis. "Kekaisaran? Apa aku terlihat peduli?" Orang tua Iori muncul dengan raut bingung. Keduanya mendekati Aiko, berlutut dengan mengucapkan terima kasih berulang kali. Sementara Aiko terpaku, tidak bisa berbuat lebih untuk mereka. "Terima kasih banyak. Terima kasih karena telah menyelamatkan putra kami." Akira menonton adegan mengharukan itu dalam diam. Ekspresi keras Aiko lambat-laun berubah, menjadi lebih nyata dan pekat. "Sama-sama." Lima tahun sudah dan Akira menyadari banyak perubahan terjadi pada pejuang hebat yang tersudut karena masalah ideologi. *** Akira membuntuti wanita itu sampai ke ujung desa. Letaknya yang cukup jauh dari permukiman membuatnya mengernyit dalam. Bagaimana bisa Aiko hidup menyendiri selama ini setelah melarikan diri dari perang satu malam Tokyo yang penuh darah? "Kau bisa menunggu selagi aku membersihkan diri." Kepala Akira terangguk. Ia melepas topi jeraminya dan duduk saat Aiko masuk ke dalam sebuah gubuk. Wanita itu mengambil kesibukan lain dengan menanam lobak serta aneka sayuran lain sebagai mata pencaharian. Hasil kebunnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari selama dalam pengasingan. Lima belas menit dan wanita itu muncul dengan kimono baru. Mata Akira terpaku pada lobak dan bawang merah yang telah siap dipanen. "Ada apa dengan Shinsegumi?" "Mereka semakin kuat karena persenjataan yang lengkap. Banyak dari ronin yang kehilangan pekerjaan kembali bekerja untuk mereka. Kaisar meminta kami untuk segera berbenah demi era baru." "Kaisar," ucap Aiko dingin. "Kehilangan takhta selama ratusan tahun membuatnya banyak berubah. Apa dia berpikir tentang orang lain sekarang?" "Dia menginginkan perdamaian." "Perdamaian ..." Aiko merasakan lidahnya kaku, mengulang kalimat yang berkonotasi fana. Perdamaian, kebebasan, kebenaran serta keadilan. Apa itu benar-benar ada? "Keluarga kekaisaran hanya menginginkan perubahan. Bangsa ini tertinggal dari bangsa lain karena menutup diri. Merasa yang paling hebat dan terdepan. Kapal perang Amerika yang berhenti di pelabuhan Kyoto membuat kami resah." "Kau belum berubah," tukas Aiko bersama dengusan. "Membicarakan hal penting secara gamblang tanpa basa-basi. Kau ingin Tokyo kembali bermandikan darah?" Akira menarik napas panjang. "Aku kehilangan banyak orang setelah para pejuang hebat melakukan harakiri. Kaisar kehilangan pahlawan terbaiknya." Ekspresi Aiko belum berubah saat mata hijaunya yang lekat dengan hutan hujan memandang Akira dingin. Seolah memindai isi kepala pria itu, mengeluarkan semua yang ada. "Aku tidak akan pergi dari Kyoto," putusnya final. "Demi era baru?" Aiko mengangguk. "Era baru." "Aku menduganya. Kau akan menolak." "Kau bisa mencari mantan ronin lain yang hebat dan berpengalaman." Aiko mendengus kecil saat Akira menatapnya. "Yang lebih mencintai kekerasan daripada apa pun. Kaisar tidak menginginkan perang darah, tetapi pengorbanan harus terjadi karena era baru membutuhkan nyawa untuk berdiri." Akira melamun. Keputusan itu seolah final dan dirinya tidak bisa membawa Aiko kembali ke Tokyo seperti lima tahun lalu. Hanya ada dua yang tersisa, sebagai pejuang samurai legendaris yang terkenal dalam dunia kelas elite. Keluarga Tsuchiya yang berkuasa selama lima ratus tahun akan memanfaatkan kelemahan ini demi menancapkan kekuasaannya lebih lama. "Apa yang mereka tawarkan di era baru?" Alis Akira bertaut satu sama lain. "Perdamaian. Seseorang tidak akan bisa membawa pedang sembarangan, sama halnya dengan senjata. Tidak ada ancaman dari para ronin yang kehilangan pekerjaan mereka karena tuannya telah menghilang. Kaisar akan memimpin tanpa perang." "Dan kau beranggapan keluarga Tsuchiya diam saja?" "Mereka akan berbuat sesuatu. Lawan kami sebenarnya adalah pasukan hebat dari akademi ninja. Shinsegumi semakin memperluas jajahannya. Kau sudah tahu itu," balas Akira serius. "Mereka juga akan memburumu di Kyoto." "Kau punya waktu untuk memutuskan, Aiko." Akira bangun dari tempatnya sebelum semburat oranye itu lenyap, tergantikan dengan gelapnya malam yang berbintang tanpa rembulan. *** Tokyo, 8 Agustus 1866. "Kaisar mengundang kalian secara terbuka malam ini." Akira menatap keduanya bersama alis berkerut. Baik Kenji atau Aiko hanya diam, tidak terpengaruh atas kehadiran satu sama lain. Keduanya bukan teman dekat, atau kerabat sekali pun. Murni hanya sebagai rekan sesama pejuang. "Kami diharuskan datang?" "Kalau kau tidak berkenan, aku akan bicara pada mereka." Akira membalas setelah duduk bersila, memandang keduanya tanpa ekspresi. "Kemungkinan kalian akan bertugas di beberapa tempat untuk memata-matai tim Shinsegumi." "Kaisar benar-benar ingin mengkudeta kekuasaan keluarga Tsuchiya?" Aiko bertanya dingin, menatap Akira yang ikut menatapnya. "Menjadikan kursi nomor satu itu miliknya. Era baru setelah lima ratus tahun terpenjara oleh aturan kolot." "Kita tidak bisa membahasnya sebagai mengkudeta. Kaisar menginginkan tempatnya kembali." Bunyi gemerisik pedang mengalihkan atensi Akira pada Kenji yang menatap keduanya tanpa ekspresi berarti. "Kami akan mengembara ke seluruh Tokyo?" "Menetap di Shibuya." Aiko melempar satu dengusan. "Aku mengerti." "Ini bukan sekadar peran yang mustahil. Tetapi kalian harus benar-benar menjalaninya. Bertahanlah selama satu tahun, hiduplah sebagai pengembara bebas. Kalian berdua." "Kami akan berpisah dan menulis laporan setiap waktu?" Sinar mata Akira memandang keduanya lekat. Keseriusan menyala dari matanya saat dirinya menarik napas, membuangnya perlahan. "Kalian akan hidup sebagai pasangan suami istri. Secara diam-diam, hanya untuk sementara. Aku sudah menyiapkan segalanya untuk kalian." Tidak ada yang bersuara. Baik Aiko mau pun Kenji, keduanya memutuskan untuk diam. Keputusan sepihak dari Akira yang menjadi pemimpin keduanya. Aiko seharusnya menolak sedari awal, atau Kenji yang tidak seharusnya mengambil kesempatan tersebut. "Sebagai pengembara bebas dan berpasangan," ulang Aiko getir. "Kau menginginkan kami tidur di atap yang sama?" "Satu tahun, Aiko. Hanya satu tahun." "Aku bersedia." Keduanya menoleh pada Kenji yang memilih untuk bersuara selagi keduanya berdebat. Akira menautkan alis, mengamati mimik wajah itu dengan serius sebelum menghela napas panjang. Sementara Aiko memutuskan untuk diam, tidak lagi bersuara. Ucapan Kenji dan ketersediaan pria itu untuk hidup bersama sebagai pengembara dan pasangan bebas menarik perhatiannya. Aiko berpikir dia akan menolak, Kenji tidak akan menerima ide gila Akira untuk memenjara mereka berdua dalam hubungan palsu. "Bagaimana denganmu, Aiko?" "Tidak punya pilihan." Akira mengulum senyum kecil. Memandang keduanya dengan tatapan penuh harap saat masa depan demi era baru terlukis dalam bayangannya. "Terima kasih banyak." Baik keduanya sama-sama terkejut melihat raut lepas Akira. Tangan kanan kepercayaan pemimpin militer tertinggi yang jarang terlihat penuh ekspresi membuat keduanya terpaku. Akira melepas satu senyum singkat, masih mengucapkan terima kasih dalam bisikan sebelum pergi dan membiarkan keduanya beristirahat. Saat pintu tergeser, Aiko bisa mendengar suara tarikan napas dari sosok lain yang berada di dalam satu ruangan sama dengannya. Kedua matanya melirik, memandang Kenji yang semakin tersudut bersama gelengan kecil. "Kau benar-benar menginginkannya?" "Hanya satu tahun perlu bertahan," ujarnya datar. "Berpura-pura sebagai pasangan yang sudah menikah." Aiko mengulang kalimat Akira dengan cemoohan. "Apa kita bisa melakukannya? Berpura-pura di depan banyak orang untuk sementara?" Mereka perlu beradaptasi setelah ini. Aiko menyadari bahwa keputusan Akira sudah final. Serangan besar akan terjadi dalam jangka waktu satu tahun yang singkat. Dia dan pejuang samurai lain. "Kita tidak punya pilihan. Kau bersedia kembali, kita harus melakukannya." Kenji bangun dari tempatnya, membiarkan Aiko sendiri saat menggeser pintu untuk kembali ke kamarnya sendiri. Membiarkan sang pendekar perempuan melamun bersama jalan pikirannya. Seandainya dunia yang mereka tempati baik-baik saja, dia tidak perlu melakukannya. Mereka tidak perlu berkorban atau kembali beradaptasi setelah cukup lama melepas diri, membebaskan dari kurungan bernama kekangan. Saat Aiko pergi, ia melihat Kenji turut melamun. Sang pendekar pedang yang terkenal dari belahan kota lain juga sama cemasnya. Menanti masa depan yang masih gamang, abu-abu penuh spekulasi. Mereka tidak bisa menyela, tetapi hanya mampu berharap.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

My Secret Little Wife

read
92.4K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook