bc

Ashes On The Fire

book_age18+
22
FOLLOW
1K
READ
reincarnation/transmigration
goodgirl
brave
inspirational
tragedy
bxg
deity
mythology
rebirth/reborn
supernatural
like
intro-logo
Blurb

Lima ratus tahun lalu, sumpah itu terucap tanpa penyesalan. Kematian sang dewi membawa kebenaran pada babak baru, kehidupan duniawi yang menyeret luka dan kebohongan di masa lalu. Raga itu tak lagi abadi, kini telah berganti.

Untuk kesempatan kedua, Ares akan melakukannya sebaik mungkin. Menuntaskan sumpah yang terlanjur tertulis. Menghadirkan mimpi buruk bagi Hestia dalam wujud berbeda. Tetapi realitanya berbanding terbalik, menabrak nurani.

Ancaman Basilik menjadi mimpi buruk baru. Berdiri di antara dua persimpangan yang membuat Ares meragu. Haruskah dia melakukannya demi masa depan? atau merelakan separuh dirinya kembali pergi?

chap-preview
Free preview
one
When Gods are failing, they put all heaven in a rage.   Our tears keep falling, they are setting fire to the flame.   . . . "Kau melamun lagi?" Hestia berpaling, menurunkan kedua tangannya dari depan wajah saat melihat sahabatnya merapat. Iris, yang memasang raut cemberut setelah berhasil menumpahkan dua ember penuh berisi air ke tanah begitu saja. "Kau ingin bantuan?" "Aku berulang kali berteriak," keluh Iris sembari menyeka keringatnya. "Andai saja aku punya kekuatan seperti ibu peri. Cring. Cring. Selesai. Untuk apa aku susah payah menyirami tanaman ini?" Hestia tertawa, menurunkan tangannya dan berlari menuju dua ember itu untuk membawanya ke sumur. "Aku akan membantu. Ayo, kau tidak boleh banyak mengeluh." Mata biru itu bergulir bosan. Memandang gunung Kappa yang tenang. Entah mengapa, diamnya gunung berapi itu membuatnya penasaran. Ada rasa tertarik dan ingin tahu bagaimana caranya magma menyimpan banyak lahar panas di dalam perutnya. "Belakangan ini kau terus melihat gunung Kappa sendirian. Kau melihat masa depan tentang gunung itu?" "Pandanganku buruk. Semua penuh abu, hujan deras dan petir. Asap hitam juga menutupi langit." "Dengan kata lain, Kappa akan meletus?" Iris bertanya dengan raut terperangah. "Kau serius? Gunung itu akan meletus? Kapan?" "Aku tidak tahu," aku Hestia pahit, menatap gunung yang terlihat sangat tenang tetapi menyimpan jutaan bahaya. Membayangkan saat gunung itu meletus membuatnya mual. "Aku tidak pernah bisa memastikan tanggalnya. Kau tahu, kan?" "Yah, tapi setidaknya penerawanganmu berguna." Sahabatnya membantu membawakan satu ember penuh air. Iris mengisi tangki air dengan ember. Lalu duduk setelah melihat Hestia mengambil sebotol air minum, memberikannya untuknya. "Usia kita berdua baru dua puluh tahun. Jika gunung Kappa meletus, kita akan melarikan diri ke mana? Desa Kappa adalah tempat terbaik. Aku benci kota dan tidak bisa hidup di sana." "Apa aku terlihat punya saran bagus?" Hestia meneleng, memandang muram ke arah sahabatnya. "Tidak. Aku tidak punya ide. Kepalaku sakit." "Yah, kita tidak punya pilihan." Iris menandaskan isi air dalam botol dan menyeka keringatnya. Menggulung lengan baju, melepaskan sarung tangan dan berbaring di atas kursi kayu. "Rasanya lelah sekali. Aku butuh tidur panjang." "Kita harus lari." "Apa? Sekarang?" gadis itu berujar panik, terbangun dan hampir terkena serangan jantung. "Kenapa harus sekarang? Kappa akan meletus bulan depan, kan?" "Apa aku bilang begitu?" Hestia turun dari kursi, berkacak pinggang pada Iris. "Kau mau ikut atau tidak?" "Berapa banyak korban?" "Terlalu banyak." Hestia berpaling, menatap para warga yang sibuk bertani dan bersantai bersama yang lain. Kehidupannya berbanding jauh. Iris dan dirinya hidup sebatang kara, tanpa keluarga. Membuat mereka dikucilkan dan dicela. Beragam komentar buruk mengiringi kehidupan miris Hestia selama ini. "Aku tidak akan membawa apa pun selain uang dan diriku sendiri." Iris bergegas turun, berlari menuju pondok kayunya. "Karena aku tidak punya apa pun selain semangat dan jiwa rajin bekerja. Ayo, kita harus pergi." "Tokyo." "Benar, Tokyo. Ada apa dengan Shibuya? Kita bisa pergi ke sana." "Okay, Shibuya." Hestia berlari, mengemasi barang berharga dalam satu tas. Lalu mengganti pakaian, mengemasi beberapa setelan yang ada. Bersama Iris yang telah selesai membawa barang berharga. Terhitung hanya sedikit dan mereka akan menjadi gelandangan di kota orang nanti. "Aku siap menjadi pengemis." Hestia tersenyum, menggandeng tangan sahabatnya dan merasakan kakinya gemetar. Ini seperti suara amukan dari kerak bumi. Dan langkah mereka semakin cepat saat melihat kepulan asap muncul dari mulut gunung Kappa. Kurang dari dua jam, gunung itu akan meletus. *** Lima tahun setelahnya ... Iris menyingkap tirai, menatap muram pada toko ramen milik pasangan suami istri yang hampir bekerja menjadi penjual ramen kurang lebih enam puluh tahun. Karena kondisi sang istri yang terus menurun, mereka kembali pulang ke Kyoto untuk berobat sekaligus beristirahat. Menyisakan lubang menganga pada hati Iris yang merindukan ramen murah nan lezat pasangan lansia tersebut. "Kau tidak ingin makan yang lain?" "Ramen," sahut Iris masam. "Apa ada yang lain?" "Bubur kerang?" Gadis itu menggeleng pelan, melirik jam dinding dengan tampang masam. "Aku bosan. Bisa kita pergi makan daging bakar? Aku yang membayar." "Kau punya uang?" "Kau meremehkanku?" sang sahabat mendengus masam. Hestia meluruskan punggung dan kakinya. Menatap datar ke langit ruangan seraya menarik napas. Lima tahun setelah gunung Kappa meletus dan mereka berhasil melarikan diri. Penerawangannya tentang masa depan tidak diragukan lagi. Hanya Iris yang bisa dia selamatkan. Penduduk lain yang tidak percaya dan menganggapnya penyihir memilih untuk menetap dan mati karena lahar gunung Kappa yang meletus. "Kalau gunung Kappa kembali meletus, abunya tidak akan sampai ke Tokyo, kan?" Hestia mengulum senyum, memandang sahabatnya. "Kenapa? Kau penasaran?" "Aku serius. Untuk apa kita berlari sampai tempat ini kalau abu gunung itu menghantui?" Iris berdecak, memutar mata bosan. "Osaka mungkin tempat terbaik." "Aku setuju dengan Hokkaido," balas Hestia acuh, mengangkat bahu. "Kau ingin makan apa? Cepat pilih karena aku lapar." Iris mengeluarkan ponsel, mencari diskon makan terbaik untuk mereka. Seperti biasa, keduanya adalah pemburu diskon dari tempat makan terbaik yang ada di Tokyo. Biaya sewa ruko dan kebutuhan yang mahal memaksa mereka untuk berhemat. "Bagaimana dengan makanan Cina?" "Bukan masalah." Hestia melirik Iris dengan alis terangkat. "Ada restoran yang mengadakan diskon di akhir pekan?" "Hanya ada satu. Tidak terlalu jauh dari sini," balasnya serius. Senyum Iris melebar saat memasukan menu untuk mereka makan siang. Kemudian menambah kupon diskon dan membayar ongkos kirim dengan kredit. "Nah, sudah. Kita hanya perlu duduk menunggu." Hestia bangun, membersihkan debu di meja saat membuka buku-buku koleksi lama dari sebuah perpustakaan yang tutup setelah bangkrut dan ditinggalkan pengurusnya. "Kau tahu saat gunung Kappa meletus, aku punya firasat buruk." "Tentang para penduduk sekitar?" "Legenda para dewa," kata Hestia, menutup buku tuanya dengan desahan panjang. "Dewa yang diutus langit untuk menetap di bumi karena berbuat kekacauan." Mata biru Iris bersinar geli. "Apa kita bisa percaya itu sekarang? Di zaman modern dan maju seperti ini? Revolusi industri telah berlalu selama puluhan tahun dan kau percaya dongeng? Pengaruh Disney memang sangat kuat." "Aku tidak membahas Disney," sungut Hestia sebal. "Hanya kau yang hobi menonton Disney sejak dulu." "Aku ini tidak kolot dan bukan pecinta barang kuno sepertimu." Tangan Iris menyilang, terkekeh geli. "Aku suka Disney dan berharap menjadi putri tidur yang manis menunggu pangeran tiba. Bagus, kan?" "Dasar tukang khayal." "Berisik." Sebelum mereka bertengkar untuk masalah sepele, seseorang memencet bel dari arah depan. Iris segera berlari, membukakan pintu dan menyambut tamu mereka dengan ramah. Memintanya untuk duduk dan memanggil Hestia. "Daerah tempatku baru saja terjadi satu kasus kematian mendadak. Semua orang berpikir tentang ilmu sihir karena kematiannya sangat misterius," ujar sang ibu sedih. "Bisakah kau melihat apa yang terjadi melalui putraku? Aku cemas sekali." Hestia membungkuk, mengulurkan tangan dan bocah manis itu menurut, menunggu dalam diam saat dirinya menerawang. *** "Kau ini kenapa? Pelanggan menggemaskan satu minggu yang lalu membuatmu tidak bisa tidur?" Hestia terduduk, meminum sisa kopi susunya dengan gelengan kecil. "Itu bukan sihir biasa. Aku tidak melihatnya seperti sihir. Tapi benar-benar ada ilmu hitam di sana." "Ada peramal lain?" "Paranormal," potong Hestia menjelaskan. "Dia membawa dampak buruk pada sekitarnya. Karena terlalu gelap, kupikir berasal dari dendam aneh. Aku tidak bisa melihatnya karena terlalu gelap." "Kau sepertinya perlu mengasah kemampuanmu lagi." Iris menaruh bantal pada sofa, merapikannya. "Kita mendapatkan uang yang lumayan dari membuka usaha ini. Aku beruntung karena kau mendapatkan kemampuan unik itu." "Kemampuan yang tidak bisa membawaku ke masa lalu," kata Hestia pahit, meneleng getir. "Aku ingin sekali tahu siapa orang tuaku, seseorang yang merawatku, dan bagaimana kehidupan sebelum aku lahir. Apa itu salah?" "Masa lalu biarlah menjadi masa lalu." Iris melepas maskernya dan melepas satu bersin yang panjang. "Kau tidak bisa menengok masa lalu hanya karena penasaran. Itu sudah berlalu." "Kau ingin berjalan-jalan?" "Nanti malam?" "Tokyo dilanda hujan salju," Hestia keluar hanya untuk mengulurkan tangan, merasakan titik salju membasahi telapak tangannya. "Aku perlu pergi untuk menyegarkan kepala. Kau mau bergabung?" "Hestia, kalau kau ingin pergi tidak dengan malam ini. Kau mau terserang hipotermia dan mati mengenaskan?" Iris menegur setelah duduk, merasakan kakinya mulai membeku. "Aku baru duduk sebentar dan rasanya seperti membeku. Dingin sekali." "Aku bermimpi aneh." Alis sahabatnya tertaut bingung. "Mimpi apa?" "Seseorang." "Dia hidup di Kappa sebelumnya?" "Aku tidak yakin pernah melihatnya," balas Hestia cemas, mengayunkan kedua kakinya dengan bosan. "Kappa hanya desa kecil. Tidak akan ada pria keren berkunjung ke sana." "Kau benar. Ini alasanku melajang sampai dua puluh lima tahun. Apa aku perlu ikut kencan buta?" Iris bertanya dan sahabatnya tertawa. "Aku serius. Jangan tertawa. Tokyo terlalu besar dan mahal. Aku butuh pendamping." Hestia mengangkat sebelah alisnya, bermaksud menggoda. "Dan membiarkanku sendiri, di sini? Ah, tega sekali dirimu." "Kau akan ikut denganku." Iris merapatkan mantelnya, mengusap telapak tangannya yang terbalut sarung tangan tebal dan mengembuskan uap dari mulutnya. "Aku tidak akan membiarkanmu sendiri dan mati mengenaskan dalam keadaan tidak berpasangan. Malang sekali." Reaksinya hanya berupa senyuman. Jika memang Iris menemukan pasangannya di masa depan, Hestia tidak akan mengusiknya atau meminta belas kasihan. Sahabatnya layak bahagia setelah kehidupan sulit yang mereka jalani selama ini. Iris hanya ingin dongengnya berubah nyata. Sementara Hestia tidak pernah percaya dengan dongeng manis itu selain legenda atau cerita urban yang berkembang di masyarakat. "Apa kau bermimpi aneh tentang gunung Kappa?" Pertanyaan Iris menarik atensinya terbangun. "Ya, kau juga?" Kepala itu menggeleng. Rambut pirang Iris terayun lembut mengikuti gerak kepalanya. "Bukan tentang gunung Kappa, melainkan lautan bebas yang tidak kutahu letaknya. Aku melihat diriku sendiri tenggelam dan siap mati. Tetapi seseorang menolongku. Aneh sekali." Hestia menoleh, menghela napas panjang. "Kita berdua bahkan tidak pernah ke pantai." *** Berita menampilkan kecelakaan di jalan raya yang naik sebanyak lima persen selama badai salju menghadang Tokyo dalam satu pekan. Pemerintah setempat menghimbau agar warganya tetap di rumah dan beraktivitas seadanya untuk mengurangi korban yang lebih banyak. Menyalakan pemanas dan banyak mengonsumsi suplemen tambahan demi sistem imun yang lebih baik. "Aku membuat ini untukmu," kata Iris saat bergabung dengan Hestia yang duduk menonton televisi sembari bersantai. "Aku membelinya dari seseorang yang berniat pindah. Harganya murah, tetapi mutiara itu sangat cantik." "Ini untukku?" "Aku rasa kau lebih cocok memakainya daripada aku." Iris menyahut santai, mengangkat bahu. "Coba saja. Aku tidak terlalu suka memakai aksesoris." Hestia mencobanya dengan hati-hati. Binar antusias membayangi matanya kala mencoba gelang itu dengan kagum. Tangan sahabatnya memang berbakat selain menanam gandum di depan rumah. Iris mencoba beragam cara untuk menghasilkan uang dan membantunya membayar segala tagihan dan kebutuhan hidup. "Ini cantik sekali," kedua matanya berbinar kagum. "Kau sangat berbakat." Seringai penuh itu melebar. "Tentu saja. Itu hadiah untukmu. Pemilik lamanya bilang, mutiara itu akan bersinar saat merasakan sesuatu yang buruk. Seperti meramal orang-orang berhati gelap." "Apa ini seperti guci masa depan?" Iris mendengus. "Guci masa depan hanya cerita legenda. Tidak, konsepnya tidak sejelas itu. Mutiara ini hanya berkilau saat dia merasakan aura negatif dari seseorang. Seperti mengirimkan sinyal bahwa orang itu berbahaya pada kita. Aku belum membuktikannya dan tidak tahu itu benar atau tidak." Kepala Hestia tertunduk, mengusap sudut mutiara cantik itu dengan lembut. "Melihat tidak ada tanda-tanda akan menyala, kita harus mencobanya di luar rumah. Nanti setelah hujan salju mereda, aku akan mencari tahu." "Benar-benar," sungut Iris dengan decakan. "Kau antusias dengan barang aneh, kan? Mutiara pembaca aura, guci masa depan, kalung harapan dan segala macamnya. Apa barang itu ada di dunia yang sekarang? Itu hanya ada di masa lalu, dunia yang lama." "Sebagian masih percaya kalau hal mistis masih mengitari sekitar kita." Hestia menurunkan tangannya, merasakan gelang itu sempurna untuknya. "Kita hidup berdampingan dengan sesuatu yang tak kasat mata. Kau tahu itu dengan benar." Manik biru Iris memandang pemanas manual dengan kilat sedih. "Kau benar. Tetapi kemampuanku tidak sehebat dirimu. Dari dulu aku hanya bergantung padamu. Dan rasanya sudah sangat terbiasa sampai sekarang. Aku percaya kau bisa mengambil jalan terbaik dan solusinya." "Apa kita akan membahas gunung Kappa lagi?" Kepala itu menggeleng lemah. "Gunung Kappa sedang tidur. Kita sebaiknya tidak mengusik si besar yang terlelap." "Bunyi ketelmu mendidih," Hestia mengendik pada dapur yang bising. "Kau ingin menghidangkan teh jahe untuk kita, kan?" "Yap. Tunggu sebentar." Sudut bibir Hestia tertarik naik, memandang hadiah manis dari sahabatnya dengan tatapan berbinar senang. Ini hanya hadiah kecil, tetapi rasanya berkesan. Kemampuan Iris semakin membaik dari hari ke hari. Bohong kalau sahabatnya bilang dirinya tidak berbakat. Gadis itu bertangan licin, mampu membuat apa pun dengan kemampuannya. Iris juga pandai memasak dan meracik bahan herbal untuk mereka. Membeli bahan yang tidak terlalu mahal dan menjualnya pada pelanggan saat datang untuk meminta pertolongan. Hasilnya lumayan untuk mereka tetap bertahan dari gerusan ekonomi Tokyo yang mahal dan mencekik. *** "Kau terlihat sangat penasaran. Apa yang ingin kau beli?" "Barang-barang antik ini murni karena dijual pemilik lama atau kau menemukannya di suatu tempat secara kebetulan?" tanya Hestia penasaran saat mengekori si pedagang yang masuk ke dalam dengan membawa tongkat berkepala ular. "Sebagian besar pemilik menjualnya. Mereka menyebut barang-barang ini membawa sial. Dan sebagian lagi karena menemukannya di suatu tempat dan takut membawa kutukan." Si pedagang menyisir rambut putihnya dengan senyum dingin. "Kau penasaran dengan guci itu. Apa kau berminat membelinya?" Hestia menoleh, menghela napas berat saat melihat guci berukuran medium dengan warna hitam pekat yang mencolok. "Aku pernah melihat gambar itu di sebuah buku. Rasanya sudah lama sekali dan aku tidak ingat apa pun." "Guci masa depan?" "Ah, mungkin. Aku terkejut karena melihat bentuknya hari ini." Tangannya menunjuk guci dengan raut penasaran. "Saat aku memegangnya, terasa panas. Kenapa begitu?" "Guci itu terbuat dari batu gunung Kappa. Lahar panas yang membeku. Untuk lengkapnya, aku sendiri tidak tahu. Tapi beberapa orang yang datang memang menyebutnya sebagai guci masa depan." "Kau penasaran?" tanya si pedagang serius. "Sayangnya, tutupnya tidak bisa terbuka sembarangan. Aku pikir, itu benar-benar barang antik dan langka." "Kau tidak pernah mencobanya?" Si pedagang terkekeh miris. "Aku belum mau mati cepat. Semua daganganku belum laris." "Ah, tentang gunung Kappa. Kau tahu kalau gunung itu meletus lima tahun lalu?" Si pedagang berbalik, menatap Hestia serius. "Tentu saja. Gunung Kappa banyak menelan korban. Apa kau termasuk yang selamat?" "Ya, aku dan temanku." Hestia duduk, menatap sekeliling yang temaram dengan serius. "Sebelum gunung meletus, aku mendapatkan pandangan aneh dan firasatku selalu buruk." Si pedagang paruh baya memicing, menatapnya lekat dan menelisik. Yang membuat Hestia membeku, bergerak mundur tidak nyaman. "Kau bisa menerawang masa depan?" "Tidak terlalu jelas," balasnya singkat, melirik guci itu dengan tatapan tertarik. "Jika ada guci masa depan, aku bisa melihat dunia ini dengan jelas." "Kau bisa melihat masa depan dan tinggal di dekat gunung Kappa. Kebetulan ini sangat aneh," ujar si pedagang serius. "Aku pernah mendengar cerita ini dari mulut seseorang dan sekarang melupakannya. Ah, bagaimana bisa aku begitu pelupa?" Hestia mengernyit, terlihat bingung. "Cerita apa?" "Tiga dewa yang dikutuk langit untuk tinggal di bumi. Mereka dibuang ke tiga tempat berbeda. Saudara bertangan dingin yang sering mencari masalah." Si pedagang memulai ceritanya dengan serius. "Lima ratus tahun lalu, mereka terperangkap dan raganya tertidur. Kalau gunung Kappa meletus, itu artinya mereka terbangun." Ekspresi Hestia berubah cemas. "Aku juga sempat memikirkan hal yang sama. Siapa yang menempati gunung Kappa?" "Dewa Perang." "Dewa Perang?" Hestia mengulangi kalimatnya dengan gelengan kecil. "Kenapa langit menghukumnya?" "Karena dia membunuh seorang dewi. Dewi Agung yang terhormat setara surga," balas si pedagang itu miris. "Langit mengutuknya karena marah. Dewi ini memegang peran penting dalam kehidupan bumi dan isinya." Raut wajahnya terlihat penuh keraguan sekarang. Hestia bangun dari tempat duduknya, memeriksa guci gelap itu dan mencoba menyentuhnya. Telapak tangannya terasa hangat, menenangkan sampai merasuk ke jiwa. "Aku akan mencoba membukanya." "Semoga kau diberkati, anak muda keras kepala." Gadis itu tersenyum tipis. Mencoba membuka tutup guci dan tersentak saat mendapati sesosok ular raksasa bertanduk hampir melahapnya. Membuat Hestia mundur, terjatuh dan hampir memecahkan tutup gucinya. "Apa yang kau lihat?" Si pedagang menghampiri dengan raut penasaran. "Ular besar dan bertanduk." Lalu, suasana berubah hening seketika. *** Pertama, dia tidak seharusnya membuka guci itu. Kedua, dia tidak seharusnya membuat si pemilik toko marah. Ketiga, dia sangat bodoh. Hestia tidak pernah melihat gambaran ular sebesar itu dalam hidupnya. Dilihat dari tampilannya, mungkin panjangnya seluas lautan dan tanduknya menyentuh langit. Hestia benar-benar bergidik saat membayangkan ular sebesar itu melahapnya tak bersisa. Kemungkinan yang paling parah adalah menghancurkan bumi. Apa itu mungkin? Ini bukan zaman megalitikum atau zaman saat dIrissaurus masih bernapas. Ini zaman yang berbeda, saat manusia hidup dalam kondisi penelitian sains dan ilmuwan dipuja. Rasanya mustahil kalau ular sebesar itu akan ada di bumi. Mengingat semua cerita dongeng itu hanya berbentuk legenda, urban yang menjadi kepercayaan beberapa orang tentang ilmu sakti leluhur. Termasuk cerita ketiga dewa yang tersingkirkan dari langit di tempat berbeda karena melanggar aturan. Mereka tidak segan membunuh satu sama lain demi mengamankan takhta. Kehidupan abadi tidak akan ada gunanya ketika dewa dan dewi saling menghunuskan pedang untuk bertahan. "Kepalaku sakit sekali," keluh Hestia gelisah, memijit pelipisnya dari ujung ke ujung dan mencari tempat duduk di halte terdekat. "Semua karenamu, Hestia. Kau menghancurkan kepercayaan si pedagang barang antik itu." "Jika para dewa dan dewi mati dalam keadaan suci alias tidak berdosa, mereka bisa kembali bereinkarnasi dan akan menemukan sosok aslinya secara perlahan. Dari waktu ke waktu, mempelajari segalanya sebelum kembali ke langit." Si pedagang menyampaikan cerita lain yang tidak pernah Hestia dengar sebelumnya. Sejujurnya, mustahil percaya dengan hakikat reinkarnasi yang sangat jauh dari kehidupan modern. Manusia yang telah meninggal, akan selamanya terpendam di tanah dan ruh-nya terbang bebas mencari tempat untuk pulang. Bus pertama datang. Hestia bangun, bersiap masuk dan melihat betapa penuh isi dalam bus. Sudah tidak ada tempat walau dirinya berdiri sekalipun. Hestia kembali mundur, duduk di tempatnya dan harus menunggu. Hujan belum sepenuhnya reda. Setelah salju mencair, Tokyo benar-benar belum diberkati dengan cuaca bagus. Iris mungkin akan mengomel sesampainya Hestia di rumah. "Dingin sekali." Suara lemah itu merebut atensinya. Seorang anak sekitar enam tahun menggigil, berlindung di balik mantel ibunya dengan senyum menghiasi wajah pucatnya. "Aku masih kedinginan." "Kemari, biar ibu peluk dirimu." Lalu yang terdengar hanya suara tawa setelahnya. Di tengah udara yang tidak bersahabat, Hestia bisa merasakan kehangatan menelusup masuk berkat interaksi ibu dan anak itu. Lampu sorot bus penumpang membawa harapan mereka untuk segera kembali. Hestia menutup payung kuning miliknya, melihat seseorang baru saja bergabung dan menunggu di depan halte, terlihat santai dan tidak sama sekali kedinginan. Kontras dengan dirinya dan orang lain yang ikut menunggu bus datang. Sosok itu bertubuh tinggi, memakai jaket dan topi serba hitam yang mencolok. Hestia memerhatikan penampilannya dengan kening berkerut. Siapa dia? Mutiaranya menyala! Hestia terpaku, menatap sinar redup itu muncul dari mutiara gelangnya ketika mendekati sesosok pria misterius yang bergeming, seolah tidak tahu dengan keberadaan dirinya. Bagaimana bisa? Bus tepat berhenti di depan halte. Dan kedua kaki Hestia terasa kaku tak bisa bergerak. Saat ibu dan anak itu menaiki tangga bus, Hestia ingin sekali berlari menyusul. Sayang sekali, tenaganya tidak sekuat itu untuk pergi. Kenapa dengannya? Kepanikan melandanya bagai gulungan ombak. Hestia menunduk, menurunkan sebelah tangannya saat melihat si pria misterius menoleh, menatap dirinya tajam. "Kenapa kau tidak segera naik ke bus, Nona?" "Aku ingin—," tubuhnya seringan bulu saat berhasil menyeret kedua kakinya berlari. Hestia melompati anak tangga, berpegangan pada tiang bus dan merasakan tatapan kelam itu mengekorinya sampai ke dalam. Segera, dia menurunkan sebelah tangannya yang terpasang gelang dengan mutiara unik pemberian Iris. Nyala redupnya pasti memancing perhatian pria dingin itu untuk melihat sekaligus penasaran. Matilah aku. Hestia tidak pernah merasa segelisah ini dalam hidupnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.8K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

Time Travel Wedding

read
5.2K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.1K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.1K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook