bc

Black Money and Love

book_age18+
12
FOLLOW
1K
READ
friends to lovers
confident
drama
tragedy
bxg
city
slice of life
like
intro-logo
Blurb

Bermula dari laporan sekumpulan nelayan yang menemukan dua orang tewas mengenaskan di dalam mobil. Laki-laki dan perempuan. Terdapat bekas luka tembakan di dahi yang mengejutkan. Tim divisi pembunuhan segera pergi untuk memeriksa.

Macken sedang berusaha menata kembali hatinya yang patah pasca sang tunangan melarikan diri di hari pernikahan mereka. Kembali untuk menyembuhkan rasa dan berkumpul bersama, sebelum berita itu membuat dunianya runtuh sekali lagi.

Sayangnya, Larisa berpikir ibunya masih tertahan di dalam kamar dan tertidur pulas. Mencoba mengabaikan berita yang datang bagaikan mimpi buruk di siang hari. Tetapi, mereka benar-benar mengatakannya. Ibunya telah tiada.

chap-preview
Free preview
one - who is the murders?
All the things that you never ever told me.   And all the smiles that ever gonna haunt me.   Could I? Should I?   .   .   .   .   "Bagaimana bisa kau menyikapinya setenang ini?" Rekannya menoleh, memandang teman satu akademi yang bekerja untuk cabang lain. Sementara dirinya ditempatkan di kota yang cukup jauh dari tempat kelahirannya, Tokyo. Karena ibunya menginginkan keluarga yang utuh berada di satu atap sama, ini alasannya kembali. "Apa?" "Kau baru saja gagal."Satu sake ditenggak sekaligus hingga tandas."Menikah.Pernikahan.Calonmu melarikan diri." Benar, karena dirinya hampir bangkrut. "Apa kita perlu membahasnya sekarang?" "Ya, kita perlu."Sahabat baiknya selama di akademi mengerling ke sekitar, melihat suasana yang tidak terlalu ramai dan situasinya mendukung untuk berbagi cerita."Kau terlihat patah, tetapi mencoba bersikap sok kuat.Aku tahu kau sedang bersedih. Demi Tuhan, hanya kurang dari satu bulan lagi." Macken kembali menegak birnya.Saat sahabatnya memesan sake, dia membutuhkan bir yang tidak terlalu kuat hanya untuk melepas beban menumpuk di dalam kepala. "Aku bisa mengatasinya." "Kau tidak bisa—," rekannya memotong sinis."Kau berpura-pura." "Keluargaku tidak ingin membahas ini lagi." Oda hanya diam, menatap sahabatnya dengan pandangan dalam sulit diartikan.Sebagai bentuk kepedulian, dia hanya ingin Macken bicara.Pernikahan yang gagal tentunya berdampak pada perasaan dan trauma. Sementara dirinya mengenal Macken sangat baik sejak mereka ada di akademi yang sama. "Kau benar.Karena pada akhirnya semua orang berpendapat kau yang salah," tukas Oda dingin."Ibumu bisa mengatasinya?Apa dia baik-baik saja? Bagaimana dengan ayahmu?" Macken menghela napas, meminta agar bartender memberikannya segelas bir dingin lagi."Ya, mereka bisa.Tidak perlu mencemaskan apa pun." "Kau beruntung." Sahabatnya mengulas senyum bangga.Menepuk bahu Macken yang berat sebagai hiburan.Manakala sahabatnya memang membutuhkan waktu selepas kegagalan.Mereka sudah berbahagia, bersenang-senang sebelum mimpi buruk itu datang. "Aku akan pindah ke Tokyo." "Kapan?" "Secepatnya." "Kau sudah bicara dengan kakakmu?" Macken melirik sekilas."Sudah. Dia bilang akan membantu mempercepat prosesnya. Ini karena desakan ibu.Dia ingin kami semua berkumpul." "Menyenangkan karena pada akhirnya kita berkumpul lagi." Oda menyentuhkan gelas kacanya pada gelas milik Macken, bersulang untuk merayakan berita baii.Sebelum Macken resmi dipindahkan, dia mengajukan cuti untuk beristirahat selama satu bulan penuh.Terhitung mulai minggu kemarin. "Kau akan pergi berlibur?" "Tidak." "Kau butuh uang?" Satu delikan tajam mampir."Tidak." "Oh, santai.Aku hanya bertanya."Oda mengulum senyum geli."Aku punya tabungan yang lumayan.Karena hidup sendiri tidak membutuhkan banyak biaya." "Kau lebih membutuhkannya." "Karena ibuku sakit?" tebak Oda muram. Macken memutuskan untuk diam, tidak lagi bersuara.Sejujurnya mereka memiliki masalah tersendiri dan bayaran bulanan cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.Tetapi ada kalanya sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Kasus yang menimpa dirinya dan Oda hampir sama. "Aku bisa membantu." "Tidak." Oda mendesah berat."Kau keberatan jika aku menolong.Membayar denda dan ganti rugi tidak semudah itu.Dia benar-benar keterlaluan." Tidak ada percakapan setelahnya.Pemandangan lepas danau yang senyap membuat keduanya melamun.Menikmati malam tanpa bintang.Macken menghabiskan waktu selama liburannya membantu ibu dan ayahnya, kadang-kadang membawa keponakannya bermain.Itu saja.Dia memilih menghibur diri bersama keluarga yang jarang terjadi.Kesibukan menjadi salah satu alasan penting. "Aku harus pergi." "Secepat ini?" Macken meringis kecil."Ibuku mengirim pesan.Dia meminta untuk membelikan cucunya sesuatu.Kakak tidak kembali malam ini karena sibuk." "Kau benar.Pergilah." Dan perjumpaan mereka berakhir sampai di sana. *** Tokyo, 6 Januari 20xx. "Selamat datang di rumah!" Letusan balon dan tiupan terompet menggema.Saat dirinya mendorong pintu kaca, melihat keluarga dan temannya hadir dalam perayaan untuk menyambutnya kembali pulang.Tokyo, tempat kelahirannya.Semua yang dia tinggalkan kembali. "Larisa, kami senang melihatmu kembali." Sang sahabat melempar dirinya ke dalam pelukan, membawa Larisa erat ke dekapan dengan mata yang berbayang, hampir menangis. Matanya memburam melihat sahabatnya yang merantau demi memperluas jaringan bisnis keluarga hingga ke negara orang.Dia perempuan cerdas dan mandiri, serta mampu melakukan segalanya sendiri. Larisa balas memeluknya, teman masa remaja yang masih dekat sampai detik ini. Saat dirinya memutuskan untuk menetap di tempat lain, Mirai yang menangis lebih keras setelah ibu dan kedua kakak kembarnya. Kini dia telah kembali, Mirai lagi-lagi menyambutnya dengan air mata. "Beri dia napas sebentar," sahut suara lembut dari belakang dan Mirai melepas pelukannya, menatap perempuan paruh baya itu dengan senyum manis. "Kami juga ingin memeluknya." Mirai dengan segera mundur, menghapus sisa air matanya dan melihat perempuan itu memeluk putri sulungnya. Larisa hampir menangis, merasakan dekapan sang ibu yang bergetar. "Putriku yang cantik.Kau kembali. Kau tahu berapa lama Mama menunggu saat yang sempurna ini?" Ibunya yang merencanakan perayaan luar biasa untuk menyambut kepulangannya dari Roma, Italia. Saat Larisa bilang akan kembali, ibunya sangat antusias. Dia bicara tentang perayaan dan pesta untuk menyambutnya.Larisa merasa itu tidak perlu, tetapi ibunya tetap memaksa.Dan di sinilah mereka sekarang, Four Seasons.Hotel nomor satu di Jepang. "Lihat, putri manja ini sudah berubah." Kalimat itu hanya berupa candaan saat Lamia memeluk sang adik. Menyeret saudara kembarnya yang lain, Lavia, dan mereka berpelukan. Sebagai si kecil dari tiga bersaudara, kedua kakak kembarnya memiliki sifat berbeda.Lamia cenderung berapi-api dan Lavia cukup tenang. "Dia bisa mati kekurangan napas," tegur Lavia pada saudaranya."Kau memeluk atau mencekiknya?" "Diam." Larisa terkekeh, membalas pelukan keduanya dan melihat sang ibu menangis, mengusap air matanya yang tumpah saat Mirai memberikan selembar tisu padanya. "Ini semua ide Mama." Lamia berbisik di telinga sang adik. "Aku meminta pesta diadakan di rumah dan Lavia tidak setuju.Dia bilang pesta harus diadakan di luar rumah.Hotel ini menjadi pilihan." Larisa mendengus kecil. "Apa Mama tidak peduli dengan biayanya?" "Kapan dia pernah peduli?" Lavia membalas dengan cibiran, melirik sang ibu yang mengulum senyum. Tahu bahwa ketiga putrinya senang bergosip satu sama lain dan topiknya tentang ibunya sendiri. "Kau tidak kembali setiap tahun.Apa kau berniat pulang lagi ke Roma? Tempat itu menyenangkan?" "Girls, Larisa sedang lelah sekarang.Kita tidak bisa mendesaknya bicara tentang Roma." Ibunya membuka tangan, menepuk lengan si kembar yang terkekeh geli."Biarkan dia bersantai di rumah.Sepuasnya. Kalau pun Larisa tidak ingin menetap, itu menjadi urusannya." Lamia meringis kecil."Oh, ajak aku pergi ke Italia. Aku ingin tinggal dan bersenang-senang di sana. Tokyo membuatku lelah." "Kau hanya akan menghabiskan uang." Teguran itu membuat Larisa tersenyum. Keluarganya berkumpul utuh, kecuali sang ayah yang telah lama berpulang. Saat itu usianya lima belas tahun ketika tahu bahwa kecelakaan mobil membawa nyawa ayahnya pergi untuk selamanya. Kecelakaan tunggal di sebuah tol pada pagi hari. "Aku hidup untuk bersenang-senang," tukas Lamia dan Lavia memutar mata bosan. *** "Kau tidak akan kembali ke Osaka lagi, benar?" Ibunya punya gangguan tidur beberapa bulan belakangan ini. Yang mencemaskan Macken saat sang ayah bicara tentang kesehatan istrinya sendiri. Kakaknya pun mengatakan hal yang sama. Kemungkinan besar karena memikirkan dirinya, putra bungsunya yang baru saja mendapat masalah. "Aku meminta mutasi ke Tokyo, bersama kakak.Osaka hanya akan menjadi masa lalu." Secangkir teh hangat terdorong maju. Macken terpaku sebentar sebelum meraih cangkir tersebut, bergeser agar sang ibu duduk bersamanya. "Ibu cukup lega mendengarnya.Maafkan sikap ibumu yang kekanakkan.Macken, aku tidak ingin terpisah lagi dengan kedua anakku.Keluargaku terasa lengkap sekarang." Macken hanya tersenyum. Melihat sang ibu jauh lebih lelah dan tua dari usianya. Ini semua karena dirinya. Macken merasa bersalah karena masalahnya membuat sang ibu ikut terluka. Pernikahan yang gagal, tuntutan denda dan ganti rugi yang membuat dirinya harus menanggung semuanya dan melibatkan banyak orang, termasuk keluarga.Uang tabungannya tersisa sedikit dan hutangnya tidak sepenuhnya lunas. "Ibu memiliki tabungan kalau kau—," "—aku bisa mengatasinya sendiri. Ibu, jangan terlalu cemas.Simpan tabungan itu untuk ibu sendiri. Ayah dan ibu lebih membutuhkannya. Bagaimana dengan Rio?Dia juga membutuhkannya.Aku akan bekerja lebih keras setelah cutiku berakhir." Sang ibu mengulurkan tangan, mengulum satu senyum manis untuk putranya. "Ibu bahagia melihatmu kembali.Semoga permasalahan ini cepat selesai dan kau menemukan kebahagiaan yang baru.Doaku menyertaimu, putraku.Terima kasih telah bertahan." Macken hanya tersenyum, tidak banyak bicara saat sang ibu memeluknya, menyandarkan kepala pada bahunya dan memejamkan mata. Kesibukan yang menyita banyak waktunya bersama keluarga.Macken bisa kembali hanya setiap tiga bulan atau enam bulan sekali.Dan kesempatan bagus ini perlu dimanfaatkan sebaik mungkin. "Mengapa ayah belum kembali?" "Dia berbelanja kebutuhan untuk berdagang.Waktunya selalu malam.Ibu juga menunggu, kadang-kadang mencemaskannya jika hujan turun." "Tidak dengan motornya?" Ibunya menggeleng."Menghemat bensin. Dia pergi dengan bis dan berjalan kaki setelahnya. Aku sudah memaksanya dan Shiro juga bersedia membelikan bahan bakar.Ayahmu terus saja menolak." Macken menghela napas. "Ayah keras kepala." Pintu rumah tiba-tiba terbuka.Suara sepatu terdengar saat Macken menoleh, melihat Shiro baru saja kembali di larut malam. Ini pukul satu dinihari, dan sang kakak memutuskan untuk pulang alih-alih tidur di kantor. "Kau kembali." Ibunya memberi senyum, membantu sang anak untuk masuk saat Shiro memeluknya, menepuk lengan Macken dan masuk ke kamar mandi guna membersihkan diri. "Rio sudah tidur.Macken membelikan makan malam enak untuk kami." Shiro muncul dari bilik kamar mandi dengan senyum manis. "Benarkah?Paman Macken yang terbaik.Pantas saja Rio senang bersamamu." "Kau berlebihan," selanya datar. Sang ibu membantu membereskan sisanya.Shiro berlalu memasuki kamar, berganti pakaian dan Macken masih setia duduk, mengamati jam yang terus bergerak. "Ayah belum pulang?" "Belum.Sebentar lagi.Kami juga sedang menunggu."Ibunya membalas dan Shiro masuk ke dapur guna mengambil air minum."Kau lapar?Ingin sesuatu?" Kepala putra sulungnya terlihat dari balik tirai pembatas dapur dan ruang tengah."Aku kenyang.Ibu yang seharusnya masuk kamar dan tidur." Sang ibu menggeleng dengan senyum. *** Macken membuka mata.Mendengar suara berisik dari luar pintu kamarnya cukup serius menganggu. Jam menunjukkan pukul tiga pagi dan perasaannya mulai tak menentu. "Apa yang terjadi?" Shiro nyaris terlonjak, terkejut karena melihat Macken hadir tepat di depan mata. "Kau belum tidur?" "Aku terbangun.Ayah?" "Oda memberi kabar tentang kasus temuan baru.Pembunuhan. Seratus meter dari dermaga di dalam sebuah mobil mewah." Macken mengangkat sebelah alisnya tinggi. "Jam berapa?" "Baru saja.Laporannya sekitar sepuluh menit lalu.Mereka sedang pergi untuk melihat situasi.Semoga tempat perkara belum rusak.Ini akan menyulitkan kami nantinya." Shiro melihat sang adik tiba-tiba bergegas masuk ke kamar, meraih jaket dan topinya. "Macken, mau ke mana?" "Aku ikut denganmu." "Kau lupa jam berapa ini?" tanya Shiro setelah menarik lengan sang adik dengan kasar. "Ibu baru saja tidur.Jangan menciptakan kegaduhan yang serius." Sorot kelamnya melirik pintu kamar yang tertutup rapat dan mendesah."Ibu tidak akan terbangun.Aku perlu tahu kasus pertama ini.Apa kau melarangku?" Mereka akan terus berdebat sampai nanti. Pemicunya hanya karena Macken keras kepala dan adiknya tidak mau mengalah.Shiro menghela napas, menutup pintu dan menuruni anak tangga menuju mobilnya. "Terserah padamu." Macken pergi menuju mobil tuanya.Melihat Shiro yang diam, memandangnya lekat."Kenapa?" "Kau seharusnya bersenang-senang, berlibur.Ini adalah tugasku dan timku.Kasus pembunuhan termasuk bagian dari pekerjaan kami.Aku tidak ingin melibatkanmu." "Aku yang memaksakan diri," kata Macken cepat sebelum masuk dan menyalakan mesin mobilnya sebelum berlalu pergi. Dua puluh menit mereka sampai.Shiro yang lebih dulu berlari menghampiri tempat perkara kejadian dan Macken hanya mengamati, mengawasi dari jauh.Tim divisi pembunuhan dari kepolisian Tokyo bekerja serius saat garis kuning dilebarkan demi menjaga tempat perkara tetap aman. Oda melihat sahabatnya tiba.Rautnya yang serius mendadak pucat, matanya melebar dan cekung. Saat tangannya menyentuh Sara, respon yang sama juga turut diberikan wanita itu. Shiro mengintip ke dalam dan tiba-tiba terdiam.Mulutnya mengering, bungkam seribu bahasa.Matanya turut melirik Oda dan Sara, anak buahnya.Sebelum mengalihkan matanya ke arah Macken yang diam. "Macken," Sara berlari menghampirinya dan hanya dibatasi garis kuning di antara mereka."Kenapa kau datang?" "Apa yang terjadi?" Sara tampak bingung.Rekannya satu akademi bersama Oda juga terlihat resah."Kasus baru.Pembunuhan.Kami menduga ini kasus berencana." "Pembunuhan berencana?" Kepala Sara terangguk.Cukup sulit menjelaskan di saat dirinya terlalu piawai dan sigap dalam segala hal.Macken menaruh curiga yang terlampau besar, membuatnya menabrak larangan dan berjalan masuk melihat situasi. Oda tidak lagi mampu mencegah.Sama halnya dengan Sara yang terdiam.Melihat teman baik mereka akhirnya memasuki olah perkara kejadian dan tiba-tiba terdiam. Saat pintu itu terbuka, sosok sang ayah yang duduk di sebelah perempuan paruh baya terlihat jelas. Peluru itu menembus kepalanya hingga berlubang. Peluru yang sama turut melubangi d**a dan perut perempuan asing tersebut. Macken membeku, lidahnya kelu dan seisi mulutnya terasa kering. Terutama ketika Shiro memutuskan untuk menutup pintu mobil, menarik sang adik mundur. Tubuh Macken terasa kaku, matanya melebar penuh luka. Itu ayahnya. Tertembak. Dia sudah tewas. "Itu ayah.Di dalam mobil itu, di sana." Macken mundur, menatap Sara dan Oda yang balas memandangnya sedih.Luka itu menari-nari, membayangi matanya.Keduanya menaruh simpati berlebih saat Macken beranjak menuju mobilnya, lalu terduduk lemas.Mencoba sekeras mungkin menahan tangisnya sendiri. *** Kaito Shimura dan Gina Misaki. Nama itu terlalu jelas terlihat matanya.Bukti mengarah pada identitas mereka yang masih utuh. Tidak ada satu pun barang hilang, termasuk isi tas dari perempuan kaya yang memiliki mobil tersebut. Tidak ada tanda-tanda pemberontakan.Semua terjadi begitu saja.Kasus melebar dengan banyak spekulasi. Divisi dari tim pembunuhan sedang mendalami kasus. Saat Macken diam hingga matahari meninggi, duduk di kursi Oda dan menunggu hingga rekannya mendapatkan bukti yang cukup tentang kematian keduanya.Dia hadir di tempat ini masih dengan menunggu.Tidak mampu menginjakkan diri kembali ke rumah. Wajah sang ibu yang sedih membayangi kepalanya sejak tadi. "Aku menemukan informasi lengkap tentang keluarga Misaki." Sara menarik diri dari kursinya, merapatkan tubuhnya pada meja kerja Oda dan memberikan Macken hasil temuannya."Kau melihatnya dari keterangan ini.Dia adalah perempuan kaya dengan segudang bisnis mentereng.Seorang janda dengan tiga anak.Suaminya meninggal lima belas tahun lalu karena kecelakaan mobil." Beberapa gambar memberikan bukti bahwasanya memang Gina benar-benar seorang sosialita kaya raya.Mobil itu adalah hasil dari keluaran brand ternama, Lexus.Yang tentunya tidak berharga murah. "Aku belum menemukan bukti yang kuat terkait antara hubungan ayahmu dan dirinya.Dilihat dari mana pun, tidak ada relasi dengan keluargamu. Satu sama lain tidak saling mengenal." Macken mengernyit."Apa ini kasus pembunuhan berbeda? Ayahku di tempat lain dan perempuan itu di mobil?" "Tidak."Sara menggeleng."Buktinya tidak sekuat itu. Sementara hasil kesimpulan penyelidikan mereka dibunuh di tempat yang sama. Di dalam Lexus tersebut.Keduanya sama-sama ditembak mati." "Kasus ini akan terpecahkan. Oda dan tim kami sedang pergi ke rumah perempuan tersebut. Kami akan bertanya beberapa saksi sekaligus mengabari." Sara menatap Macken cukup lama.Raut wajahnya terlihat sedih dan berduka.Dia menepuk bahu sahabatnya, memberi senyum."Semua akan membaik, Macken.Aku tahu kau belum bisa mengabari ibumu, tetapi kau harus mengabarkannya.Dia perlu tahu." Mereka bersahabat sudah cukup lama. Sara, Macken dan Oda ada di akademi kepolisian yang sama, berada di satu kelas dan divisi sama. Mereka akrab satu sama lain, sejak belasan tahun berlalu hingga detik ini. Pertemanan itu masih terjalin kuat.Sara satu-satunya perempuan di antara mereka berdua. Sementara Macken hanya diam, memandang lekat gambar Gina Misaki yang menarik perhatiannya.Sejujurnya, dirinya tidak terlalu kenal dengan jajaran orang kaya yang ada di Tokyo.Ini bukan wilayahnya. Korelasi kematian sang ayah dan perempuan kaya ini sama sekali tidak masuk akal. "Aku tidak tahu kalau ayah menyimpan rahasia dari kami." Sara menghela napas, memandang Macken sekali lagi sebelum tersenyum."Semua orang memiliki rahasia, bukan? Manusia mempunyainya dan tidak bisa berbagi dengan orang lain. Aku mengenal ayahmu sebagai orang baik.Ini hanya kesalahpahaman.Kebenaran akan terungkap." Setelahnya pintu terdorong lebar.Oda masuk sembari menyerahkan laporan baru pada Sara. "Salah satu dari putri Gina akan datang.Aku yang bertugas mencari bukti itu darinya." Macken berpaling, memandang Oda yang kembali bergegas setelah memberitahu keduanya bahwa dia harus pergi menemui saksi. *** Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya akan pergi ke kantor polisi karena sesuatu. Berkaitan dengan keluarganya yang selalu bersih dari semua skandal. Larisa melamun, menatap lorong yang ramai dengan beberapa orang yang sibuk berlari ke sana kemari. Langkahnya nyaris goyah.Saat matanya menatap tulisan tempat yang dituju, air matanya hampir tumpah. Seseorang datang ke rumah, mengabari bahwa ibunya menjadi korban pembunuhan bersama satu seorang pria lain di dalam mobil. Lexus itu memang milik ibunya, mobil kesayangannya. Kedua matanya memburam. Larisa mengambil napas panjang saat dia bersedia pergi ke kantor polisi sementara kedua kakak kembarnya ke rumah sakit. Sampai detik ini, Larisa masih melihat segalanya sebagai mimpi. Oda bangun dari kursinya, melihat tamu yang ditunggu telah hadir.Mengamati penampilan Larisa yang berantakan sekarang, dia langsung mengenali bagaimana kelas mereka berbeda cukup jelas. Larisa duduk di kursi yang telah disiapkan.Iris teduhnya memandang Oda sekilas sebelum menunduk dalam."Aku datang sendiri.Kedua kakakku pergi ke rumah sakit untuk melihat Mama." "Kami harus tetap meminta keterangan dari kedua kakak kembarmu."Oda menjelaskan beberapa poin penting penyelidikan. "Keteranganmu sangat membantu proses lebih lanjut." Wanita itu hanya diam. Dan rasa iba mengaliri hati Oda secara singkat.Dilihat dari segi mana pun, putrinya tidak terlibat dengan kematian ibunya sendiri. "Ke mana malam itu ibumu pergi?" "Mama mengadakan pesta di Four Seasons pukul delapan malam sampai sebelas. Aku baru saja tiba dari Italia pukul lima sore." Oda mengerutkan kening."Kau baru saja kembali?" "Ya, itu perayaan menyambutku pulang.Sudah tiga tahun aku tidak kembali ke Tokyo. Mama yang selalu pergi untuk melihatku di Roma." Semua keterangan tertulis dalam laporan.Oda bertanya beberapa pertanyaan hingga menjurus tentang Kaito, ayah dari sahabat sekaligus kepala timnya. "Aku tidak mengenalnya," kata Larisa dingin, menatap gambar Kaito dari selembar kertas yang Oda berikan."Siapa dia?Apa pekerjaannya? Bisnis yang sedang dijalankan?" "Dia hanya pedagang ikan di pasar umum." Larisa mencibir, wajahnya terlihat mencemooh. "Seumur hidupku, aku tidak pernah melihat Mama berbelanja di pasar. Pedagang ikan?Apa dia orang miskin?" "Kehidupannya menengah," balas Oda lirih."Kebetulan ini membuat kami curiga. Kami melihat di antara keduanya saling mengenal satu sama lain." "Kau bercanda." Ekspresi luka itu bercampur kemarahan.Larisa memandang anggota kepolisian di depannya dengan sinis."Apa kau sedang bergurau? Mama tidak mungkin terlibat dengan pria yang terlihat seperti penjilat ini!" Pintu ruangan terdorong kasar, menabrak dinding dan membuat Larisa menoleh, panik.Begitu pula Oda yang lekas melompat bangun, melihat kehadiran Macken di tengah wawancara saat kondisinya tidak stabil cukup meresahkan. "Kau bicara apa? Penjilat?" Larisa mendengus, melemparkan tatapan sinisnya ke arah pria itu."Kau siapa?" Sara menerobos masuk, menghadang keduanya dan meminta maaf pada Larisa yang tersulut.Kondisi mental keduanya sama-sama tidak stabil.Mereka baru saja kehilangan dan pemicu sepele bisa membuat keduanya meledak. "Jaga bicaramu," sungut pria itu dingin. "Jangan pernah bicara buruk tentang ayahku." Oda menghela napas berat.Saat Sara mencoba menarik tangan sahabatnya dan sia-sia karena Macken terlalu kuat."Macken, tenang dulu." "Pedagang ikan itu ayahmu?" tunjuk Larisa pada lembar foto yang ada di atas meja."Kau pikir siapa dia bisa menarik perhatian ibuku?" "Kau tidak punya hak mencelanya." "Kau juga tidak punya hak marah padaku.Jaga sikapmu." Sara membungkuk pada Larisa, mendorong d**a Macken pergi saat Oda ikut membantu.Situasi semakin runyam terasa, suasana berubah lebih mencekam saat Larisa tersengal karena emosi. "Dia putranya? Bagaimana bisa anggota polisi bersikap kurang ajar pada orang lain?" Oda menatapnya datar, meminta Larisa untuk duduk dengan tenang."Dia sedang berduka, serupa denganmu.Kondisinya tidak stabil dan belum pulang sejak semalam.Kami memperkirakan kejadian itu terjadi pada pukul dua dinihari." Larisa kembali duduk, mendesah panjang. Satu jam berlalu dan Oda memberikannya izin untuk kembali. Laporan baru telah selesai dibuat dan Larisa meminta kerja sama agar kasus ini cepat teratasi. Saat pintu terbuka, dirinya melihat pria itu berbincang bersama seorang perempuan yang kurang lebih memiliki warna rambut merah gelap mencolok.Matanya berhenti sebentar untuk mengamati sebelum bola mata gelap itu bergulir ke arahnya. "Aku akan membuktikannya padamu." Macken tiba-tiba bersuara, menghentikan langkah Larisa sebelum menjauh. "Ayahku tidak bersalah.Keluargaku tidak pernah terlibat dengan keluargamu." Larisa hanya mendengarkan tanpa reaksi berarti sebelum membawa dirinya menjauh dari lorong kantor polisi menuju rumah sakit.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook