bc

KUJUAL KEGADISANKU DEMI IBU

book_age18+
3.2K
FOLLOW
17.4K
READ
revenge
goodgirl
brave
drama
twisted
sweet
brilliant
office/work place
others
virgin
like
intro-logo
Blurb

Kesembuhan Ibu adalah yang utama bagiku. Meski aku harus tercebur ke dalam lumpur dan merangkak di dalam api neraka. Aku menjual kegadisanku hanya demi kesembuhannya. Namun, ternyata usahaku sia-sia.

Aku membenci dia. Orang yang telah berjanji menyembuhkan ibuku hingga aku menghinakan diri di depannya.

Aku bersumpah akan mengembalikan semua rasa sakit ini padanya!

Rena Aleandra.

chap-preview
Free preview
Sebuah Tawaran
Bandung, 3 Maret 2008 "Bu, Rena pergi dulu ya," pamit gadis itu pada seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di sebuah sofa usang. Tatapan wanita itu sayu, wajahnya yang pucat menyiratkan jika dia tidak sedang baik-baik saja. "Bu, tangan Ibu dingin sekali. Ibu sakit?" tanyanya, saat mencium tangan itu dengan takzim. Wanita itu sedikit menarik sudut bibirnya lalu menggeleng pelan. "Ibu, tidak apa-apa Ren. Mungkin Ibu hanya kecapaian," jawabnya lemah. "Ya sudah, hari ini Ibu tidak usah jualan dulu ya? Ibu istirahat saja. Bayu, nanti sambil berangkat sekolah, tolong kamu mampir ke rumahnya Bu Titin, dan bilang kalau hari ini Ibu tidak bisa menjajakan kue buatannya. Biar dijual sama yang lain," pinta Rena pada Ibu juga adiknya. Bayu mengangguk. "Rena berangkat dulu ya, Bu. Mudah-mudahan hari ini banyak setrikaan yang Rena dapat, biar pendapatan Rena juga banyak. Jadi, kita bisa makan enak ya?" Ditanggapi senyuman getir dari sang Ibu. Gadis itu pun beranjak meninggalkan rumah. Namun, baru beberapa langkah dia meninggalkan rumah, terdengar teriakan adiknya dari dalam rumah. Rena berbalik menghambur ke sumber suara. "Ada apa Bayu?" tanyanya setengah berteriak. "Ibu, Mbak!" Rena menghambur pada ibunya yang tergeletak tak sadarkan diri. Terlihat darah menetes dari sela pahanya. "Kamu sekarang pergi sekolah, sebelum ke Bu Titin, tolong kamu panggilkan Ratna untuk nolong mbak bawa Ibu ke puskesmas," pinta Rena tanpa jeda. "Cepetan Bayu!" pintanya lagi. Anak itu mengangguk, lalu segera berlari ke luar setelah meraih tas usangnya di meja. . "Sudah berapa lama Ibu mengalami pendarahan?" tanya sang Dokter yang tengah berhadapan dengan Rena, sementara Bu Lastri masih terbaring lemah di brankar. "Sudah beberapa bulan ini, Dok. Tapi Ibu mengira mungkin karena mau menopause jadi datang bulannya tidak berhenti. Apakah ada sesuatu yang serius, Dok?" tanya Rena penasaran. "Hmm, saya pun belum bisa memastikan. Karena itu, Ibu Lastri harus dibawa ke rumah sakit besar untuk general check up. Jadi, sekarang saya berikan rujukan untuk melanjutkan pemeriksaan. Ini harus segera, karena kasihan, sepertinya Bu Lastri lemah karena kekurangan darah," jelas sang Dokter seraya menyerahkan selembar kertas yang telah ditandatanganinya. Setelah itu, dengan menggunakan angkot Rena pun segera membawa ibunya ke rumah sakit di tengah kota. Beruntung, kemarin Rena baru menerima gajinya sebagai buruh setrika di laundry tak jauh dari rumahnya. Tak besar memang, bulan ini Rena hanya mendapat satu juta rupiah. Namun, itu biasanya cukup untuk biaya hidup selama sebulan. Ditambah dengan penghasilan ibunya berjualan kue keliling. Sekarang, uang itu harus rela dia gunakan untuk berobat ibunya. Setelah tiba di UGD, Bu Lastri segera ditangani tim dokter. Selang infus sudah terpasang di lengan kirinya. Nafasnya terlihat lemah. Mukanya semakin pucat. . Hari ke dua di rumah sakit, uang pegangan Rena sudah hampir habis. Itu pun hanya digunakan untuk membeli obat-obatan. Rena bahkan belum tahu berapa biaya yang harus dibayarnya nanti. "Keluarga Bu Lastri," panggil seseorang yang membuyarkan lamunan gadis cantik itu. Rena menoleh. "Iya, Sus?" "Mbak dipanggil ke ruangan dokter Ferdy, sekarang. Ada yang harus disampaikan sama Mbak," ujar suster itu. "Oh, iya, baik suster. Saya akan ke sana sekarang," jawab Rena lalu keluar dari ruangan dimana ibunya dirawat, menuju ruangan dokter yang di gedung sebelah. Setelah menaiki lift, Rena sampai di lantai toga, di mana klinik kebidanan berada. Deretan ruangan dokter terlihat di sana. Rena menuju ruangan ujung, dimana tertulis nama Dr.Fredy Abizard A, SpOG. Pelan Rena mengetuk pintunya. Terdengar sahutan dari dalam. Suara baritonnya sudah Rena hapal, karena beliaulah dokter yang menangani ibunya. Rena pun membuka pintu berwarna abu itu perlahan. Dokter Fredy duduk seorang diri. 'Kemana suster yang biasa membantunya?' tanya Rena dalam hati. 'Oh, mungkin karena jadwal praktek sudah habis,' pikirnya lagi. "Silakan duduk!" pinta Dokter Fredy. Rena menurut. Mereka pun duduk berhadapan. Hati Rena kebat-kebit, seakan menunggu putusan hakim. Dia takut dengan apa yang akan dikatakan oleh dokter itu. Namun, apa pun yang terjadi, dia harus siap menghadapinya. "Mbak Rena, ada yang harus saya sampaikan saat ini. Tapi, tolong kuatkan hati untuk mendengarnya!" Dokter itu menjeda kalimatnya, lalu mengembuskan napasnya kasar. "Ibu kamu, terkena kanker serviks stadium lanjut. Beliau harus segera dioperasi. Kalau tidak ... harapan hidupnya kecil sekali." Dokter itu menjeda kalimatnya demi melihat tatapan nanar yang ditunjukkan Rena. Sebuah kabar yang begitu memukul jiwanya. Sebuah penyakit berbahaya tengah diderita ibunya. Kenyataan yang lebih pahit lagi, bagaimana caranya ia bisa menyelamatkan ibunya, sedangkan untuk membeli obat ibunya hari ini, untuk makan dia dan adiknya pun entah cukup atau tidak. "Ha-harus operasi, Dok? Kapan? Berapa biayanya?" berondong Rena. Terlihat jelas raut muka cemas dan bingung di wajahnya. "Secepatnya! Dan untuk masalah biaya, bisa ditanyakan ke bagian administra--" "Berapa, Dokter? Sejuta? Dua ju--" "Puluhan juta!" potong Dokter Fredy membuat Rena makin lemas. "Puluhan juta, Dok?" Wajah itu tampak semakin gundah. Tubuhnya bagai luruh tak bertulang. Bulir bening mulai menggenang. "Pu-lu-han juta? Dari mana uang sebanyak itu?" gumamnya tanpa sadar. Dia terisak tanpa memedulikan orang di depannya. "Saya bisa bantu!" ucap Dokter Fredy, sontak membuat Rena mendongak, memandang pemilik wajah yang terlihat gagah. Sebuah kalimat yang bagai angin segar di telinganya. "Bagaimana caranya, Dok? Tolong katakan pada saya! Saya akan lakukan apa pun demi kesembuhan ibu saya!" ujar Rena bersemangat. Matanya nampak berbinar. "Saya bisa membantu, tapi tentu saja tidak gratis! Saya suka dengan gadis yang masih pera--" "Katakan saja, Dokter! Tidak usah bertele-tele!" sergah Rena tak sabar. Dokter itu tersenyum. "Apa kamu masih perawan?" Sebuah pertanyaan membingungkan di telinga Rena. Namun, saat ini yang ada di otaknya adalah kesembuhan ibunya. Pikirannya buntu. "Maksud Dokter?" tanya Rena bingung. "Jawab saja! Apakah kamu masih perawan?" ulangnya lagi. "Ya, saya masih perawan. Lalu apa yang harus saya lakukan?" ucap Rena setengah membentak. "Saya berani membeli keperawananmu. Seratus juta. Bagaimana?" Mata Rena membulat tak percaya. "Apa? Anda sudah gilakah, Dokter? Memanfaatkan kesedihan seseorang untuk kepentingan anda sendiri?!" teriak Rena di wajah Fredy. Dokter itu tersenyum tenang. "Tidak! Saya justru menawarkan bantuan, dengan imbalan ... keperawananmu," ucapnya. Rena menggeleng. "Itu fair. Kau mendapatkan kesembuhan ibumu, dan ... aku mendapatkan keperawananmu. Itu adil bukan?" ujarnya yang sukses membuat napas Rena tersengal karena sesak. Air mata itu sudah tidak bisa terbendung sejak tadi. Rena bangkit, memandang bengis pada lelaki paruh baya yang ada di depannya. Plak! Sebuah tamparan berhasil mendarat di pipi putih dokter itu. Meninggalkan bekas merah di sana. Rena segera angkat kaki dari ruangan itu. Dengan d**a yang sesak dan hati yang perih. Air mata berduyun-duyun tumpah dari pelupuknya. . Rena duduk termenung di sebelah tempat tidur ibunya. Sesekali memandangi wajah kurus dan pucat itu, dengan tatapan nanar. Wanita tangguh yang telah berjuang membesarkannya, setelah kepergian suaminya. Banting tulang agar bisa menyekolahkannya, walaupun hanya sampai SMA. Kini, wanita itu terbaring lemah tak berdaya. Sementara Rena merasa menjadi orang yang tidak berguna karena tidak bisa berbuat apa-apa. Kebingungan kembali menyerangnya. Dari mana ia bisa membayar biaya rumah sakit nanti? Bagaimana jadinya jika ibunya tidak dioperasi? Terngiang kembali tawaran dari Dokter Fredy yang yang ingin membantunya, dengan sebuah imbalan. Rena menutup wajah dengan kedua tangannya. Memikirkan keruwetan yang harus dihadapinya seorang diri. Mondar-mandir di ruangan itu. Menimbang apa yang harus dilakukan. Isakan tertahan membuat dadanya makin sesak. Jika bisa, dia ingin sekali berteriak dan meraung untuk mengungkapkan rasa gundahnya. Namun, dia ingat kondisi Ibu di sebelahnya, dan kondisi pasien yang juga berada di ruangan ini. "Mbak, keluarganya Bu Lastri? Ini resep obat yang harus dibeli untuk hari ini," ucap suster dan memberikan lembar resep. Rena menerimanya dengan berat. Walau begitu dia langkahkan juga kakinya menuju apotek. Setelah antre beberapa saat, akhirnya nama Lastri dipanggil. Rena segera mendekat ke loket. "Totalnya, empat ratus tiga puluh lima ribu, Mbak," ucap petugas apotek. "Berapa?" Rena tersentak kaget. "Empat ratus tiga puluh lima ribu, Mbak!" ulang perempuan berseragam putih itu. Rena menatap isi dompetnya yang hanya tersisa selembar warna biru dan dua lembar warna hijau. "Maaf, Bu, uang saya kurang," ucap Rena lemah, lalu meninggalkan ruangan itu. Dia berjalan gontai. Tubuhnya bagai kehilangan kekuatan. Bingung dengan semua keadaan. Ibunya yang terbaring lemah, adiknya yang entah bagaimana nasibnya di rumah. Uang yang tidak seberapa. Rena berjongkok di sudut taman, di bawah rimbunnya pohon bidara. Dia menangis, meluapkan rasa sakitnya. Kepedihan hidupnya. Setelah beberapa saat, Rena bangkit. Dia berjalan dengan penuh semangat ke ruang perawat. Berdiri tegap di sana. "Suster, apakah Dokter Fredy masih ada di ruangannya?" tanya Rena berapi-api. Sesaat suster itu melongo. "Dokter Fredy? Oh dia sudah pulang, Mbak. Ada perlu sama beliau?" tanyanya. Rena mengangguk. "Bisakah saya minta tolong untuk menelpon Dokter Fredy? Tolong bilang, dari Rena anaknya Bu Lastri. Saya mohon, Sus!" rajuk Rena. Suster itu mengangguk. "Sebentar, Mbak. Pakai ponsel saya aja ya?" ucapnya, lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Tak lama terdengar suster itu bercakap-cakap. "Dokter Fredy, maaf, ada keluarga pasien yang ingin bicara dengan anda. Namanya Mbak Rena, keluarganya Bu Lastri, katanya." Terlihat suster itu manggut-manggut lalu menyerahkan ponselnya pada Rena. "Ini, Mbak. Dokter Fredy bersedia bicara dengan Mbak." Rena segera menyambar ponsel itu dan didekatkan ke arah telinganya. Dengan sedikit berbisik, tetapi penuh penekanan, dia berucap, " Saya terima tawaranmu! Tolong beritahu, di mana dan kapan?! Dan ... tolong segera operasi ibuku!" ucapnya tegas, disertai derai air mata.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
101.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook