bc

MIRROR

book_age18+
529
FOLLOW
1.8K
READ
FBI
kickass heroine
powerful
brave
CEO
bxg
mystery
scary
witchcraft
horror
office lady
like
intro-logo
Blurb

Kontes Menulis Innovel II -- The Girl Power

WARNING 18+

AREA DEWASA

Bagaimana kalau seandainya cerita Snow White bukan hanya dongeng semata? Bagaimana kalau cermin ajaib Sang Ratu ternyata ada?

Miranda Savena, perempuan beruntung yang menemukan cermin itu. Lalu, masihkah Vena menyebutnya sebuah keberuntungan kalau ternyata cermin itu memakan korban?

Cover by @Nerma

Pict

https://pixabay.com/photos/woman-mirrors-psyche-depression-3092412/

Font by PixelLab

chap-preview
Free preview
Bab 1
Pagi datang dengan ditemani sinar matahari yang cerah. Sesosok tubuh yang masih bergelung dalam selimut tebal perlahan membuka mata begitu terdengar dering alarm menyapa indra pendengarannya. Tangan yang tadi masih berada di dalam selimut terulur ke arah nakas untuk mematikan suara yang sudah mengganggu kenyamanan tidurnya. Dengan malas Miranda Savena Curly bangun. Seandainya dia tidak harus bekerja, sungguh dia tak akan bangun. Rasanya masih mengantuk saja. Dia baru tidur selama beberapa jam menjelang pagi setelah selesai mengerjakan tugas dari atasannya. Nicholas Craig bukanlah orang yang baik hati. Pria itu lebih cenderung menindas bawahannya. Sangat menyebalkan memang, dan anehnya banyak perempuan menyukai pria menyebalkan itu termasuk dirinya. Sialan! Cepat Vena, sapaan akrab perempuan berusia dua puluh lima tahun itu, menyingkap selimut dan menurunkan kaki. Menyeretnya dengan sangat terpaksa ke kamar mandi. Dia harus mandi sekarang, sarapan, dan berangkat ke kantor tepat waktu kalau tak ingin di pecat. Sudah dikatakan, bukan, kalau Nicholas Craig bukalah pria yang baik hati. Pria itu tak akan segan memecat karyawan yang terlambat. Tak peduli seloyal apa mereka pada perusahaan tetap akan dipecat kalau tidak mematuhi aturan, salah satunya untuk tidak datang terlambat. Beruntung dia bis bangun tepat waktu seperti biasa, kalau tidak dia bisa kehilangan pekerjaan yang susah payah dia dapatkan. Vena adalah seorang sekretaris dari Nick's Enterprise. Perusahaan raksasa yang bergerak di bidang otomotif. Dia mendapatkan pekerjaannya setelah menyingkirkan puluhan ribu pelamar lainnya melalui tahap seleksi. Sungguh perjuangan sulit yang tidak akan dia lupakan. Setelah mendapatkan pekerjaan pun dia dituduh melakukan kecurangan dengan merayu bos mereka. Astaga, tak mungkin dia melakukan hal yang memalukan itu. Dia mendapatkan pekerjaannya secara jujur, dia menjadi sekretaris pribadi karena kepintarannya, bukan karena tubuh dan kecantikannya. Lagipula, dia bukan perempuan yang cantik. Penampilannya juga jauh dari kata menarik. Tidak mungkin Nick mau dengannya, meskipun dia telanjang menggoda Nick tidak akan tertarik. Vena sangat tahu tipe perempuan seperti apa yang bisa menarik perhatian bos-nya. Perempuan dengan penampilan dan kecantikan pas-pasan seperti dirinya tidak masuk dalam kriteria yang akan dikencani seorang Nicholas Craig. Vena sadar diri dengan itu, makanya dia tak pernah berani menggoda apalagi sampai mengungkapkan perasaan. Rasa kagum dan sukanya cukup disimpan di dalam hati saja. Dia cukup tahu diri, tak mungkin Nick meliriknya. Menjadi sekretarisnya saja sudah lebih dari cukup. Setiap karyawan Nick's Enterprise lebih banyak menggunakan kendaraan publik daripada mobil pribadi. Hanya ada beberapa orang saja yang menggunakannya, termasuk Nick sendiri. Di antara yang menggunakan kendaraan umum termasuk Vena. Meskipun memiliki sebuah mobil sedan, Vena tetap menggunakan kereta listrik bawah tanah untuk mengantarkannya ke tempat kerja. Dia sudah terbiasa dengan keadaan yang ramai, rasanya sangat membosankan saat mengemudikan mobil seorang diri. "Vena, kau sangat beruntung tidak terlambat hari ini. Vena mengernyit mendengar perkataan Amber Lynch, salah satu rekan kerjanya. "Ada apa?" tanya Vena heran. "Bos besar sudah tiba, tapi keluar lagi karena ada keperluan mendadak." Vena mempercepat langkah menuju mejanya yang terletak tepat di depan ruangan Nick. Dia tak ingin bos-nya yang tampan itu sampai tahu kalau pagi ini dia tiba sesudah dirinya. Namun, ini sungguh di luar dugaan. Tumben sekali Nick tiba pagi-pagi, bahkan sebelum jam kerja dimulai. Vena dengan cekatan mempersiapkan semuanya. Tangannya yang sibuk merapikan mejanya berhenti mendengar suara tawa cekikikan Amber. Vena mengembuskan napas melalui mulut perlahan, dia baru sadar kalau Amber hanya mengerjainya. Seharusnya dia sadar itu, tak mungkin Nick datang ke kantor sebelum pukul sepuluh pagi. Satu lagi, seharusnya dia juga tahu, tak mungkin karyawan populer dan cantik seperti Amber menegurnya kalau bukan untuk mengerjai. Vena tersenyum masam. "Terima kasih, Amber," ucapnya datar. Tidak, Vena tidak kesal. Dia sudah terbiasa. Selama setahun bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ini, dia tak pernah lepas dari bullyan. Sudah dikatakannya bukan kalau kebanyakan para rekan kerjanya menuduhnya yang tidak-tidak demi mendapatkan posisinya sekarang. Namun, meski sudah terbiasa tetap saja rasanya kesal dsn sedih. Siapa pun tahu kalau fitnah lebih kejam dari pembunuhan, tapi tetap saja mereka melakukannya. Amber melenggang, meninggalkan meja Vena tanpa rasa bersalah sedikit pun. Bahkan wajah cantiknya yang dipoles dengan riasan cukup tebal tersenyum puas. Vena melihatnya, sekali lagi dia tersenyum miris. Mengoloknya sudah menjadi suatu kesenangan bagi rekan-rekan kerjanya. Setiap hari ada saja yang akan dilakukan mereka agar dia merasa tidak betah dan berhenti bekerja, atau setidaknya dia mengakui apa yang dituduhkan mereka. Jangan bercanda! Dia tidak akan mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya. Kenyataannya dia memang tidak pernah melakukan hal itu. Dia mendapatkan pekerjaan ini secara adil dan jujur. Itu yang membuat Nick mempekerjakannya. Vena menyadari, kalau dia memang tidak menarik. Semua yang ada padanya biasa-biasa saja, tidak ada yang dapat dibanggakan dari penampilan fisiknya. Jujur saja, dia terganggu dengan itu semua. Dia juga ingin memiliki wajah yang cantik, kepribadian dan berpenampilan menarik. Sayangnya dia tidak memiliki semua itu. Dia hanya diberikan kepandaian melebihi orang-orang yang ikut seleksi dan ujian pemilihan sekretaris untuk bos besar mereka. Lalu, apakah dia salah karena sudah lulus dari seleksi itu dan terpilih yang menjadi sekretaris? Tentu saja tidak! Dia tidak akan melepaskan pekerjaan yang sudah didapatnya dengan susah payah. Bekerja di perusahaan ini adalah nyaris impian semua orang, jangan harap dia akan mengundurkan diri dari pekerjaannya hanya karena tuduhan tanpa bukti itu. Semakin mereka menuduh dan membullynya, semakin dia bersemangat untuk membuktikan kalau apa yang mereka tuduhkan tidak benar. Selama setahun dia bekerja, selama itu juga teman-teman membully dan mengejeknya, menuduh dengan tuduhan tak berdasar. Semuanya membuatnya jadi terbiasa, dan dia merasa semuanya seperti biasa-biasa saja. Tidak ada lagi kesal apalagi sedih. Vena menganggap semuanya merupakan cara rekan-rekan kerjanya menyambutnya. Namun, tak dapat disangkal kalau dia juga merasakan sakit hati karena semakin dua menyangkal, mereka semakin menuduh dan menyudutkannya. Seandainya saja dia bisa membuktikan kalau apa yang dituduhkan padanya tidak benar. Seandainya saja ada bukti yang dapat mematahkan tuduhan mereka, tentu dia akan sangat senang. Dia akan dapat membungkam mulut-mulut busuk mereka. Vena duduk di kursinya, dia baru selesai membereskan mejanya yang selalu saja berantakan, padahal dia selalu membereskannya sebelum pulang. Vena mengembuskan napas, tangannya terangkat memijit pelipis. Sudah tadi malam kurang tidur, paginya di kantor dia sudah mendapatkan bullyan saja padahal baru tiba. Terkadang Vena menyesali semuanya. Dia juga ingin terlihat cantik seperti yang lain, tapi tidak bisa. Dia tidak bisa memodifikasi dandanan dan pakaian. Dia juga dinilai terlalu kaku oleh sebagian orang. Tidak di kantor, dulu sewaktu masih kuliah juga. Dengan kacamata tebalnya dia sering diejek, bahkan tak jarang mendapatkan kekerasan. Meski dia melawan, tetapi jumlah mahasiswa yang menyerangnya lebih banyak sementara dirinya sendirian. Dia kalah telak. Tak jauh berbeda dengan saat di kantor. Hanya saja mereka tidak menyerang secara fisik, melainkan psikis. Sialan memang. Seandainya saja ada sesuatu yang bisa membuatnya lebih percaya diri, tentu Vena akan melakukannya. Ataukah ada yang menjual? Dia pasti akan membelinya. Berapa pun harganya dia pasti akan membeli. Sayangnya sampai sekarang dia belum menemukan. Pukul delapan pagi, jam kerja dimulai. Vena mulai memeriksa jadwal Nick untuk hari ini. Tidak ada yang terlalu penting hari ini, hanya makan siang dengan seorang klien yang datang dari luar kota. Setelah itu tidak ada lagi. Mungkin dia bisa pulang lebih cepat hari ini. Biasanya seperti itu kalau bos-nya tidak ada kegiatan yang memerlukan kehadirannya. Dia tidak perlu mendampingi Nick saat pria itu memeriksa dan menandatangi beberapa berkas penting, bukan? Kecuali Nick memintanya untuk membantu maka dia akan melakukannya. Tak ada yang dilakukan Vena selama menunggu Nick tiba selain memeriksa berkas-berkas yang dikerjakannya tadi malam. Dia tak ingin ada satu huruf atau satu angka pun yang keliru apalagi salah. Jangan sampai angka-angka itu salah peletakan atau tertinggal. Meskipun satu angka saja nilainya pasti akan berbeda, dan itu bisa menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan. Bisa-bisa dia dipecat karena itu, bahkan ada kemungkinan akan dijebloskan ke penjara karena sudah memutus mata pencaharian banyak orang. Astaga, jangan sampai itu terjadi! Dia sudah hidup sendirian di kota ini, tidak memiliki satu keluarga pun di dunia ini. Jangan sampai penderitaannya bertambah lagi. Itu akan semakin membuatnya terlihat menyedihkan, dan dia akan semakin terpuruk karena semakin dibully. Vena bergidik ngeri membayangkan hal itu. Kepalanya bergerak pelan ke kanan dan ke kiri beberapa kali , tak sadar kalau Nicholas Craig sudah berdiri di depan mejanya. Pria itu menatap Vena dengan sebelah alisnya yang terangkat. Nick berdehem untuk menarik perhatian sekretarisnya yang dinilai aneh, sebelum bertanya. Tidak biasanya Vena seperti tadi. Vena memang perempuan aneh, apa yang ada di otaknya sangat sulit ditebak. Namun, justru itu yang membuatnya mempertahankan perempuan ini sebagai sekretaris pribadi di kantornya. Meskipun Vena tidak cantik dan jauh dari kata menarik, maksudnya bukan tipe perempuan yang bisa dijadikan penghangat ranjangnya, tapi Vena selalu membuat semua kliennya tercengang. Vena selalu memiliki ide brilian yang tidak terduga, dan menguntungkan bagi perusahaan tentu saja. "Apa yang terjadi padamu? Apa kau baik-baik saja, Nona Curly?" Pertanyaan dari suara besar dan dalam itu membuat Vena terkejut. Cepat dia membenarkan posisi duduknya yang tadi bersandar dengan santai sekarang menjadi tegap. "Apa ada yang kau pikirkan?" tanya Nick dengan alis berkerut. "Kulihat dari beberapa detik yang lalu kau terus saja menggeleng." Vena membuang muka, menyembunyikan pipinya yang terasa memanas dari pria tampan di depannya. Astaga, ini sangat memalukan! Sudah berapa lama Nick berdiri di depannya? Apakah ia melihat semua yang dilakukannya? Vena memaki dalam hati, menyesali kecerobohannya yang tidak menyadari kehadiran Nick. "A-aku baik-baik saja, Pak," jawab Vena tergagap. Untuk menutupi kegugupannya dia mencoba melemparkan senyum manis pada Nick. Senyum terbaik yang dimilikinya. "Aku hanya sedang memeriksa kembali berkas yang Anda minta untukku mengerjakannya." "Oh iya, mengenai berkas itu!" Nick menjentikkan jari. "Apakah sudah selesai?" tanyanya lagi. "Karena kita akan memerlukannya untuk rapat beberapa hari lagi, di luar kota." Vena tercengang mendengarnya. Benarkah Nick memerlukannya beberapa hari lagi? Lalu, kenapa kemarin pria ini memintanya untuk mengerjakan secepatnya? Astaga! Bolehkah dia menendang b****g sexy itu? Seandainya saja bisa, tapi dia tidak akan menendangnya, dia akan mengusapnya saja. Sekali lagi Vena menggeleng, kali ini lebih kuat. Dia berusaha menyingkirkan pikiran nakal di kepalanya. "Kau harus bersiap-siap, Nona Curly, karena kau juga akan ikut dalam rapat penting itu." Sekali lagi Vena melongo. Dia akan ikut keluar kota? Benarkah itu? Tetapi, bukankah biasanya Nick akan pergi sendiri saja bila harus ke luar kota? Kenapa kali ini harus mengajaknya? "Terima kasih!" Nick mengambil berkas dari meja Vena, membawa ke ruangannya. Ia akan memeriksanya sekali lagi. Meskipun tidak meragukan kejelian sekretarisnya, tapi ia tetap harus melakukannya. Hal lain yang membuat Nick tetap mempertahankan Vena, perempuan itu selalu mengerjakan semua yang diperintahnya dengan baik dan rapi. Meskipun semua klien yang melihatnya pertama kali akan bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti klien lain sebelumnya, mereka bertanya ia memperkerjakan seorang perempuan yang sangat tidak menarik secara penampilan. Nick tidak pernah menjawab pertanyaan semacam itu. Dengan isyarat dari gerakan tubuhnya, ia hanya meminta mereka untuk menunggu sampai akhir. Seperti pada rekan-rekan bisnis sebelumnya, mereka yang awalnya bertanya dan meragukan kemampuan Vena pada akhirnya akan berdecak kagum. Satu lagi. Karena Vena bukanlah tipenya, Nick tidak perlu takut dan khawatir akan terlibat skandal dengan sekretarisnya di kantor. Ia yakin semuanya akan aman kalau Vena yang duduk di depannya. Tidak akan ada yang perlu didinginkan karena Vena bukanlah seseorang yang dapat menaikkan suhu tubuh. Nick tak perlu repot-repot lagi memeriksa semua berkas yang tadi diserahkan Vena. Ia sangat memercayai sekretaris anehnya. Tak mungkin Vena menggelapkan dana perusahaan. Meskipun pintar, ia yakin Vena tidak akan melakukannya, dia perempuan yang jujur. Hanya beberapa menit yang diperlukan Nick untuk mengecek tumpukan berkas setinggi satu jengkal orang dewasa. Ia hanya mengecek sebagian dan hasilnya sangat memuaskan. Sangat rapi seperti yang sudah-sudah. Tak percuma dia membayar Vena dengan gaji yang besar. Sekali lagi, Vena mengerjakan semuanya dengan sangat baik dan mendetil. Nick memencet tombol interkom untuk menghubungi Vena. Ia ingin tahu jadwalnya untuk hari ini. "Bisakah kau ke sini, Nona Curly?" tanya Nick dengan tatapan lurus ke depan. "Aku lupa belum menanyakan jadwalku hari ini, dan kutebak kau juga lupa memberitahuku." "Astaga, maafkan aku, Pak!" Jawaban gugup di seberang sana membuat Nick memutar bola mata. Ia benci mendengar Vena selalu berbicara gugup seperti itu saat bicara dengannya. Saat di hadapan orang lain, apalagi di depan klien, Vena tidak pernah terlihat gugup. Dia selalu berbicara dengan penuh percaya diri, seolah dia memiliki dua kepribadian yang berbeda. Suara ketukan di pintu membuat Nick kembali fokus. Vena memasuki ruangannya dengan membawa tablet khusus pengatur jadwalnya. "Selamat siang, Pak!" sapa Vena ramah. Dia menyunggingkan sebuah senyum manis. "Ini jadwal Anda untuk hari ini." Dia memberikan tablet yang tadi dibawanya, diletakkan di atas meja tepat di depan Nick. Nick membacanya dengan teliti. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk sebuah senyum segaris. Rasanya sedikit lega karena jadwalnya hari ini tidak sepadat biasanya. Ia cukup menghadiri makan siang bersama seorang klien saja. Yang membuatnya berbunga, kliennya kali ini seorang perempuan. "Terima kasih, Nona Curly." Vena mengangguk. Mengambil kembali tablet begitu Nick mendorongnya menjauh. "Apakah hari ini saya boleh pulang lebih siang, Pak?" tanya Vena takut-takut. Sungguh, untuk menanyakan hal ini dia mengumpulkan seluruh keberanian yang dimilikinya. Nick mengangguk. "Kalau semua pekerjaanmu sudah selesai, pulang saja," jawab Nick tanpa menatap. Ia sibuk mengutak-atik laptop di depannya yang menyala. "Aku juga akan langsung pulang setelah makan siang nanti." "Terima kasih, Pak." Vena nyaris bersorak, beruntung dia dapat menahan diri sehingga euphoria itu hanya dilakukannya di dalam hati saja. "Saya permisi!" Vena membungkuk sekali sebagai ucapan terima kasih. Segera keluar dari ruangan itu setelahnya dengan senyum lebar menghiasi bibir yang dipoles pewarna bibir berwarna peach. Vena duduk, menyandarkan punggung ke belakang, mengembuskan napas lega. Dia akan bisa melanjutkan istirahatnya yang masih sangat kurang dan melanjutkan tidur. *** Seperti yang direncanakannya saat masih di kantor tadi, Vena langsung ke tempat tidur setelah dari kamar mandi. Dia benar-benar pulang setelah istirahat makan siang. Tak peduli cercaan dan sindiran kasar rekan-rekan kerjanya, dia sudah minta izin pada bos mereka dan Nick memberikannya. Tanpa berganti pakaian ataupun membersihkan wajah terlebih dahulu seperti yang biasa dia lakukan, Vena langsung berbaring dan memejamkan mata. Dia bahkan lupa untuk melepas kacamata bacanya. Kelelahan dan kurang tidur membuatnya lupa pada segalanya. Dia kurang fokus. Yang diinginkannya hanyalah mengistirahatkan seluruh tubuhnya yang sangat lelah. Bahkan Vena tertidur tanpa sadar, dan bangun saat hari sudah gelap. Vena terkejut, sekelilingnya gelap gulita. Setelah beberapa detik dia baru sadar kalau hari sudah malam. Bodohnya dirinya yang tidak menyalakan lampu sebelum tidur. Lebih bodoh lagi tadi dia mengira kalau sudah mati. Vena menggeleng, memukul kepalanya pelan. "Dumb, Vena!" makinya pada diri sendiri. Tangan yang tertutup blouse lengan panjang itu terulur, menyalakan lampu tidur yang terletak di atas nakas. Vena mengerjap, menyesuaikan penglihatan dengan cahaya yang masuk ke dalam mata sebelum turun dari tempat tidur. Tempat pertama yang ditujunya adalah kamar mandi. Dia perlu membersihkan tubuh agar lebih segar. Berlama-lama di dalam kamar mandi bukanlah kebiasaan Vena. Dia biasanya hanya memerlukan waktu selama beberapa menit. Namun, tidak kali ini. Sudah lebih dari lima belas menit Vena masih belum keluar juga. Dia masih betah memperhatikan wajah dan bentuk tubuhnya. Dilihat dari sisi mana pun, dia adalah seorang perempuan yang cantik. Matanya sebiru langit cerah dengan bulu mata lentik. Serasi hidung mungil yang mancung dan bibir berwarna merah muda alami. Tubuhnya juga tidak jelek, tumbuh di tempat yang semestinya. Vena mengerang kesal. Dia tidak bisa berdandan, tidak bisa memadupadankan pakaian sehingga selalu tampak kuno dan tidak menarik perhatian sama sekali. Rambut hitamnya selalu diikat ekor kuda, tidak pernah diganti dengan gaya lain. Masalahnya adalah dia tidak suka mengganti gaya apa pun di hidupnya. Dia sudah nyaman dengan gayanya yang sekarang. Kalau diubah lagi, dia pasti akan memerlukan waktu untuk beradaptasi lagi, dan itu sangat memakan waktu. Selain itu juga belum tentu dia menyukai gayanya yang baru. Vena tidak suka mengenakan sesuatu yang tidak disukainya, dia selalu merasa tidak nyaman. Gayanya yang sangat tidak menarik di mata orang lain ini terasa sangat nyaman dan cocok untuknya. Untuk masalah apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya, dia tak peduli. Lagipula, sesempurna apa pun penampilannya dia tetap tidak dapat menarik perhatian Nick. Seandainya saja bisa, mungkin mereka sudah menjalin hubungan dari awal dia masuk ke perusahaan ini. Vena mengembuskan napas melalui mulut dengan cukup kuat, membuat cermin di depannya berembun. Tangannya terangkat untuk mengusap cermin, wajahnya yang pucat kembali terlihat. Sebenarnya sebelum bertemu secara langsung dia sudah jatuh hati pada Nick. Pria itu selalu muncul di hampir setiap majalah bisnis, nyaris setiap bulannya. Kesempatan terbuka untuknya yang baru saja menganggur karena dipecat dari pekerjaannya di sebuah restoran cepat saji, Nick sedang mencari sekretaris untuk menggantikan sekretarisnya terdahulu. Perempuan cantik itu dipecat karena ketahuan menggoda Nick di jam kerja. Sungguh, Vena tidak menyangka kalau Nick akan berbuat seperti itu. Dilihat dari reputasinya yang sering berganti teman kencan, sepertinya tidak ada masalah kalau menggodanya walaupun di jam kerja. Padahal santer terdengar kabar kalau Nick dan sekretarisnya terdahulu memiliki hubungan, tapi perempuan itu tetap diberhentikan secara tidak hormat. Pikiran pebisnis seperti Nick memang sedikit sulit untuk ditebak. Lagipula masalah ini dan itu, pekerjaan dan asmara tidak bisa dicampuradukkan. Itu yang dia tahu. Bekerjalah tanpa menyertakan hati. Beberapa orang memiliki prinsip seperti itu. Namun, Vena sebaliknya. Dia justru bekerja karena hati, juga karena memang dia cocok di pekerjaan yang sekarang dia geluti. Dasar pendidikannya memang bisnis dan manajemen. Entah kenapa dulu dia mengambil jurusan itu, padahal dia tidak memiliki perusahaan ataupun warisan sebuah perusahaan. Suhu kamar mandi yang lebih dingin dari ruangan lainnya membuat Vena menggigil. Tak sadar kalau dia masih berada di kamar mandi. Segera Vena mengenakan jubah mandi dan keluar. Tujuan selanjutnya adalah dapur. Dia akan memasak makan malam. Sebenarnya Vena sedikit malas untuk memasak. Bukan karena dia tidak bisa, memasak adalah salah satu hobinya, sangat mustahil kalau dia tidak bisa melakukannya. Masalahnya adalah dia yang tinggal sendirian di apartemennya. Memang dia sudah terbiasa, tapi tetap saja rasanya sepi. Vena membuka lemari pendingin, mengambil telur dan beberapa sosis. Dia akan membuat omelette saja, lebih mudah untuknya yang sedang malas dan tetap mengenyangkan. Ditambah beberapa potong sosis goreng sudah lebih dari cukup. Tak memerlukan waktu lama, omelette dan sosis goreng tersedia di meja makan. Vena segera membawanya ke ruang tengah, dia akan makan sambil mengerjakan tugas yang belum selesai saja. Bukan tugas berat yang akan mengurangi waktu tidurnya seperti tadi malam, dia hanya diminta Nick untuk mengecek hasil laporan dari manajer keuangan. Nick tidak yakin dengan hasil laporan itu sehingga memintanya untuk mengecek kembali. Pengecekan selesai bertepatan dengan makan malam yang juga sudah selesai. Saatnya kembali beristirahat agar besok dia bisa lebih kuat menghadapi rekan-rekan kerjanya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook