bc

Mirai

book_age12+
171
FOLLOW
1K
READ
family
confident
inspirational
drama
sweet
bxg
campus
city
friendship
friends
like
intro-logo
Blurb

TAP LOVE DULU YA.

“Jika kamu mampu mengungkapkan perasaan lewat kata dan bahasa, aku mampu mengungkapnya lewat sebuah alunan musik.”

**

Keinginan Mirai untuk mendalami musik dengan mempelajari salah satu alat musik klasik perlahan terwujud saat dia bertemu dengan Aksara, laki-laki yang dia temui sedang mengamen di pinggir jalan dengan anak-anak lain.

Tetapi keinginan Mirai untuk mendalami musik tidak berjalan dengan baik ketika orang tuanya tidak memberikan ijin untuk dia belajar musik.

Entah apa alasanya tapi hal tersebut tentu saja tidak membuat Mirai menyerah, meski harus dengan sembunyi-sembunyi. Mirai belajar semuanya dari Aksa.

Bagaimana Mirai belajar mendalami alat musik klasik seperti Biola bersama dengan Aksa di tengah serangkaian mata kuliah bahasa yang tengah dia hadapi?

Dan sebenarnya apa alasan orang tua Mirai tidak memberikan ijin kepadanya untuk mendalami dunia musik?

Mari kita ikuti kisah Mirai “Aku, Kamu, Bahasa dan Musik”

**

Cover : Orisinal

Dibuat oleh : Purplerill

Gambar : Unsplash.com

Font : App text on photo

chap-preview
Free preview
Mirai adalah masa depan
Gadis itu mengembuskan napas pelan ketika selesai mengikuti mata kuliah di jam terakhirnya hari ini. Sepertinya isi kepalanya berasap setelah keluar dari kelas tersebut, tentu saja karena mata kuliah yang membuat pusing tujuh keliling apalagi saat dia baru saja masuk menjadi mahasiswa semester pertama, setahun lalu. Kini meski dia sudah duduk di semester empat tetap saja pusing itu terus dia alami. Kosa kata asing, pola kalimat yang berbelit, huruf kanji yang harus sesuai coretan satu dengan yang lainnya, semua itu menjadi makanan sehari-hari untuk dia yang menjadi mahasiswa jurusan Bahasa Jepang. Sejak dulu meski dia suka menonton anime bersama dengan kakaknya, tetapi tidak tuh dalam pikirannya akan masuk dan menjadi salah satu mahasiswa jurusan Bahasa Jepang seperti ini.  Semua memang sudah di atur oleh orang tuanya terutama sang ibu, karena kala itu saat dia lulus dari seragam putih-abu, dia tidak memiliki tujuan.  Alhasil karena ketakutan orang tua dan tidak ingin sampai dirinya menganggur terlalu lama, akhirnya mau tak mau dia pun masuk ke jurusan yang di pilih oleh sang ibu. Jurusan Bahasa Jepang. Keren ya kelihatannya tetapi percaya deh menjalaninya tidak semudah dengan label keren karena bisa masuk ke jurusan tersebut.  Apalagi dengan kemampuan dia yang nol besar, sama sekali tidak memiliki dasar dalam bahasa tersebut. Bahasa daerah saja ia tidak begitu hatam, apalagi harus mempelajari bahasa asing seperti ini, entah dia akan seperti apa nantinya. Namun lewat satu tahun dengan penuh perjuangan karena harus mengejar teman-teman lain yang sudah pandai dalam materi dasar pembelajaran bahasa Jepang. Akhirnya ia sudah terbiasa.  Terbiasa dengan kosa kata asing yang setiap minggu harus dia hapalkan, dengan pola kalimat yang hampir setiap hari dia temui, juga dengan kanji yang dua mingggu sekali harus mengikuti test. “Mirai!” Teriakan itu membuat gadis bernama Mirai itu menoleh dan mendapati Dewi –sahabatnya- tengah melambaikan tangan sambil berlari ke arahnya.  Astaga kalau bukan sahabat sendiri tentu saja dia akan pergi dari tempatnya saat ini. Malu banget kan sampe lambai tangan kaya gitu. “Wi, bisa nggak sih tangan kamu gak usah lambai gitu. Kaya di mana aja tahu nggak,” ucap Mirai saat Dewi sudah berada di sampingnya. Gadis itu malah cengengesan, “Ya maaf, Rai. Kebiasaan di sekolah dulu,” katanya. Mirai dan Dewi memang sudah bersahabat sejak masa sekolah bahkan dari mereka masuk taman kanak-kanak. Wajar saja sih karena rumah mereka pun bersebelahan, malah mereka selalu di kira saudara saking seringnya terlihat bersama-sama. Kali ini mereka juga kuliah di Universitas yang sama, meski berbeda jurusan. Karena Dewi sudah menentukan pilihan sejak lama. Dewi masuk jurusan pendidikan karena katanya dia ingin menjadi seorang Guru seperti ibunya.  Saat itu Mirai senang sekaligus iri. Karena sahabatnya bisa menentukan pilihan sendiri sementara dia masih galau tidak tahu masuk jurusan apa dan bagaimana nanti. “Pas banget nih kita bisa selesai kelas barengan, tadi aku kira bukan kamu yang jalan sendirian kaya jomlo,” ucap Dewi membuat Mirai berdecak mendengar kata jomlo keluar dari mulut sahabatnya. “Nggak usah pake ngatain deh. Situ juga jomlo!” balas Mirai. Dewi tergelak, “Canda doang, Rai. Yang penting kan jomlo bahagia, masih ada kamu yang aku tarik buat temanin ke kondangan teman,” ucapnya yang lagi-lagi membuat Mirai mendelik. Selalu begitu. Untung Dewi sahabatnya dari lama, jadi Mirai sudah paham betul bagaimana tingkah sahabatnya ini. “Btw, Rai. Aku nebeng ya. Tadi di anterin sama Kak Miska ke kampus,” lanjutnya. Mirai mengangguk. “Jangan lupa isi bensin,” katanya. “Ya ampun, Rai. Oke aku isi sejuta cukup?!” “Mending jajan boba, Wi.” “Kuy kalau gitu!” seru Dewi. ** Mirai baru saja sampai. Dia benar-benar jalan bersama dengan Dewi sepulang dari kampus. Mereka menghabiskan waktu berdua dengan menonton dan membeli minuman kesukaan keduanya yang tidak jauh dari per-boba-an.  Saat sampai di rumah dia melihat kakaknya -Ayu- tengah memasak di dapur. Kegiatan yang memang di gemari oleh kakak perempuannya dan juga di dukung oleh orang tua mereka. Mengingat itu, Mirai kadang iri. Karena sejak dulu kakaknya mampu membanggakan orang tua mereka dengan prestasi dari keahlian memasaknya. Bahkan sempat di tawarkan bekerja di restoran yang berada di hotel bintang lima. Tetapi kakaknya memang lebih memilih untuk membuka usaha sendiri dengan mendirikan restoran yang sekarang sudah memiliki satu cabang di luar kota Bandung. Restoran yang dengan masakan sunda menjadi andalannya. “Baru pulang, Dek,” ucap Ayu saat melihat adiknya berjalan ke arah lemari pendingin dan tampak mengambil satu botol air mineral dari sana. Mirai hanya mengangguk lalu meminum air dari botol tersebut sampai tandas. “Masak apa lagi, Kak?” tanya Mirai setelahnya. “Lagi coba masak nasi tutug oncom, nanti kamu cobain ya.” “Ok. Aku ke kamar dulu, gerah mau mandi,” balas Mirai. Ayu mengangguk lalu kembali sibuk dengan peralatan masaknya. Sementara Mirai sudah menaiki undakan tangga menuju kamarnya.  Kamar yang bersebelahan dengan sang kakak. Kamar yang biasanya menjadi tempat dia mendinginkan pikirannya, juga menangis sepuasnya.  Entah, Mirai hanya merasa lebih baik berada di kamar ketika dia ingin melepas semua keluh kesahnya. Klek. Mirai masuk ke dalam tampak jendela kamarnya yang belum di tutup karena tidak ada yang berani masuk ke dalam kalau tidak ada dirinya di kamar. Asisten rumah tangganya pun tidak pernah membereskan kamar setelah Mirai duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Semua tugas itu sudah menjadi tanggung jawabnya, begitu yang ibu mereka katakan kepada kedua anak perempuannya. Mirai sama sekali tidak masalah. Toh selama kecil dia juga sudah terbiasa membereskan mainannya sendiri setelah selesai di gunakan, menyimpan semua mainan kembali ke dalam kotak khusus mainan.  Mirai kecil sudah terbiasa mandiri. Selesai menutup jendelanya karena angin sore menuju malam mulai tidak enak di rasakan dan tidak baik juga untuk kesehatan. Mirai memilih masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan tubuhnya sehabis berkegiatan di luar seharian ini. Jadwalnya tadi memang dari pagi hari, membuat dia menghabiskan waktunya di kampus seharian ini. **  Keluar dari kamar mandi dengan wajah yang tampak segar, Mirai berjalan ke arah cermin yang berada di sudut kamarnya.  Tidak banyak makeup yang dia miliki, karena dia memang bukan tipe perempuan yang memakai berbagai macam makeup. Tetapi dia memiliki koleksi parfum, sama seperti koleksi musik klasik yang kerap kali menjadi teman tidurnya. Hanya dua barang itu yang menjadi koleksinya di kamar ini. Tok..tok..tok  Mirai menoleh mendengar suara pintu yang di ketuk dari luar kamarnya bersamaan dengan suara sang ibu yang memanggil namanya. Tak menunggu lama, dia beranjak dari kursi yang berada di depan cermin lalu membukakan pintu yang memang tadi dia kunci dari dalam. “Makan dulu,” ucap sang ibu –Bu Gita- setelah Mirai membuka pintu kamarnya. “Iya, Ma.” Mirai kembali ke kamar setelah Bu Gita –mamanya- berlalu. Memilih untuk membereskan buku materi kuliah yang tadi ia bawa, menyimpan kembali di atas meja belajarnya. Setelah itu dia keluar dari kamar dan bergabung dengan keluarganya untuk makan malam. **  “Gimana kuliah kamu, Dek?” tanya Pak Chandra –ayah Mirai- kepada anak bungsunya.  Mereka baru saja selesai makan malam bersama dan kali ini tengah berada di ruang tengah, tempat biasa untuk mereka berbagi cerita satu sama lain setelah berkegiatan di luar rumah. “Lancar, Pa,” balas Mirai.  Ya lancar saja karena dia mengikuti semuanya meski dengan penuh perjuangan. “Yang serius belajar. Kalau sudah lulus kan bisa kerja, malah lebih bagus kalau bisa kerja di Jepang,” ucap Bu Gita kali ini mengeluarkan suaranya. Mirai tidak menanggapi. Sudah biasa seperti ini dan ujungnya dia akan di bandingkan dengan kakaknya yang sudah sukses dalam pekerjaan, bahkan saat kuliah dulu mendapatkan predikat cumlaude. Dan karena itu juga seolah dia juga harus mendapatkan predikat itu di akhir perkuliahannya nanti.  Meski tidak secara terang-terangan tetapi Mirai bisa menyadari bahwa orang tuanya memang menginginkan dia mendapatkan predikat tersebut. Dia tahu itu menjadi suatu kebanggaan apalagi untuk orang tuanya. Tetapi setiap anak memiliki kemampuan masing-masing. Tidak bisa di sama ratakan, pun dengan kemampuan dia dan kakaknya. Meski secara prestasi Mirai juga merupakan siswa berprestasi saat sekolah tetapi dunia perkuliahan tentu saja semakin luas, banyak yang lebih berprestasi dari dia. “Restoran kamu gimana, Kak?” kali ini Pak Chandra menatap anak sulungnya, yang duduk di samping sang istri. “Cabang yang di luar kota lagi gencar promosi menu baru, Pa. Doain lancar dan laris ya, Pa, Ma.” Ayu tersenyum lebar menjelaskan bagaimana perkembangan restoran yang ia kelola selama ini. “Alhamdulilah, makin berkembang restoran kamu, Kak.” Bu Gita tampak bangga dengan wajah yang penuh binar. Pun dengan Pak Chandra yang menunjukkan raut wajah sama seperti istrinya. Mirai ikut senang dengan kesuksesan kakaknya, menjadi penyemangat dirinya untuk sukses meski kerap kali di bandingkan dengan kakaknya. “Contoh kakak kamu ya, Dek. Selalu punya pencapaian terus nggak pernah pantang menyerah,” ucap Pak Chandra. Mirai mengangguk saja.  Lagi pula dia harus menjawab apa, toh hidupnya pun masih terus di atur oleh orang tuanya karena dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Kecuali … Ah tapi mana mungkin dia mengatakan dengan mudah kepada orang tuanya tentang apa yang sedang dia lakukan sekarang. Mimpi masa depannya, dia juga masih bingung apa yang dia mau. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook