bc

If I and My Idol Married

book_age16+
961
FOLLOW
4.3K
READ
comedy
sweet
bxg
campus
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Bagaimana mungkin seorang fans bisa menikah dengan idolanya? Lelaki yang biasanya hanya bisa dikaguminya lewat layar kaca, kini menjadi pendamping hidup? Berada di atap yang sama. Orang yang pertama dilihat saat membuka mata. Mari kita tanyakan semua ini kepada Kirana Lee yang mungkin beruntung karena bisa menikah dengan idolanya, Kim Jun.

chap-preview
Free preview
01. Kim Jun from Neolabs
Setelah memastikan kalau esok harinya tidak ada kelas, gadis keturunan Indonesia-Korea bernama Kirana Lee itu bisa puas begadang demi menonton konten boy group favoritnya yaitu Neolabs. Tidak lupa menonton musik videonya agar jumlah penontonnya bertambah. Sebenarnya, tak harus menunggu jadwal kuliahnya kosong saja. Terkadang, Kirana juga melakukannya disela kesibukannya mengerjakan tugas. Katanya, melihat wajah lelaki-lelaki tampan di tengah kesibukan bisa menambah semangat dan mengurangi rasa lelah juga mengeluh. Ya, cara tersebut cukup ampuh meski terkadang ia lebih fokus menonton mereka daripada mengerjakan tugasnya. Kirana atau yang lebih akrab dipanggil Rara itu berkali-kali menahan diri agar tidak teriak karena melihat penampilan boy group favoritnya yang begitu memukau. Kalau ia ditanya mengapa mengidolakan mereka, alasannya tentu saja bukan hanya karena mereka tampan. Tetapi, di luar itu banyak kemampuan yang mereka kuasai. Selain tampil memukau di atas panggung, mereka juga orang-orang yang cerdas dan bisa berbagai hal yang kalau orang awam sekalipun yang melihatnya akan terpukau. Apalagi, kalau sudah membicarakan biasnya, Kim Jun. Tidak akan ada habisnya ia bahas. Dari A sampai Z semua ia ketahui. Ya, tentu saja bukan karena ia menguntit. Tetapi, semua itu ia dapatkan dari data-data yang dipublikasikan oleh agensi yang menaungi Neolabs yang tidak ia lewatkan sama sekali. Ah, mungkin ini hal biasa bagi siapapun yang mengidolakan seseorang. Biasa tapi sering kali membuat keluarganya heran sendiri dengan apa yang gadis itu lakukan. Ia sering kali menangis dengan hanya melihat aksi panggung sang idola. "Rara, sudah siang!" Pintu kamar Kirana diketuk berkali-kali dengan suara yang semakin nyaring pagi itu. Tetapi, sang empunya malah asyik dengan dunianya dan merapatkan tubuhnya di dalam selimut. Atau lebih tepatnya ia tidak mendengar sama sekali. "Rara..." panggil sang ibu lagi. "Ah, ternyata tidak dikunci. Anak ini." Chintya membuang napasnya kasar saat melihat putri bungsunya masih asyik terlelap dengan bibirnya yang melengkung ke atas. "Rara, sudah siang. Jangan bermimpi terus!" "Buna, hari ini Rara tidak ada kelas." balasnya sambil kembali merapatkan selimutnya. Namun, hal itu tidak bertahan lama karena Chintya sudah menarik selimutnya sampai jatuh ke lantai. "Ck... Iya, Buna. Rara bangun." Gadis itu mendudukkan tubuhnya dan mengucek matanya yang masih terasa lengket. "Buna sudah bilang, kan? Kamu boleh suka oppa Junmu itu tapi jangan sampai seperti ini. Buna dengar kamarmu masih berisik sampai pukul dua pagi." "Bun--" "Cepat mandi! Appa dan kakakmu harus berangkat. Nanti terlambat karena menunggu kamu yang susah bangun." Chintya memotong pembicaraan sang putri. "Ya! Kenapa kalian tidak makan duluan saja?" pekik Rara. "Tidak boleh berteriak seperti itu, Kirana!" balas Chintya dari balik pintu. Kirana hanya menggumam pelan sebagai balasan. Gadis itu beringsut ke kamar mandi dengan malasnya. Kepalanya masih agak berat. Ia bisa saja bangun lebih siang dan memang tidak masalah kalau tidak sarapan. Tetapi, itu tidak berlaku bagi sang ibu yang mengharuskan semua anggota keluarganya untuk sarapan. "Morning," sapa Kirana kepada keluarganya yang sudah menunggu di meja makan. Padahal, ia hanya mencuci muka dan sikat gigi dan hanya menghabiskan waktu kurang dari lima menit, tapi tatapan kakaknya sangat menyebalkan. "Berhenti menatapku seperti itu, Rin!" ucap Kirana sebelum meneguk susunya. "Hey, apa kamu tidak bisa memanggilku Kakak?" Karina tidak terima dengan apa yang dikatakan sang adik. Karena, walau bagaimanapun, ia lebih tua satu tahun dari Kirana. "Dasar gila hormat!" "Stop. Kalian lupa apa yang Buna bilang?" "Jangan berbicara saat makan." Kirana dan Karina mengucapkannya secara bersamaan. "Tapi, Rara lebih dulu, Bun!" Kirana menunjuk sang adik tidak terima. "Karina yang mulai! Kalau kamu takut terlambat, kenapa tidak makan duluan? Kenapa harus menunggu? Dasar menyebalkan!" Kirana meneguk susunya sampai habis sebelum berlari kembali ke kamarnya. Mereka hanya bisa menggeleng melihat tingkah Kirana yang masih saja kekanakan seperti itu. Memang, Kirana tidak bisa dibentak barang sedikitpun atau ia akan merajuk lama. Sementara itu, Kirana di kamarnya menatap sendu poster lelaki yang bergaya dengan tampannya. "Oppa, kenapa mereka semua menyebalkan?" adunya sambil kembali merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Kantuk yang belum usai kembali datang dan membuat Kirana terlelap dalam sekejap. Segala amarahnya perlahan lenyap. "Rara, jangan tidur saat marah." Kirana sayup-sayup mendengar suara lembut yang memanggilnya. "Hey, jangan begitu lagi, ya. Bunamu tidak pernah salah. Kamu harusnya menerima apapun yang dikatakannya. Katanya, kamu mau sukses dan menikah denganku." Kirana tersenyum dalam tidurnya. Seketika matanya terbuka dan mendudukan tubuhnya meskipun kepalanya masih agak terasa pening. "Jun oppa." Seketika, senyumnya mengembang dan ia langsung keluar dari kamarnya kemudian memanggil sang ibu. "Buna..." "Jangan berteriak, Ra." "Maaf, Buna." kekeh Kirana sambil memeluk sang ibu. "Hey, kenapa?" "Buna, Rara minta maaf, ya karena sering marah-marah tidak jelas." "Hey, tiba-tiba?" Chintya menatap sang putri dengan heran. "Buna, Jun oppa tidak suka Rara marah sama Buna." Sang ibu mengulum senyumnya dan mengusap surai legam Kirana. "Nah, sekarang Rara bantu Buna, boleh?" "Boleh, Buna. Tapi, Rara sambil putar lagu Neolabs, ya?" Kirana menatap sang ibu penuh harap. Chintya mengangguk pelan yang membuat Kirana menghambur ke pelukan sang ibu sebelum beralih ke arah televisinya untuk membuka aplikasi favoritnya. Suara indah dari personil Neolabs mengalun indah di kediaman Kirana. Gadis itu sesekali mengikuti bagian lagu yang dinyanyikan oleh Kim Jun yang selalu menjadi kesukaannya. Acara membereskan rumahnya terasa lebuh ringan. Bahkan, tak menghabiskan waktu lama, Kirana sudah menyelesaikan semuanya. "Selesai, Bun." Kirana menepuk telapak tangannya memberi kode kalau pekerjaannya sudah selesai. "Wah? Keajaiban apa ini? Rara rajin sekali?" "Lho, Buna kok heran? Rara mau rajin mulai sekarang. Karena, Jun oppa tidak suka orang yang malas." Chintya lagi-lagi tertawa mendengar ucapan sang putri. "Ada yang masih bisa Rara bantu, Buna?" tanya gadis itu dengan semangat. "Cukup, Ra. Terima kasih." "Sama-sama, Buna. Kalau begitu, Rara ke kamar, ya. Mau mengerjakan tugas. Biar Rara lulus dengan nilai yang bagus." Chintya mengusap puncak kepala Kirana dan mengangguk. Ternyata, membiarkan anaknya seperti itu tidak buruk juga. Ya, mungkin apa yang Kirana lakukan orang lain melihatnya berlebihan. Tetapi, gadis itu memang tengah berusaha mengelabui lelahnya sendiri. Sebagai seorang ibu, Chintya paham seberapa berat yang putri bungsunya itu lalui. Terlebih, Kirana tidak memiliki bakat yang sama seperti Karina, sang kakak. Hal itu kerap kali membuat Kirana bersedih dan menganggap dirinya tidak bisa apa-apa. Padahal, dalam segi akademik, Kirana memang lebih unggul dari Karina. Chintya juga tidak pernah membanding-bandingkan keduanya karena memang meski terlahir dari rahim yang sama, mereka memiliki potensi yang berbeda. Kirana memang kerap kali mengeluh karena suaranya tak sebagus Karina yang membuat sang kakak lebih terkenal. "Kalau suara Rara bagus, Rara mungkin bisa masuk agensinya Jun oppa." keluh Rara waktu itu. Chintya hanya menanggapinya dengan senyuman karena sering sekali mendengar keluhan tersebut. Apalagi, tentang teman-temannya yang sering kali menitipkan salam kepada kakaknya. Maka dari itu, kabar baik yang Karina sampaikan tadi pagi, belum sempat Chintya katakan kepada sang putri bungsu. Melihat wajah Kirana yang baru saja cerah, rasanya Chintya tidak tega. *** "Buna kenapa tidak bilang?" protes Kirana setelah sempat mencuri dengan obrolan Karina dengan sang ibu. "Lho, Buna belum bilang?" tanya Karina yang menatap sang adik dengan tatapan yang entah apa. Melihat wajah Kirana yang muram, membuatnya sedikit tidak enak. "Ya, memang Rara tidak akan pernah punya kesempatan seperti itu. Tapi, kenapa Karina tidak bilang? Tiga tahun lalu, Karina menolak bergabung di agensi itu. Kenapa sekarang--" "Karina tidak bergabung di agensi. Hanya menerima tawaran berkolaborasi." Chintya memotong ucapan sang putri. "Dengan Jun oppa?" tanya Kirana lagi. Sungguh, ia masih belum percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Oh, apa kata dunia? Ia pasti harus siap mendengar komentar orang-orang yang barang tentu menjodoh-jodohkan kakaknya dengan Kim Jun. Kalau dengan yang lain, Kirana tidak masalah. Tetapi, ini kakaknya sendiri. "Tenang saja, aku tidak akan apa-apakan Jun oppamu itu." Kirana yang masih berdiri dengan ekspresi tidak terimanya itu agak teralihkan dengan kue hangat yang dibawa sang ibu. "Jadi, tadi sudah sempat bertemu?" tanya Chintya. "Sebentar. Aku dan Jun ada jadwal masing-masing. Hanya berbicara sedikit. Sisanya, manager kami yang berdiskusi. Hasilnya, besok saat pertemuan resmi." "Ah, semoga lancar, ya." "Enaknya menjadi Karina. Sudah cantik, terkenal, sekarang kolaborasi dengan Jun oppa lagi." "Hey, Rara juga cantik. Pintar pula." "Jangan mencoba menyenangkan hatiku, Bun." "Memang begitu. Kau kan sering mendapat peringkat atas." Kali ini, Karina yang buka suara. "Tetap saja, teman-temanku memujimu. Aku mana pernah terlihat?" Karina dan Kirana memang bersekolah di sekolah yang sama sejak kecil. Jadi, teman-teman Kirana tentu mengetahui kalau mereka kakak beradik. Ya, walaupun di luar itu jarang yang mengetahui hubungan persaudaraan mereka. "Berhenti membanding-bandingkan. Anak Buna semua hebat. Buna bangga dengan kalian." "Memang, yang bangga pada Rara hanya Buna dan appa. Orang lain mana ada? Rara kan bukan siapa-siapa." "Rara!" Chintya sedikit membentak Kirana yang kembali pada sikapnya yang selalu merasa seperti itu. Hal tersebut membuat Kirana berlari ke kamarnya dan menguncinya. Ia tidak mau siapapun kali ini masuk ke dalam kamarnya. "Jun oppa, kenapa keberuntungan selalu milik Karina? Kenapa aku tidak punya kemampuan seperti Karina? Aku tidak suka hidup yang seperti ini." keluhnya sambil menatap poster yang tertempel di sudut kamarnya. Semangat yang sempat datang sewaktu dirinya memimpikan Kim Jun tadi, kini menghilang kembali. Ia meratapi betapa tidak beruntungnya dirinya. "Ah! Mengapa dunia ini terasa menyebalkan?!" Teriakannya terhenti saat ponselnya berbunyi dan menandakan pesan masuk. Appa : Favorite pizza for Appa's princess. Ayo, turun. Nanti dingin Pesan dari sang ayah yang disertai foto pizza yang tampak menggiurkan. Tetapi, hal itu tidak membuat Kirana bersemangat. Ia malah mematikan lampu kamarnya dan masuk ke dalam selimut. Berusaha memejamkan matanya meskipun sebenarnya ia tidak mengantuk sama sekali.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook