bc

Reuni [Indonesia]

book_age16+
1.5K
FOLLOW
9.4K
READ
billionaire
fated
friends to lovers
others
goodgirl
sensitive
CEO
drama
bxg
office/work place
like
intro-logo
Blurb

"Kalo menurut lo gimana, Sa?" tanya salah satu dari pria itu yang sudah berkonspirasi.

"Gimana apanya?"

"Pendapat lo, soal tunangan Daru?" Irza mengulangi pertanyaannya.

"Cantik kok, cocok sama Daru," jawab Sani formal. Hanya menggambil kesimpulan dari pandangan orang pada umumnya.

Irza dan Bastian mengangguk mengerti, bersitatap satu sama lain sebelum kembali pada Sani dengan senyum menggoda. "Lo nggak ngerasa apa gitu? Nggak akan nangis lagi kayak waktu itu?"

Sial! Mereka mengungkit hari itu! Ini yang tidak Sani suka dari reuni, mengungkit hal yang paling tidak ingin Sani ingat dan bahas dalam hidupnya.

"Bas, apaan sih? Nggak lucu tahu pertanyaan lo!" Finka yang sudah merasakan aura tak enak dari Sani segera menyela.

Saat sekolah dulu Sani selalu suka pelajaran sejarah. Saat sekolah dulu Sani selalu menanti-nanti gurunya untuk menceritakan masa lalu dari rentetan sejarah-sejarah itu. Tapi sekarang Sani amat membencinya. Membenci apa pun yang berhubungan dengan sejarah hidupnya. Terlebih jika harus mengingat-ingat masa lalu, jika bisa Sani tidak pernah ingin mempunyai semua memori itu lagi. Jika bisa semua ingin dia kubur dalam-dalam. Tapi selalu saja ada yang berusaha mengoreknya, mengungkitnya dan semua upaya yang membuat Sani semakin membenci hal itu.

Hingga pertemuan Reuni yang dihadirinya menyadarkannya satu hal, bahwa mungkin ini sudah waktunya dia berdamai. Berdamai dengan semua kenangan masa lalu itu.

chap-preview
Free preview
1. Notification
Bising kemacetan ibukota rasanya sudah terdengar di mana-mana. Terlebih saat jam masuk dan pulang kantor. Seluruh penduduk dengan kategori produktif seolah tumpah ruah di jalan. Dari buruh hingga eksekutif berkumpul di jalan yang sama, dengan kendaraan, tujuan, dan urusan masing-masing. Ada yang bergegas pulang ke rumah, ada juga yang memilih melepas penat entah di tempat hiburan mana. Gadis itu menghela napas, melihat lampu-lampu kendaran yang melintang di bawah sana. Dari tempatnya memandang, di lantai 20 salah satu gedung perkantoran yang ada di jalan protokol ibukota—belum ada tanda-tanda kemacetan akan segera mengurai. Ia meruntuki keputusannya untuk tetap berada di kantor, dua pilihan yang sebelumnya memenuhi kepala gadis itu seolah tidak ada bedanya. Pulang segera atau pun menunggu kemacetan mereda sama-sama membuatnya tiba di rumah ketika malam terlanjur pekat. Sekali lagi gadis itu menghela napas, melirik jam di meja kerjanya yang sudah menunjukan pukul 08.15 malam. Entah kapan ia akan memutuskan berhenti menunggu, lantas pulang meski harus tetap berkutat dengan kemacetan pada akhirnya. "Mbak Sani belum pulang?" Suara itu membuat gadis yang termenung memandangi kemacetan sejak tadi menoleh. Mendapati seorang pria berusia di awal duapuluhan dengan seragam kebanggaan dan peralataan kerjanya—sapu dan kain pel—tersenyum ke arah gadis yang baru saja disapanya itu ramah. "Belum, Jang. Kamu shift sampe malem lagi?" Pria muda berstatus cleaning service itu mengangguk masih dengan senyum ramah. Menghampiri Sani dan mengambil cangkir kopi yang kosong di meja kerja gadis itu setelah meminta izin pada si empunya. "Nunggu macetnya reda lagi, Mbak?" "Berasa kayak nunggu hujan aja pakek reda segala," seloroh Sani tertawa kecil. "Loh, Mbak sendiri yang pakai kosakata itu kemarin. Saya mah ngikutin aja," kekeh Ujang meletakan cangkir kopi itu di troli perlengkapan pembersih yang ia bawa. Pada akhirnya Sani hanya tersenyum, tidak lanjut menanggapi ucapan Ujang lantas menganggu pekerjaan pria itu. "Ya sudah, saya permisi dulu. Jangan kelamaan melamunnya, Mbak. Takut kesambet." Sani tersenyum sambil mengangguk paham menanggapi gurauan Ujang. Fokus Sani kembali ke luar jendela setelah pria itu berlalu dari ruangannya. Memperhatikan deretan cahaya di bawah sana kini bergerak dengan kecepatan konstan. Tidak cepat, tidak juga diam di tempat seperti beberapa puluh menit lalu. Meraih tas di meja, ia putuskan untuk pulang. Kepenatannya hari ini sudah cukup untuk tidak ditambah lagi dengan kemacetan yang hanya membuat mood-nya makin rusak. Beberapa hari ini Sani putuskan begitu, menunggu semuanya reda seperti yang tadi Ujang katakan. Termasuk suasana hatinya yang akhir-akhir ini terganggu karena hal itu. Yah, semuanya berawal sejak hari itu. *** Seminggu lalu... Dengan handuk di kepala Sani keluar dari kamar mandi. Beruntung kosan berukuran 3x4 meter itu sudah memiliki kamar mandi di dalam, tidak seperti kosan lamanya yang membuat Sani harus mengantri berjam-jam hanya untuk menunaikan aktifitasnya di kamar mandi. Bukan bualan jika orang mengatakan bahwa hidup di Ibukota itu keras, karena setelah bertahun-tahun hidup di kota tetangga dengan situasi yang lebih baik nyatanya membuat Sani sangat merasakan perbedaan itu. Padahal ini tahun keduanya merantau, tapi kepenatan yang ia rasakan tidak juga mereda hanya karena masalah terbiasa atau tidak. Yah, mungkin gadis itu memang membutuhkan waktu bertahun-tahun lagi untuk tidak mengeluh seperti sekarang. Meraih lembaran laporan yang baru saja keluar dari mesin printer di samping laptop, Sani sibuk membaca deretan huruf di kertas itu masih dengan sebelah tangan yang sibuk mengeringkan rambut. Perhatian Sani masih pada kertas di tangannya, ketika ponsel yang ia letakan di atas tempat tidur berdering menandakan ada satu pesan baru. Ia alihkan matanya dari kertas di tangan, menatap dari jauh layar ponsel yang kini menyala. Mengalungkan handuk ke leher, Sani raih ponsel itu lantas membaca pesan aplikasi yang baru saja masuk. Finka Sudrajat Akhir bulan ada reuni, lo dateng kan? Jari Sani terhenti di layar, melihat si pengirim pesan yang masih belum selesai dengan apa yang ingin ia sampaikan. Finka Sudrajat Nggak ada alesan. Kali ini pokoknya lo harus dateng! Gue seret kalau nggak! Hilang sudah hasrat Sani untuk membalas pesan Finka, sahabatnya yang sudah ia kenal sepuluh tahun belakangan itu kadang memang tidak bisa diajak kompromi. Meski belakangan Sani baru sadar bahwa apa pun yang Finka paksakan kebanyakan adalah untuk kebaikannya. Tapi apakah kali ini juga akan demikian? Sani malah berpikir sebaliknya. Mungkin dari sekian banyak hal baik yang Finka paksakan padanya, menyuruh Sani datang ke reuni SMA adalah yang terburuk, sesuatu yang tidak pernah ingin Sani penuhi. Kenapa harus reuni sih? Gerutu Sani melemparkan ponselnya kembali ke tempat semula. Mengabaikan apa pun yang dikirim Finka setelahnya. *** Motor yang dikendarai Sani menepi. Gadis itu turun dan memastikan motornya terkunci dengan baik sebelum masuk ke tenda kaki lima yang ia singgahi sepulangnya dari kantor. Mengingat kejadian seminggu lalu membuat perutnya lapar, meski tanpa itu pun Sani tetap akan mengisi perutnya. Ia hanya sedang hiperbola, seperti halnya perempuan lain yang terlalu sensitif jika disinggung tentang hal yang paling tidak disukai, lantas menghubungkan semua kesialannya dengan hal itu. "Bebek goreng sama nasinya satu ya, Bu." "Makan di sini, Neng?" "Bungkus aja deh, Bu," Sani mengakhiri pesanannya ketika sang ibu penjual bebek mengangguk mengerti. Menunggu, pandangan gadis itu berputar mengamati sekitar. Hanya ada dua orang laki-laki yang duduk di tenda asik menikmati makan malamnya. Biasanya tenda kaki lima itu ramai hingga tidak ada kursi kosong yang tersisa, mendapati tempat itu sepi sedikit mengalihkan benak Sani yang sejak tadi teringat pesan Finka yang terus menerornya dengan hal yang sama seminggu terakhir. Sahabatnya itu memang pantang menyerah. Getar di saku jaket yang Sani kenakan menyentakan pikiran gadis itu. Meraih ponselnya, nama Finka menari-nari di layar. Panjang umur, baru saja benak Sani memutar nama sahabat itu berulang-ulang. "Apa?" suara Sani terdengar enggan. "Kok jawabnya gitu amat sih?" "Ya terus mau gimana? Gue bosan lo bawelin mulu seminggu ini." Terdengar decakan sebal dari seberang sambungan telepon sana. Tanpa perlu melihat, benak Sani lagi-lagi sudah bisa menggambarkan reaksi sahabatnya yang terlalu ia hafal. "Pulang kan lo minggu ini? Kalau nggak gue samperin ke Jakarta!" "Terus gue harus jawab apa? Pertanyaan lo udah berserta bantahan dari jawaban gue gitu." "Sani!" "Bebek sama nasinya, Neng. Jadi tiga puluh ribu." Interupsi Ibu penjual bebek memecah fokus Sani. Menebar senyum ia raih plastik yang Ibu itu sodorkan padanya. Merogok kantong jaketnya untuk menyerahkan selembar uang duapuluh ribuan dan sepuluh ribuan yang telah ia siapkan. "Makasih ya, Bu," ucap Sani setelah menyelesaikan transaksinya, lantas keluar dari tenda itu dan kembali menuju motornya yang terparkir tak jauh dari tenda. "Sa, lo dengerin gue nggak sih?! Notification itu jangan didiemin aja, hei!" "Iya denger, nanti gue baca grup. Udah ya, gue mau nyetir nih. Balik ke kosan dulu." Tanpa menunggu jawaban Finka, Sani langsung memutuskan sambungan telepon, karena ia tahu persis sahabatnya itu tidak akan menjawab salamnya dan malah mengoceh lebih panjang lagi. Mengendarai motor metik yang sudah dua tahun ini menemaninya, Sani kembali ke tempatnya melepas penat. Kadang meski hanya sebuah ruang yang hanya berisi tepat tidur, lemari dan meja kerja mungil—kamar kos bisa jadi adalah tempat yang paling Sani rindukan setelah menghabiskan lebih dari dua belas jamnya di tengah hiruk pikuk Ibukota. *** Sani langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur begitu tiba di kosan. Memandangi langit-langit kosannya yang terasa hampa dari hari ke hari. Menghela napas, Sani rogoh saku jaket yang masih ia kenakan, mengeluarkan ponselnya yang sejak tadi berada di sana. Jemarinya menekan beberapa kombinasi angka yang kemudian berganti wallpaper pemandangan senja. Senja cantik yang beberapa hari lalu ia abadikan dari jendela kantor. 259 notification tertera di layar aplikasi Line milik Sani yang seminggu ini ia abaikan. Lebih khususnya ia hanya mengabaikan pesan grup yang terdiri dari teman-teman SMA-nya dulu. Sedetik berlalu Sani hanya memandangi tanpa membuka notifikasi, hingga ibu jarinya kemudian bergerak untuk membaca pesan-pesan yang tertera di sana. Scroll-scroll-scroll... Beberapa pesan hanya Sani lewati tanpa membacanya. Kebanyakan percakapan tidak penting anak-anak mengenang masa lalu, sampai jarinya terhenti ketika menemui obrolan yang fokus pada rencana reuni mereka. Bastian Rahardi Pokoknya harus pada dateng, jangan kayak waktu itu kelas kita cuma beberapa orang doang yang hadir. Irza Fikridami Gue termasuk yang nggak hadir waktu itu. Gila penasaran banget gue kalian udah kayak apa sekarang. Ibu jari Sani kembali bergerak perlahan, meski pada gerakan setelahnya seketika terhenti ketika nama tak asing itu kini terpampang di layar. Daru Atmajdya Tenang, Bos. Kali ini gue dateng. Udah gue luangin waktu jauh-jauh hari. Lufi Aksatama Cie yang big bos mah pantes harus nyiapin dari jauh-jauh hari ya. Sibuk sih! Adila Dwiputri Asik ada Pak Bos, semua akomondasi ditanggung dong! Debaran jantung Sani mulai terasa lebih cepat, tidak sesuai dengan ritme biasanya. Hanya dengan membaca nama itu, membaca pesan dari orang itu, lantas semua memori dalam otaknya seolah merangkai seluruh kejadian yang paling tidak ingin Sani ingat sepanjang hidup. Kejadian yang ingin Sani kubur dalam-dalam. Karena orang itu, orang itu yang membuatnya tidak ingin bertemu siapa pun di masa-masa SMA dulu. Orang yang membuatnya benar-benar ingin menghilang jika harus kembali ke masa-masa menyebalkan serta memalukan itu. Dia, Daruan Atmajdya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
6.9K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.4K
bc

The Prince Meet The Princess

read
181.7K
bc

The Unwanted Bride

read
111.0K
bc

Pengganti

read
301.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook