bc

WISNUKANCANA

book_age18+
136
FOLLOW
1K
READ
adventure
reincarnation/transmigration
time-travel
powerful
tragedy
serious
mystery
brilliant
genius
high-tech world
like
intro-logo
Blurb

Bagaimana jika usiamu berbatas waktu? Bagaimana jika tanggal kematianmu sudah ditentukan sejak pertama kali kamu dilahirkan ke dunia?

Anggana Prabu hidup bergelimang harta. Bahkan di setiap sisi dirinya, banyak manusia yang rela bersimpuh di hadapannya, mengabdi bagaikan tuan Raja.

“Kamu harus segera menikah dan melahirkan keturunan Wisnukancana sebelum menginjak usia 28 tahun,” ucap ibundanya di hari ulang tahun Anggana yang ke 25.

“Kenapa harus?”

“Karena di usia 30 tahun, nadimu akan berhenti.”

Kutukan dari sang Maharaja menggaungkan semua keturunan Wisnukancana hanya terlahir dan hidup sampai di usia 30 tahun. Begitupun nasib sama yang terjadi kepada ayahandanya.

Anggana berjuang melawan takdir yang sudah dituliskan untuk dirinya, Anggana berjuang untuk tetap hidup sebagai keturunan Wisnukancana. Dia dilahirkan untuk mati, dan memilih mempertaruhkan nyawanya untuk benar-benar hidup.

Namun sebelum menjalankan misinya, Anggana harus melahirkan seorang anak laki-laki demi meneruskan keturunan Wisnukancana. Dan wanita kurang beruntung yang menjadi pilihan ibundanya adalah Pramesti, seorang anak dari Abdi setia Anggana.

chap-preview
Free preview
BAB 1 - Sang Tuan Raja
Disebuah perpustakaan kampus terbaik di Indonesia, seorang laki-laki tinggi dengan tatapan mata yang tajam berjalan waspada. Laki-laki itu mengenakanhoodie berwarna hitam besar yang menutupi tubuhnya yang kekar. Tanpa bersuara laki-laki itu menyerahkan sebuah buku dengan d******i warna hitam yang berjudul Experimental determination of the velocity of light. Buku yang tidak cukup tebal tetapi memiliki manfaat luar biasa di dalam dunia penelitian. Namanya Anggana Prabu, hari ini tepat berusia 25 tahun, sedang mengambil studi pascasarjana di Department of physics tahun kedua. Setiap hari Jumat dalam satu minggu, Anggana akan menyempatkan waktu untuk singgah di salah satu perpustakaan di kampusnya. Mencari buku untuk dibawanya pulang. Tidak berbeda dengan hari ini, Anggana memilih sebuah buku dan berniat membacanya nanti di rumah. Anggana segera melangkah keluar ketika buku yang dia inginkan sudah berada di tangannya. Berjalan dengan pasti, Anggana langsung mengarah ke pintu besar yang mengarah langsung ke luar. Di depan sana, sudah berdiri Padmana, berdiri di sisi mobil dengan membukakan pintu di bagian belakang. “Aku sudah bilang untuk tidak melakukan itu jika kita sedang berada di kampus,” titah Anggana setelah berada di dalam mobil. “Maaf Tuanku Paduka Raja.” Anggana malas menanggapi Padmana, sudah berulang kali dia mentitah agar tidak melakukan tindakan berlebihan ketika berada di kampus. Dia tidak suka menjadi sebuah perhatian, dan di lingkungan sosial seperti saat ini, Anggana merasa setiap tindakan yang dilakukan Padmana terlalu berlebih dan mengundang perhatian. Bahkan laki-laki itu sempat menunduk dan bersujud dihadapannya ketika melihat Anggana yang murka karena Padmana lupa dengan salah satu tugasnya. Anggana mengalihkan pandangannya ke arah kota Jakarta. Tempat dilahirkannya dia ke dunia. Di usianya yang menginjak 25 tahun, entah mengapa Anggana merasa beberapa sisi kehidupannya kosong dan terlalu monoton. Dia tidak memiliki keinginan berarti dalam hidupnya, karena jika itu tentang uang, dia sudah memiliki lebih dari cukup untuk menghidupi keturunannya. Jika masalah kecerdasan, Anggana sudah merasa puas dengan kemampuannya. Jika masalah fisik? Anggana memiliki fisik tinggi dengan badan tegap yang kuat. Anggana terlalu sempurna yang membuatnya bosan menjalani hidup. Hidup sebagai anak yatim yang sudah ditinggal ayahanda sejak usianya lima tahun, Anggana sangat merindukan sosok seorang ayah yang bisa membimbingnya dalam segala hal. Kematian yang begitu cepat dari ayahandanya memaksa Anggana hidup tanpa figur seorang ayah. Walaupun di dalam hidupnya, Anggana tidak pernah merasa sepi karena ada banyak abdi yang menyerahkan seluruh kehiduapannya hanya untuk Anggana dan ibundanya. Hanya saja, semua sosok itu tidak akan pernah bisa menggantikan sosok ayahanda dalam hari-harinya. “Sudah sampai di Puri, Paduka.” “Padmana.” “Saya, Paduka.” “Aku memintamu untuk tidak memanggilku dengan sebutan itu, aku merasa tidak suka, panggil saja nama.” “Saya merasa tidak pantas untuk melakukan itu, saya harap Paduka memahami bahwa hal itu terlalu berat untuk saya tepati.” Merasa percuma, Anggana keluar dengan malas. Sudah berkali-kali Anggana mencoba memberi pengertian kepada Padmana untuk tidak melakukan hal itu, dia hanyalah manusia biasa, tidak selayaknya di perlakukan seperti dewa. Ketika sampai di dalam rumah, Anggana melihat ibundanya yang sedang merawat bunga mawar merah kesayangannya. Dengan telaten, tangannya yang lentik ia gunakan untuk memotong daun-daun yang mulai menguning. Anggana yakin ibundanya tidak mengetahui keberadaannya di sini, dengan menyenderkan tubuhnya ke daun pintu yang tinggi, Anggana memperhatian setiap gerakan anggun ibu. “Eh, Mas Gana, sudah sejak kapan sampai?” tanya Ibunya. “Baru saja, ibu terlalu fokus merawat mawar hingga mengabaikan suara berisik kedatanganku.” Ibunya tersenyum dengan manis, sesuatu yang sangat Anggana kagumi sejak lahir. Paras wanita ayu yang selalu elegant, dengan guratan wajah yang sama dengan miliknya. Nama ibunya, Denayu Suci. Keturunan ningrat yang dipilih ayahnya untuk menghabiskan usia bersama. Semenjak kematian ayahanda hampir 20 tahun yang lalu ibu tidak berkeinginan untuk menikah lagi. Ia ingin mengabdikan seluruh sisa umurnya hanya untuk mengurus dan mengabdi pada keturunan Wisnukancana, yaitu Anggana. Denayu melepaskan apron yang melilit tubuhnya, kemudian mencuci tangannya di sebuah sungai kecil yang terletak di belakang taman. Denayu meminta Anggana untuk duduk di kursi kayu yang menghadap ke arah taman. Ia meletakkan sebuah kitab dan cincin emas bertahta berlian berwarna biru laut yang cantik. Permata yang terlihat mewah dengan model yang rumit. Dalam satu kali melihat, Anggana yakin bahwa cincin itu bukanlah cincin biasa. “Selamat ulang tahun Mas Gana, anak dari ayahanda dan ibunda yang begitu hebat.” “Terima kasih, dan aku rasa perlu menanyakan kenapa hadiah Anggana berupa cincin yang seharusnya digunakan perempuan?” “Kamu harus segera menikah dan melahirkan keturunan Wisnukancana sebelum menginjak usia 28 tahun.” Kalimat Ibunda terlalu cepat dan mendadak, selama ini ibunya tidak pernah membahas tentang perempuan dan pasangan. Namun tiba-tiba, siang ini apa yang di ucapkan terlihat begitu nyata dan tegas. “Kenapa harus?” tanya Anggana menelisik. “Karena di usia 30 tahun, nadimu akan berhenti.” Ucap Denayu tanpa jeda, singkat dan lugas. Kedua alis Anggana menyatu, menunjukkan kebingungan. “Mati?” tanyanya. “Ya.” Anggana menggeleng, kemampuannya mencerna kata demi kata terasa menyusut, dia masih merasa bingung dengan penjelasan ibundanya. “Bisa diperjelas lagi, Bu? Anggana masih belum paham.” Denayu mengalihkan tatapannya ke arah awan yang tinggi nan jauh di atas langit. Senyum yang sebelumnya ada menghilang berganti dengan sendu yang terlihat samar. Tatapannya kosong, seperti sedang tidak berada di dalam dunia yang saat ini mereka berdua tapaki. “Ayahanda adalah keturunan Wisnukancana, aku rasa kamu sudah pernah mendengar akan hal itu.” “Yaa.” “Wisnukancana sang Paduka Raja Kerajaan Kalingga Danuwara.” Kali ini, tatapan matanya Ibunda sudah beralih menatap Anggana yang masih terdiam. Tentang keturunannya, Anggana sudah mengetahui hal itu. Bahwa dalam darahnya mengalir darah sang Paduka Raja, oleh sebab itu banyak manusia yang mengabdikan dirinya untuk melayani dirinya dan Ibundanya, hingga bersimpuh hanya untuk memberikan bukti kesetiaan. “Darah yang mengalir di tubuhmu adalah anugrah pun menjadi bencana, karena di dalamnya mengalir kutukan Maharaja Kanugara, nadi semua keturunan Wisnukancana akan berhenti tepat ketika usianya menginjak angka 30 tahun.” “Termasuk Anggana?” Denayu mengangguk pasti. “Oleh sebab itu, ibu meminta kamu untuk segera menikah, atau apapun itu yang terpenting kamu harus melahirkan anak laki-laki sebelum usiamu menginjak 28 tahun, kamu tetap harus meneruskan Keturunan Wisnukancana.” Anggana membeku, poros dunia tiba-tiba berhenti begitu mendadak. Apa yang di sampaikan ibundanya seperti sebuah hantaman kuat yang tepat mengenai relung hatinya. Hidupnya tidak akan lama, saat ini usianya 25 tahun, artinya dia hanya akan memiliki waktu 5 tahun lagi untuk hidup. “Ibu minta maaf jika baru memberitahu hal penting dalam hidupmu di usia 25 tahun. Ibu hanya menuruti titah ayahnda untuk melakukan hal ini, karena bagaimana pun, ayahanda tidak ingin membuat kamu merasa berbeda dalam memandang dunia dan meratapi nasib.” “...” “Ayahanda ingin kamu menjadi manusia biasa yang hidup normal hingga menginjak usia 25 tahun, dan setelahnya sebuah tanggung jawab besar harus kamu emban, yaitu melahirkan keturunan Wisnukancana.” “Melahirkan keturunan Wisnukancana, hanya untuk mati?” tanyanya dengan tatapan dingin. “Mas Gana, tidak semua takdir yang diberikan Sang Maha Kuasa itu indah.” “Ibu belum memberikan jawaban untuk pertanyaan yang Gana berikan, apakah aku harus melahirkan seorang anak hanya untuk menghadapi kematiannya di usia 25 tahun?” “Ibu pikir itu bukan sebuah pertanyaan, tetapi pernyataan yang tidak membutuhkan jawaban.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.5K
bc

My Secret Little Wife

read
93.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.6K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook