bc

FORBIDDEN

book_age18+
1.3K
FOLLOW
6.2K
READ
murder
confident
bxg
mystery
scary
city
office/work place
rejected
secrets
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Helen sempat berpikir kalau kehidupannya baik-baik saja pasca sang kekasih memutuskan hubungan mereka dan menghilang dari hidupnya secara tiba-tiba. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama. Setelah ayahnya tertangkap dalam kasus pencurian berlian milik seorang mantan militer, hidup Helen berubah.

Zou rupanya bukan orang yang mudah. Bukan pria yang berbesar hati menerima pendapat dan saran orang lain. Ia berbahaya. Menikam Helen dari segala sisi dengan ancaman.

chap-preview
Free preview
1
Helen menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari tangannya yang kecil. Terpaan angin di pagi hari membuat rambutnya yang tertata berantakan dan kusut. Helen mengutuk mobilnya pagi ini yang mengharuskannya pergi menggunakan bus. Dia sudah menghubungi sang ayah sebelumnya. Dia akan pergi ke kantornya untuk berbicara sesuatu. Helen masuk ke dalam sebuah gedung minimalis yang hanya bertingkat lima. Kantor sang ayah memang tidak terlalu besar tapi Helen menyukainya. Bergaya klasik sesuai seleranya. Ayahnya bekerja untuk sebuah investasi pemasaran real estate di kawasan elite Tokyo yang terkenal. Menghela napas panjang, Helen berjalan melewati lantai dasar yang tidak terlalu ramai karena jam masih terlalu pagi. Dia tidak lagi tinggal bersama sang ayah dan Helen harus berkirim pesan untuk bertanya apa sang ayah ada di kantor atau tidak pagi ini. Helen menaiki sebuah tangga mewah yang membawanya sampai ke ruang sang ayah. Lantai dua. Dengan ruangan kecil yang disulap menjadi ruangan luar biasa indahnya oleh sang ayah. "Masuk." Kepala Helen menyembul ke dalam, melihat apa sang ayah sedang sibuk atau tidak. Tapi pria tua berumur lima puluhan itu sedang duduk dengan komputernya. Wajahnya terlihat segar. "Masuklah, sayang." Helen masuk ke dalam. Menutup pintu kayu jati itu dengan hati-hati. Ruangan ayahnya cukup besar. Cukup memikat dengan segala interior yang ada di dalamnya. Helen sangat menyukai semua sudut terkecil yang ayahnya persiapkan untuk menemani hari-hari suntuknya bekerja. Luar biasa, pikirnya. Panutan serta cahaya dalam hidupnya. "Selamat pagi, ayah," Helen menyapanya dengan ramah. Memberikan kecupan di pipi kanan sang ayah. Kebiasaan yang tidak terlupakan sejak dirinya kecil. "Selamat pagi putriku yang cantik. Bagaimana harimu? Kau tidak menemuiku kemarin," mata cokelat sang ayah mengikuti arah kemana putrinya duduk. Helen merapatkan mantelnya, tersenyum lembut padanya. Membuat senyumnya mau tak mau timbul hingga kerutan di bawah matanya terlihat. "Ada perlu apa?" Kepala Helen menggeleng. "Aku khawatir padamu," matanya menatap sedih. "Apa aku harus menginap di rumah untuk merawat ayah selama beberapa hari ke depan?" "Kau mau?" Helen mengangguk singkat. "Aku akan meninggalkan yayasan di tangan Karin setelah itu aku akan pulang ke rumah. Tapi setelah mobilku selesai diperbaiki." "Kenapa dengan mobilmu?" Helen memutar matanya. "Mogok." "Kau pergi dengan bus?" Helen mengangguk singkat. Dia melihat ada sinar kekhawatiran di mata sang ayah. "Tidak apa, ayah. Aku terbiasa memakai bus di Hokkaido. Itu bukan sesuatu yang perlu dibesarkan. Karena aku sudah dewasa sekarang." Helen melihat senyum samar ayahnya. Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum. "Apa ayah membantu yayasanku lagi dengan menjadi donatur dana diam-diam? Aku hanya penasaran. Dan datang karena bermaksud bertanya hal yang sama." Dua detik, empat detik, enam detik. Helen tidak menemukan jawaban apa pun sampai dia melihat sesuatu yang jelas di wajah sang ayah. Sebuah senyum jahil menggoda. 'Ah, putriku tahu sekarang. Aku melakukannya diam-diam padahal. Tidak menyenangkan. Itu seharusnya menjadi kejutan. Rupanya, ayah tidak pandai berbohong. Benar, 'kan?" Helen mendengus. Tidak bisa menyembunyikan tawanya. "Aku mengerti betul bagaimana dirimu, ayah." "Apa ayah sudah sarapan?" Kepala sang ayah mengangguk. "Aku belum. Aku akan mencari makan di kafe terdekat," Helen bersiap beranjak dari tempatnya sampai dia melihat tangannya ditarik sesuatu. Kepalanya kembali menoleh. Mendapati ayahnya tengah memandangnya dengan sebuah tatapan kosong. "Aku menyayangimu, Helen. Sangat-sangat menyayangimu." Helen tidak mengerti apa maksudnya. Dia membuka mulutnya untuk membalas ucapan ayahnya namun tertahan karena pria itu mendorongnya pergi setelah menutup pintu dengan lembut. *** "Hai, Karin, aku akan menginap di rumah ayahku. Tidak perlu khawatir, hanya empat atau lima hari. Kondisi kesehatannya memburuk akhir-akhir ini," Helen memakan roti isinya dengan lahap. Sebelah tangannya bebas mengambil sepotong roti di piring dan sebelah tangannya yang lain memegang ponsel. Helen mendengar jawaban wanita itu. Mereka berbicara sebentar sebelum akhirnya Helen menutup telepon dan melanjutkan makannya. Mata Helen terpaku pada dua mobil hitam legam yang masuk ke halaman kantor ayahnya. Kafe yang sedang ia duduki berada tepat di seberang kantor sang ayah. Helen menghabiskan jus jeruknya hingga setengah gelas dan kembali memesan makanan serupa. Setelah pelayan pergi, mata Helen kembali fokus pada dua mobil hitam itu yang terparkir berdampingan. Dahi Helen mengernyit melihat empat orang berjas hitam keluar dengan langkah elegan masuk ke dalam kantornya. Apa mereka para penagih hutang? Siapa mereka? Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya. Helen menggeleng kecil menepis pikiran buruk itu setelah makanannya datang dan dia mulai memakannya dengan lahap. Dia akan bertanya pada sang ayah nanti. Namun, rasa-rasanya pikirannya terlalu berkecamuk. Dalam sepi yang mengundang, Helen menatap parau pada gedung minimalis tempat ayahnya bekerja dan menghasilkan uang. Sementara Helen melamun, perutnya memaksa untuk menerima suapan makanan. Pikirannya buyar. Mencoba menepis prasangka buruk yang mampir, hampir terdengar mustahil. *** Helen menatap dirinya di pantulan cermin salon siang ini. Ayahnya punya janji di kantor percetakan dan Helen tidak bisa menemuinya setelah makan. Helen akan kembali setelah sore hari dan mereka berjanji akan bertemu di rumah untuk makan bersama. Helen sudah berbelanja untuk memasak makan malam. Ayahnya bilang dia merindukan masakannya dan Helen bersiap memasakkan sesuatu untuk makan malam mereka. Helen merindukan masa-masa dimana dia menjadi putri kecil sang ayah dan mereka berbicara bersama. Bukan menjadi dirinya yang sekarang. Gadis mandiri dan tangguh. Begitu julukannya sekarang. Helen menyentuh pipinya yang berisi dengan keras. Menekan-nekannya hingga dia mendengar suara kekehan dari balik punggungnya. "Terakhir kali aku melihatmu adalah dua bulan yang lalu dan lihat sekarang. Kau benar-benar berbeda, Helen," Helen melirik Tara yang sedang menata rambutnya di belakang. "Apa aku menggemuk?" tanya Helen dengan pandangan horror. Tara terkekeh geli. Dia menggulung rambut panjang Helen dan mulai memotongnya secara perlahan-lahan. "Tidak, Helen," mata Tara menatap geli. "Tidak salah lagi." Helen memutar matanya. Pipinya menggembung gemas. "Dasar." Helen menatap pantulan dirinya di cermin. Membiarkan tangan ahli Tara menata rambutnya yang sudah terlalu panjang dan dia minta sedikit dirapikan. Helen butuh dimanjakan siang ini. Dia pergi ke salon kecantikan untuk memperbaiki dirinya yang sempat rusak karena terlalu lama sibuk mengurus yayasan milik ibunya yang kini jatuh padanya. Tara tersenyum setelah dia menyisir rambut Helen dengan sisirnya. Helen tersenyum puas dengan hasil potongan wanita itu. Rambut Helen bergelombang di bawahnya dan sisinya terpotong tipis. Helen menyukai modelnya. Tara membuatnya sangat cocok untuk dirinya. Helen melambaikan tangannya setelah membayar pada kasir yang berjaga. Tara menatap Helen dari balik jendela salon yang terbuka. Tersenyum sekali lagi setelah Helen pergi dengan sebuah taksi yang berhenti di depan salon. *** "Ayah?" Helen menaruh dua bungkus plastik berisi bahan makanan di atas meja. Dia menyuruh pelayan rumah tangga untuk mengaturnya di dalam kulkas dan dia pergi ke lantai atas memanggil sang ayah. Namun nihil. Helen turun ke lantai bawah. Tidak mendapati ada seseorang di rumahnya. Wajahnya pucat bagai mayat seketika. Helen berlari ke dapur, dan kosong. Berlari ke taman belakang dan kosong. Helen berlari kembali ke rumah utama dan mendapati ada dua pria berjas tengah menyeringai padanya. Helen beringsut mundur hingga menabrak pintu pembatas antara dapur dengan kolam renang. Napas Helen berubah pendek ketika salah satu dari pria itu berhasil menarik tangannya dan menyeretnya dengan paksa sampai ke gudang bawah tanah. Mata Helen melebar saat melihat ayahnya duduk di sebuah kursi tua dengan kedua tangan dan kaki terikat. Mata ayahnya terlihat sedih. Mulutnya tertutup lakban hitam. Ada beberapa lebam yang tertinggal. Mungkin akan menghitam keesokan hari. Memikirkannya membuat Helen pucat, tubuhnya menegang dan napasnya memburu. "Apa yang kalian lakukan!?" teriak Helen terasa menyakitkan telinga. Salah satu dari pria itu maju. Mencengkram rahang ayahnya dengan kuat hingga pria tua itu memekik kesakitan. "Berhenti! Jangan sakiti dia!" Teriakan Helen tidak digubrisnya. Helen meronta-ronta pada pegangan dua pria yang membawanya paksa tadi. Kepalanya menoleh, menatap dingin pada dua pria itu yang sayangnya tidak berpengaruh apa pun pada mereka. "Jangan sentuh ayahku, b******k!" Helen menendang lutut pria yang kini jatuh tersungkur di atas lantai kayu gudang yang dingin. Helen meronta kesakitan saat kedua tangannya semakin dipegang erat. Hampir mati rasa. Helen menggeleng saat tatapan matanya bertemu dengan mata kosong sang ayah. "Lepaskan dia." Helen menoleh saat mendengar suara dalam seorang pria yang datang dari arah belakang punggungnya. Helen belum sempat menoleh melihat siapa pemilik suara dalam itu karena kini sosoknya berada tepat di depannya. Menghadap sang ayah. Helen hanya mampu melihat punggung lebarnya yang terlapisi kemeja putih yang Helen yakini menyimpan badan yang bagus. Terlihat dari otot lengannya yang terbentuk karenan pria itu menggulung kemejanya sampai ke siku. "Di mana berlianku?" Kepala ayahnya menggeleng. "Apa maksudmu dengan berlian?" Helen bertanya. Helen menahan napasnya saat pria itu meliriknya dari bahu lebarnya. "Kau tidak bisa mengada-ada! Tidak ada berlian, tidak ada apa pun yang disembunyikannya!" Pegangan pada tangan Helen terlepas dan segera gadis itu berlari menerjang salah seorang pria yang memegang rahang sang ayah dengan kencang hingga ayahnya harus menahan rasa sakitnya. "Jangan sentuh dia, sialan!" Helen mendorong pria berjas hitam itu hingga membentur kayu-kayu yang tersusun di belakang ruangan. Pria itu mengeraskan pandangannya. Helen tidak gentar dengan tatapan itu. Helen membuka lakban hitam yang menutup mulut sang ayah. Napas ayahnya terengah-engah seperti sehabis berlari. Mata sendu itu menatap seorang pria yang berdiri kaku di depannya. Helen menoleh, mendapati tatapan segelap malam itu memandangnya datar sekaligus dingin yang menyengat. Helen menahan napasnya. Kepalanya terasa pening seketika. Bagaimana bisa ada orang setampan dirinya? "Levante Zou," ayahnya mendesis sinis. Helen menoleh, menatap wajah ayahnya dari samping. "Kau b******n. Kau b******n berdarah dingin." Levante Zou mendengus. Dia memiringkan kepalanya, tersenyum. "Kembalikan berlianku sekarang." "Tidak ada padaku!" Helen gemetar saat tubuh sang ayah dihantam dengan kepalan tangan dari tangan kokohnya. Maniknya menatap marah pada pria itu namun Helen tidak mendapat respon apa pun. Dua orang pria lain berjaga di belakang tubuh sang ayah. Helen berdiri gemetar ketika salah satu dari mereka mencoba mendekatinya dan dia berlari mengambil sebuah balok kayu sebagai senjata. "Aku benar-benar akan memukul kepala kalian kalau kalian berani menyentuhku!" dinginnya. Helen tidak menyadari kalau pria itu tersenyum padanya. Helen melihat pria tadi mencoba memegang ayahnya yang meronta kesakitan. Tubuh ayahnya lemah dan mereka memanfaatkan kelemahan itu untuk menyakitinya. "Lepaskan ayahku!" Zou memiringkan kepalanya. "Kenapa harus?" "Kau ini bodoh atau apa? Kalian menyakitinya! Dia terluka sekarang!" Helen mengarahkan balok itu ketika salah satu dari mereka mencoba mendekatinya. Bersiap menyakitinya. Helen mengalami memar di lengannya namun ia tidak peduli. Rasa sedihnya lebih mendominasi sekarang. Helen tidak tahan melihat ayahnya yang menahan rasa sakit karena sikap mereka. Helen merasakan balok kayunya terlempar dengan mudah ke belakang punggungnya. Dia menunduk saat ada tangan lain mencoba menyeretnya paksa dari sana. Helen mendongak, menatap wajah dingin pria itu ketika dia memberi kode dengan tatapan matanya untuk menjauhinya. Helen menahan napasnya saat pria itu menyentuh wajahnya, mencengkramnya dengan jemarinya yang besar. "Lihat, kelinci kecil ini sedang ketakutan," suaranya dalam. Sedalam samudera biru yang tak tersentuh. Mata Helen menyipit tajam saat dia mendengar suara pria itu sekali lagi. "Aku tidak akan melepaskan kelinci kecilku lagi." Pria itu melepas cengkramannya dan menyuruh dua dari mereka untuk membawa Helen pergi setelah hantaman keras di belakang kepalanya membuat dunianya menggelap. *** Helen merasakan udara dingin dari pendingin udara menusuk kulitnya. Dia mencium aroma kamar dengan wewangian bunga yang khas dan selimut tebal yang menutupinya hingga d**a. Helen duduk, matanya nyalang terbuka menatap waspada sekitarnya. Nihil. Dia tidak menemukan apa pun selain kamar besar dengan nuansa putih gading. Tampak damai tetapi mematikan. Di sana, terdapat meja rias besar dengan satu pintu terbuka yang mengarah ke kamar mandi pribadi. Ada lemari besar berwarna putih dan juga sofa mungil yang berhadapan langsung dengan jendela bertralis. Tunggu? Jendela bertralis? Helen menyingkirkan selimutnya dengan kasar dan berlari menuju jendela besar yang satu-satunya menjadi penghubung area luar dengan kamar asing ini. Helen memegang erat-erat besi baja yang membentang vertikal menutupi kaca. Dia melihat sebuah gerbang tinggi besar yang memutuskan penglihatannya dengan kehidupan luar. Helen terperangkap di penjara. Helen berlari menuju pintu dan terkunci. Dia menggedor pintu dari dalam dan tidak ada sahutan yang berarti dari luar. Helen berteriak histeris. Dia kembali mencoba membuka pintu itu dengan tenaganya dan nihil. Helen menemukan talapak tangannya yang memerah dan rasa sakit akibat memar itu menyakitinya. Levante Zou mendengarnya. Dia berdiri tepat di balik pintu bercat putih gading itu. Matanya menatap datar pintu yang tertutup rapat dengan sebuah kunci yang menggantung di jari manisnya. Dia mendengar suara gadis itu berteriak. Teriakannya tentu saja mampu terdengar sampai ke lantai bawah tapi mereka semua tidak peduli. Mereka hanya menuruti perkataannya. "Tuan." Zou melirik pria yang kini membungkuk hormat. "Kami membuang Centella Saka ke sebuah tempat yang sudah Anda siapkan," ucapnya pelan. Zou mengangguk dingin tanpa kata. Membuat pria itu mengangguk kaku dan segera pamit untuk menjauh dari sana. "Buka pintunya!" Tatapan mata Zou kembali pada pintu itu. Jika saja dia memiliki kekuatan, pintu itu akan mati terbakar hangus karena tatapan matanya. "Buka pintunya! Keluarkan aku! Apa salahku? Ya Tuhan, lepaskan aku sekarang juga." Zou memejamkan matanya, berbalik pergi dan mendapati empat orang berjas hitam berbadan besar berdiri kaku di belakangnya. Matanya menatap dingin satu-persatu dari mereka. "Aku percayakan dirinya pada kalian," Zou melangkah tegas. Membuat mereka semakin menundukkan pandangannya. "Jika salah satu dari kalian menyentuhnya, kalian akan membayarnya dengan nyawa." Zou pergi. Berbelok ke arah tangga putar besar yang menghubungkan antara lantai pertama dengan lantai kedua. Suara sepatunya menggema nyaring. Membuat mereka gemetar. Pesona Zou memang tidak terbantahkan untuk urusan menghakimi serta memberi ancaman pada anak buahnya. Auranya yang terlanjur pekat menebar ancaman dimana-mana. Kecaman selalu saja ada, dan Zou berhasil melaluinya dengan mudah. Semudah membalik telapak tangan. *** Helen melotot ketika mendengar kunci pintu yang diputar. Dia melompat dari ranjangnya dan pergi ke balik pintu. Menunggu seseorang yang membuka pintunya. Wajahnya seketika pucat saat mendapati ada empat orang pria berbadan besar memandangnya datar. Sikap siaga melingkupi Helen secara spontan. Menyadari mereka semua teramat sangat berbahaya, membuat Helen pucat sekaligus gelisah. "Patuhi perintah kami, Nyonya, jika kau ingin selamat." Mata Helen melebar. Wajahnya merah padam karena rasa marah yang membakar di dalam dadanya. Dia siap berdebat. Mengeluarkan kekesalannya dan memaki pada empat pria itu sebelum dia melihat seseorang datang dari arah tangga. Dia terdiam. Helen tidak mampu berkata-kata ketika pria itu menatapnya. Dia masih sama. Dengan kemeja putih bersihnya, dia masihlah sama. Pandangan pria itu sama sekali tidak melunak padanya. Helen butuh penjelasan mengapa mereka membawanya kemari. "Di mana ayahku?" "Dia sudah mati." Wajah Helen memucat. Seringai kejam pria itu terbentuk. "Jangan terkejut. Kami sudah membuang mayatnya. Kau bisa melihatnya besok. Ah, sayang sekali kau tidak bisa mengucapkan selamat tinggal atau salam perpisahan. Miris." Kepalan tangan Helen begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Helen melangkah namun tertahan dengan dua pria besar di depannya. "Minggir." Mereka bergeming. "Minggir!" Zou hanya menatapnya datar. Pandangan pria itu seolah tidak berminat. Helen kembali melangkah namun salah satu dari mereka mencoba mendorongnya kembali. Tenaga Helen seakan diserap saat mereka membawanya kemari ketika dia tidak sadarkan diri. Zou melangkah pergi memasuki sebuah pintu kayu bercat hitam kelam dan kemudian suara pintu tertutup membuat mata Helen menajam. Dia berbisik rendah sembari melangkah mundur masuk ke dalam kamar. "Mati kau, Levante." *** Malam tiba. Helen mendengar suara burung hantu yang ada di pohon besar dekat kamarnya. Lampu kamar sengaja ia matikan semua. Dia takut kegelapan. Tapi kali ini dia harus bisa melawan rasa takutnya sendiri. Helen mendengar suara langkah kaki mendekat ke kamarnya. Matanya menatap waspada pintu itu namun menunggu selama lima menit tidak berguna. Tidak ada siapa pun yang masuk ke dalam. Helen tidak melihat ada bayangan sepatu yang berhenti di depan kamarnya. Menghela napas, Helen menyingkap selimut dari tubuh mungilnya. Dia berjalan ke arah jendela kamar. Berharap dia memiliki kekuatan besar untuk membuka tralis besi ini dan dia melompat keluar jendela dengan aman. Sayangnya, tidak bisa. Kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan besi itu sendiri. Helen pergi ke kamar mandi kamarnya. Tidak menemukan ada jendela atau celah untuknya kabur. Ini seperti penjara. Helen menjambak rambutnya frustrasi. Dia memutari kamar mewahnya dan menatap langit-langit. Mungkin dia bisa menembus plafon untuk keluar. Tapi idenya terlalu gila. Helen pergi ke pintu, dia menempelkan telinganya di sana dan tidak mendengar suara apa pun selain saklar lampu. Napasnya tertahan ketika Helen mendengar suara langkah orang turun dari tangga dan menghilang. Membuka gagang pintu yang tidak terkunci, Helen berjalan mengendap-endap masuk ke sebuah ruangan besar dimana ini diluar kamarnya. Helen menggigit bibirnya, dia sengaja menahan langkahnya agar tidak terdengar sampai ke pintu hitam laknat itu. Mata Helen mengarah ke arah balkon yang terbuka lebar. Dia berjalan ke sana. Matanya melebar terkejut saat menemukan rerumputan yang terpotong rapi di bawahnya. Balkon ini menghadap ke taman belakang mansion yang megah. Maniknya berkelana memutari ruangan. Tidak ada siapa pun. Dia berdoa dalam hati semoga empat pria bodoh itu lengah hingga lupa mengawasinya. Langkah Helen tertatih ketika dia memikirkan cara untuk melompat dan pergi dari penjara ini secepatnya. Pilihannya hanya ada dua, tetap bertahan dan dia akan mati dengan penyiksaan atau melompat dan dia langsung tewas. Tapi Helen teringat dengan ayahnya. Matanya terpejam dan tiba-tiba dia menangis. Lelehan air mata tak berdosa itu mengalir di pipinya. Helen melompat menaiki balkon besar itu. Bersiap lompat sampai dia mendengar suara seorang tajam dari pria yang berdiri kaku di tepi pintu balkon. "Apa yang kau lakukan?" "Aku akan melompat jika kau tidak membebaskanku! Aku benar-benar akan melakukannya. Kau harus melepasku, atau aku akan mati sekarang." Dahi Zou mengernyit. Dia menoleh ke belakang dan mendapati empat pria berbadan besar itu mengkeret ketakutan di bawah tatapannya. Zou memandang dingin pada mereka sebelum oniksnya menggelap menatap Helen. "Coba saja kalau kau berani." Dia menantangnya. "Ini belum apa-apa, Helen. Kau belum melihat semuanya dan bersikap menyerah semudah ini? Kau pecundang." Helen melotot mendengar ucapan pria itu. Dia melirik pria berbadan tegap dengan wajah dingin di samping Zou. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang tidak kentara. Pria itu berusaha memasang wajah datar setelahnya tetapi matanya tidak bisa berbohong. Helen terkesiap, terkejut menemukan sinar itu sebelum dirinya membuang muka acuh, berpura-pura tidak melihatnya. Berpura-pura tidak tahu. Berpura-pura mengabaikan kalau Zou baru saja memandangnya lirih. "Tuan.." "Diam." Helen menatap rumput di bawahnya sekali lagi. Dia memejamkan matanya. Hanya sekali lagi dia melangkah ke depan. Kemungkinannya akan ada dua. Dia mati atau dia akan cacat seumur hidupnya. "Apa kau ingin aku membuangmu seperti aku membuang ayahmu?" Helen menoleh, tatapannya tajam. "Kau b******n!" Pria itu hanya mengangguk. Tidak menampilkan ekspresi apa pun. *** "Jangan melompat!" Kepalanya menoleh, air mata mengalir deras membasahi pipi pucatnya. Tangannya bergetar memegang sisi balkon hingga memutih. "Jangan lakukan itu." "Bukankah ini ide yang bagus?" tawa putus asanya terdengar. "Aku tidak peduli dengan diriku sendiri! Aku lebih memilih mati dibanding duduk menjadi pengantinmu!" Suaranya mengalun tegas. Mengisi keheningan malam dengan bisingnya. Pria itu hanya memandangnya dingin. Dia tidak menangkap adanya raut wajah khawatir atau rasa ingin mengasihani dirinya. Pria itu tetap saja memandangnya dingin. Dan oniks itu menajam. Tidak lama setelahnya semua buram.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

Rewind Our Time

read
161.1K
bc

See Me!!

read
87.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook