bc

The Last Oracle

book_age0+
989
FOLLOW
6.4K
READ
adventure
dark
arrogant
goodgirl
sensitive
drama
tragedy
comedy
bxg
like
intro-logo
Blurb

Kata siapa berhadapan dengan demon dan seluruh anteknya itu menyenangkan? Tidak ada yang menyarankanku bahwa aku harus ekstra hati-hati dan memiliki ekstra nyawa, terlebih berhadapan dengan Raven yang mengaku sebagai cinta masa laluku.

Semoga saja tidak seburuk bayanganku.

chap-preview
Free preview
Awal
Namaku Pelangi, memang sebuah nama yang terasa asing di telinga, bukan? Mulai hari ini, aku dan Ayah resmi pindah ke Semarang. Bukan hal baru bagiku jika setiap lima atau delapan bulan sekali, Ayah dan aku pindah rumah dari satu kota ke kota lain. Terasa menjenuhkan; selalu berpindah rumah, berganti sekolah dan bertemu orang baru, harus beradaptasi dengan masyarakat sekitar, lalu bagian tersulit: harus memulai semua dari awal. Bukan perkara mudah membangun identitas dan kehidupan baru dalam masyarakat. Dibutuhkan sebuah ikatan rasa saling percaya untuk menciptakan kehidupan baru. Kehidupan bagiku tak ubahnya seperti sebuah pohon; dia perlu tanah gembur untuk menancapkan akar, serta yang terpenting adalah air untuk daya hidup. Selain itu, sebatang pohon juga membutuhkan sinar matahari untuk membantunya tumbuh berkembang menjadi sebatang pohon yang kuat. Tetapi, hal tersulit bagi sebuah pohon adalah cuaca; ketika badai datang menghantam kekokohan batangnya, pohon tersebut harus mampu bertahan dari terpaan angin yang ingin menumbangkan tekad yang dimiliki pohon. Dan saat badai mereda, sebatang pohon akan menampakkan keagungan yang dia pertahankan. Aku pun tak ada bedanya dengan sebatang pohon yang tengah bertumbuh. Ingin kuakhiri segala pelarian ini-berhenti bersembunyi di balik awan mendung yang mengaburkan kilau cahaya hidupku. Aku ingin hidup di bawah sinar matahari tanpa perlu takut akan kegelapan. Seandainya saja memahami jalan pikiran Ayah itu mudah. Lari, selalu saja melarikan diri dan terus merasa takut jika sesuatu yang dihindari sampai menemukan kami. Tapi, apa yang sebenarnya tengah Ayah hindari? Sebenarnya Ayah dulu tidak begini, dia tidak pernah terlihat setakut ini. Kehidupan lamaku bisa dikatakan sempurna. Aku tidak berbeda dengan anak-anak lain. Tumbuh dan besar dalam keluarga bahagia, sebuah keluarga sempurna yang terdiri dari seorang ayah dan ibu. Aku benar-benar menyayangi orangtuaku, terutama Ibu. Ibuku sangat mencintaiku lebih dari apa pun yang ada di dunia ini, bahkan nyawanya sendiri. Nyawa yang kumaksud adalah secara harfiah bukan sekadar literal. Kehidupan bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. Seperti sebuah roda, tak selamanya kebahagiaan bersifat kekal. Siapa yang tahu seperti apa esok hari? Begitu juga denganku, aku tak pernah tahu sesuatu yang buruk tengah menantiku. Sungguh, termasuk orang beruntung mereka yang mendapatkan kebahagiaan sempurna, kebahagiaan yang seperti mimpi. Sedang bagiku kebahagian lebih mirip seperti dongeng, tidak ada peri yang membantuku menemukan pangeran berkuda putih impian. Tidak ada tongkat sihir yang bisa membalik seluruh mantra jahat yang mungkin mengutukku. Singkatnya kebahagiaan merupakan sebuah kemewahan, begitu mewahnya hingga setiap malam aku memohon pada Tuhan agar menghapus seluruh kepingan kenangan buruk dariku. Menghilangkannya dan menggantinya dengan hal manis yang bisa kuminta, jika aku bisa mendapatkan keajaiban. Hanya saja .... Babak tergelap dalam hidupku tidak bisa dihapus begitu saja. Kenangan terkelam yang harusnya dikubur. Potongan-potongan mosaik hidup yang setia menghantui di setiap malam. Kenangan itu seakan telah bertunas dan bertumbuh menjadi momok yang tak bisa kuhindari. Masih jelas dalam ingatan setiap keping kejadian tersuram itu—malam ketika rumah kami diserang gerombolan jubah hitam. Malam terakhir aku melihat Ibu. Saat itu usiaku masih tujuh tahun, seperti malam biasanya kami bertiga Ayah, Ibu, dan aku menghabiskan waktu bersama. Harusnya saat itu menjadi waktu bersama yang menyenangkan, hanya saja sesuatu yang aneh mulai terjadi. Ibu terlihat khawatir dan langsung menghampiri jendela. Penasaran, aku pun mengikuti Ibu-melihat apa yang tengah dirisaukannya. Melalui kaca jendela, aku menyaksikan pemandangan di luar rumah, dan akhirnya aku paham pada apa yang ditakutkan Ibu. Sejumlah manusia—jika memang mereka makhluk fana—datang mengepung. Seperti kabut hitam, mereka mulai mengeluarkan senjata, tampak seperti bilah pipih yang terbuat dari besi di setiap genggaman tangan, tangan hitam itu—serta menyumpah serapah. Aku tak bisa memperhatikan wajah mereka dikarenakan topeng yang mereka kenakan. Sekumpulan mimpi buruk yang kutakutkan ada di depan rumah, mungkin mereka lebih pantas jika mereka disebut sebagai bayangan kegelapan yang datang bertamu. Aku tak mampu menggerakkan tubuh, terlalu takut dengan apa yang kulihat. Ayah yang melihatku membatu langsung menarikku menjauh dari jendela. "Mereka datang, tak akan kubiarkan mereka membawa putriku!" hardik Ibu melalui kaca jendela tempatnya melihat bayangan kegelapan. Ibu segera berlari menuju pintu dan mengeluarkan sebuah tongkat dari udara kosong; benda itu seperti terbuat dari ranting pohon, panjang dan nampak ukiran aneh di ujungnya. Memegang erat tongkat sihirnya, Ibu terlihat seperti tengah berdoa, tak lama kemudian sinar terang mulai keluar dari sela jemarinya yang kurus. Seiring dengan sinar yang datang, sulur tanaman pun mulai menutup setiap pintu serta jendela. Pintu tetap tak bergeming meskipun mereka-para manusia berjubah-memaksa masuk dengan cara mendobrak pintu. Karena rasa takut yang begitu mendominasi, aku sampai tak sempat memikirkan keanehan Ibu. Apakah ibuku benar-benar seorang manusia? Dari seberang pintu, seseorang mulai berbicara dengan suara yang bergema seperti guruh, "Kau tidak bisa melarikan diri, serahkan dia kepada kami!" Ibu mulai merapal mantra dalam bahasa yang tak kupahami. Tak lama kemudian muncullah sebuah lingkaran terang berwarna jingga menyala di depan pintu. Di tengah lingkaran terdapat lambang matahari dan bulan. "Tak sepantasnya pelayan kegelapan datang meminta," hardik Ibu, "sadarlah!" Cahaya keluar dari kedua tangan Ibu. Begitu terang hingga mampu melenyapkan sebagian kabut hitam yang menyelubungi rumah. Terdengar jeritan dan raungan dari seberang pintu. Aku tak yakin, apa yang menyerang kami manusia atau makhluk lain yang lebih mengerikan dari manusia itu sendiri? "Menyerahlah! Kalian sudah terkepung. Serahkan dia kepada kegelapan." Ibu, meski wajahnya kelihatan pucat, namun masih bisa kulihat semburat senyum di bibirnya yang mulai membiru. Suara Ibu terdengar gemetar. Kulihat butiran-butiran bening mulai menetes dari kedua mata Ibu yang jernih. "Pelangi." "Ibu ...." Aku hanya bisa memandangnya, sementara bayangan gelap yang keluar dari sela-sela pintu semakin pekat. Aku tak bisa mendengar ucapan Ibu dengan jelas. Suasana semakin mencekam, bayang-bayang kegelapan mulai memenuhi rumah. Wuss. Badai menerjang rumah bagian depan dan melontarkan daun pintu, seisi ruangan berhamburan. Kaca-kaca rumah pecah berserakan menjadi serpihan kecil. Ibuku tersungkur, Ayah yang tengah menggendongku langsung terempas oleh kekuatan angin dan menghantam dinding. Gerombolan itu berhasil menerobos pagar pelindung yang diciptakan Ibu. Tampak sesosok bayangan gelap dan pekam, bayangan tersebut mengeluarkan aura gelap. "Serahkan dia kepada kegelapan," ucap sebuah bayangan pada Ibu. Begitu gelapnya aura yang dikeluarkan oleh bayangan tersebut, seolah-olah aku berpikir tak akan ada matahari cerah esok hari. Semua kebahagiaan seperti tertelan oleh kabut kegelapan yang mulai masuk ke setiap celah ruangan. Kegelapan menari-nari menebarkan rasa gelisah dan keputusasaan, siap untuk menghancurkan setiap jengkal kehidupan yang ada di sekitarnya. "Mas Pergi! Bawa Pelangi!" teriak Ibu. "Tidak!" Ayah tak kuasa menahan tangis. "Kita harus pergi bersama-sama!" "Mas, tolong jaga Pelangi." "Rebecca!" Tiba-tiba sebuah portal muncul tepat di belakang Ayah. Dengan seluruh sisa tenaga yang dimiliki Ibu, dia mendorong kami berdua jatuh ke dalam portal. Sejak saat itu, aku tak pernah berjumpa dengannya lagi. Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, apakah Ibu selamat? Terakhir kali Ayah mengunjungi rumah, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Ibu tidak ditemukan di mana pun juga. Tidak juga di tempat ketika dia melawan gerombolan hitam. Lenyap tak berbekas, menyisakan suatu kekosongan yang tak terelakkan. Hilang, seperti butiran pasir yang tertiup angin. Apakah ibuku seperti pasir itu?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

A Secret Proposal

read
376.4K
bc

Mafia and Me

read
2.1M
bc

LEO'S EX-SECRETARY

read
121.1K
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
221.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook