bc

BLITZ (Passionate Past #4)

book_age18+
1.2K
FOLLOW
9.0K
READ
billionaire
possessive
contract marriage
drama
comedy
twisted
bxg
city
husband
passionate
like
intro-logo
Blurb

21+ Mature Content

Ringgo Adeo Tahitu berlibur ke Spanyol pertama kalinya ketika berusia enam belas tahun dan saat itulah untuk pertama kalinya juga ia bertemu dengan Aurora Isabella Vázcez yang masih berusia tiga belas tahun.

Lima tahun kemudian pertemuan kedua pun terjadi.

Apakah pertemuan kedua mereka ini menjadi

pertemuan yang terakhir? Sedangkan mereka sama-sama tahu pertemuan terakhir tersebut menimbulkan konsekuensi besar bagi keduanya.

Cover: Orisinal

Pembuat: Delarossa

Gambar: Pexels (Gratis)

Font: Canva (Gratis)

chap-preview
Free preview
Bab 1
Semua terjadi dengan sendirinya, pemuda itu mengecup bibir gadisnya yang baru saja menjadi istrinya dengan lembut, perlahan bibirnya menelusuri pipi gadis itu, menjilat telinganya dengan lembut dan berbisik di telinga lembut. "Sayang, kita sama-sama tidak berpengalaman, tapi kau percaya padaku kan?" Gadis itu tidak menjawab karena jantungnya pun berdebar kencang, perutnya bergejolak panas, tubuhnya bergetar, ini bukan rencana mereka, karena perjanjian mereka setelah acara pemberkatan pernikahan dan penandatanganan berkas-berkas selesai, keduanya sepakat akan berpisah. Tapi pemuda itu tidak bisa lagi memendung hasrat yang sudah dia tahan selama mereka bersama beberapa hari ini melewati hari, dan gadis itu juga merasakan hal yang sama. "Kalau kau ingin kita berhenti, kita tidak akan melanjutkan ini Rora, tapi aku benar-benar ingin melakukannya bersamamu," ucap pemuda itu sambil menatap lembut istrinya yang muda dan cantik. Gadis bernama Rora itu tidak menjawab. Dia hanya memandang bibir anak muda di hadapannya yang seolah menghipnotisnya. "Kau masih mau kita melanjutkan ini?" Si pemuda itu kembali bertanya.Gadis itu mengangguk sambil menangkup pipi suaminya. "Saat kita memulai, aku tidak akan berhenti Aurora." Pemuda itu kembali memastikan kesiapan istrinya. "Lakukanlah," kata gadis itu dengan yakin. "Katakan kau juga menginginkannya Aurora." "Aku menginginkannya, aku menginginkanmu Ringgo." Gadis itu berbisik dengan mata berkabut karena gairah. "Aku juga menginginkanmu Aurora," balas Ringgo dan mencium istrinya dengan gairah yang tidak lagi ditahan.Ringgo pun mulai mencumbunya. Menyibakkan rambut panjang Rora yang menutupi bahunya, dan mengecup bahunya lembut. "Aku akan membuka ini Ror," ujar Ringgo menurunkan dress satin putih yang dipakainya saat pernikahan mereka sore tadi. Sejak tadi keduanya masih berdiri dan saling mencumbu. Ringgo menatap gadis di hadapannya yang sekarang sudah menjadi istrinya itu. Tubuh indah gadis berumur delapan belas tahun itu sangat sempurna di mata pemuda itu. Tangan Ringgo mulai menyentuh lembut dadanya yang masih tertupi bra putih. Kulit sewarna karamel itu begitu kontras dengan warna pakaian dalamnya yang serba putih. Ringgo menarik istrinya agar lebih mendekat padanya, lalu mencium bibir lembut itu perlahan, dan semakin lama semakin dalam dan menuntut. Satu tangannya mendekap erat pinggang Rora, dan tangan yang lain menahan kepala gadis itu sembari menggenggam rambutnya yang lebat dan indah jatuh terurai.Dalam beberapa menit, Rora yang sudah belajar berciuman bersama suaminya, dan sekarang dia membalas ciuman Ringgo,dengan gairah sambil meremas rambut pemuda tampan tersebut. Ciuman keduanya semakin panas, semakin dalam, dan semakin liar. Pelukan mereka pun semakin erat. Dengan nafas memburu keduanya merengkuh dan meraih hasrat yang minta dipenuhi. Ringgo melepas kaitan bra istrinya tanpa melepaskan ciuman mereka, tangan pemuda itu mengelus p******a istrinya yang kencang dan juga lembut. "Hmmm ... " Rora mendesah merasakan sentuhan suaminya dibagian sensitif tersebut. Ringgo pun akhirnya melepaskan tautan bibirnya dari bibir istrinya itu dengan ridak rela dan beralih mencium d**a Rora yang berdetak hebat, sambil berjalan, membawa istrinya ketempat tidur dan membaringkannya di sana. Ringgo berdiri menjulang tinggi dihadapan istrinya yang terbaring, tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Rora yang bersemu merah, karena malu sekaligus b*******h. Pemuda itu pun membuka kemeja dan celananya, dan sekarang dia benar-benar telanjang. Pipi Rora semakin merona, karena ini lah untuk pertama kalinya dia melihat seorang laki-laki telanjang. Dia memalingkan wajahnya saat melihat tubuh suaminya itu. Ringgo menunduk di atasnya, kasur melesak saat dia berada di atas tubuh Rora. "Lihat aku, Sayang." Ringgo berbisik lembut, dan memegang dagu Rora agar menatapnya. Dan dia kembali mencium bibir istrinya, sambil mengelus perut Rora yang rata, dan perlahan turun ke pinggang lalu menjilat leher gadis itu. Desahan nikmat keluar dari bibir Rora tanpa dia sadari. "Kau bisa merasakan diriku yang sangat menginginkanmu Rora?" tanya Ringgo berbisik sambil menatap istrinya dengan mata berkabut berbalut gairah. Istrinya hanya mengangguk. "Aku juga bisa merasakan kalau kau juga menginginkanku, Sayang. Aku akan pelan-pelan," ucapnya lembut. Keduanya sama-sama belum pernah melakukan hubungan ini, mereka hanya mengikut naluri yang memang sudah dimiliki setiap manusia. Ringgo langsung mencium bibir Rora saat dia mulai bergerak, sakit yang mereka rasakan perlahan berubah menjadi kenikmatan. Pemuda itu bergerak pelan dan lembut, dan perlahan mulai bergerak semakin cepat dan dalam. Tangan mereka saling bertautan. Keduanya saling merengkuh, mengambil kepuasan masing, dan saling memenuhi. Saat mereka akan berada di puncak, sepasang suami istri itu saling bertatapan. Mata Rora yang memancarkan harapan dan kepercayaan pada suaminya itu, membuat d**a Ringgo ingin meledak. Gerakan keduanya semakin cepat, tangan Ringgo memegang wajah Rora yang memerah saat akan hampir mencapai puncak. Istrinya itu meremas kedua bahu Ringgo saat dia merasakan ledakkan di pusat dirinya. Pemuda itu berteriak dengan suara tertahan saat kepalanya ke belakang waktu dia mencapai puncak gairah percintaan mereka. Sedangkan istrinya mendekapnya erat saat merasakan peleburan keduanya."Rora ...! Aurora ...! Kau di mana?" teriak Ringgo mencari keberadaan istrinya yang meninggalkannya pagi itu setelah percintaan mereka yang dahsyat. "Roraaaa ...!" Pria itu kembali berteriak. Rora terbangun dengan keringat memenuhi wajah dan tubuhnya. Napasnya memburu. Wanita itu langsung duduk di tempat tidurnya. Dia menelan ludah yang terasa pahit, lalu menggapai gelas yang berisi air minum di atas nakas di samping tempat ridurnya dengan tangan gemetar. Dia meminum air putih itu hingga tandas dan meletakkan gelas itu kembali ke tempat semula. " Ringgo ... " Rora berbisik memanggil nama laki-laki yang sudah dihindarinya selama tujuh belas tahun ini. Wanita itu menunduk dan menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Mimpi itu masih sering muncul. Mimpi saat mereka bercinta untuk pertama kalinya dan juga yang terakhir kalinya. Suara teriakan Ringgo yang memanggil namanya waktu dia pergi setelah percintaan hebat itu, masih terdengar jelas di telinganya. Dia juga masih mengingat wajah Ringgo yang panik dan putus asanya karena tidak berhasil menemukannya. Dari tempat persembunyiannya dia melihat semua dengan jelas saat suaminya itu keluar dari hotel tempat mereka menginap berteriak seperti orang gila sambil memanggil namanya. Hari itu adalah hari terakhir dia melihat suaminya, Ringgo Adeo Tahitu. "Ringgo ...." Rora kembali berucap lirih sambil menangis seperti biasa kalau dia bermimpi tentang pria itu. *** "Dewan kota akan menaikkan pajak sekita dan hal ini masih dibicarakan ..." "Luar biasa," Rora mengomel mendengar berita pagi ini "Tepat sepertinya yang kubutuhkan, kerja tambahan, lembur, dan penghematan. Dunia yang indah!" Wanita itu menyisir rambutnya dan mengikatnya tinggi. Setelah itu dia memakai lotion pelembab ke seluruh tubuhnya karena udara saat ini benar-benar panas. California memang lebih sering panas sepanjang tahun, bahkan di bulan Desember tidak pernah ada salju di sini. Selesai memakai lotion sebanyak mungkin, dia pun mengambil pelembab untuk wajahnya dan saat dia menatap ke cermin, matanya terlihat bengkak karena menangis tengah malam tadi akibat mimpi erotis tersebut. "Seharusnya aku o*****e, bukannya menangis hingga mataku bengkak begini." Dia kembali mengomel, dan tak jadi memakai pelembab wajah tersebut dan memtuskan memasukkan pelembab itu kedalaman tasnya. Dan yang Rora butuhkan saat ini adalah es untuk mengurangi bengkak di matanya sebelum sampai ke kantor tempatnya bekerja.Dia pun keluar dari kamar menuju dapur dan di sana sudah didapatinya wanita yang selama ini selalu setia menemaninya. "Pagi Bibi ..." sapa Rora sambil mencium pipi bibinya dan satu-satunya keluarga terdekatnya itu, tentu saja selain anak laki-lakinya. Inez Sanchez adalah sepupu perempuan ayahnya yang sudah menjaganya selama tiga puluh lima tahun hidupnya, sejak dia lahir sampai sekarang di masa pelarian mereka. "Wow, matamu sangat indah pagi ini, sayang, kau membutuhkan es?" tanya wanita yang hampir memasuki usia lima puluh tahun itu pada keponakannya. "Gracias Bibi Inez," jawab Rora dan Inez pun memberikannya es dan handuk kecil, lalu Rora mengompres matanya. "Reagan sudah bangun?" tanya Rora sambil memindah-mindahkan kompres di matanya. "Anakmu itu pulang larut malam, katanya membuat film pendek dengan teman-temannya." Inez menjawab sambil meletakkan roti bakar di piring. "Aku tidak suka dia melakukan itu." Rora meletakkan es di meja, lalu meminum jusnya. "Melakukan apa?" Inez kembali menatapnya. "Membuat film." "Oh tentu saja Sayang, buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya, diberkatilah siapa pun yang membuat peribahasa itu," kata Inez dengan penuh hikmat. Rora menatap bibinya tajam, dia tahu Inez sedang menyindirnya. "kenapa?" Inez pura-pura bingung. "Bibi, kita sudah berjanji tidak akan membahas ini lagi." Rora mulai tampak kesal. "Oh, baiklah, Rora− " Rora langsung menggeleng memotong perkataan bibinya. " Letizia, Bibi, namaku Letizia." Inez menarik mendesah sambil memutar bola matanya. "Baiklah Letizia Martinez. Ya Tuhan ... kenapa kau harus memilih nama Letizia? Nama itu mengingatkanku pada ratu di negara kita saat ini. Perempuan itu benar-benar seperti tirani, apa kau tau sewaktu paskah sepulang dari gereja beberapa tahun lalu, dia menarik kedua putrinya dari pegangan tangan nenek mereka! Ibu suri! Berita itu menyebar di mana-mana dan kau memilih nama itu sebagai nama samaranmu," ujar Inez bergidik. Rora menahan senyum geli melihat ekspresi bibinya."Saat aku berganti nama, dia belum menjadi ratu di negara kita, Bibi. Bahkan, Raja Felipe saat itu masih lajang. Yah.... dan teman-temanku memang menjulukiku perempuan dingin seperti dia." Wanita itu mengangkat bahunya tidak peduli. "Oh, tidak ,Sayang, kau terlalu manis untuk disamakan dengan perempuan penuh obsesi tanpa perasaan itu." Inez menggeleng tak terima sambil memakan rotinya. "Jangan sampai ada tau masa laluku, Bibi, bahkan anakku sekalipun. Dan, Bibi, jangan pernah memanggilku dengan namaku yang lama." Rora memperingatkannya. "Baiklah, Letizia," jawab Ines dengan sarkas, dan keduanya saling bertatapan , lalu akhirnya mereka tertawa. "Pagi, Mom, pagi, Nenek Inez." Seorang remaja laki-laki muncul dan menghampiri mereka, lalu mencium kedua wanita itu. "Sepertinya pagi ini kalian sangat gembira, apa karena kenaikan pajak?" "Please, jangan bicarakan itu Reagan." Rora kembali kesal mengingat berita tersebut. "Mom, kenapa dengan matamu?" Remaja bernama Reagan itu menatap wajah ibunya penasaran sambil menuangkan sereal dan juga s**u cair ke dalam mangkuk. "Mommy menonton drama tadi malam, ceritanya benar-benar sedih," ucap Rora berbohong sambil meneguk kopinya. Reagan mengangkat alisnya tidak percaya ."Apa kau merindukan pria itu?" Rora hampir tersedak minumannya, lalu menatap putranya itu dengan pura-pura bingung. "Pria siapa?" "Yang menciptakan aku," kata Reagan sambil menguyah sarapannya. "Tuhan yang menciptakanmu Reagan," jawab Rora santai sambil memakan rotinya. "Ayolah, Mom ... kau tau apa maksudku." "Mengapa kau sekarang sering terlambat pulang sampai larut malam? Mommy tidak akan memberimu izin kalau ini terus berlangsung." Wanita itu mengalihkan pembicaraan dan menatap putranya penuh peringatan. "Kalau begitu sekolahkan saja anakmu menjadi seorang biarawan," sahut Inez menyela pembicara anak dan ibu itu. "Yang benar saja Letizia, dia sedang menggapai cita-citanya." Bibinya ikut membela Reagan. "Oh, terima kasih, Nenek Inez, aku benar-benar mencintaimu." Reagan menatap Inez penuh cinta. "Aku juga sayang." Inez memberikan ciuman jauh. "Kalian berdua ini selalu melawanku," kata Rora geram melihat persengkokolan mereka. "Dengar, Bibi, kalau anak muda ini selalu berkeliaran di luar hingga larut malam, dia akan terjerumus kedalaman hal yang buruk. Narkoba, mabuk, dan hanya Tuhan yang tau apa yang dilakukan anak remaja jaman sekarang." Dia memandang keduanya dengan perasaan jengkel. "Aku tidak berkeliaran, Mom, aku membuat film pendek bersama, Sal. Kami tidak melakukan hal buruk seperti yang Mom tuduhkan." Reagan tampak tersinggung dan tidak terima mendengar ucapan ibunya. "Mommy, tidak menuduhmu, tapi itu yang akan terjadi kalau kau selalu keluar dan terlambat pulang." Reagan memperhatikan ibunya dengan seksama, lalu berkata, "Mom ... " "Ya?" sahut Rora. "Aku baca di artikel, perempuan yang lama tidak bercinta emosinya sering tidak stabil dan mudah marah. Dan melihat ciri-ciri itu ada padamu, aku rasa kau harus pergi berkencan, Mom," ucap Reagan. Inez tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan cucu keponakannya itu. Ekspresi kesal Rora membuat Inez tidak bisa menghentikan tawanya. "Aku akan memotong uang sakumu!" kata Rora melotot marah pada anaknya. "Mom, jangan sensitif begitu, yang kukatakan ini benar. Lihat, nenek Inez, walau dia tidak menikah tapi kencan membuatnya selalu cerah dan ceria. Dan lihat dirimu, Mom, kau benar-benar menyedihkan, matamu bengkak hanya karena menangisi pria itu." Reagan bukan bermaksud mengejek ibunya. "Tapi ingat, Nak, jangan memanggilku, Nenek Inez kalau sedang di luar, aku terlalu tua kau panggil dengan sebutan, nenek," ucap Inez sambil mengerling jenaka. "Tentu saja Senorita." Reagan mengedipkan sebelah matanya pada Inez, dan keduanya pun tertawa "Aku tidak menangisinya!" bentak Rora. "Baiklah." Reagan mengangguk mengalah dan hal itu membuat ibunya semakin kesal. "Hari ini,Mommy, tidak akan mengantarkanmu ke sekolah," ancam Rora. "Hari ini adalah hari libur. Semua orang libur," ucap Reagan geli. "Libur?" Rora menyerngit bingung. "Ck ... pria itu benar-benar membuatmu tidak sada,r Mom." Reagan menggeleng dan meneguk susunya hingga kandas lalu beranjak meninggalkan kedua wanita itu dan masuk ke kamarnya. Inez tertawa puas, dan menikmati momen lucu ini hampir setiap pagi. "Hari ini libur Letizia dan kurasa kita bisa pergi belanja," ujar Inez sambil merapikan meja mereka. Rora menghela nafasnya. "Baiklah, Bibi." Lalu kedua wanita itu mebereskan sisa sarapan mereka.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook