bc

Birds Without Names

book_age18+
71
FOLLOW
1K
READ
killer
dark
family
powerful
dare to love and hate
tragedy
bxg
swordsman/swordswoman
city
war
like
intro-logo
Blurb

Sebagai pengembara tanpa tujuan, seharusnya Asakusa bukan menjadi tempat terakhir dalam proses mencari jati diri seorang Arata selama bertahun-tahun pasca perang besar meletus dan dirinya melarikan diri. Nyatanya, julukan sebagai 'si pembantai' belum juga lenyap meski telah belasan tahun berlalu.

Namun saat bertemu seorang tabib muda terkenal bernama Mia, kehidupan Arata berubah. Yang tadinya terlalu datar dan terlampau biasa, menjadi ssesuatu yang berbeda hingga masa lalu menyeret dirinya dalam masalah lain.

Dia hanya ingin hidup sebagai manusia, bukan sebagai samurai berdarah dingin yang menjadi hantu masa lalu.

chap-preview
Free preview
one
Kyoto, 1 Desember 1915. "Dia melarikan diri." Api pada lentera seolah terdiam mendengar laporan dari seseorang yang membungkuk, menarik ujung pedangnya dengan raut bersalah. Kedua matanya meredup, bola matanya bergetar sesaat setelah memandang lekat pada sosok berkuasa yang duduk, kehadirannya mendominasi ruangan dengan dingin. Terlalu mengintimidasi. "Si pembantai melarikan diri?" "Dia tidak ada lagi di Kyoto. Kemungkinan besar menumpang kereta barang sampai ke Osaka. Aku sudah mengirim utusan untuk segera menariknya pergi jika melihatnya turun." Rekannya yang sedari tadi memilih untuk mendengarkan hanya mendengus, memilin rambut panjang keperakan dengan gelengan miris. "Bagaimana bisa kalian dikelabui bocah ingusan seperti dirinya? Usianya masih sangat muda dan kemampuannya sangat berbahaya. Apa dia melukai prajurit pedang yang lain?" Sang pemimpin mengangkat tangan, memilih untuk menghindari pertengkaran hanya karena ulah satu pendekar yang berhasil meloloskan diri hukuman dan penjara bawah tanah. Kalau dia hanya pendekar biasa, bawahannya serta prajurit pedang tidak akan kewalahan dan kesulitan karena mencari satu orang. Namun, sosok si pembantai kali ini berbeda. Dia terlahir istimewa dengan kemampuan pedangnya yang handal dan aliran putih telah dianutnya selama belasan tahun. "Kau terlihat santai sekarang," sang rekan menyindir dengan santai. "Kepala prajurit pedangmu sedang gemetar. Kenapa kau hanya diam? Kau tidak merasa kehilangan?" "Kita pasti bisa menemukannya." Secangkir ocha hangat telah tandas dari tempatnya. Si pria menatap bawahannya dengan malas, merasakan ketidakbecusan mereka dalam bekerja. "Aku akan memberi keadilan padamu nanti. Kembalilah ke tempatmu dan bubarkan pasukan. Aku tidak ingin mereka berkerumun dan menarik perhatian orang lain. Merepotkan." "Era pedang akan terganti dengan era senjata mulai sekarang. Banyak mantan samurai akan menjadi penjahat dan berbalik untuk melawan negara. Ini yang kau mau, bukan?" Ujung cerutu mengeluarkan asap bersama hembusan napas seseorang. Si pria yang sedang duduk bersila hanya tersenyum kecil. "Aku menginginkan kebebasan. Tidak seharusnya pemerintah mengacaukan sistem yang sempat berlaku. Mereka tidak bisa menjadi pahlawan saat selalu gagal menantang kaum sekutu. Percuma saja karena pihak barat selalu menang dengan senjata mereka." Setelah pemerintah menyatakan diri akan ikut perang untuk melindungi negara dan menjadi cahaya dalam setiap negara di Asia, mimpi buruk itu akan berubah bagi penduduk setempat. Mereka akan kehilangan banyak hal, terutama hidup mereka karena negara akan merampasnya sebagai bentuk genosida bagi pejuang samurai yang ingin membelot dan memperjuangkan kebebasan mereka sebagai mantan pahlawan. "Aku bisa membayangkan peran pemerintah dalam membantai rakyatnya sendiri." Si pria membuang cerutunya dengan dengusan keras. "Aku menginginkan kekacauan yang lebih besar dari ini. Bukan semata tentang membelot terhadap pemerintah. Aku hanya ingin orang-orangku kembali, para pendekar terbaik. Aku membutuhkan mereka untuk melanggengkan kekuasaanku. Bahkan tidak lagi peduli jika aku harus bermandikan darah sekali pun. Aku menginginkannya. Aku harus mendapatkannya." "Kau berpikir pendekar pedang terbaikmu akan melarikan diri ke Osaka?" rekannya menggeleng dengan senyum tertahan. Dalam ruangan yang temaram, minimnya pencahayaan dan hanya berasal dari lentera mungil terpasang pada setiap sudut dinding. "Osaka terlalu besar untuknya. Kau tidak akan bisa menemukannya. Dia mungkin saja melarikan diri ke tempat yang tidak akan kau raih, tidak bisa kau gapai. Dan sebelum pemerintah menangkapnya, kita harus mendapatkannya. Aku hanya tidak mau dia terpenjara sia-sia tanpa bisa mengasah kemampuannya." Si pria dengan seringai angkuh mengulurkan tangan, mengangkat satu alisnya naik. "Dan kau sekarang berminat bekerja sama? Kita bisa menjadi rekan luar biasa." *** Asakusa, 1 Desember 1925. Penduduk bersorak saat melihat kepala desa mereka akhirnya menikahkan putrinya dengan seorang rakyat menengah lalu mengadakan pesta. Para penduduk diperbolehkan datang dan menikmati jamuan makan selagi berpesta. Acara hanya akan berlangsung selama satu hari dan mereka membiarkan dirinya bisa bersenang-senang sebagai bentuk hiburan. Setelah perang dunia pertama berakhir, negara kembali dilanda krisis yang cukup panjang karena anggaran menipis. Penduduk banyak yang kelaparan dan merasa dihantui ketakutan akan misi balas dendam negara lain bisa membunuh mereka kapan pun. Selama era perang masih berlanjut, mengidamkan perdamaian rasanya terlalu tinggi dan mustahil. Pemerintah berniat memperkuat armada senjata mereka dengan mempersenjatai setiap tentara dan menambah kapal-kapal perang serta pesawat tempur untuk memperkuat pasukan. Mereka bertekad untuk maju, tampil sebagai pemenang dan unjuk gigi sebagai yang terkuat. "Cantik sekali. Bagaimana bisa ada gaun seindah itu di zaman sekarang?" Semua orang bersorak, bertepuk tangan saat melihat iringan kuda itu hadir melewati mereka. Si putri kepala desa hanya tersenyum, melambai kecil untuk menyapa para penduduk dengan ramah. "Cantik sekali." Semua memujinya berbeda di hari pernikahan. Tidak terkecuali anak-anak yang ikut pergi untuk melihat, tampak senang karena melihat sesuatu yang baru. Perdana tanpa mau melewatkan. "Apa kau mencuri lagi, Liana?" Arata berpaling untuk mendengar gerutuan dari sesosok gadis yang berkacak pinggang dengan raut siap mengamuk. "Huh?" "Kembalikan uangnya. Kau ingin aku memukulmu?" Gadis kecil itu membelalak, mengangkat tangan secara refleks dan menggeleng keras. "Kau tidak boleh memukul gadis yatim piatu, Mia!" "Aku walimu sekarang. Kau tidak bisa berbuat seenaknya. Cepat kembalikan." Gadis dengan rambut sebahu itu melarikan diri bersama satu cengiran puas. Dia mengembalikan empat kepingan uang logam ke kantung salah satu penduduk dan berlari dari kejaran Mia yang tersandung, menabrak bahu seseorang sampai nyaris membentur tanah. "Oh, mataku. Ini semua karena Liana. Gadis nakal itu!" Mia berjengit mundur saat tangan seseorang meraih lengannya. Ia terburu-buru melepasnya, menepisnya dengan siaga. "Aku minta maaf." "Dia mencuri uang logam salah satu penduduk?" Kedua bola matanya menyipit, melihat seorang laki-laki yang hadir dan terlihat mencolok dengan pakaian serba hitamnya bersama topi jerami besar menutupi separuh wajah. "Apa kau pengembara?" "Aku merantau dari satu tempat ke tempat lain untuk beristirahat," suaranya yang berat mengacaukan pikiran Mia. "Dan ya, aku pengembara." "Kau terlihat aneh." "Aku?" "Dengan siapa lagi aku bicara?" gadis itu merengut, menatap topi jerami besar yang menghalanginya melihat wajah si pengembara asing itu. "Apa kau baru datang ke Asakusa?" "Dua hari yang lalu." Sebelah tangan Mia terlihat waspada dengan memegang sebuah belati yang tersembunyi dari dalam ikat pinggangnya. Senyum Arata timbul, mengangkat sedikit ujung topinya dengan dengusan. "Kau harus tenang. Aku datang bukan untuk mencuri atau mengambil uang seperti gadis kecil tadi." "Oh, Liana." Gadis itu kembali menyembunyikan belatinya dengan lega. "Dia memang nakal dan sulit diatur. Seharusnya sudah biasa karena dia tinggal bersamaku selama ini." "Mia, kemari!" Mia menoleh dan menemukan Liana mengangkat dua ayam peliharaan milik penduduk dengan cengiran tanpa dosa. Gadis itu melotot, terlihat sangat jengkel. "Benar-benar sulit diatur!" Dan sebelum dirinya benar-benar berlari mengejar Liana, Mia menyempatkan diri untuk mendorong si pengembara asing itu cukup keras. Membuatnya terhuyung dan jatuh hingga topi jeraminya terlepas. "Ups, bukan penjahat rupanya." Mia berlari tanpa rasa bersalah dan mengejar Liana yang berhasil menggodanya. Tidak peduli bagaimana raut laki-laki itu sekarang berubah, mengekori sosoknya dengan cemoohan tajam. *** "Aku sudah minta maaf, kan?" Mia mendesis, melepas kain pel dengan lirikan tajam. Sedangkan Liana menciut, tatapan mata bundarnya seolah cemas dan takut. Gadis kecil itu mengepalkan tangan, berlutut meminta maaf. "Kau mau apa sekarang?" "Aku ingin meminta maaf," ucap anak berusia sepuluh tahun itu serius. "Karena aku berbuat seperti itu hanya untuk bersenang-senang." "Kau tahu kalau negara ini sedang krisis sekarang? Mereka sulit mendapat koin untuk tetap hidup. Biaya kebutuhan tidak murah dan mereka harus bekerja keras," kata Mia setelah membersihkan lantai dengan cairan pembersih dan mendesah panjang. "Aku tidak akan menolerir kesalahan yang sama, Liana." "Aku akan jadi pendekar yang hebat. Pejuang perempuan pertama dari Asakusa yang hadir untuk membela rakyat dan kaum tertindas." Liana bangun dengan wajah berlumur tekad. Sementara Mia menoleh, menatap gadis itu dengan gelengan menahan senyum. "Aku akan belajar pedang lebih giat lagi. Dan membantumu mengurus klinik herbal." "Kau berjanji?" "Huum. Aku berjanji!" Seseorang menggedor gerbang kayu rumah dengan cukup keras. Tubuh kecil Liana melompat turun, memakai sandal kayunya dan pergi untuk melihat tamu yang datang. "Uh?" "Pemilik rumah menjatuhkan ini," kata seseorang dengan topi jerami besar dan kimono serba hitam mencolok. Liana membungkuk, mencoba melihat wajahnya dan sosok misterius itu mendorong sebuah benda dari telapak tangannya. "Ini, aku mengembalikan ini." "Bagaimana kau tahu rumah ini?" "Aku bertanya dengan penduduk sekitar." Liana menerima gelang berwarna perak dengan ukiran kecil bertuliskan nama Mia, si pemilik gelang sebenarnya. Gelang perak yang semula selalu ada dan terpasang. Liana pikir, Mia tidak menyadarinya sama sekali saat gelang ini terlepas. "Siapa, Liana? Kalau dia sedang sakit bawa masuk secepatnya." "Dia orang aneh." Liana membalas dengan jeritan dan Mia segera bangun untuk melihat. Membuka gerbang lebih lebar dan terkejut menemukan si pengembara berkunjung. "Dia orang aneh, kan?" "Kenapa kau—," "—aku mengembalikan gelangmu yang terlepas tadi." Si pengembara mengendik pada gelang yang Liana genggam. "Aku bertanya pada penduduk sekitar dan mereka menunjuk rumah ini." Liana bergegas untuk mengembalikan gelangnya dan berlari masuk ke dalam, membiarkan Mia menghadapi si pengembara asing itu sendirian. "Bocah itu," ketusnya saat Liana berlari menghindari omelan baru lagi. "Dia adikmu?" "Bukan. Aku menemukannya terluka setelah mencuri uang milik pengusaha yang mampir ke Asakusa. Para pengawal memukulinya dan dia sekarat seorang diri. Liana sebatang kara." "Oh, begitu." Si pengembara yang tidak memperkenalkan diri hanya merespon singkat. "Aku mendorongmu tadi." "Aku sudah melupakannya," sahutnya. "Aku sudah bersikap tidak sopan." Si pengembara membuka ujung topi jeraminya dengan dengusan. "Aku tahu." "Dan terima kasih untuk gelangnya," ujar Mia tulus saat melihat si pengembara mulai berjalan menjauh. Kemudian teringat bahwa dirinya harus bertanya nama. Gelang ini peninggalan milik mendiang ibunya dan Mia menjaganya sepenuh hati. "Sebentar." Si pengembara berhenti berjalan hanya untuk menunggunya. "Siapa namamu?" "Hm?" "Aku bertanya nama. Siapa namamu?" "Arata." Dan Mia baru membiarkannya pergi saat pria itu berjalan melewati bahunya, menyusuri jalan berbatu dengan tongkatnya. Meninggalkan Mia sendiri setelah memberikan gelang miliknya. "Arata si pengembara," ulangnya dengan serius. *** "Jadi, kalian berkenalan? Siapa pria tadi?" "Dia pengembara," Mia membalas singkat, memetik daun herbal bersama Liana membuntuti penuh tanya. "Bukan penduduk asli Asakusa." "Aku tidak bisa melihat wajahnya tadi," keluh Liana saat mengekori Mia sampai ke saung, melihat gadis itu memilih daun herbal terbaik untuk dijadikan obat bagi para penduduk yang membutuhkan bantuan ketika sakit. "Apa dia tampan?" "Kau ini," sebelum tangan Mia menegurnya, Liana membuat kedua tangan kurusnya menyilang, menangkis pukulan baru. "Oh, gerak refleksmu boleh juga." "Aku akan jadi murid hebat." Liana memberi senyumnya dan Mia hanya mengulurkan dua jempolnya, menyemangati gadis itu. Mia meminta Liana untuk menimba air dan mencuci daun herbal pilihan sebelum menumbuknya dan menyimpan cairan serta bubuknya untuk obat. Ketika gadis kecil itu melompat turun dengan gesit, sebuah ledakan tidak jauh dari tempat mereka terdengar keras. Disusul suara teriakan serta jeritan dari para penduduk. Mia berlari turun, membuka pintu dan semua orang mencoba berlari menyelamatkan diri. "Mia, apa yang terjadi?" "Pesta pernikahan berubah menjadi neraka. Semua orang berusaha melarikan diri." Liana berlari dan mengambil pedang kecilnya saat Mia menarik tangan gadis itu untuk masuk, melotot padanya. "Aku harus menyelamatkan sisanya!" "Itu terlalu berbahaya untukmu!" hardik Mia marah. "Kau tidak selihai itu untuk menolong mereka. Tetap di sini, jaga rumah ini. Bawa mereka yang terluka ke saung. Aku akan segera kembali." "Mia, jangan pergi sendirian!" Liana memandang cemas saat semua orang berhamburan mencoba menyelamatkan diri. Rumah kepala desa dekat dengan rumah penduduk, kawasan Akasuka memang padat dan mereka cemas dengan harta benda saat negara dalam keadaan krisis dan sulit mencari pekerjaan. Kekacauan itu benar-benar ada saat petugas kepolisian setempat memberi intruksi untuk memadamkan api secepatnya. Mia berjalan masuk dan seseorang menarik tangannya cukup kasar, membuatnya terhuyung dan jatuh dengan b****g mencium tanah. "Kau tidak melihat bahayanya? Mereka tidak perlu memasang peringatan untuk melarang orang lain masuk." Ketika Mia mendongak, sosok Arata si pengembara terlihat nyata. Pria itu menyingkap ujung topi jeraminya dengan tatapan gelap mengintimidasi. "Kenapa kau di sini?" "Aku datang untuk melihat saat terjadi ledakan. Itu ulah manusia sendiri," kata Arata setelah mengulurkan tangan, menawarkan bantuan dan Mia menepis tangan itu dengan kasar. Sementara pria itu hanya menunduk, memerhatikan tangannya yang ditepis dan pada Mia yang berhasil bangun dengan raut tajam. "Ulah manusia itu sendiri?" "Ledakan datang dari boks penyimpanan kembang api. Mereka salah perhitungan," jawab Arata dan melihat para penduduk beramai-ramai mencoba memadamkan api. "Keadaan akan terkendali sebentar lagi." "Apa kau seorang cenayang?" "Peramal masih ada di zaman sekarang?" "Masih banyak dan kau bisa menemukannya dimana pun," balas Mia setelah melompat turun dan berbalik untuk melihat dua gadis kecil terluka, dia segera berlari untuk menolongnya. Spontan membantu salah satunya dan terburu-buru pergi untuk kembali ke rumah, membantu mengobati. Bersama pandangan Arata mengikuti. *** "Dia akan demam nanti malam. Aku menyarankan untuk tetap di sini sampai demamnya turun. Aku bisa tetap memantaunya." Sang ibu dengan patuh menuruti. Membantu mengoleskan obat herbal demi mengurangi efek infeksi luka bakar yang membuka pada kulit putrinya. Gadis kecil itu menangis, menahan pedih karena getah pada daun herbal terasa seperti menusuk kecil kulitnya. "Ini tidak akan lama. Tahan sedikit, ya?" Mia berpindah untuk membantu pasien lain. Mengolesi daun herbal yang sama dan Liana membantu melilitkan perban ketika luka telah kering dan selesai diobati. Risiko terpapar udara bisa memperburuk luka yang terbuka, dan Mia menyarankan mereka memakai perban yang terbuat dari kain sisa tak terpakai setelah disterilkan sebagai tambahan dalam proses penyembuhan. Liana kembali bergeser, membantu membersihkan luka para penduduk yang terkena pecahan kaca dan kayu saat terjadi ledakan. Sebagian besar dari mereka mendapatkan luka bakar kecil dan bukan besar. Penyembuhannya tidak akan lama dan mungkin memakan waktu hanya dua sampai tiga hari. "Rasanya akan sedikit pedih. Bertahanlah sedikit lagi." "Terima kasih," cicit remaja itu lirih dan bergeser untuk bersandar melepas lelah. Hanya tersisa dua orang lagi yang belum diobati. Liana dengan gesit mengambil racikan daun herbal dan memindahkannya dalam wadah yang terbuat dari batok kelapa. Melompati anak tangga, mengobati mereka yang terluka dengan hati-hati. Mia merasa lega karena semua pasien telah ditangani. Ia bergegas turun untuk mengambil air bersih, merebusnya dan memberi mereka minuman herbal untuk melepas rasa lelah sekaligus cemas. "Kau seorang dokter." "Aku tab—," kalimatnya terpotong saat melihat siapa yang bertamu ke rumahnya. "—aku seorang tabib." "Apa bedanya dengan dokter?" Arata menunduk ke arahnya. "Karena kau tidak punya lisensi membuka praktik pengobatanmu sendiri?" "Kau sepertinya tahu banyak tentang segalanya?" "Aku pengembara, ingat?" jawaban pria itu lantas membuat Mia semakin jengkel. Liana turun untuk mencuci tangan dan terpaku saat melihat tamu asing masuk ke pekarangan rumahnya. Gadis itu tersenyum, mengelap tangannya yang kotor terburu-buru untuk menyapa Arata. "Hai, aku Liana." "Dia ini perayu dan sedikit centil," sungut Mia pelan sebelum membiarkan mereka berdua sendiri dan Liana sama sekali tidak tersinggung karena ucapannya. "Arata." "Nama yang bagus! Arata si pengembara," gadis itu melempar cengiran polos. Arata hanya tidak percaya bahwa dirinya pencuri dan pernah sekarat karena mencoba mencuri uang demi mengisi perut kecilnya yang kelaparan. "Haus. Aku haus sekali." Arata berpaling untuk memeriksa rintihan kecil itu setelah melepas topi jeraminya, menunjukkan siapa sosok aslinya dengan membungkuk, memeriksa rintihan lirih itu sekali lagi. "Aku butuh air, haus." Ia segera bangun, memeriksa guci air milik tabib muda tersebut dan melihatnya ada di dekat perapian. Gadis itu juga ada di sana dan tampak sibuk merebus sesuatu. "Aku akan mengambilkannya, tunggu sebentar." Arata melesat pergi untuk mencari gelas dan menyendok guci dengan gayung panjang. Mia lekas bangun, memeriksa pria itu tanpa bertanya dan melihat Arata kembali hanya untuk memberi salah satu pasien paruh baya minum, dia terdiam. "Oh, astaga. Apa dia membantu kita?" Reaksi berlebihan Liana memancing cibiran kecil Mia. Saat Arata kembali, menaruh bekas gelas dan berniat mencucinya, Mia menahan tangan pria itu dengan remasan lemah. "Biar aku saja." Arata melepas bekas gelas itu dengan hati-hati, melirik Mia yang mengambil alih sisanya dan menengok Liana saat gadis itu melempar senyuman manis. "Kau baik sekali," kata Liana memujinya dan Arata mendengar cibiran keras dari balik tempat cuci. *** Mia kembali setelah memeriksa Liana yang tertidur pulas dan para pasiennya yang belum diperbolehkan kembali. Mereka perlu diawasi satu hari penuh sebelum Mia mengizinkan pihak keluarga membawanya pulang. Sambil membawakan selimut baru, dirinya melihat Arata duduk di tepi saung seorang diri, menatap sumur dan langit yang bersinar terang bersama rembulan. Masih menyisakan satu selimut bersih, kali ini Mia menghampirinya. "Terima kasih." "Untuk?" "Kau membantu kami hari ini," kata Mia setelah mengambil tempat untuk duduk. "Pekerjaan menjadi lebih cepat teratasi." Arata mengangkat sebelah alisnya sembari melirik datar. "Aku merasa tidak melakukan sesuatu yang besar hari ini. Kau yang membantu mereka semua. Kau dan gadis kecil tadi." "Namanya Liana," potong gadis itu. "Aku belum memperkenalkan diri," ucap Mia malu, dengan tiba-tiba memperkenalkan dirinya. "Namaku Mia." Sorot gelap itu jatuh menatapnya dengan menyeluruh. Mia berdeham, merapatkan kimono tidurnya dan melihat Arata membuang muka setelahnya. "Kau juga sebatang kara?" "Sebelum bertemu Liana, aku yatim piatu. Ini peninggalan milik ibuku dan aku meneruskannya." Mia menatap rumah yang disulap menjadi saung untuk mengobati penduduk saat membutuhkan bantuannya. "Dan aku bukan seorang dokter, aku tabib." "Apa bedanya dengan dokter?" "Mereka punya gelar, sedangkan aku tidak?" "Pada intinya sama saja, bukan?" sahut Arata santai. "Kalian sama-sama membantu dan mengobati penduduk yang sakit." Mia hanya diam, dan pandangan Arata menyapu gelang perak yang melingkari tangan kurus gadis itu. Seketika bibirnya terkatup rapat, menarik napas panjang. "Asakusa terlalu kecil dan tidak punya akses penting menuju pusat. Kenapa penduduk masih bertahan?" "Karena tempat ini sudah menjadi bagian dari mereka. Rumah untuk pulang dari kepenatan setelah bekerja seharian penuh," balas Mia hangat, menyadari penduduk saling melindungi satu sama lain karena kekeluargaan mereka sangat kental. "Aku juga merasakannya. Mungkin akan terasa aneh saat aku pergi dari Asakusa untuk mencari suasana baru." "Oh, aku lupa berterima kasih untuk gelangnya." Mia menunjukkan gelang perak itu ke depan wajah Arata yang datar. "Ini pemberian mendiang ibuku. Aku sangat ceroboh dan menjatuhkannya. Beruntung karena kau mengembalikannya. Terima kasih banyak." Arata menyadarinya saat menemukan gelang gadis itu terjatuh dan tidak menyadarinya. Dia berlari terlalu cepat untuk mengejar Liana sampai sosoknya menghilang dan Arata berhasil membawa dirinya masuk lebih dalam hanya untuk mengembalikan gelang tersebut. "Aku membawakan selimut. Kau bisa berbaring untuk beristirahat di saung sebelah. Kami punya banyak kamar tersisa. Udara cukup dingin saat malam." Arata menautkan alisnya, menerima selimut itu dari tangan Mia. Kemudian mendongak, memandang bintang sebentar sebelum melihat bentuk bangunan dengan bantuan lentera minyak yang menyala. "Apa kau seorang bangsawan?" Tubuh Mia seluruhnya mati rasa. Membeku secara tiba-tiba dengan intensitas mendebarkan. Ketika matanya menatap Arata yang santai, dadanya berdebar kencang. "Apa maksudmu?" "Tempat ini, bentuk bangunannya. Aku melihat bentuk yang sama dan rasanya tidak asing. Biasanya rumah ini menjadi ciri khas para bangsawan saat mereka tersudut. Seperti rumah rahasia yang hanya para keluarga tahu." Arata menoleh untuk mencari tahu jawabannya pada mata Mia. Diamnya gadis itu sebagai bentuk lain dari ya menurutnya. "Apa aku harus menaruh curiga padamu?" tanya Mia serius, ekspresinya berubah keras. "Karena aku tidak pernah bicara pada siapa pun tentang latar belakangku." "Aku seorang pengembara dan Asakusa bukan tempat pertama yang kudatangi," sahut Arata santai, tidak merasa gentar atau bersalah. "Semua ornamen dan bentuk bangunan yang sama, Asakusa tidak ada bedanya dengan Osaka atau Kyoto sekali pun. Tokyo juga menyimpan rumah yang sama. Serupa seperti tempat tinggalmu sekarang." Mia tercenung, sesaat menatap sekelilingnya dan merasa beruntung karena tidak ada siapa pun yang terbangun atau mendengarkan percakapan mereka sekarang. "Aku bisa meminta tolong padamu, bukan? Untuk tidak memberitahu siapa pun tentang ini. Diriku, rumah ini, atau informasi secuil apa pun tentang keluarga bangsawan pada dunia luar. Aku memohon padamu sekarang," ucap gadis itu serius, benar-benar tulus meminta bantuannya. Timbul kerutan baru pada kening Arata melihat betapa gelisahnya Mia saat ini. Ekspresi gadis itu tidak bisa berbohong, matanya memancarkan binar ketakutan. "Aku tidak akan bicara pada siapa pun," sela Arata singkat, menghela napas panjang. "Tidak ada gunanya aku bicara dengan orang lain." Mia mengusap wajahnya yang letih dengan tarikan napas lega. Berbisik mengucapkan terima kasih saat Arata dirundung rasa penasaran yang kental tentang alasan gadis itu terlihat gelisah dan ketakutan ketika secara spontan muncul. "Karena jika pihak penting tahu aku seorang bangsawan, mereka akan mencari dan membunuhku. Seperti yang mereka lakukan pada keluarga bangsawan sebelum diriku. Aku juga hidup dalam penyamaran." Bahkan setelah bertahun-tahun, Arata menyadari benar dunia tempat tinggalnya tetap sama dan sama sekali belum berubah. Kejam. Brutal. Tidak mengenal iba pada sesamanya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.7K
bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
93.5K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook