Prolog
Ketika menempelkan telinga pada kulit kerang yang kosong, kita akan mendengar suara samudera berdesir, karena kerang tidak akan lupa dari mana mereka berasal.
Ketika kita menutup telinga kita erat, dan mendengarkan baik-baik suara kesunyian, kita akan mendengar suara ikan paus yang menghubungkan kita yang terlahir dunia ini dengan kita yang terlahir di dunia lain. Terhubung secara mistis seakan beberapa dimensi berjalan dalam satu waktu bersamaan.
Tenggelam, tenggelam. Jiwaku tenggelam dalam sunyi yang menyeret pada laut.
Mengapa semua berakhir ke sana? Apa laut memang 'tempat sampah' nya semesta ini, dimana semua berakhir di sana?
Aku melihat tayangan National Geographic yang menunjukan seseorang menjelajah daerah baru di daratan. Lalu berpikir jika daratan saja masih ada yang belum diketahui oleh manusia, apalagi laut yang menjadi dua sepertiganya bumi? Sudahkah manusia tahu segala isinya?
Apakah yang ada di dalam samudera? Apakah ada dunia lain yang manusia tidak tahu? Apakah permukaan laut adalah kaca yang membatasi dua dunia yang berbeda, daratan dengan langit dan laut sampai dasarnya? Bagaimana jika semua bukti sejarah ternyata tidak punah tetapi bersembunyi di dalam laut karena takut oleh evolusi manusia?
Memangnya manusia tahu?
---
Manusia tidak tahu.
Jika saja Sang Pencipta tidak menjadikan manusia sebagai ciptaan termulia, maka kami sudah pasti lebih unggul. Sejarah akan terkhianati dan manusia akan merasakan posisi kami. Bersembunyi dalam gelapnya dasar laut agar tidak punah, tidak ditangkap, diawetkan dan dipajang di Museum. Padahal, Bumi juga milik kami, bukan hanya milik manusia.
Tidak adil bagi kami, dikenal hanya sebagai makhluk mitologi. Dianggap antara ada dan tiada. Dikenal hanya sebagai pengisi cerita-cerita dongeng. Ditutupi kebenarannya lalu menjadi korban imajinasi manusia sebagai makhluk lemah yang bersahabat dengan manusia.
Sungguh? Bahkan laut tempat kami jauh lebih luas dari daratan yang mereka kuasai.
Dan tidak seperti manusia yang sebentar baik lalu tiba-tiba bisa berubah jahat, kami, para Peri Dasar Laut sudah ditentukan baik atau jahatnya sejak lahir.
Apakah itu Mermaid, Nymph, Hydra atau Siren atau bahkan Selkies. Kami tidak mengkhianati tujuan kami diciptakan. Semua ada untuk mempertahankan keseimbangan. Justru, itulah yang membuat kami lebih unggul dari manusia, kami tidak hidup tanpa arah. Tetapi kami hidup pada sisi tergelap dan paling tidak tersentuh di bumi yang manusia tidak tahu.
Persetan, aku sudah bosan hidup terus bersembunyi. Manusia semakin tidak tahu diri.
"Genevieve!"
Mata beriris emas milikku melirik ke bawah. Kulihat setengah tubuh dari Moray sudah melewati permukaan laut. Sisik yang menutupi sebagian bahu dan pipinya terlihat berkilau karena cahaya matahari yang terbias kepingan bagai kaca itu.
"Kenapa kau sudah keluar sebelum matahari tenggelam?" tanyanya.
"Memangnya siang hanya milik manusia?" balasku.
Kurebahkan kembali punggungku pada karang yang kududuki. Mataku dengan malas menatap matahari yang sedang terbenam. Tidak silau seperti yang manusia sering keluhkan.
"Ada seorang manusia yang pindah ke dekat sini." peringatnya, sedikit khawatir.
"Aku tahu. Aku melihatnya." jawabku santai.
"Kenapa kau bisa sesantai itu? Dia manusia! Kau tidak takut ketahuan?"
Mataku memicing. Aku sudah muak dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Memangnya manusia sekuat apa sehingga kami harus terus bersembunyi?
"Apa sangat nyaman untukmu hidup bersembunyi dari manusia?"
Moray diam seketika. Aku segera melompat kembali ke dalam laut untuk menghampirinya. Sirip kebiruanku mengembang begitu menyentuh air dan sinar jingga dari matahari terbenam membuat keajaiban warna padaku, membuatku menjadi kehijauan.
"Moray, kita ini lebih kuat dari mereka. Ketahuan atau tidak, tidak akan berpengaruh banyak. Jika memang hal itu membawaku pada kesulitan, bukankah kita ini juga karnivora?" Aku menyerigai, kontras dengan wajah Moray yang terperanjat.
"Kau akan memakan manusia? Itu menjijikan."
"Mereka terkadang harus belajar posisi mereka sebagai makhluk lemah."
"Itu melanggar hukum kita." Kening Moray berkerut, tanda khawatir padaku.
Namun aku hanya meremehkan. Bibirku tertarik hingga taring-taringku terlihat. Mataku kini tertuju pada sebuah rumah manusia berwarna putih di atas sana yang baru saja menyalakan lampu. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya dan membuat air laut tampak menggelap.
"Tenang saja..."
---
"Pada akhirnya manusia akan tahu juga." ucap Genevieve dan Marine bersamaan.