bc

This Villainess is NOT Okay!

book_age16+
1.3K
FOLLOW
4.2K
READ
revenge
reincarnation/transmigration
HE
drama
tragedy
bxg
humorous
witchcraft
rebirth/reborn
like
intro-logo
Blurb

Giat bekerja, pelit terhadap orang lain maupun diri sendiri, kemudian mati penyakitan. TAMAT. Namun, ketika napas terhenti, jiwaku beralih ke tubuh orang lain!

"Yang Mulia, sampai kapan Anda mengurung diri?"

Yang Mulia. Yang Mulia. YANG MULIA!

"Yang Mulia, segalanya bisa dibicarakan."

Mana mungkin segalanya bisa dibicarakan! Akulah yang menempati tubuh antagonis. Aku! Sungguh tidak masuk di akal!

***

"Moira, katakan saja siapa yang ingin kaubunuh."

Kakak lelakiku yang posesif dan mungkin sedikit psikopat.

"Lebih baik kita bertunangan. Sepertinya aku bisa menerima."

Adrin, yang seharusnya membenciku menawarkan pertunangan.

"Wah, kenapa kita tidak menikah saja?"

Iblis gendeng yang ingin aku singkirkan secepat mungkin.

Kenapa tidak ada lelaki normal di sini?!

///

Kontes Menulis Innovel II The Girl Power

chap-preview
Free preview
1
Cermin-cermin ajaib, siapakah yang paling cantik? Anjing menyalak. Terus menyalak dan memamerkan deretan gigi dalam seringai keji. Air liur menetes di setiap ujung taring setajam belati. Para anjing mulai mencakar lantai dan menciptakan suara denging menusuk genderang telinga. “Apakah kau ingat malam pertama kita?” Adrin, pemilik mata semerah darah, menjambak wanita berambut perak. Dalam hati tidak ada kasih ataupun pengampunan. Langkah kakinya mantap, sementara si wanita terseok berusaha melawan. “Bisakah kauingat ucapanmu, Moira?” Setiap kali menghela napas, dia menghidu aroma apak bercampur kotoran tikus. Di hadapannya, terhalang jeruji besi, tampak sederet anjing menunggu santapan. Kali ini dia akan mempersembahkan makan malam ternikmat bagi para anjing. Seperti penjaga neraka yang menghidangkan jiwa-jiwa pendosa kepada serigala. Dia sang tuan pembalas; setiap eon dendam telah dihitung, terakumulasi dalam tetes-tetes kemurkaan, dan menanti disuapkan dalam satu sendok kebencian. Moira meronta berjuang melepaskan diri. Namun, nihil. Dia terjebak. Lelaki itu telah memotong lidah Moira. Darah menetes di sudut mulut hingga menguarkan aroma amis yang membuat para anjing menggeram. Tidak seperti namanya, sang penguasa, Moira telah kehilangan kekuasaan. Dia bukan lagi pemegang permainan sebab papan catur telah digebrak dan seluruh bidak tercerai-berai. Seperti ratu musim dingin yang dimangsa penguasa neraka; gaun koyak, memamerkan kulit paha seputih salju. Penerangan hanya berasal dari obor yang terpancang di dinding sel. Api membakar ngengat yang mencoba mendekat. Salah seorang sipir bergidik saat melihat tatapan lapar binatang dalam sel. Namun, sosok pria berambut hitam dengan mata semerah darah sama sekali tidak terganggu dengan gonggongan anjing yang saling menyahut. “Selamat malam, Istriku.” Pintu jeruji dibuka. Moira tidak bisa mengelak saat dirinya didorong masuk ke dalam. Kegilaan terpancar di mata para anjing saat tubuh Moira membentur lantai. Lantas secepat kilat masing-masing menyergap dan menggigit badan Moira. Daging terkoyak, darah tertumpah. Perjamuan binatang liar pun digelar meriah. Tidak ada teriakan, hanya salakan. Rambut sepucat cahaya bulan telah diwarnai dengan nuansa merah pekat. Para sipir menahan perasaan mual yang berenang dalam perut mereka meskipun akhirnya mereka muntah. “Selamat tinggal, Moira.” *** Rasanya seperti mimpi. Hanya saja mimpi yang aku selami merupakan mimpi buruk. Tidak ada taman bunga maupun langit biru, tidak pula kupu-kupu ataupun nuri; segalanya hanya kesuraman, kesedihan, dan kesengsaraan. Seperti itulah diriku. Mimpi buruk tanpa akhir. Cita-citaku amatlah sederhana. Mapan, makan tiga kali sehari, punya rumah, berkencan, dan mungkin membina rumah tangga. Keinginan terakhir sepertinya tidak mungkin bila menilik wajahku yang di bawah standar kecantikan. Jelas keinginanku tidak berlebihan daripada milik pejabat elit yang gemar menebar rayuan setiap lima tahun sekali, tetapi jarang, atau tidak pernah, menepati janji. Saat berdoa, maka aku memohon hal yang baik-baik. Walaupun sebagai manusia aku lebih banyak berbuat serong daripada lurus (terjemahan, jarang berbakti dan gampang terbujuk dosa), pasti setidaknya tetap berusaha bersikap bijak. Yang mana pun dosa besar milikku, aku menyesal. “Yang Mulia, sampai kapan Anda mengurung diri?” Yang Mulia. Yang Mulia. YANG MULIA! “Tinggalkan aku!” Suaraku memekik nyaring menandingi gedoran pelayan yang membujuk agar aku bersedia keluar kamar. Tangis pecah, wajah terbenam dalam bantal yang basah oleh air mata. “Aku ingin sendirian!” “Yang Mulia, tolong biarkan kami masuk.” Kekacauan terjadi dua hari lalu. Gara-gara teledor; giat bekerja, pelit terhadap orang lain maupun diri sendiri, kemudian mati penyakitan. Aku bahkan tidak mampu membiayai pengobatan dan memilih pasrah terhadap takdir. Namun, ketika napas terhenti, jiwaku ternyata beralih ke tubuh orang lain! “Yang Mulia, Yang Mulia! Tolong izinkan kami merawat Anda.” Tidak cukup mati di bawah naungan kemiskinan, aku harus menjalani hidup sebagai Moira Hoshana. Sebenarnya aku tidak keberatan mendapat kesempatan kedua, tetapi bukan sebagai Moira! Antagonis terburuk yang pernah ada dalam novel. Ingin tahu seberapa buruk dirinya? Dengarkan baik-baik. Moira Hoshana merupakan salah satu karakter Be My Lover, novel fantasi romansa dengan rating 21 plus. Dia menggunakan pengaruh Caden Hoshana, kakak tiri, agar menikahkannya dengan Adrin Gundry. Oh hanya pernikahan tanpa cinta? Haha, tidak semudah itu, Kawan. Tidak sampai di situ, Moira meracuni Adrin dengan aprhosidac dan membuat lelaki itu menanggung trauma serta beban mental. Setiap malam Moira memaksakan diri kepada Adrin dan mengikat pria itu di ranjang. Seperti belalang sembah yang memangsa pejantannya, Moira tidak puas hanya dengan permainan ranjang; dia perlu menyakiti pasangannya dengan cara ekstrem. Tidak mengherankan bila Adrin memiliki bekas luka di sekujur tubuh kecuali wajah—satu-satunya yang dia sukai dari Adrin hanyalah wajah. Puncak peristiwa ketika Adrin bertemu tokoh utama bernama Ciara Ayveen. Cinta segitiga opera sabun yang berakhir dengan pembangkangan Adrin. Di setiap cerita pasti tokoh antagonis mati mengenaskan, begitupula Moira; dia mati di tangan Adrin. Oh hanya mati? Tentu saja tidak. Adrin mengumpankan Moira kepada anjing. Binatang-binatang itu sengaja dilaparkan sehingga ketika Moira masuk ke dalam kandang, dirinya tercabik hingga hanya menyisakan carikan kain dan potongan tulang. Wow. Luar biasa. “Yang Mulia, segalanya bisa dibicarakan.” Mana mungkin segalanya bisa dibicarakan! Akulah yang menempati tubuh antagonis. Aku! Bukan kalian! Bahkan air mata tidak bisa menyembuhkan kecemasan akibat akhir tragis yang pasti aku alami. Mati dimakan anjing! Memangnya tidak ada cara mati yang lebih elegan daripada tercabik-cabik? Tangisku kian menjadi. Aku ingin kembali ke masaku, dunia modern yang menawarkan banyak pilihan dan kesempatan. “Kembalikan masa mudaku!” ~♦♦♥♦♦~ Mataku bengkak. Ternyata menangis dapat menyebabkan pusing. Setelah tidak ada air mata yang bisa diperas, aku membiarkan pelayan masuk. Penampilanku berantakan. Persis seperti wanita yang ditinggal lari mempelai pria saat upacara pernikahan. Bedanya, aku yang ingin meninggalkan calon-mempelai-priaku. “Astaga, Yang Mulia. Anda butuh perawatan.” Pelayan yang entah siapa namanya mulai melakukan keahliannya; menyisir rambut, membersihkan wajah menggunakan air bunga—semoga itu bukan air bunga tujuh warna yang biasa digunakan menghalau pelet—mengganti gaun tidur dengan gaun sutra berpayet, dan terakhir, merias wajah. Dilihat dari sisi mana pun Moira amat rupawan. Usia dua puluh tahun, rambut perak, sepasang mata biru, bibir mungil seperti kuntum mawar, dan bentuk tubuh proposional. Di duniaku dia pasti bisa mendapatkan pekerjaan sebagai model atau cosplayer beken. Namun, di dunia yang segalanya serbaindah, Moira hanyalah satu di antara sekian kecantikan. “Yang Mulia, apa hari ini Anda bersiap menemui calon tunangan Anda?” Untungnya hari ini bukan hari pernikahanku. Oh tidak akan aku biarkan itu terjadi. Setidaknya acara pertunangan bisa aku batalkan. Dengan cara apa pun! “Aku ingin bertemu Kakak,” jawabku tanpa tedeng aling-aling. “Antar aku menemui kakakku.” Tidak ada yang berani membantah permintaanku. Semua pelayan menunduk, menunggu aku bergerak. Masalah pertama, aku tidak tahu posisi Caden. Bisa saja dia ada di ruang kerja, perpustakaan, kamar mandi, atau bahkan mungkin kerak neraka. Masalah kedua, sebagai penumpang gelap dalam tubuh Moira, aku tidak tahu seluruh ruangan yang ada di istana. Pengetahuanku mengenai Be My Lover hanya sebatas plot dan penokohan. Seluruh denah istana beserta tempat yang ada di dalamnya sama sekali tidak kuketahui. Masalah ketiga, jangan sampai mereka tahu bahwa Moira yang asli telah tergusur oleh kehadiranku. Bisa-bisa aku dibawa ke pendeta suci dan dianggap sebagai hantu. “Kau,” kataku menunjuk pelayan berambut cokelat. Pelayan yang satu ini mengingatkanku kepada Heidi; tembam, hidung dan pipi merah, serta rambut ikal sebahu. “Antar aku menemui Kakak.” Seharusnya aku menanyakan nama si pelayan, tetapi menanyakan nama seseorang bukanlah ciri khas Moira. Dia tipe langsung memerintah, tidak peduli nama kecuali tokoh tertentu. Semacam Adrin yang konon ketampanannya sanggup melumpuhkan wanita mana pun, kecuali aku. Iya, aku. Aku lebih mencintai nyawa daripada dia. “Cepat,” kataku menuntut. “Atau aku perlu menyadarkan dirimu?” Maafkan aku, wahai pelayan. Bukan maksudku menyakitimu, tapi bila aku bermurah hati maka kalian akan menyadari bahwa Moira telah pergi. “Ma-maaf, Yang Mulia,” jawabnya tergagap. “Saya mengerti.” Pada akhirnya dia menurut. Kami berdua berjalan dengan posisi si pelayan berada di depanku. Apabila dalam kondisi normal, saat tubuh ini dimiliki Moira yang asli, maka sudah pasti si pelayan akan mati karena dianggap tidak menghormati Moira. Namun, berhubung aku bukan antagonis sedeng, maka segala rencana menyakiti siapa pun tidak terlintas dalam benak. Koridor yang kami lewati dijaga prajurit berseragam merah. Lambang ular membelit mawar tersulam di bagian punggung dan d**a. Mereka membungkuk, memberi hormat. Sesekali keingintahuan terlihat di raut wajah para prajurit. Mungkin mereka heran melihat Heidi, pelayan yang entah namanya siapa ini, dibiarkan hidup olehku. Sampai di sebuah ruangan yang dijaga sepasang prajurit, Heidi menunduk dan mempersilakanku. “Terima kasih,” kataku. Raut wajah Heidi berubah pias. Titik-titik keringat bermunculan di hidung dan dahinya. Aduh-aduh. Aku lupa diriku masih berada di dalam tubuh Moira. Ya sudah, masa bodoh. Saat ini menemui Caden merupakan misi terpenting. Penilaian orang lain terhadapku tidak perlu dipikirkan. Salah satu prajurit membukakan pintu, menunggu diriku masuk kemudian barulah ia menutup pintu. “Kakak, kita harus bicara.” Caden. Dia lima tahun lebih tua daripada Moira. Sama seperti Moira, dia mewarisi rambut perak dan mata biru. Rambut peraknya dikepang dan diikat menggunakan sutra biru. Busana yang ia kenakan bernuansa abu-abu metalik. Cravat hitam terpasang rapi di leher, lengkap dengan hiasan permata bernuansa biru. Demi seluruh koleksi tagihan listrik! Aku tidak menyangka kerupawanan Caden benar-benar menyilaukan. Seperti mercusuar. Bersinar terang hingga rasanya menyakitkan mata. Hampir saja aku jatuh berlutut sembari berkata, “Hidup pria ganteng! Terbekatilah kedua mataku!” Aku tidak mengerti! Kenapa tokoh antagonis, terutama pria, harus memikat begini? Rasanya aku ingin menangis darah menyadari kemubaziran gen, DNA, dan mungkin bibit bermutu yang nanti bisa ia hasilkan di masa depan. Sayang sekali. “Moira.” Nada suaranya amat merdu. Dengan senang hati aku rela meloncat ke pangkuannya andai tidak mengetahui kebiadaban Hoshana bersaudara. Dia tengah duduk membelakangi jendela. Tumpukan kertas dan buku bertengger di meja seperti burung pemangsa yang siap menukik hanya dengan satu panggilan. “Aku kira kau tengah menangis tersedu-sedu.” Iya, aku memang menangisi nasib. Terlahir cantik hanya demi mati di tangan pria gila. Tidak! Aku tidak terima. “Kakak, kita perlu bicara.” “Kau selalu ‘perlu’ bicara.” Tidak ada siapa pun selain kami berdua. Siapa pun yang pertama kali bersua dengannya pasti mengira Caden jelmaan malaikat. Padahal dia tidak jauh berbeda dengan adiknya. Sebelas dua belas. Dia termasuk salah satu tokoh jahat dalam Be My Lover. Penguasa haus darah dan perhatian. Tanpa ragu membunuh siapa pun yang berselisih jalan dengannya. Dialah yang menghabisi raja, ayah kandungnya sendiri, dengan alasan “saatnya pergantian kekuasaan”. Sama seperti Adrin, binatang buas yang satu ini langsung terpikat Ciara. Alhasil dia menculik serta membantai seluruh Irshin. Jangan tanya apa yang dia lakukan kepada Ciara. Berhubung Be My Lover merupakan novel kelewat dewasa, maka kalian bisa bayangkan sendiri nasib Ciara selama disekap Caden. Mengingat setiap adegan Ciara dan Caden mampu membuatku merasa mual. Caden, kenapa otakmu dipenuhi ide sadis? Mengabaikan sindiran Caden, aku memilih duduk di sofa. “Mengenai pertunanganku.” “Aku akan langsung menghabisi seluruh sanak saudaranya bila dia berani menolak permintaanmu,” Caden memotong ucapanku. Seulas senyum tersungging di bibirnya. “Kau pasti mendapatkan semua yang kauinginkan, adikku tersayang.” Dalam hati aku berusaha menguatkan diri. Hawa dingin menusuk leher dan bahu, membuatku ngilu setengah mati. “Aku tidak menginginkan pertunangan dengan Adrin.” Perlahan antusiasme menyurut dari wajah Caden. “Kau tidak mau menikahi si Gundry?” Aku mengangguk. “Aku tidak mau menikah.” Aku tidak mau mati! Demi seluruh bintang, planet, dan tata surya! Tolong biarkan aku hidup damai sebagai pemerah s**u daripada putri psikopat. Caden mengatupkan telapak tangan. “Undangan sudah terkirim,” katanya. “Nanti sore kau bisa menemuinya.” Dasar iblis! “Aku tidak ingin menemuinya.” “Kalau begitu aku bisa mematahkan kedua kakinya,” kata Caden, enteng. “Apa gunanya dia hidup kalau berani menyakiti adikku.” “Jangan!” Tanpa sadar aku bangkit, memperlihatkan kecemasanku. Caden serius. Dia selalu serius saat menginginkan sesuatu termasuk menyakiti seseorang. Apabila aku tidak mengetahui ikatan antara dirinya dan Moira, mungkin begitu tersadar sebagai Moira Hoshana aku akan langsung angkat kaki. Enyah. “Apa maksudmu dengan ‘jangan’?” Caden bangkit, berdiri menjulang di hadapanku. Untung jarak di antara kami terpisah oleh meja. Cukup ruang bagiku mempersiapkan diri. “Tidak ada gunanya membuat dia cacat,” kataku beralasan. “Intinya, aku tidak ingin menikah. Titik.” “Moira, bukankah kau yang memintaku mempersatukan kalian?” Aku mendengus. “Tidak perlu. Aku tidak suka terikat pernikahan dengan siapa pun.” Sejatinya pernikahan barulah membahagiakan bila terlaksana atas dasar kecocokan. Moira dan Adrin? Haha, tidak usah. “Kau tidak akan terikat dengan Adrin,” Caden menjelaskan. “Dia bisa kaujadikan sebagai mainan. Semudah itu.” Dalam diri Caden aku bisa melihat seekor ular yang siap menancapkan taring berbisa. “Kakak, aku tidak butuh mainan.” “Benarkah?” “Batalkan pertunangan,” kataku menuntut. “Atau aku akan melakukan sesuatu yang merugikan diriku sendiri.” Kali ini tidak ada senyuman beracun. Caden akhirnya menangkap keseriusanku. “Sesuai keinginanmu.” Selamat tinggal, Adrin. Semoga kita berdua tidak perlu bertemu. Terdengar seseorang mengetuk pintu. Setelah Caden mengizinkan masuk, barulah seorang pelayan berusia kira-kira pertengahan berkata, “Count Gundry memohon audiensi.” Asam lambung langsung naik ke tenggorokkan. Aku ingin muntah.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.8K
bc

Time Travel Wedding

read
5.3K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.2K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.1K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook