bc

Merebut Kembali Tunangan Yang Dirampas Saudariku

book_age18+
1.0K
FOLLOW
9.5K
READ
revenge
arranged marriage
goodgirl
brave
CEO
billionairess
drama
bxg
betrayal
rebirth/reborn
like
intro-logo
Blurb

Sabrina Maharani Hanenda sangat mencintai Aksa Cakra Taraka. Tapi kesetiaan Aksa tak sebesar cinta Sabrina padanya.

Di malam pertunangan mereka, seseorang membuat rencana jahat untuk menyingkirkan Sabrina, dan malangnya rencana tersebut berhasil.

Fakta mengejutkan yang menyakiti hati Sabrina datang bertubi-tubi di malam yang seharusnya menjadi malam membahagiakan untuknya.

Tidak ada pengkhianatan yang lebih menyakitkan daripada yang dilakukan oleh orang yang paling kita percaya, bukan?

Meski jiwa dan raganya hancur, tapi Sabrina mendapat kesempatan kedua. Dari kesempatan itulah ia berusaha untuk membalas dan membuat mereka membayar semua yang telah mereka lakukan pada Sabrina.

Apakah rencana pembalasan Sabrina berhasil? Ataukah justru ia sendiri yang akan tersakiti untuk kedua kalinya?

Cover: Canva

chap-preview
Free preview
Bab 1 – Kebaikan Palsu
Malam ini adalah malam yang penting untuk Sabrina. Ia akan bertunangan dengan Aksa, laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya sejak dua tahun lalu. Setelah itu, dalam tiga bulan kedepan mereka akan menikah dan Aksa akan membawa Sabrina keluar dari rumah ini. Sabrina mengembuskan napas lega. Akhirnya, dalam waktu dekat ia bisa hidup mandiri dan tidak lagi disebut orang-orang sebagai anak manja keluarga. Ia juga tidak perlu resah lagi tiap kali berhadapan dengan Lola, saudari tirinya yang ia curigai sejak lama diam-diam juga menyukai Aksa. Sabrina memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin sambil tersenyum puas. Seorang gadis dengan kebaya modern berwarna abu-abu tampak luar biasa di sana. Perpaduan kain batik dan kebaya berpayet mewah yang ia kenakan benar-benar membuat penampilannya tampak luar biasa. Rambutnya yang disanggul juga mempertegas wajahnya yang sering kali disebut orang-orang sebagai versi muda dari mendiang ibunya yang cantik. Mama… Sabrina tiba-tiba menjadi sedih. Kepala tertunduk, dan ia menjadi tidak lagi berminat menatap pantulan dirinya di cermin. Mengingat ibunya masih selalu berhasil membuatnya merasa sedih, meski bertahun-tahun telah berlalu sejak kepergian sang ibu. Akan tetapi, kesedihan itu segera teralihkan ketika pintu kamarnya tiba-tiba diketuk. Sabrina menoleh, dan detik berikutnya Lola muncul dari balik pintu sambil tersenyum manis padanya. “Kamu cantik banget,” ujar gadis itu sambil melangkah mendekat. Lola adalah anak yang dibawa Sekar saat menikah dengan ayah Sabrina belasan tahun lalu. Diam-diam Sabrina memperhatikan saudari tirinya. Lola yang biasanya selalu tampil cantik dan menawan, kini malah tampak lusuh dan pucat. “Kamu nggak dandan?” tanya Sabrina heran. Lola hanya mengenakan baju tidur sambil membawa sebuah mug di tangannya. Gadis itu menggeleng. “Nggak. Aku lagi nggak enak badan,” jawabnya lirih. Tiba-tiba Sabrina merasa kasihan pada Lola. Dugaannya pasti tidak salah lagi. Lola menyukai Aksa. Lihat penampilannya malam ini. Lola mungkin patah hati karena Aksa akan menikah dengan Sabrina dan ia tidak ingin hadir di pesta pertunangan mereka. Meski sempat resah dan sedikit khawatir karena tahu bahwa Lola menyukai kekasihnya, tapi Sabrina menyayangi Lola sebagai saudarinya juga. Usia mereka sama. Hanya berbeda dua bulan. Sabrina lahir dua bulan lebih dulu, dan sejak kecil mereka memang kerap menyukai hal yang sama. Tapi apa boleh buat. Sabrina tidak mungkin menyerahkan Aksa pada Lola. Dia yang mengenal Aksa lebih dulu dan Aksa pun menyatakan cinta padanya. “Sudah minum obat?” tanya Sabrina penuh perhatian. Lola mengangguk sambil menunduk. Merasa bersalah, Sabrina pun menarik Lola untuk duduk di pinggir tempat tidur. “Lola, aku minta maaf.” Lola seketika mengangkat kepalanya menatap Sabrina. “Minta maaf untuk apa?” tanya Lola. Sabrina tersenyum kecil. “Aku tahu kamu menyukai Aksa. Tapi maaf karena aku nggak bisa berbagi dia dengan kamu. Dia bukan mainan yang bisa kita bagi-bagi seperti mainan yang kita miliki sejak dulu.” “A-aku nggak suka kok,” ujar Lola tergagap. Sabrina tersenyum. “Nggak apa-apa, Lola. Aku tahu kalau kamu suka Aksa.” Lola kembali menunduk. “Bagaimanapun kita adalah saudara, meski tidak sedarah. Jadi aku nggak marah kok,” kata Sabrina lagi. Lola kembali mengangkat kepala dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Maafkan aku.” Sabrina tersenyum menenangkan. “Tidak apa-apa.” “Sejujurnya aku tahu bahwa nggak ada harapan untuk aku dan Aksa. Karena dia pacar kamu dan akan segera jadi tunangan kamu. Tapi ya, kamu benar, aku memang menyukainya.” Sabrina diam, mendengarkan pengakuan Lola. “Aku suka Aksa sejak di tahun pertama kita kuliah. Bahkan saat OSPEK pun aku mengirimkan surat cinta untuknya. Tapi tahun berlalu dan yang dia sukai adalah kamu.” Sabrina tampak tak enak hati. “Maafkan aku,” ujarnya. Kedua tangannya yang ada di pangkuan beranjak untuk meraih tangan Lola. “Andai kamu cerita padaku sejak awal, aku mungkin akan menolak cintanya.” Lola menggeleng. “Tidak apa-apa. Lupakan saja. Kalian akan segera menikah. Apa kamu gugup?” tanya gadis itu, mencoba mengalihkan pembicaraan. Sabrina mengangkat kedua alisnya, kemudian mengangguk. “Ya, sedikit. Aku sebentar lagi akan bertunangan, kemudian menikah. Malam ini adalah malam penting yang menjadi gerbang utamanya. Siapa yang tidak gugup?” tanya Sabrina sambil terkekeh pelan. “Kamu sudah makan?” tanya Lola penuh perhatian. “Aku tidak bisa makan karena gugup,” ujar Sabrina mengaku. “Makanlah sesuatu, kamu harus tampil prima malam ini,” ujar Lola. Ia lalu minum dari mug yang ada di tangannya, kemudian kembali berkata, “Acaranya baru akan dimulai satu jam lagi. Masih ada cukup banyak waktu untuk mengisi perutmu.” “Tapi perutku akan membuncit jika aku makan dan kebaya ini akan tampak jelek dengan kondisi seperti itu,” kata Sabrina tak setuju. Lola tersenyum. “Kamu akan tetap cantik kok. Lebih tidak cantik jika kamu sampai pingsan saat acara nanti karena kelaparan.” Sabrina perlahan mengangguk, mengakui ucapan Lola ada benarnya juga. Sejak siang tadi ia tidak berselera makan karena cemas. “Sebentar, aku panggil Bi Yati ya untuk membawakan kamu makanan,” kata Lola. Akan tetapi, ketika gadis itu hendak berdiri, pintu kamar Sabrina kembali diketuk. Mereka berdua langsung menoleh ke arah pintu, dan seketika menemukan Sekar, ibu mereka, muncul di sana. “Mama,” kata keduanya bersamaan. Sekar tersenyum dan melangkah masuk. Di tangannya ada sebuah piring berisi beberapa potong sandwich yang dibuat dalam potongan kecil. “Mama bawakan sesuatu agar Sabrina bersedia makan. Sejak siang tadi kamu belum makan apa pun kan?” tanya wanita itu. Sabrina tersenyum. Pantas saja orang-orang selalu menyebutnya manja. Lihat saja perlakuan ibu tirinya ini, dia begitu memanjakan Sabrina. “Makasih, Ma,” ujar Sabrina terharu. Ia bersyukur karena dirinya begitu beruntung memiliki ibu tiri yang baik dan perhatian. “Makanlah, satu atau dua potong nggak akan bikin kamu buncit,” kata Lola. Sabrina mengangguk dan meraih sepotong sandwich yang dibawa Sekar ke hadapannya. Ia langsung makan satu potong dan mengunyahnya dengan perlahan. “Jangan cuma satu dong, ayo makan lagi,” kata Sekar. Sabrina mengangguk. Ia meraih potongan kedua, dan kembali memakannya. “Tambah satu lagi ya,” bujuk Sekar. “Sejak siang tadi kamu belum makan apa pun. Ini sebenarnya cuma dua lembar roti lho, tapi Mama potong kecil-kecil biar sesuai sama ukuran satu suapan kamu.” Untuk menyenangkan ibunya, Sabrina pun mengangguk. “Tiga potong aja ya, Ma,” ujarnya. Sekar tersenyum dan mengangguk. Akan tetapi, ketika Sabrina hendak meraih potongan ketiga, tiba-tiba tangannya terhenti di udara dan kunyahannya melambat. “Ma, ini rasanya…. seperti… nafasku sekarang tersumbat sesu—" Kata-kata Sabrina tidak bisa dilanjutkan karena tiba-tiba saja dadanya sakit dan napasnya menjadi sesak. Sabrina seketika memegangi leher dengan kedua tangan. Mulutnya terbuka mencari udara sebanyak mungkin, tapi tak ada satu pun yang bisa masuk ke paru-parunya. Semua seperti tersumbat oleh sesuatu dan jantungnya seketika berdetak lebih kencang. Tolong aku, Lola, Mama. Napasku sesak. Dadaku sakit. Sabrina hanya bisa mengatakan itu di dalam hati sambil menatap Lola dan Sekar yang masih diam di tempat mereka. Sabrina jatuh tersungkur ke lantai, tangannya menggapai-gapai mencari pertolongan. Lola! Mama! Sabrina berusaha berteriak, tapi tak ada suara pun yang lolos dari bibirnya. Sementara di sisi lainnya, ia melihat Lola tersenyum ke arahnya. “Ini benar-benar berhasil ya, Ma?” tanya Lola sambil menoleh pada Sekar. Apanya yang berhasil? Dalam kesakitannya, Sabrina menatap mereka. “Tentu saja,” kata wanita itu sambil menatap putrinya dengan ekspresi kesal. “Kalau kamu tidak hamil anak Aksa, Mama nggak akan melakukan ini. Kita bisa pakai cara lainnya.” “Tapi aku hamil anak Aksa, Ma, dan aku mencintainya,” kata Lola sambil mengusap perutnya. “Jika pertunangan ini tetap berlangsung, tiga bulan lagi perutku sudah semakin membesar dan itu akan memperparah semuanya.” Di antara hidup dan matinya, Sabrina merasa pisau tak kasat mata menusuk jantungnya. Barusan Lola bilang apa? Dia hamil anak Aksa? Sejak kapan? “Hush… Jangan sebut itu di hadapan gadis malang ini,” kata Sekar. “Tidak apa-apa, Ma,” kata Lola sambil menoleh pada Sabrina yang kesakitan sambil tersenyum sinis. Senyum yang seumur hidupnya belum pernah Sabrina lihat akan muncul di wajah Lola. “Sebentar lagi dia juga akan meninggalkan dunia ini. Reaksi racun yang dicampur di sana tidak akan membuatnya selamat. Apa lagi tadi siang dia juga sudah meminumnya sedikit.” Lola melirik botol minum yang ada di meja samping tempat tidur Sabrina. Botol itu masih penuh, tapi tampak sudah diminum seperempat isinya oleh Sabrina. Di sisi lainnya, Sabrina tak percaya bahwa Lola, saudari yang disayanginya, bisa berkata seperti itu. Mereka berdua meracuninya sejak siang tadi? “Dia harus tahu bahwa merebut Aksa dariku harus dibayar dengan harga yang sangat mahal,” kata Lola lagi. “Malam ini dosis racunnya sudah lengkap, jadi kali ini bisa dipastikan dia tidak akan selamat.” “Ini semua gara-gara ulah kamu yang sembrono,” Sekar tiba-tiba memarahi putrinya. “Kalau kamu tidak hamil—” “Kalau aku tidak hamil, Aksa akan tetap menikah dengan Sabrina, Ma!” balas Lola marah. “Aku akan kehilangan kesempatan untuk terus bersama dengannya.” “Kecilkan suaramu,” kata Sekar cemas. Meski di lantai dua ini hanya ada mereka dan di bawah sana orang-orang sedang sibuk mempersiapkan acara, tapi ia tetap saja merasa takut jika sampai ada yang mendengar suara mereka. “Sudahlah. Mama tidak akan mengomeli kamu lagi. Ayo cepat keluar, biarkan dia sendirian di sini.” Lola memberengut. Akan tetapi, ia segera beranjak dari tepi tempat tidur. Tak lupa pula ia meraih botol minum milik Sabrina yang masih terisi banyak air. Ia harus membuang barang bukti ini. “Racun ini benar-benar bagus. Jika belum sesuai dosisnya, korban sama sekali tidak merasakan apa-apa. Tapi lihat sekarang…” “Sudah, jangan bicara lagi.” Sekar segera mengajak Lola keluar dari kamar Sabrina, meninggalkan gadis itu yang kini mulai meregang nyawa di lantai.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook