bc

Ikhlas yang (tak) Berbatas

book_age16+
100
FOLLOW
1K
READ
HE
fated
kickass heroine
heir/heiress
drama
mystery
loser
harem
like
intro-logo
Blurb

"Kalau anakmu itu ingin diakui oleh keluarga besar kami, terima saja pernikahan kedua putraku."

"Tapi, Bu---"

"Kenapa? Keberatan? Mungkin, kalau kamu ingin memilih minta berpisah dari putraku, tidak masalah. Itu lebih bagus bagi kami."

"Tapi Mas Alzam tidak menginginkan pernikahan itu, Bu. Mas Alzam juga sangat mencintai saya dan putri kam---"

"Itu karena kamu tidak tahu diri, dan sangat manja. Ingat ya! Kamu mendapatkan putra kami itu, setelah dia berhasil dan sesukses ini. Jadi, jaga batasan kamu. Jangan pernah berlagak ingin menguasai Alzam seutuhnya. Mengerti!"

Uliya Kamelia, istri sah dari seorang pria mapan rupawan, yaitu Alzam Ananda Permana.

Namun, hubungan suci mereka masih belum mendapatkan kata restu dari ibunya Alzam.

Kisah ini akan bertambah rumit, ketika sang ibu memaksa sang putra untuk menerima pernikahan keduanya.

Berada di dua persimpangan? Akankah keteguhan hati Uliya dan Alzam akan tetap bertahan?

Lanjutkan baca kisahnya ya...

chap-preview
Free preview
Istri Kedua dan Restu Ibumu
"Sekitar satu jam lagi kami akan sampai," ucap pria dewasa itu. Pria yang memiliki rahang tegas tetapi sangat lembut dalam berbicara dan berparas rupawan. Khususnya jika sedang berbicara dengan istri pertamanya melalui sambungan telepon itu, suaranya seperti angin yang sepoi-sepoi. "Iya, Mas. Hati-hati ya ... nggak usah ngebut jalannya," sahut istri pertamanya itu dari seberang sana. "Keselamatan kalian lebih penting." "Iya, Sayang. Kamu istirahat saja dulu. Nanti kalau sudah dekat rumah, aku akan hubungi kamu lagi." "Iya, Mas. Aku dan putrimu menunggu," balas sang istri dengan suara yang tidak kalah lembutnya. "Baiklah. Aku tutup ya ...." "Iya, Mas. Silakan." "Aku mencintaimu." Setelah dua kata manis itu selesai diucapkan, pria dewasa itu pun tampak memutuskan sambungan teleponnya. Dan kemudian meletakkan ponsel pintar miliknya tersebut di dashboard depan kemudinya. Di dalam mobil milik pria dewasa yang bernama lengkap Alzam Ananda Permana itu, ternyata ia tidak duduk sendirian. Di sebelahnya, di kursi penumpang depan, ada seorang wanita muda yang seminggu yang lalu sudah sah menjadi istri keduanya. Istri kedua yang pada akhirnya harus Alzam nikahi, karena sebagai bukti baktinya kepada sang ibu kandung dan keluarga besarnya. Dan juga pernikahan keduanya itu sebagai syarat, atas diterimanya istri pertama dan putrinya di keluarga besarnya juga. Setidaknya itulah janji yang ditawarkan oleh ibu kandung untuk istri pertamanya beberapa bulan yang lalu. Perjalanan yang harus memakan waktu sekitar tiga jam itu, terasa sedikit lebih canggung. Dikarenakan kedua pasangan baru itu belum sama-sama mengenal lebih dekat. Namun karena ada hak dan kewajiban antara suami istri, mereka tetap melakukannya. Bahkan saat ini Alzam pun sambil mengemudi, memilih melamun ke mana-mana. Sambil mengingat percakapan antara dirinya dan sang istri pertama. "Mulai sekarang, jangan kita bahas tentang sikap dan penolakan dari ibuku, Sayang. Pernikahan kita pun bukan pernikahan yang baru. Ini sudah cukup lama. Tapi lihat ... kita tetap bisa bahagia 'kan, walaupun pernikahan kita ini tanpa restu mereka," bujuk Alzam kala itu dengan lembut kepada Uliya Kamelia-istri pertamanya. "Aku enggak tega melihat kamu selalu bersedih jika harus membahas mereka." Uliya, wanita yang pada awalnya perkenalan mereka, adalah seorang gadis yatim piatu. Semasa kecil hingga berumur sembilan belas tahun, Uliya tinggal di sebuah panti asuhan 'Kasih'. Dan setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas, Uliya menjadi tenaga pengajar honorer di sebuah sekolah Taman Kanak-kanak, yang masih satu daerah dengan panti asuhannya itu juga. Alzam dan Uliya, dipertemukan secara tidak sengaja kala itu, saat Alzam sedang melakukan PKL di kampung Uliya, tugas dari kampusnya belajar. Dan dari situlah, Alzam pun jatuh hati pada gadis lembut itu. "Sebenarnya ... sebagai wanita yang juga mencintaimu, aku bisa saja bersikap egois dan bisa menguasai dirimu seutuhnya, Mas. Berdua menjalani pernikahan kita ini tanpa campur tangan dari keluargamu ...." Lamunan Alzam pun terus berputar di masa lalu, lebih tepatnya percakapan itu adalah percakapan di beberapa bulan yang lalu. Pada saat itu, Alzam dengan lembut tampak menggenggam jari jemari Uliya dan sesekali mengusapnya juga dengan lembut. Alzam terlihat setia mendengarkan sang istri berbicara dari hati ke hati. "Apalagi aku hanya wanita sebatang kara, yang dari kecil juga sudah menjadi yatim piatu. Saudara dan kerabat pun aku juga tidak punya. Jadi ... toh aku tak perlu merasa malu, jika bisa menikahimu walau tanpa restu Ibumu." Alzam terlihat menggelengkan kepala pelan. Sebagai tanda ia tidak suka dengan kalimat Uliya yang terlalu merendahkan dirinya sendiri. "Yang menikah dan menjalani hidup adalah kita sendiri, Sayang. Jangan berkata seperti itu lagi. Cintaku ini bukankah sudah cukup untuk membuatmu dan putri kita bahagia. Benar, 'kan?" balas Alzam kala itu, dengan sesekali merapikan beberapa rambut halus milik Uliya yang menjuntai di sekitar kening sang istri. Uliya tampak mengangguk, masygul. "Iya, Mas. Aku cukup bahagia dan tenang selama menjadi istrimu. Kita bisa bahagia walaupun tinggal di rumah sederhana ini---" "Lalu, apa yang sekarang membuatku risau? Aku sudah tidak peduli lagi dengan ancaman dan penolakan dari ibuku. Sekarang apa lagi yang mesti kamu takutkan lagi?" tanya Alzam dengan nada lembut. Kala itu, Uliya tampak terlihat menggeleng kepala dengan lemah. Bisa dipastikan, jika pikirannya kala itu sedang ada beban. "Tapi ... ketika masalah ini lebih kita fokuskan ke dirimu, tetap gak bisa jadi sesimpel itu, Mas. Kamu bukan anak yang terlahir tanpa keluarga. Kamu masih mempunyai ayah ibu yang lengkap, bahkan keluarga besar---" "Terus apa urusannya dengan kita, Sayang. Yang terpenting sekarang, adalah keluarga kita sendiri. Kalau mereka enggan mengakui keberadaanmu, jadi itu sama saja menyepelekan pilihanku. Benar, 'kan?" sela Alzam memotong kalimat sendu dari istrinya tersebut. "Tapi, Mas---" "Tapi, apa, Sayang?" sela Alzam mulai risau. "Aku hanya ingin kamu tidak berpikir macam-macam. Aku mencintaimu. Selalu. Apa itu belum cukup untuk menghapus luka atas penolakan ibuku?" sambungnya dengan suara yang sedikit bergetar, sedih. Dan lagi-lagi, Uliya pun tampak menggelengkan kepala. "Aku sangat-sangat bersyukur atas cintamu, Mas. Tapi ada satu hal yang akhir-akhir ini mengganjal di hatiku. Kita mungkin bisa saja tutup mata dengan perlakuan mereka. Tapi ... putri kita? Walaupun bagaimana, dia tetap keturunan dah keluarga kalian, Mas. Sejujurnya hatiku sakit, melihat putri kita ikut mengalami apa yang kita alami sekarang. Tersisihkan dari keluarga ayahnya sendiri ...." "Zoiya, sudah cukup punya kita---" "Tapi tidak dengan Zoiya sendiri, Mas. Beberapa bulan ini dia mulai sering mempertanyakan padaku, mengapa dirinya tidak pernah sekali pun mengunjungi Nenek dan Kakeknya. Anak itu semakin besar, semakin kritis kalau bertanya. Aku kasihan melihat matanya yang berkaca-kaca meminta penjelasan." Alzam pun tampak terdiam. Jika boleh jujur, di dalam hatinya juga ada beban berat yang sering ia rasakan. Hidup seperti terbuang dari keluarga ketika memilih jalannya sendiri. Kalau dibilang tidak rindu pada ayah atau pun ibunya, itu jelas saja adalah sebuah kebohongan. Sebagai anak kandung yang dari kecil selalu berbakti pada kedua orangtuanya, Alzam pun sering berperang logika di dalam hatinya. Antara mengalah dan memilih kembali pulang ke orangtuanya? Atau tetap bertahan dengan wanita pilihannya sendiri dan sudah membuatnya jatuh hati sepenuhnya itu, dengan resiko sang istri menerima perlakuan tidak baik dari ibunya. "Kita sudah komitmen dari awal 'kan, Sayang? Menjalani hidup kita ini bersama-sama apapun resikonya," bujuk Alzam dengan nada getir. "Iya, Mas. Tapi itu dulu, sewaktu kita masih berdua saja. Tapi setelah Zoiya lahir dan semakin besar, rasanya aku terlalu egois, membiarkan dirimu ini semakin jauh dari keluargamu sendiri." "Ini bukan karena kamu, Sayang. Kamu tidak bersalah. Ini sudah kemauanku sendiri," sangkal Alzam sambil semakin mengeratkan genggaman tangannya pada sang istri. Uliya tampak menampilkan senyum tipis, tetapi tampak berbalut dengan kesedihan, "Kalau diberi kesempatan jujur, apakah hatimu enggak merasa berat, Mas? Berlaku dan membangkang seperti anak yang tidak tahu diri begini?" tanyanya penuh kegetiran. Alzam pun seketika tampak terlihat langsung terdiam, lalu menundukkan wajahnya. Sedangkan Uliya sendiri menghela napas pelan. "Seorang anak, tidak akan mungkin selamanya marah atau ingin jauh dari orangtuanya, Mas. Jika keadaan ini dibalik ke kita. Apakah kita juga rela, jika suatu hari nanti kita lah yang diperlakukan seperti ini juga dengan anak kita sendiri?" tanyanya dengan nada hati-hati. "Tapi, ini bukan salah kita sepenuhnya, Sayang. Orangtuaku saja yang kolot dan tutup mata dengan pilihanku," bantah Alzam dengan sedikit menambah volume suaranya. "Karena pilihan Mas ini, bukan kriteria mereka." "Lalu kita mau gimana, Sayang? Mendekat ke mereka pun percuma. Kamu pasti yang akan menjadi sasarannya. Asal kamu tahu, aku tidak pernah mau berpisah darimu. Aku juga tidak pernah tega jika harus melihatmu terabaikan ...." "Mas, kita tidak akan berpisah. Selagi kita sama-sama masih saling mencintai," ucap Uliya penuh kelembutan. Sifat alami yang sangat disukai oleh Alzam. "Tapi ... ibuku nggak pernah mau mengakui pernikahan kita ini, Ya," tandas Alzam dengan nada sendu. "Aku enggak bisa memilih di antara kalian. Kamu dan Ibu, sebenarnya sama-sama ada dalam hatiku. Kalau memang Ibu sayang padaku, harusnya beliau mau menerima pilihan dan keputusanku juga." Alzam terdengar merengek seperti anak kecil. Uliya pun akhirnya tampak menarik napas panjangnya dan mengembuskannya dengan perlahan juga. "Sebenarnya ... beberapa hari yang lalu, Ibu ada menemuiku, Mas." Bisa dipastikan, raut wajah Alzam pun seketika langsung berubah. Lebih tepatnya terkejut dengan perkataan yang diucapkan oleh istrinya tersebut, kala itu. "Ibu ada apain kamu?" tanya Alzam dengan raut wajah yang susah dijelaskan. Tentu saja dia merasa was-was, jika ada sesuatu perbuatan atau lisan ibunya yang melukai hati Uliya secara langsung. Namun Uliya tampak menggelengkan kepala. "Maksudnya?" tanya Alzam lagi, karena tidak paham akan arti gelengan kepala istrinya tersebut. "Ya, aku tidak diapa-apain sama Ibu, Mas. Cuma---" "Cuma apa?" potong Alzam semakin tidak sabar. Bahkan ada gurat curiga yang sepintas terlihat di raut wajahnya itu. "Ibu berjanji akan menerima aku dan Zoiya, sebagai menantu dan cucunya. Asalkan---" Alzam tampak mengernyitkan dahinya. "Pasti Ibu ada mengajukan syaratnya, 'kan?" tebak Alzam dengan raut tidak suka. "Tidak mungkin Ibu menerima hubungan kita ini dengan begitu saja." Dengan perlahan, Uliya pun mengangguk lemah. "Tapi ... setelah aku pikir-pikir beberapa hari ini, jika itu untuk kebahagiaan Zoiya dan bisa mengembalikan hubungan baik antara kamu dengan orangtuamu, aku ikhlas, Mas. Aku rela," Alzam pun terdengar menghela napas berat. "Apa syaratnya?" tanyanya dengan suara lirih. Alzam tentu saja tidak buta, semua sudah tergambar jelas di raut wajah sang istri. Jika yang sebenarnya hati dan perasaan Uliya pun sedang tidak baik-baik saja. Wanita kesayangannya itu, bahkan sedang mencoba menahan dan memendam perasaan dan lukanya seorang diri. "Menikahlah dengan gadis pilihan Ibu, Mas." Ada kepahitan yang tersirat di nada suara Uliya ketika mengatakan kalimat tersebut. "Dengan begitu, aku dan Zoiya bisa mendapatkan hak sebagai cucu dan menantu juga."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mengandung Anak Tuan Arvind

read
23.9K
bc

Best Partner

read
7.5K
bc

Nona-ku Canduku

read
21.5K
bc

OM JUAN

read
43.1K
bc

Alia

read
4.3K
bc

AFFAIR

read
7.7K
bc

Monochrome Romance

read
1.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook