bc

INEFFABLE

book_age18+
659
FOLLOW
7.3K
READ
family
goodgirl
powerful
confident
inspirational
sweet
bxg
campus
office/work place
friends
like
intro-logo
Blurb

MULAI PUBLISH : 01 NOVEMBER 2020

BLURB :

Ineffable/in•ef•fa•ble/

Artinya : tak terlukiskan, tak terkatakan, tak terbayangkan.

Di masa lalu, Javar adalah mahasiswa yang aktif mengikuti demo. Si mahasiswa dengan pemikiran kritis dan berani untuk berpendapat. Lalu pada suatu hari, tepatnya ketika OSPEK, Javar dipertemukan dengan Lovia—perempuan yang anti dengan mahasiswa seperti Javar. Lovia benci demo, Lovia tidak suka orang yang sering ikut demo, dan Lovia mencintai ketenangan. Javar jatuh cinta mati-matian kepada Lovia. Sampai akhirnya, pada suatu ketika, Lovia meminta Javar untuk berhenti ikut demo. Dan Javar menyetujuinya.

Dari sanalah mulailah masalah-masalah yang membuat Javar dan Lovia semakin menjauh. Bahkan akhirnya mereka berpisah tanpa kata, tanpa pamitan, dan tanpa tanda. Lovia dan Javar sama-sama memiliki penyesalan yang tidak bisa mereka selesaikan pada waktu itu. Javar butuh penjelasan dan Lovia belum sempat memberikan penjelasan.

Sampai akhirnya, setelah delapan tahun mereka berpisah—Javar dan Lovia bertemu dalam sebuah perjodohan yang direncanakan kedua orang tuanya.

Apakah Lovia akan luluh dengan Javar?

Apakah Javar masih mencintai Lovia?

Apakah yang terjadi di masa lalu sehingga mereka berpisah?

TEMUKAN JAWABANNYA DI "INEFFABLE".

________________

WARNING!

CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA DAN TIDAK BERMAKSUD UNTUK MENYINGGUNG PIHAK MANAPUN. CERITA INI SEKEDAR HIBURAN DENGAN KONFLIK YANG MASIH BISA DINIKMATI.

_________________

Salam hangat,

Bella :)

chap-preview
Free preview
Prolog
05 OKTOBER 2020 DIANDRA LOVIA SARADIKA ______________________________ PERJODOHAN—apakah masih jaman di tahun 2020 seperti ini? Aku kesal dengan Ayah dan Bunda-ku yang terus memaksa untuk menikah dan mengingatkan tentang umur setiap waktu. Memangnya mengapa jika di umurku yang hampir menginjak 27 tahun belum menikah? Menikah, sesuatu yang belum ingin aku lakukan dalam waktu dekat ini. Mengapa? Karena aku masih punya banyak planning untuk mewujudkan mimpi-mimpiku. Seperti pergi keluar negeri, berjalan-jalan keliling Indonesia, menikmati hidup dengan bisa berbelanja barang-barang dengan brand ternama yang aku inginkan. Aku bekerja sebagai copywriter di salah satu perusahaan makanan dan minuman kekinian yang sedang digandrungi kalangan remaja milenial. Karena aku terbilang sangat-sangat mencintai pekerjaan yang sedang aku geluti sekarang, jadi aku benar-benar ingin fokus tanpa harus memikirkan suami, rumah, dan segala t***k-bengeknya. Jujur saja, aku belum siap dengan itu semua. Kesendirian seperti ini sangatlah menyenangkan. Bisa menghabiskan waktuku dengan bekerja tanpa harus mengkhawatirkan apapun. Tetapi sekarang, semuanya berubah. Ayah dan Bunda getol sekali untuk menjodohkan aku dengan anak teman mereka. Dari yang lulusan luar negeri sampai lulusan dalam negeri dari kampus-kampus ternama di negara ini. Sayangnya, aku tidak tertarik kepada mereka semua. Ada yang terlalu humble, ada yang terlalu cuek, ada yang terlalu pendiam, ada yang terlalu sombong, ada yang terlalu pemalu, dan ada yang terlalu-terlalu lainnya. Pada intinya, aku tidak tertarik dengan mereka. Sampai akhirnya, Ayah memutuskan untuk benar-benar menjodohkanku—tetapi tanpa persetujuan dariku sama sekali. Apakah ini tidak bisa masuk dalam kategori pemaksaan? Padahal sudah jelas aku tidak suka dan aku tidak mau, tetapi mengapa Ayah dan Bunda keukeuh untuk memaksaku menikah. Jika kalian berpikir, biasanya orang tua yang berusaha menjodohkan anaknya itu ingin cepat-cepat menimang cucu, semua tidak berlaku kepadaku. Fyi, Ayah dan Bunda sudah diberikan cucu yang ganteng. Tentu saja bukan anakku, tapi anak Abangku. Ah, pasti karena Ayah dan Bunda terprovokasi dari omongan keluarga besar waktu acara pernikahan salah satu sepupuku yang baru saja lulus dari bangku SMA dan menikah dengan gurunya yang mungkin umurnya lebih tua dariku. Pernikahan macam apa itu? Aku masih berada di dalam kamarku, sibuk mengerjakan pekerjaanku dan mengabaikan semua panggilan Bunda yang sejak tadi bertanya tentang persiapanku. Ah itu, aku akan datang menghadiri pertemuan keluarga yang akan memperkenalkan kami—aku dan calon suamiku—anggap saja begitu. Aku tidak terlalu ambil pusing dengan pertemuan-pertemuan semacam ini. Toh, biasanya yang akan menyerah adalah pihak laki-laki. Bukankah itu bagus? Aku bisa membereskan mereka dengan mudah, bukan? "Lovia... Buka pintunya!" Tandas Bunda sambil mengetuk pintu kamarku keras-keras. "Anak nakal, kamu dengar Bunda-mu ngomong apa 'kan? Buka pintumu atau Bunda akan mempercepat hari pernikahanmu!" Ancam Bunda yang biasanya akan benar-benar terjadi. Jadi, aku memutuskan untuk berjalan ke arah pintu dan meninggalkan pekerjaanku sebentar. Jika tidak segera membuka pintu, pasti Bunda akan semakin marah-marah dan meminta Bang Syail—nama Abang kesayanganku—untuk datang ke rumah. Ceklek. Aku membuka pintu pelan dan melihat Bunda yang sudah rapi dengan atasan kebaya warna merah maroon dan bawahan rok jarik yang dipadukan dengan jilbab warna senada dengan kebaya itu. Bunda pun menatapku dari atas sampai bawah, sedikit terkejut karena aku belum bersiap sama sekali. "Lovia!" Ketus Bunda dengan nada tinggi. "Kamu ngapain aja dari tadi? Bunda 'kan sudah bilang, siap-siap! Kenapa kamu ngeyel banget sih!" Tandas Bunda marah-marah. Aku hanya tersenyum, "bentar lagi Bunda, baru ngerjain kerjaan yang sempat Lovia tinggal tadi. Habis ini janji deh langsung ganti. Lovi 'kan enggak dandan, Bun. Jadinya cepat banget kok." "Enak aja enggak dandan. Dandan!" Ucap Bunda kesal. "Iya, dandan." Jawabku yang sebenarnya malas-malasan. Aku jarang berdandan sebenarnya. Jika memang tidak karena diwajibkan ketika bekerja, pasti aku hanya akan menggunakan skincare saja dan bedak ala kadarnya. "Bunda tunggu, tiga puluh menit! Jangan bantah terus, Ayah bentar lagi pulang dan jangan sampai kamu belum siap-siap." "Iya Bunda sayang, Lovi ganti baju deh." Jawabku dengan sedikit kesal. Pasalnya masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan, tetapi karena pertemuan ini semuanya menjadi berantakan. Aku menutup pintu kamarku setelah Bunda pergi dengan wajah kesal. Aku tidak langsung pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Tenang saja, aku sudah mandi kok—walaupun tadi sore. Bagiku, pertemuan ini sama sekali tidak spesial. Jadi, tidak perlu berdandan heboh, bukan? Lagipula, ini acara orang tua. Bisa jadi 'kan kalau calonku nanti tidak setuju? Dengan berat hati, aku menutup laptopku setelah menekan tombol kombinasi CTRL+S. Mungkin aku akan lembur untuk menyelesaikan semua tugas-tugasku di kantor hari ini. Ah, perusahaan akan segera meluncurkan produk minuman baru, dan itu artinya, pekerjaanku dan timku akan sedikit keras. Apalagi, Mbak Inggrit—atasanku sudah ngomel-ngomel tidak jelas sejak beberapa hari ini karena kurang suka dengan pekerjaan anak buahnya, termasuk aku. Maafkan anak buahmu yang tidak tahu diri ini Mbak. Sebelum Bunda melakukan khotbah di depan kamarku, dengan langkah gontai aku masuk ke kamar mandi. Mencuci muka dan menggosok gigi seperti biasa. Lalu aku mengambil handuk kecil untuk mengeringkan wajahku. Baru setelah itu aku duduk di depan cermin meja rias untuk mulai memoles wajahku yang beberapa hari ini sedang breakout karena tidak cocok memakai krim malam. Biasalah, aku suka mencoba produk karena penasaran semata dan berakhir dengan mengacaukan wajahku yang sebenarnya sudah mulus. Jangan berpikir kulitku sebening dan semulus para beauty vlogger yang sering melakukan endorse skincare atau make up. Wajahku biasa saja kok, pernah juga bermasalah dengan jerawat dan bruntusan. Pernah sekali ke klinik kecantikan—tetapi malah bermasalah dan menimbulkan kulitku kemerahan. Oke, sekian curhatan masalah skin care atau body care. Kita fokus saja dengan pertemuan hari ini. Setelah ber-make up ala kadarnya, aku menyisir rambut panjangku dan menatanya sedemikian rupa agar tidak kelihatan ketika memakai jilbab. Yaps, aku berjilbab, mungkin sejak aku duduk di bangku SMA. Dulu, sekolahku yang berada di daerah pedesaan memang mewajibkan siswa putri—muslim—untuk mengenakan jilbab. Jadi, mungkin karena faktor terbiasa dan akhirnya membuatku tidak pernah percaya diri lagi keluar tanpa jilbab. Aku bukan sok alim, hanya saja, aku terbiasa. Bunda sudah memilihkan pakaian kebaya warna merah muda untukku. Lalu bawahannya menggunakan jarik yang aku lupa apa nama coraknya. Intinya, kombinasi warna putih dan hitam. Kata Bunda, calon suamiku itu adalah keturunan darah biru dari Eyangnya. Sehingga, setiap kali ada pertemuan seperti terbiasa dengan menggunakan kebaya dan jarik. Walaupun aku terkadang memakai gamis, tetapi tetap saja beda rasanya ketika menggunakan pakaian seperti ini. "Lovi..." Suara Bunda terdengar cukup keras di telingaku. Padahal baru saja aku hendak keluar dari dalam kamar setelah menggunakan jilbab. Aku kaget ketika melihat Bunda yang sudah berada di depan kamarku sambil mengunyah cokelat yang kemarin aku beli. Cokelat yang selalu aku stock di kulkas untuk menemani malam lemburku yang indah. "Nah, gitu 'kan cantik. Masa Bunda harus marah-marah dulu, baru kamu mau nurut." Gerutu Bunda yang hanya aku angguki saja. "Abang ikut enggak?" Tanyaku kepada Bunda. Berharap jika Bang Syail akan ikut pertemuan malam ini. Bunda menggeleng, "ada tugas keluar kota katanya. Besok baru pulang." "Yaaaaa..." Gumamku kecewa. "Kamu, udah besar masih aja ketergantungan sama Abangmu. Makanya punya suami, nanti pindah ketergantungannya." Ucap Bunda menyindir. "Abangmu 'kan udah nikah, udah punya istri dan anak. Masa kamu masih aja nempel terus sama Syail." Sambung Bunda dengan setengah kesal. "Apaan sih Bunda! Orang Lovi cuma tanya kok. Enggak ada maksa lho dari nada bicaraku. Lagipula dulu Abang pernah berjauhan sama Lovi waktu pendidikan." Jawabku kesal. Bunda tidak menjawab, lalu kami berdua masuk ke dalam mobil di mana Ayah sudah menunggu sejak tadi. Aku sibuk memainkan ponsel, mengadu kepada Bang Syail dan Mbak Lira—istrinya Bang Syail—karena dipaksa untuk dijodohkan. Mbak Lira selalu memberikan kata-kata motivasi yang membuatku setidaknya bisa berpikir positif. Lalu Mbak Lira mengirimkan foto Danil—keponakan lucuku—yang mengangkat kedua tangannya, katanya untuk penyemangat. Aku heran, kenapa tidak melakukan pertemuan di rumah kami saja. Kenapa harus ke sebuah restoran? Setelah mobil Ayah berhenti, aku hanya bisa melongo. Ku pikir, kami akan datang ke sebuah restoran yang nama makanannya susah untuk dilafalkan. Ternyata, realitanya tidak setinggi ekspektasiku. Joglo Kembar. Restoran atau rumah makan khas Jogja yang pernah aku datangi sekali untuk memesan nasi box ketika ada event di perusahaan yang mengusung budaya beberapa bulan lalu. Apakah ini tempat yang mereka maksud? Mengapa harus di sini? Pikirku sedikit bingung. Tanpa banyak bicara, aku turun dari mobil dan mengikuti kedua orang tuaku yang berjalan lebih dulu. Ada dua orang pramusaji yang berdiri di depan pintu—mengenakan kebaya untuk perempuan dan beskap untuk laki-laki. Ya, rata-rata seragamnya memang khas sekali dengan adat Jogja, sesuai dengan konsep dari restoran ini. Kami diajak untuk datang ke sebuah tempat privat yang biasanya disewa untuk acara rapat dan sebagainya. Gaya restoran ini pun memang dari sananya sudah sangat tradisional, mengingatkanku kepada kenangan ketika masih tinggal di rumah Mbah Kakung dulu. Di dalam ruangan ini sudah ada dua orang paruh baya dan aku yakini sebagai orang tua dari calon suamiku. Aku ikuti saja Ayah dan Bunda, bersalaman dengan keduanya. "Wah, ini pasti Lovia? Cantik banget kamu, Nduk. Mama pengen deh kamu cepat nikahnya sama anak Mama itu." Ucap perempuan paruh baya yang aku ketahui sebagai calon mertuaku. Ah, aku ingat. Kata Bunda, nama Ibu ini adalah Saras dan nama Bapak ini adalah Kuncoro. Tapi yang aku tidak tahu adalah siapa nama anaknya. Kata Bunda, supaya nanti aku bisa berkenalan. "Duh, ini anak selalu terlambat." Ucap Bu Saras sambil melihat ke ponselnya berulang kali. "Maaf ya Lovia, Mama sudah bicara sama anak ini untuk tepat waktu. Tapi pekerjaannya yang tidak bisa diajak tepat waktu. Mama jadi enggak enak sama kamu." Lagi-lagi aku hanya mesem, "enggak pa-pa kok, Bu." "Eh, jangan panggil gitu. Panggil Mama dong. Iya, 'kan Mbak Ririn?" Tanya Bu Saras yang meminta persetujuan Bunda. Bunda hanya mengangguk dengan senang. Apalah dayaku yang hanya bisa tersenyum kikuk. Sedangkan Ayah dan Pak Kuncoro, sedang asik bicara. Ah, apa mungkin mulai saat ini aku membiasakan memanggil dengan sebutan Papa dan Mama untuk kedua camer-ku ini? "Ayo, panggilnya gimana?" Pancing Bu Saras kepadaku. "Ah, iya, M-mama." Ucapku susah payah. Baiklah, tidak ada kata Ibu dan Bapak sejak awal. Tetapi sudah mulai dengan kata sederhana seperti Papa dan Mama. Sepertinya perjodohan ini sangat serius jika aku merasakannya sekarang. Ya Allah, cobaan atau kenikmatan macam apa ini? Doaku tentang diberikan mertua yang baik dan penyayang sepertinya terkabul. Tetapi kenapa menikahnya dengan orang yang tidak dikenal seperti ini? "Jadi, restoran ini salah satu cabang dari restoran milik Pak Kuncoro dan Bu Saras lho," ucap Bunda yang bersemangat. Baiklah, aku akhirnya paham mengapa restoran ini yang dijadikan tempat pertemuan. Karena restoran ini adalah milik keluarga mereka. "Assalamualaikum, maaf Javar telat." Deg. Jantungku berdetak dua kali lipat karena mendengarkan suara laki-laki yang berada di belakangku. Apakah itu calon suamiku? Apakah yang harus aku lakukan ketika melihat dirinya? Apa aku harus tersenyum? Apa aku harus diam saja? Apa aku harus cuek? Aku terdiam kaku, menunduk adalah hal yang paling tepat. Setidaknya untuk saat ini. Aku mendengarkan suara laki-laki itu yang sedang sibuk bersalaman dengan semua orang. Tetapi tunggu, aroma parfum ini? Suara ini? Dan nama ... Tidak mungkin, aku pasti salah dengar. Dengan keberanian yang tinggal setengah, aku mendongak. Mataku membulat seketika, menatap kedua bola mata laki-laki yang baru saja duduk di depanku. Bukan hanya diriku yang terkejut, tetapi laki-laki itu juga. "Apa kamu..." Ucapnya menggantung lalu kembali membuka suara untuk kalimat selanjutnya. "Diandra Lovia Saradika? Kamu Lovi, 'kan?" Tanya laki-laki itu yang tentu saja hapal nama panjangku. Aku menghela napas panjang dan berusaha untuk mengenyahkan semua debaran di dadaku dan rasa kagetku karena bertemu kembali dengannya. Siapa dia? Kalian tahu siapa? "Hai Kak, apa kabar?" Sapaku dengan berat hati. "Kamu ingat aku?" Kedua orang tua kami tampak cukup kaget dengan interaksi kami. Mungkin pikir mereka, kami berdua tidak kenal dan akan sangat canggung pada awalnya. Nyatanya, aku dan laki-laki di depanku ini pernah saling mengenal. "Ingat aku?" Ulangnya. Aku mengangguk pelan, "tentu saja aku ingat." "Siapa namaku?" Tanyanya dengan wajah penasaran. "Apa perlu aku menjawab hal itu?" "Hm," dehemnya dengan suara serak. Aku menggigit bibir bawahku dan mulai menatapnya, "Aljavar Ganindra Adhinata." Kalian penasaran bagaimana aku bisa mengenalnya. Tentu saja semua itu karena OSPEK bodoh di masa lalu, ketika aku pertama kali bertemu dengannya. ...seniorku tercinta, Kak Javar. °°°

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dear Doctor, I LOVE YOU!

read
1.1M
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.0K
bc

Wedding Organizer

read
46.6K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.1K
bc

MOVE ON

read
94.9K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook