bc

Broken Heart of Gold

book_age18+
21
FOLLOW
1K
READ
killer
self-improved
dare to love and hate
tragedy
bxg
mystery
city
crime
slice of life
like
intro-logo
Blurb

Saat Sean menyadari bahwa kehidupannya belum sempurna alias masih menyisakan lubang, kenangan masa lalu dengan deras membanjiri masa depannya seperti air mengisi gelas. Pernikahannya dengan Fiona tidak lagi terasa sama.

Pergolakan batin yang memenuhi benak Sean. Hadirnya hantu bernama kenangan mengacaukan puzzle rapi yang telah disusun rapi. Kini, kehancuran membayangi matanya. Jalan mana yang harus dia pilih?

chap-preview
Free preview
satu
Sometimes, i just wanna to quit. Tell my life i am done with it. When it feels too painful. I guess, the part of me is gone. I guess, I've got nowhere. . . . . Kehidupannya berubah setelah sepuluh tahun lalu. Hidup terlunta-lunta sebagai pengembara tersesat, buronan kelas kakap yang menjadi musuh banyak umat. Tangannya kini berlumuran darah. Dari dulu hingga nanti akan tetap sama. Mimpi buruk, malam-malam mengerikan mengalahkan lolongan serigala akan selalu melekat. Dirinya yang kacau, tidak sempurna, dan penuh amarah tanpa batas. "Benar-benar pria tidak tahu malu. Istrinya bekerja keras dan dia malah malas-malasan? Oh, astaga. Aku turut prihatin dengan perempuan malang itu. Dia pantas bahagia dan hidup nyaman selagi masih muda." Kesan pertama yang hampir dia dapatkan selama kurang lebih tiga tahun ini. Mendapati para tetangga yang gemar bergosip kembali melontarkan celaan padanya. Mencemooh terang-terangan tanpa merasa malu atau bersalah. Menyadari bahwa mereka menaruh simpati pada istrinya, dia sama sekali tidak keberatan. Ini tahun ketiga pernikahan dan dirinya belum memikirkan hadiah yang bagus untuk belahan jiwanya. "Benar-benar pria miskin yang beruntung. Lihat saja rupanya sekarang, dia punya bekas luka mengerikan dan wajahnya sangat menyeramkan." Potongan kayu kedua puluh pagi ini. Setelah melepas lelah dengan meminum habis sebotol air dingin, sorot kelamnya menyapu pada keempat para ibu yang membubarkan diri setelah matahari mulai menanjak dan sinarnya menyengat kulit. Anti matahari, mereka bilang. Berteduh di dalam rumah lebih baik alih-alih berjemur dan merusak kulit. Ketel air mendidih lebih cepat dari dugaan. Sean bangun untuk memeriksa dan melihat uapnya mengepul sampai membentur laci kayu. Memindahkan wadah air yang telah dicuci bersih dan kering untuk menampung sisa air, membiarkan air dalam ketel mendingin dan memeriksa jam dinding. Pukul sembilan. Sementara dirinya perlu bekerja keras untuk memotong sisa kayu yang berguna sebagai bahan bakar pemanas selama musim dingin berlangsung. Sebentar lagi dan dirinya harus memastikan semua pasokan kayu tercukupi sampai musim dingin berakhir. Dirinya sama sekali tidak lagi merasa rendah diri saat tatapan polos anak-anak mengekori dengan penasaran. Mata mereka yang lugu tidak mampu berbohong. Dan Sean membiarkan mereka menonton, melihatnya dari jarak jauh untuk mencari tahu. Menerka-nerka dirinya termasuk bagian dari penjahat atau malaikat yang sedang menyamar sebagai monster seram. "Bagaimana bisa paman mendapatkan luka itu?" Sean menengadah, menatap anak perempuan berwajah manis dengan rambut sebahu bertanya pada Sean dari balik pagar. Mata bulatnya mengingatkan Sean akan istrinya yang pergi untuk urusan lain. Di antara temannya yang lain, gadis bertubuh mungil dan agak kurus itu cukup berani memandangnya lama. "Luka yang mana?" "Luka yang mana?" bibirnya mengerucut kecil. "Semua temanku bilang paman sangat seram karena luka itu. Apa rasanya sakit?" Bagaimana rasanya saat luka ini hadir? Tangan kurus gadis itu terulur dan tak sampai untuk menyentuhnya. Kedua matanya meredup cemas, takut kalau menyentuhnya lebih jauh akan membuat Sean tersinggung. "Ini tidak sakit lagi." "Aku juga punya bekas luka," gadis itu menunjuk bekas luka memanjang pada lututnya yang putih. "Ini karena aku tidak berhati-hati dan terjatuh dari sepeda." "Oh, ya?" "Hem. Aku menangis saat itu." "Lia, kenapa kau bicara dengannya?" Gadis itu menoleh dengan tatapan bingung. Menyadari temannya segera menarik bocah perempuan itu pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan kepada Sean yang melamun, memandang kepergiannya dalam diam. "Jangan dekati paman aneh itu. Kau mau ibumu mengomel lagi?" Sean bangun dari tempatnya untuk merapikan sisa kayu yang selesai terpotong. Berendam air dingin bisa melarutkan isi kepalanya yang kacau selama beberapa saat. *** "Undangan?" "Tuan Mizuki," jawab wanita dari sebelah biliknya. "Ini pernikahan ketiga kalinya. Apa dia tidak malu menyebar undangan dan berakhir di meja pengadilan karena bercerai?" Fiona mengambil tempat untuk duduk dan membuka bungkus undangan cantik itu dalam diam. Matanya lekat menatap tulisan dan melihat kepala bagian tim mereka kembali menikah ketiga kalinya dan membawa sepasang anak kembar dari pernikahan sebelumnya. "Perempuan itu masih muda," sahut Sara dari sebelah bilik dengan gelengan tajam. "Aku tidak tahu dengan selera Tuan Mizuki yang aneh. Dia tahu akan tersakiti dengan kaum muda, dan masih saja menikahi mereka? Apa perempuan itu mau mengurus anak kembarnya? Malang sekali nasib mereka." Sara bicara seakan dirinya mengenal dunia pernikahan dengan baik. Dan Fiona menghormatinya sebagai sosok senior yang lebih tua dan berpengalaman. Meski begitu, Sara cukup terbuka padanya. Dia baru bekerja kurang lebih dua tahun dan Sara sama sekali tidak keberatan berbagi cerita padanya. Dia perempuan yang baik walau berwajah ketus. "Oh, ya Tuhan. Aku hampir lupa." "Hm?" Senyum Sara tiba-tiba melebar dan Fiona merinding setelah wanita itu bersandar pada bilik dengan alis naik turun. "Bagaimana dengan kencan buta, manis? Aku menawarkanmu mencari pelarian lain selain tidur di rumah sampai pagi. Kau terlalu monoton dan membosankan. Kencan tidak akan membuatmu hilang arah. Hanya satu malam." Fiona melempar dengusan kecil, mengulurkan tangan dan menepuk lembut pipi Sara. Menyadarkan perempuan itu. "Terima kasih. Tapi aku menyukai kehidupanku yang sekarang. Tidak perlu kencan." "Apa kau menjadi trauma karena mendengar ceritaku?" Sara bertanya penasaran. "Karena aku gagal dalam pernikahan dan harus membesarkan satu anak perempuan cantik sendirian. Kau menjadi takut setelahnya?" "Kau perempuan hebat, Sara. Jangan memandang seperti itu. Aku tidak trauma, hanya berhati-hati," balas Fiona dengan gelengan, kembali fokus pada layar komputernya. "Kau pasti punya trauma yang belum kau ceritakan padaku." Sara kembali mundur dengan desahan berat. "Fiona yang malang. Siapa berani menyakitimu? Kau sangat baik dan murah hati. Laki-laki itu benar-benar tidak tahu diri." "Aku bersyukur mendengarnya," sahut Fiona dengan senyuman lebar. Pintu lain terbuka dan cibiran terdengar keras dari bilik Sara yang tenang. Ibu satu anak itu melempar tatapan sinis saat mendengar Tuan Mizuki bicara mesra dengan calon istrinya dan terang-terangan membuat satu ruangan bosan serta lelah. "Teruskan pekerjaan kalian. Kenapa menatapku seperti itu?" Bola mata Sara memutar bosan. Mencemooh Mizuki, kepala tim mereka dengan terang-terangan setelah pria berperut buncit dan rambut belakang pitak itu berjalan pergi. Memang, tangan dingin Tuan Mizuki berhasil membuatnya sukses dan berpenghasilan mapan, kehidupan yang cukup dari ibukota yang keras dan tidak mengenal suku atau ras. Dia berhasil membuat dirinya sendiri terlihat mahal. "Aku membencinya," sungut Sara jengkel. Fiona hanya menatap wanita itu dengan senyum. Sara memang yang terkenal paling berani menantang kepala timnya sendiri sebelum Fiona bergabung dan Sara banyak melontarkan kalimat bantahan pada Tuan Mizuki selama rapat berlangsung. Mengatasi sikap semena-mena atasan, katanya. Dan semua orang mendukung Sara sebagai perwakilan mereka. "Kau beruntung karena menolak lamarannya. Dia terang-terangan menyukaimu dan kau menolaknya. Hih, dasar pria mata keranjang." Senyum Fiona melebar melihat ekspresi muak Sara menjadikannya sebagai hiburan di siang hari kala suntuk melanda. *** Tokyo saat ini dan sepuluh tahun lalu jauh berbeda. Kota terasa lebih maju dan peradaban tidak lagi terlihat seperti dulu. Penduduk berubah dan mulai mentaati aturan sesuai keyakinan mereka sendiri. Memilih untuk hidup berprinsip sesuai yang mereka mau. Era kebebasan telah tercapai dan mereka bisa bernapas lega setelah tercekik selama ratusan tahun akibat peraturan kuno yang tiada berujung. Sean memilih perjalanan dengan menggunakan kereta cepat siang ini. Ia akan kembali sore hari sebelum malam atau istrinya akan merasa khawatir. Dalam prinsipnya, membuat sang istri cemas adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan. Kereta cepat tidak terlalu ramai siang ini. Orang-orang berbaris dengan tertib menunggu giliran saat kereta untuk membawa mereka ke tempat tujuan sedang dalam perjalanan. Pemerintah lebih tertata dari sebelumnya, terstruktur dan terorganisir setelah reformasi. Banyak kursi yang kosong dan belum terisi. Sean hanya perlu melewati empat stasiun untuk sampai ke tempat tujuan dan kembali dengan kereta jurusan yang sama untuk pulang. Kurang dari lima belas menit, kereta cepat telah sampai tujuan. Stasiun bawah tanah lebih sepi dari stasiun sebelumnya. Sean melihat sekitar, merasakan atmosfir yang gelap dan berbeda karena letaknya cukup jauh antara satu stasiun dengan stasiun lainnya. Dia hanya berjalan melewati beberapa trotoar dan sampai pada sebuah gang dengan rumah-rumah padat penduduk yang letaknya agak pinggir dari jantung kota. Wilayahnya cukup bersih, tertata dan pemerintah memberlakukan aturan yang sama untuk tidak mengotori tempat mereka dengan sampah atau barang tidak terpakai lainnya. "Kau sudah datang." Sean melihat perempuan paruh baya itu membuka pintu rumahnya sendiri dan kembali duduk pada kursi goyang, menenun rajutan yang tidak kunjung selesai. "Maaf kalau aku mengganggu waktumu." "Apa itu sebuah sapaan selamat siang untukku?" si perempuan itu memasang senyum ramah dengan keriput yang terlihat nyata pada pipi dan bawah matanya. "Kau sama sekali tidak mengganggu waktuku. Istrimu pergi bekerja?" "Ya." "Kau berlaku kasar padanya?" "Tidak." "Bagus." Kacamata itu melorot dari hidungnya dan tangannya yang rapuh mencoba memperbaiki. "Pernikahan tidak akan berlangsung selamanya kalau salah satunya terus menyakiti. Kau paham maksudku, bukan?" "Aku merasa bersalah padanya." "Hm?" "Karena menikahi seorang monster sepertiku," sahut Sean pelan dengan jemari memegang bekas lukanya. "Dia mencoba menahan segalanya sendirian dengan tidak melibatkanku." "Itu seharusnya memang ada dalam dirimu." Perempuan itu menaruh benang tenunnya dengan senyum ramah. "Menandakan kalau dirimu masih manusia, dan bukan monster seperti yang mereka bilang." "Apa mereka kembali datang untuk mencariku, Nyonya Kamiya?" "Aku tidak akan bicara padamu, Sean." "Aku perlu tahu." Kedua mata wanita paruh baya itu terpejam, menarik napas dalam dengan gelengan lemah. "Kau tidak perlu tahu. Sudah lama sekali kau memutuskan untuk pergi dan menjalani hidupmu yang baru. Kau tidak bisa peduli lagi dengan hal semacam itu." "Bahaya selalu mengintai umat manusia setiap saat. Tetapi ketika kau belajar untuk acuh dan tidak peduli, hidupmu juga akan baik-baik saja. Kau hanya perlu mengingatnya." Kamiya menatap Sean yang melamun, menunduk memandang vas bunga usangnya tanpa suara. Sorot mata pria itu lebih rapuh dan dingin, seakan ada makna tersirat yang tak mampu terucap. *** "Bintangnya cukup banyak. Bulan juga bersinar cukup terang. Malam ini luar biasa. Cocok untuk bersantai dan berjalan-jalan." Fiona melirik Sara yang sibuk memuji langit dan isinya dengan tatapan penuh tanya. "Bagaimana dengan putrimu?" "Dia bersama neneknya. Putriku lebih dekat dengan ibuku daripada denganku," kata Sara geli. "Aku tidak mempersalahkannya karena kami sama-sama menyayanginya. Dia mengerti kalau ibunya bekerja keras mencari uang untuknya. Untuk dia dan neneknya. Dia anak yang perhatian dan manis." "Walau pernikahanku gagal, aku tidak pernah menyesali kehadirannya. Putriku segalanya dan dia hadiah terbaik yang pernah kumiliki." Tidak ada kebohongan dari binar mata Sara yang lembut. Wanita itu akan melunak saat membicarakan Megumi, putri kecilnya yang baru berusia lima tahun dan sudah masuk taman kanak-kanak. Sara harus menghidupi ibu dan putri kecilnya seorang diri. Dia perempuan kuat dan mandiri, dan Fiona belajar banyak darinya. "Kau pantas mendapatkan pria yang lebih baik." "Yah, dia mungkin mencintaiku tapi membenci Megumi karena mencuri semua perhatianku," ujar Sara sedih. "Aku membencinya. Ini alasanku tidak mencari cinta dan pria lain lagi setelah bercerai. Megumi harus mendapatkan dunianya sendiri dan membiarkanku melihatnya berkembang. Aku ingin fokus terhadapnya." Fiona tersenyum manis. "Kau ibu yang luar biasa." Sara berhenti untuk membeli dua gelas jus jambu segar. Fiona mencari tempat duduk, bersantai setelah jam kerja selesai dan berjalan-jalan menikmati malam sebentar. "Apa alasanmu tidak berkencan?" "Rumit. Aku malas memikirkan kelakuan para pria yang tidak ada habisnya," jawab Fiona asal dan Sara mengangguk, menyetujui pendapatnya. "Kau tidak mungkin terus-menerus hidup sendirian. Tapi ada benarnya kalau kau ingin mandiri. Negara kita membebaskan penduduknya untuk melakukan sesuatu selama tidak melanggar hukum," kata Sara setelah jus pesanannya datang dan meneguk separuhnya. "Aku beruntung karena kehidupanku tercurahkan untuk putriku. Megumi layak mendapatkan segalanya dari ibunya." "Aku merindukannya. Kau bisa membawanya pergi di akhir pekan nanti?" Mata Sara melebar. "Kau ingin menculiknya ke taman bermain seperti satu bulan yang lalu? Astaga. Dia sampai lupa pulang dan ibuku cemas bukan main." "Aku akan izin padamu lebih lama," sahut Fiona geli melihat reaksi temannya. "Dia sangat lucu dan antusias. Megumi anak yang aktif. Aku menyukainya. Dia manis sekali." Wajah Sara melembut lebih lama. "Dia juga menyukaimu. Saat aku menyampaikan salam padanya darimu, dia sangat senang dan bertanya kapan bertemu lagi." "Aku tidak akan datang ke pernikahan Tuan Mizuki." "Aku juga," Sara setuju dengannya. "Kita bisa menitipkan undangannya pada tim lain. Malas sekali melihat wajahnya di hari pernikahan nanti." "Berapa usia calon mempelainya?" "Dua tahun lebih muda darimu," sungut Sara sebal. "Benar-benar pria itu. Aku lebih setuju jika dia dimutasi dan pindah ke cabang lain. Kenapa harus di tempat kita? Aku sudah muak." "Aku lebih setuju kalau kau memegang jabatan Tuan Mizuki setelahnya," aku Fiona jujur, apa adanya. "Kau cukup berdedikasi dan mampu bekerja dengan baik. Aku siap membantu." Sara tertawa geli. Kemudian ponsel Sara berbunyi cukup keras. Terdengar suara Megumi yang keras melengking memanggil nama ibunya. Sara terkekeh pelan, menyadari kalau dirinya harus kembali dan meninggalkan Fiona sendiri setelah berpamitan. *** "Fiona, masuklah dulu." Wanita itu memberi senyum singkat setelah menyodorkan sebungkus makan malam untuk seseorang yang baik hati membukakan pintu untuknya. "Ini untukmu, Nyonya Kamiya." "Ibu, Fiona. Panggil aku ibu karena aku ibumu." Fiona masuk setelah melepas sepatu, menggantinya dengan sandal rumah biasa. Melihat rumah mungil milik ibu angkatnya, Kamiya, Fiona benar-benar merasa dirinya pulang ke rumah dan kembali ke tempatnya. Rumah ini menawarkan beragam kenangan yang dia rindukan setelah sirna. "Ingin minum sesuatu?" "Aku bisa membuatnya sendiri. Duduklah, ibu. Kau terlihat kepayahan. Apa yang ibu lakukan hari ini?" Kamiya duduk dengan senyum. "Hm, aku melakukan hal yang tidak berguna setiap harinya. Untuk mengisi waktu dan bertanya-tanya kapan putriku pulang." "Aku akan datang untuk melihatmu," kata Fiona setelah memeluknya cukup lama. "Aku membelikan makan malam. Itu paket teriyaki kesukaanmu. Apa perlu kusiapkan sekarang?" "Bagaimana dengan menceritakan harimu dulu padaku?" Kamiya mengulurkan tangan, mengusap rambut panjang putrinya dengan sayang. "Ibu ingin sekali mendengarnya. Sebagai hiburan karena kau kembali dari bekerja dalam keadaan utuh." Fiona melempar dengusan kecil. "Ibu hanya terlalu cemas. Aku sudah dewasa, ingat? Usiaku dua puluh lima dan aku bisa memukul orang jahat dengan sepatuku. Apa lagi?" "Negara ini tidak sedang baik-baik saja," sahut Kamiya bersama satu gelengan singkat. "Normal kalau aku gelisah dan cemas setiap kali memikirkanmu. Kau putriku, separuh jiwaku, aku rela mati untukmu." "Tolong, jangan bicara seperti itu lagi." Fiona bangun setelah melepas tangan Kamiya darinya. Menyadari jika putrinya tidak menyukai topik tentang kematian atau apa pun yang berbau perpisahan, seharusnya dia sadar untuk tidak membahasnya lagi. Kamiya hanya takut, rentan terhadap banyak hal terutama kehilangan. Ada lauk dan beragam hidangan tersaji di atas meja. Fiona menyiapkan makan malam untuknya seorang. "Aku hanya menyantap makan malam sendirian?" "Aku sudah kenyang." Fiona mengusap perutnya dengan kekehan. "Ayo, makanlah. Ibu perlu amunisi untuk beraktivitas lagi besok." "Aku akan berjemur. Rutinitas yang mulai terasa membosankan," sahut Kamiya dengan gelengan dan mencicipi lauk setelah mengambil sumpit. Menyendok semangkuk sup rumput laut dan miso selagi hangat. "Rasanya luar biasa. Bagaimana bisa kedai ini menciptakan rasa yang tidak pernah pudar setelah puluhan tahun?" Kamiya mencicipi semua lauk bersama nasi dan sesekali menyuapi Fiona untuk menyantap makan malam bersamanya. Wanita itu berbagi cerita semasa mudanya dan Fiona mendengarkan, sesekali menimpali dengan berbagi harinya selama bekerja. Dunia kantor berbeda dengan dunia pada umumnya. "Kau sudah bekerja keras," kata Kamiya lembut, mengusap pipi pucat putrinya dengan seulas senyum manis. "Aku kagum padamu. Benar-benar bangga karena kau melakukan segalanya tanpa pernah mengeluh. Hatimu benar-benar lapang. Semoga Tuhan memberkatimu." Fiona melempar senyuman setelah menelan habis sisa tempura dan ebi tepung terakhir. Lauk telah habis, begitu pula nasi yang telah disantap. Kamiya mengusap perutnya, mendapati Fiona terkekeh geli dan bergegas mencuci piring sebelum membersihkan meja bekas makan. "Aku akan mencucinya untukmu, Fiona. Sudah, tinggalkan saja. Kau harus kembali sebelum larut." "Bukan masalah. Sebentar lagi selesai." Kamiya tidak lagi bisa membantah atau menolaknya. Ia membantu dengan membereskan meja bekas makan, menggelar tikar dan kembali duduk menanti Fiona selesai. *** Saat Sean terbangun, semuanya gelap. Tidak ada cahaya yang tersisa selain dari langit malam yang berjaga bersama bulan dan bintang. Ranjang tempat tidurnya berderit kala dirinya bangun, meluruskan punggung dan memeriksa sekeliling kamar setelah menyalakan lampu. Kosong. Kelopak matanya membuka penuh, mengamati seisi kamar yang senyap sebelum membuka pintu dan melihat ruangan yang temaram, berganti dengan lampu tidur. Jendela dan pintu utama telah tertutup rapat. Kecuali satu pintu yang mengarah pada taman mungil belakang rumah. Sean mungkin lupa menguncinya dan membiarkan pintu tetap terbuka sampai tengah malam. Pintu yang berbatasan dengan dapur dan kamar mandi, mengarah pada taman mungil tempat kolam ikan kecil hidup dan sekumpulan bunga hias tumbuh. Kedua tangannya terentang lebar untuk mendekap tubuh seseorang. Aroma lembutnya menyadarkan dirinya pada realita, bahwa dirinya tidak sendirian dalam mengarungi dunia yang keras dan fana. Ada seseorang yang mau berbagi suka dan duka bersamanya, menemani malam dan siangnya, bersama mengusir mimpi buruknya. "Kau bermimpi buruk?" "Aku mencarimu." Usapan lembut itu menenangkan jiwa Sean yang gelisah. Rumah adalah tempat terbaiknya untuk pulang dan berlindung. Dunia bukan segalanya saat dirinya berada di rumah, melepaskan segalanya. "Kau ingin makan sesuatu?" "Aku ingin memelukmu." "Aku terbangun karena haus," ucap istrinya dengan tawa geli. "Serius. Ini bukan karena mimpi buruk. Lalu melihat kalau kau bekerja keras untuk membuat ikan-ikan lucu itu nyaman, aku ingin berterima kasih." "Ikan-ikan lucu?" "Aku belum memberinya nama," sang istri menunjuk lampu bulat yang menerangi ikan-ikan itu di malam hari dan tidak tertabrak satu sama lain karena kurangnya cahaya. "Mereka terlalu cepat berkembang-biak dan ikan-ikan kecil lainnya muncul lalu pergi." Pelukan itu terlepas dan istrinya berbalik untuk menatap wajahnya lekat, mencari sesuatu dalam matanya yang pekat. "Bilang padaku bagaimana rasanya. Kau berjanji mau berbagi apa pun, bukan? Kalau kau bermimpi buruk, saat gelisah dan cemas, kau bisa membaginya denganku." Satu-satunya perempuan yang tidak pernah lari setiap kali mereka bertemu. Bola matanya yang teduh selalu membuat Sean larut, tenggelam ke dasar lautan tanpa mau diselamatkan. Rumah yang sempat hilang, istrinya mengembalikan semuanya yang pernah pudar. Satu-satunya perempuan yang mau mengulurkan tangan padanya, membantunya bangun dan bukan mendorongnya semakin jatuh ke lubang jurang. "Aku cemas karena tidak mendapatimu di rumah lebih cepat." Istrinya tertawa geli. "Aku sudah mengirim pesan padamu. Hari ini akan terlambat pulang karena ada urusan lain." "Urusan dengan Sara dan ibu Kamiya?" Fiona melihat bibir suaminya bergeser untuk mencium telapak tangannya. Kelopak matanya terpejam dan dirinya tidak lagi tahan untuk tidak memeluknya, membiarkan sang suami merasa terhibur karena dirinya ada di sini, bersamanya. Sean selalu gelisah tentang dirinya yang bisa menghilang tiba-tiba dan tidak lagi kembali. "Bagaimana pekerjaan?" "Tuan Mizuki memberiku undangan," kata Fiona setelah melepas pelukannya. "Aku dan Sara tidak berniat datang. Ini pernikahan ketiga dan kami lelah dengan kabar perceraian." Sean menautkan alis. "Jadi, kalian memilih tidak peduli?" "Hem. Aku merasa kasihan dengan anak kembar Tuan Mizuki karena memiliki ibu berbeda setiap saat. Anak-anak terlalu rentan, bukan?" Fiona mundur dan menarik napas panjang, memeluk dirinya sendiri. "Tuan Mizuki rupanya tidak peduli dengan hal itu. Miris sekali. Dia seharusnya bisa bersikap lebih bijaksana saat menjadi seorang ayah." Ekspresi Sean berubah saat mendengar cerita itu terlontar dari bibir istrinya. Matanya menyapu Fiona redup sebelum memotong kalimatnya dengan pertanyaan bimbang. "Kau ingin punya anak?" "Kita sudah membahas ini, kan?" "Aku tidak—," "—sampai kau siap. Sampai kau bisa menerima dirimu sendiri dan memaafkan segalanya." Fiona menekan d**a suaminya dengan telunjuk kiri. "Kalau kau tidak bisa menerima dirimu seutuhnya, terus-menerus merasa bersalah padaku, aku tidak akan menerima apa pun. Kita tidak bisa membahas ini sampai kau siap." Bibirnya menipis muram, tidak lagi mampu bersuara. "Aku tidak peduli siapa dirimu, wajahmu saat ini atau yang terjadi di masa lalu. Aku setuju menikahimu karena aku mau bersamamu." Pandangan Fiona meredup saat mata mereka bertemu. Masalah kerap timbul dari diri suaminya, Sean yang tidak pernah bisa terbuka atau menerima dirinya sendiri yang penuh luka dan masa lalu kelam. Suaminya tidak mau berdamai dengan dirinya sendiri, tidak bisa melihat masa depan dengan cara yang baik. Memandang kalau dunia benar-benar kejam, bermandikan darah selamanya. "Ini sudah larut. Ayo, kembali tidur." Sean bisa melihat punggung istrinya yang mulai menjauh. Fiona memasuki lorong rumah mereka, masuk ke dalam kamar dan menunggunya. Sementara dirinya bergeming, berkutat dengan pikirannya sendiri yang penuh keraguan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook