bc

THE CHOOSEN ONE

book_age18+
287
FOLLOW
2.7K
READ
dark
love-triangle
dominant
manipulative
tragedy
bxg
mystery
another world
enimies to lovers
multiple personality
like
intro-logo
Blurb

Kehidupan yang terlampau biasa membawa Athena pada dunia baru. Semula, keadaan bumi yang hancur pasca perang dunia nuklir membuat para manusia memulihkan diri. Athena menjadi bagian dari mereka yang beruntung.

Namun, kebahagiaan yang sempat ia bayangkan kandas saat menyadari sang kekasih menjadi buronan nomor satu. Pemimpin organisasi hitam yang bergerak di bawah tanah untuk menentang kekuasaan pemerintahan.

Semua bisa dikendalikan. Berjalan biasa layaknya permukaan air danau yang tenang. Namun Athena menyadari ini hanya sementara. Sampai si penguasa bengis, Jenderal Levant memintanya untuk menikah.

chap-preview
Free preview
1
Ruangan itu terang, teramat terang dengan lampu berdaya tinggi yang tertempel di langit-langit. Tetapi, berbanding terbalik dengan situasi yang terjadi di dalamnya. Keheningan itu melanda selama beberapa menit ke depan, tanpa ada yang membuka suara barang sedikit saja untuk memecah suasana yang begitu canggung. "Kau harus menikah." Suara itu melantun sekali lagi. Terdengar pelan, namun nada yang terselip bagai perintah mutlak nan absolut yang tidak terbantahkan. Sang Jenderal—Amante Levant mendengus pelan, duduk di kursinya dengan sudut bibir tertarik dingin, memainkan kakinya yang terlipat. Mantel hitam bulunya menjuntai sampai menyentuh lantai yang dingin. "Menikah?" Sang Jenderal melirik Letnan Edsel yang sejak tadi menunduk, mendengarkan percakapan mereka dalam diam dan tampak tenang. "Aku bisa memilih wanita mana pun yang kumau kalau hanya untuk mengincar keturunan." "Ini tidak semudah itu, Jenderal." Salah satu tetua berdiri, menatap Sang Jenderal dengan sorot abu-abu yang memudar karena usia. "Penerus Dalla haruslah dari bibit yang unggul dan pantas. Keturunan bukan sesuatu yang kau anggap mudah begitu saja." Sang Jenderal mengangkat alis. Menatap tiga tetua yang menatapnya tak senang dengan sorot berpendar jengkel. Menjadi Jenderal pemberontak adalah sifat buruknya. Dia tidak pernah mau mematuhi tiga tetua yang hidup sejak dirinya masih ada di dalam kandungan sang ibu hingga duduk di kursi pemimpin tertinggi nomor satu. "Lalu? Kalian memiliki calon yang terbaik untukku?" Letnan Edsel melirik dari sudut matanya. Tumbuh bersama Amante Levant membuatnya hampir sembilan puluh delapan persen mengetahui benar bagaimana sifat pria ini. Dan untuk dua persennya, dia belum terlalu percaya. Karena Jenderal satu ini sulit untuk ditebak. Terlalu sulit ditebak. Para tetua saling berpandangan. Mereka menghela napas, kembali duduk dan meremas kedua tangan di atas meja. Saat Sang Jenderal mendengus pelan, pertanda dia mulai bosan. Dan memejamkan mata, bersandar pada kursi. "Hentikan omong kosong ini. Usiaku baru tiga puluh tahun, aku akan menikah saat usiaku empat puluh tahun." "Itu terlalu lama!" Salah satu kelopak mata itu terbuka. Ekspresi Sang Jenderal berubah dingin. Jenderal Levant yang dihormati mulai tak nyaman dan membenci suasana yang mendesak ini. Para tetua tidak akan diam saja untuk menyudutkannya. Meminta dirinya berkorban demi Dalla, negeri tercinta mereka. Jenderal berdiri. Dia menatap ketiga tetua itu dengan sorot tajam. "Akan kupikirkan." Dia berkata sebagai kalimat terakhir dan berjalan pergi. Tanpa sapaan sopan atau embel-embel apa pun yang bersifat menghormati para tetua. Letnan Edsel memberi penghormatan pada ketiganya dan ikut beranjak pergi, membiarkan pintu kaca satu arah itu menutup otomatis dan dia berjalan, mengejar langkah Sang Jenderal yang lebih dulu masuk ke dalam ruangannya. Melamun menatap salju yang turun membasahi Dalla. "Minggu keempat salju turun." Jenderal mengulurkan tangannya, mengusap titik-titik embun yang tertinggal di kaca tebal Benteng Dallas. Letnan Edsel terdiam di belakangnya. Tidak mengucapkan satu kata pun saat dia ikut melamun, menatap butiran salju yang turun membasahi tanah kering di Dalla, negeri yang tersisa akibat perang dunia kelima. Dulu, saat dirinya lahir ke dunia ini. Dia melihat langit-langit tampak oranye. Berbeda dari langit yang digambarkan di buku-buku dongeng lama, dimana langit berwarna biru cerah, layaknya warna air di lautan yang dangkal. Dalla adalah negeri yang dibangun leluhur Amante, puluhan tahun silam. Yang tersisa dari perang dunia kelima. Dimana bumi rata dengan tanah. Kepunahan manusia merajalela. Tumbuhan dan hewan lenyap, meninggalkan sisa tulang-belulang yang disimpan para ahli di museum Dallas, ibukota Dalla. Pusat pemerintahan ada di Dallas, dimana benteng besar untuk melindungi para manusia yang tersisa telah dibangun oleh sisa-sisa pemimpin perang dunia yang memiliki kekayaan abadi, tidak akan habis dalam beberapa keturunan mendatang. Yang Letnan Edsel ingat, saat langit kembali berwarna biru, saat dia berusia tujuh belas tahun. Saat tubuhnya penuh luka akibat latihan fisik yang keras dan tak kenal ampun. Dia bisa menatap langit yang seakan tersenyum padanya, memberinya kekuatan untuk tetap bertahan dari serangan pihak-pihak tak bertanggung jawab yang ingin membumihanguskan Dalla, sesuai sumpah mereka untuk menjadikan bumi sebagai dunia yang baru tanpa manusia murni. Letnan Edsel mengernyitkan kening, menoleh ke belakang dan mendapati Panglima Sai membungkuk padanya sebagai sapaan dan bergerak pindah ke sisinya, menghadap Sang Jenderal. "Jenderal." Kepala Sang Jenderal menunduk ke bawah, melirik dari sudut mata tajamnya. Tidak perlu menoleh, dia paham siapa pemilik suara ini. "Kau akan terkejut mendengar ini dariku." Panglima Sai melirik Letnan Edsel yang terdiam, meneliti ekspresi dan tatapan matanya. Letnan Edsel menghela napas, menatap Sang Jenderal yang kini berbalik, menunggu Sang Panglima untuk bicara. "Katakan." Panglima Sai tampak yakin dengan apa yang dia ucapkan. Kedua mata pekatnya melirik Letnan Edsel sekilas dan sosok berambut kuning nyentrik itu terlihat waspada. "Pemberontak yang dipimpin Immanuel Gildan melarikan diri ke Barat Daya," ucap Sang Panglima dingin. "Immanuel Gildan?" Mata tajam Sang Jenderal berpaling dari Letnan Edsel yang terkejut, tetapi pria itu bisa mengendalikan diri dengan baik. Tangannya terkepal saat Panglima Sai membungkuk, memohon ampun pada Sang Jenderal. "Immanuel Gildan lolos dari pengawasan penjara bawah tanah Dallas?" Jenderal bergerak mendekati Letnan Edsel yang terdiam bagai patung. Sepasang manik biru Sang Letnan beralih pada Jenderal dan dia berlutut, menekan tangan ke dadanya berharap mendapatkan ampunan dari Sang Jenderal. "Aku menduga ada dua puluh orang pengikut Immanuel Gildan saat ini bersamanya sedang bersembunyi dari kejaran angkatan militer Dallas," kata Panglima Sai. "Izinkan aku menangkapnya dan membawa mereka kembali ke penjara. Immanuel Gildan akan mendapat hukuman mati, aku akan mempersiapkan para algojo untuk memenggal kepalanya." Jenderal mengangguk tegas. Dia menatap Letnan Edsel dan kepala yang tertutup topi militer hitam itu mengangguk, mengerti arti tatapan Sang Jenderal untuknya. "Bawa mereka semua hidup-hidup ke Benteng Dallas. Siapa pun yang membantu para pemberontak itu, mereka harus mati." "Laksanakan, Jenderal." *** Felice Athena mengintip cemas ke luar jendela panti yang dia tinggali sejak usianya lima tahun. Dia menoleh, menatap Immanuel Gildan yang duduk di depan pemanas, mengulurkan kedua tangannya dengan ekspresi santai dan senyum lebar pada Athena yang berjalan menghampirinya dengan raut gusar. "Apa Bibi Fumi sudah tidur?" Immanuel Gildan bertanya ketika Athena duduk di sampingnya, menarik selimut hingga sebatas d**a dan menghela napas. "Athena, apa kau cemas?" "Tentu saja." Athena menghela napas lelah. Dia menatap Gildan dengan sorot sendu. "Militer Dallas mengejarmu. Kau tahu kesalahanmu? Menjadi berbeda bukan hal yang baik, Gildan. Berhentilah." Immanuel Gildan tersenyum manis. Dia menatap telapak tangannya yang mulai membaik setelah membeku selama beberapa jam dan terasa mati dan kaku. "Aku tidak akan mati, Athena, jangan khawatir." Athena memutar mata jengah. Dia mendorong bahu pria itu dan Gildan hanya terkekeh, membuat rasa jengkel Athena semakin menjadi. "Berhenti bercanda. Aku serius." "Kau menggemaskan saat marah." Gildan mengulurkan tangannya yang hangat ke pipi pucat gadis merah muda itu. "Aku semakin mencintaimu." "Tidak ada waktu untuk merayuku, Gildan," Athena menurunkan tangan itu. Menggenggam tangan Gildan di atas pangkuannya yang terbalut selimut rajutan olah karya tangannya. "Bagaimana jika mereka menghukummu? Kau lupa bagaimana kejamnya militer Dallas? Mereka akan memenggal kepalamu setelah membuatmu mati dalam setruman listrik tegangan tinggi!" "Benarkah?" Immanuel Gildan menatap lekat-lekat sorot hijau teduh yang mulai meredup itu. "Kau pernah melihatnya sendiri? Dengan mata kepalamu?" Athena menahan napasnya. Dia melepas genggaman tangan Gildan dengan kasar dan bergerak mundur, memberi jarak di antara mereka. "Kuakui Benteng Dallas sangat mengerikan. Mereka tidak akan memberi ampun pada pemberontak, terutama macam diriku. Dan aku tidak akan bisa diam saja di sini. Aku harus memperjuangkan hakku, hak kami yang tertindas kaum penguasa." "Gildan." Athena memanggil namanya lirih. "Tolong, menyerahlah. Aku mendukungmu, aku selalu mendukungmu. Hanya saja kau tahu semua sangat sulit. Kumohon, jangan buat ini semakin sulit." "Tidak, Athena. Aku memiliki dirimu. Aku akan memperjuangkan apa pun itu. Berhenti mencemaskan ini, aku akan tetap pada prinsipku." Gildan menarik tangannya, memeluk Athena dengan lembut saat gadis itu menghirup dalam-dalam aroma pakaian kekasihnya yang lusuh, mencoba menahan air matanya sendiri. Immanuel Gildan menoleh, mendapati anak buahnya terengah-engah dan Athena melepas pelukan mereka. Berdiri dengan ekspresi tegang dan pucat saat dia mulai bicara. "Kapten, militer Dallas mendekati kita." Sepasang iris teduh Athena melebar sempurna. Gildan berdecak keras, mengumpat dalam hatinya saat anggota lainnya yang beristirahat segera bersiap bangun, melarikan diri dengan senjata yang sudah mereka persiapkan dan kembali bersembunyi dari kejaran militer Dallas. Athena berlari ke lantai atas. Dimana anak-anak sedang tertidur pulas. Dia mematikan beberapa lilin aroma terapi yang menyala, menggantinya dengan lampu ruangan yang terang. Dia harus menyelamatkan mereka sebelum pihak militer Dallas yang tak kenal belas kasihan dan ampun akan membawa mereka ke Benteng Dallas, menyiksa mereka untuk bicara dan mencari informasi tentang pemberontakan Partai Merah yang dipimpin Immanuel Gildan secara mendetail. Bibir Panglima Sai terkatup rapat. Dia menatap rumah besar dua lantai yang cukup terang dan nyaman jika dilihat dari luar. Beberapa pohon buah yang tumbuh subur tampak tertutup tebalnya butiran salju yang turun dari langit. "Athena, mengapa pihak militer di sini?" Wise Cassandra mulai panik, dia menahan kebingungan dan mulai ketakutan saat menenangkan anak-anak yang menjerit takut dan panik melihat mobil-mobil besar militer yang siap melindas mereka kapan saja tengah mendekat ke halaman depan rumah. "Bibi Fumi sedang membantu Gildan untuk pergi dari sini, kita harus bagaimana?" Cassandra semakin panik saat mesin-mesin mobil itu kembali menyala dan suaranya begitu mengerikan hingga anak-anak berjongkok ketakutan dan menutup kedua telinga mereka dengan tangan. Letnan Edsel menurunkan tangannya, mencoba agar para penembak jitu yang bersiap segera menurunkan senjata mereka selama dirasa rumah ini aman tanpa satu pun jejak pemberontak Partai Merah menunjukkan keberadaan mereka. Panglima Sai bergerak maju. Dia paling b*******h untuk urusan memburu para pengkhianat Dalla dan menguliti mereka hidup-hidup adalah bagian dari hidupnya, bagian dari tugas pentingnya sebagai seorang Panglima tinggi. Langkah Letnan Edsel terhenti. Kala dia melihat sosok yang membuat tubuh Panglima Sai dan dirinya membeku, berjalan menahan gugup dan takut di depan mereka. Gadis itu terdiam, menatap keduanya dengan mantel cokelatnya yang lusuh dan tampak usang. Mata Panglima Sai menilai penampilan gadis itu dengan tajam dan dia melirik Letnan Edsel, yang juga memandang gadis itu tak biasa. "Untuk apa militer Dallas datang ke panti kami?" Alis Letnan Edsel menekuk tajam. Langkahnya mendekati Athena yang mulai menahan napas, mendapati Letnan Edsel berdiri menjulang di depannya dengan ekspresi dingin. "Di mana Immanuel Gildan?" "Maaf, dia tidak di sini." Sudut bibir Panglima Sai tertarik mendengar kebohongan murah Athena. "Jangan paksa aku harus menghancurkan tempat tinggalmu." Kedua mata Athena melebar sempurna. Dia menoleh, mendapati Wise Cassandra sedang membawa anak-anak asuh mereka ke tempat yang lebih aman melewati pintu samping yang berhadapan langsung dengan rimbunnya hutan pohon pinus. Sepasang mata biru Letnan Edsel melihat sosok pirang yang mencurigakan tengah berjalan mengendap-endap memunggunginya. Dia menoleh pada bawahannya, menelengkan sedikit kepalanya dan anggotanya segera mengerti. Mereka berlari masuk ke dalam, dan sebagian lagi berlari melompati dinding sebatas d**a orang dewasa dengan gerakan cepat. "Periksa seluruh isi rumah! Cari barang yang tertinggal milik para pemberontak dan setelah itu, bakar rumah ini secepatnya!" Manik Athena melotot sempurna mendengar perintah Panglima Sai yang kini meliriknya datar, dan berlalu untuk mengejar beberapa anak-anak yang berlari masuk ke hutan pinus dengan kecepatan luar biasa. Athena menunduk cemas , mendengar jeritan ketakutan yang berasal dari anak-anak membuatnya hancur. Dia mencoba menahan diri di bawah tatapan membunuh milik Letnan Edsel yang terarah padanya. "Kakak Athena!" Athena menoleh, dia mencoba meraih tangan mungil Arashi dan salah satu anggota militer menepisnya kasar, membawa tubuh mungil Arashi ke dalam bis kecil milik militer Dallas yang sudah dipersiapkan dengan satu dorongan keras. Letnan Edsel menarik tubuh kecil anak itu dan melemparnya ke dalam mobil bersama anak-anak lainnya. Athena menggigit bibir, menahan pilu menatap Cassandra yang berusaha menenangkan mereka yang ketakutan dengan tangan bergetar. "Ini akibatnya kalau kau bekerjasama dengan para pemberontak." Athena menahan napasnya. Dia menatap mata pekat milik Panglima Sai yang menyeringai bengis padanya. Panglima itu menyuruh anak buahnya keluar dan menggeledah bagian halaman rumah untuk mencari simpanan senjata yang diselundupkan para pemberontak di mana pun mereka menyimpan senjata mereka dengan baik. "Hancurkan semua yang tersisa. Ini perintah!" Tangan Letnan Edsel menarik Athena untuk ikut pergi bersama yang lainnya. Di dalam mobil tahanan yang sama. Minibus berwarna hitam pekat. Athena bergetar, saat anak-anak beringsut mendekat dan memeluk kakinya dengan tangisan lirih. "Jangan sakiti Bibi Fumi!" Wise Cassandra berteriak keras. Mencoba turun saat dia dihadang oleh empat militer Dallas yang berjaga di depan pintu masuk bis mereka. Dia menjerit keras, mencoba menahan tangan Letnan Edsel untuk tidak melepas peluru ke dahi sang pemilik yayasan. "Tidak! Tidak!" Athena ikut menjerit dan tangisan anak-anak semakin keras. Cassandra berbalik, mencoba menutupi seluruh jendela di dalam bis mereka agar anak-anak tidak melihat kejadian memilukan di luar sana yang membuat mereka trauma di masa depan. Panglima Sai menoleh, menatap jendela bis yang hampir keseluruhan tertutup. Sudut bibirnya tertarik kala dia menatap Letnan Edsel yang bersiap melemparkan pelurunya menembus tulang kepala wanita paruh baya yang kini berlutut di hadapannya. "Kau membawa lari Immanuel Gildan? Kemana mereka pergi?" Fumi tetap bungkam. "Kau bahkan tidak takut dengan hukuman apa yang membayangimu jika berkhianat di Dalla?" Lagi, Fumi tetap diam. "Jenderal tidak akan mengampunimu." "Aku tahu," bisik Fumi pelan. "Biarkan perbedaan menyadarkan Sang Jenderal agar dia segera sadar. Agar dia tahu, setiap orang memiliki prinsip hidup yang berbeda. Tidak sama!" Satu tembakan melepas peluru timah panas itu pergi. Menembus ke belakang kepala Fumi yang terbaring tak bernyawa dengan dahi berlubang dan darah yang merembes membasahi tumpukan salju di atas tanah. Salju yang putih dan bersih, berubah merah dan merembes hingga ke bagian punggungnya. Darah itu keluar terlalu banyak, membuat Letnan Edsel kembali memasukkan pistol ke dalam baju militernya dan berbalik pergi. "Bakar tempat ini." Panglima Sai mengangguk pelan, mematuhi perintah Letnan Edsel saat Sang Letnan memberi tugas pada anggotanya untuk menjadikan yayasan ini rata dengan tanah. *** Athena membuka jendela bis yang tertutup. Memandangi hamparan salju yang membekas saat roda besar bis membawa mereka menembus tebalnya salju yang membasahi tanah. Musim salju akan berakhir, dan akan berganti dengan musim semi. Di Dalla, ada empat musim yang selalu terjadi. Layaknya bumi yang masih sehat dan sebelum perang hebat berkecamuk melanda bumi dan isinya. Empat musim itu pernah hilang, dan kembali setelah bumi mencoba menyembuhkan diri. Musim semi, musim panas, musim gugur dan musim salju. Dimana keempat musim itu sudah bergerak semestinya. Dan orang-orang yang masih bertahan akan menyesuaikan dengan musim yang berganti. Athena menolehkan kepala, menemukan Cassandra duduk dengan memangku seorang gadis kecil yang tengah tertidur. Athena tersenyum lirih seraya tangannya mengusap rambut Arashi yang pulas di atas pangkuannya. Kepalanya menunduk, menemukan wajah Arashi sangat pucat. Anak ini pastilah ketakutan dan bingung harus berbuat apa di usianya yang masih sangat muda, lima tahun. Bis tiba-tiba berhenti. Wise Cassandra terbangun dan berusaha menenangkan anak-anak yang lain di saat Athena mencoba menahan mereka agar tidak menjerit dan mematuhi semua perkataan para militer dengan baik. Pintu bis terbuka. Panglima Sai mengintip ke dalam dan tatapannya jatuh pada gadis dengan pakaian hangat yang kusut berwarna abu-abu pudar. Rambut pirangnya diikat tinggi. Kedua matanya tampak membengkak dan lelah. Ekspresinya begitu keras saat mereka bertatapan. "Semua turun!" Cassandra membawa mereka untuk turun perlahan-lahan saat militer mencoba membariskan mereka dengan tertib. Athena turun setelahnya dan membeku hebat mendapati mereka ada di dalam Benteng Dallas yang besar, amat besar dan tinggi, layaknya penjara mewah kelas satu yang kokoh dan tak mampu tertembus apa pun. "Selamat datang di Dallas.” Letnan Edsel turun dari mobil pembelah salju yang lain. Wajahnya dingin dan kaku saat dia berdiri di hadapan anak-anak yang diikat tali agar tidak keluar dari barisannya. "Kalian dinyatakan bersalah karena menyimpan para pemberontak Partai Merah dan membantu mereka melarikan diri. Pengadilan Dallas akan menentukan hukuman untuk kalian secepatnya." "Dan Jenderal, memutuskan untuk menghukum mati siapa pun yang membantu Partai Merah untuk lari. Tanpa mengenal kata ampun." Athena meremas tangannya. Dia menoleh, menatap anak-anak yang ketakutan melihat anggota militer ada di sekeliling mereka dengan senapan laras panjang melingkar di d**a. Sang Jenderal berdiri di dalam ruangan dimana kaca tebal yang merangkap sebagai anti peluru dan bom menjadi batasan di antara dirinya. Benteng Dallas sudah dilengkapi dengan keamanan tingkat tinggi yang jauh lebih hebat dibanding alat semasa perang dunia kelima. Matanya menyipit ketika dia melihat sosok yang berdiri di hadapan pintu masuk Benteng Dallas dimana tempat Sang Jenderal mengatur segala pusat pemerintahan yang ada untuk kepentingan Dalla. Negara yang dia pimpin. "Edsel, siapa gadis berambut merah muda itu?" Letnan Edsel membeku selama beberapa detik setelahnya. Dia menoleh, menemukan Sang Jenderal ada di atas bangunan yang menatap mereka langsung dari ruangannya. Alat kecil yang terpasang di telinga Sang Letnan bergetar kecil, dia menoleh pada Panglima Sai yang seolah mengerti arti tatapannya. Letnan Edsel bergerak mundur saat Panglima Sai menyuruh para anggotanya untuk membereskan dari mereka yang ada. Mereka mulai menodongkan senapan mereka ke arah anak-anak dan dua gadis yang melotot bingung dan ketakutan. "Menunduk. Semuanya menunduk." Athena menuruti mereka bersama anak-anak dan Cassandra yang menunduk, mencoba menuruti segala keinginan para militer bertangan dingin yang tidak punya hati akan menghilangkan nyawa mereka jika mereka memberontak. "Kita sudah menduganya," bisik Panglima Sai pelan saat dia mundur dan berdiri di sisi Letnan Edsel yang terdiam. Dia ikut menoleh, dan menemukan Sang Jenderal masih ada di sana, menatap mereka dan semua tawanan dalam diam. Jenderal menoleh, melihat salah satu anggota militer Dallas berada di belakangnya. "Beritahu Letnan Edsel untuk membawa anak-anak dan gadis berambut pirang itu ke tempat penampungan sebelum menerima pemutusan hukuman dari pengadilan," dia melirik sekali lagi. Ekspresinya mengeras sempurna. "Dan bawa gadis berambut merah muda itu ke penjara besi." Setelah Letnan Edsel menerima perintah. Dia segera menjalankannya, mencoba memboyong para tawanan ke tempat yang sudah mereka siapkan. Mendadak, ledakan sebanyak tiga kali terjadi di luar benteng dimana bunyi ledakan itu cukup keras dan goncangan yang terjadi akibat pohon besar yang roboh membuat anak-anak berteriak panik dan segera berlari menyelamatkan diri. Sang Jenderal mendesis marah. Dia turun dari ruangannya dan pergi keluar bangunan untuk melihat siapa yang berani memancing untuk membuatnya marah. Letnan Edsel mengamankan situasi saat para militer Dallas mengepung di sekitar Benteng Dallas dan berhamburan memasang pengamanan tingkat tinggi setelah alarm pertanda bahaya dibunyikan nyaring. Membuat seluruh orang yang ada di dalam benteng waspada. "Athena, kita harus pergi dari sini. Gildan mungkin mencoba menyelamatkan kita setelah kematian bibi." Cassandra berbisik, menarik tangan Athena untuk menjauh setelah dia berhasil bersembunyi di sekitar pepohonan yang tumbang akibat peledak yang dilemparkan seseorang ke arah Benteng Dallas. "Bagaimana dengan anak-anak?" Athena mencoba menyelamatkan mereka dan mengumpulkan mereka menjadi satu, untuk mereka lari ke depan pintu keluar Benteng Dallas dan bersembunyi di hutan pohon pinus. "Pintu keluar terbuka. Kita harus bisa." Cassandra sekali lagi menyemangati mereka dan Athena mencoba menggendong yang terkecil dari mereka untuk berlari secepatnya keluar dari Benteng Dallas sebelum pihak militer hitam tahu. Bunyi tembakan menggema dan Athena membeku seketika saat dia melihat darah menggenang merembes ke salju yang membeku di bawah kakinya. Dia terdiam, dan Cassandra mencoba menutup mulutnya yang terbuka saat tubuhnya lemas memandang darah segar yang terus mengalir merembes hingga ke sela-sela salju yang dingin. "Keputusan pengadilan akan semakin berat untuk kalian karena mencoba mengambil kesempatan dari situasi darurat yang terjadi." Suara dingin Letnan Edsel membuat Athena membeku hebat. Dia bergetar, memeluk anak kecil itu erat-erat di dadanya. Para militer segera mengepung mereka dengan tatapan tajam dan dingin. Menarik paksa anak-anak lepas dari gendongan dan pengawasan mereka lalu memegangnya erat, hingga jeritan ketakutan bercampur panik itu kembali terdengar. Kepulan asap pekat menghilang dalam sekejap mata. Athena tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ada tiga mayat bergelimpangan di depan pintu masuk Benteng Dallas dan luka tembak yang menganga menebar kengerian baginya dan Cassandra yang menunduk, mencoba untuk bertahan dari bau anyir darah yang menyengat. "Ini akibatnya kalau mereka memberontak. Mencoba melawan paksa prinsip yang kupegang erat sejak Dalla dibangun." Letnan Edsel dan Panglima Sai bergerak mundur memberi ruang saat Sang Jenderal tertinggi berjalan di hadapan mereka. Dengan mantel hitam dan topi militer yang begitu kental terlihat, aura Sang Jenderal yang dikenal luas bertangan dingin dan kejam, kini berdiri di hadapannya. Di hadapan Athena. Tatapan Sang Jenderal turun menilai ekspresi gadis merah muda di hadapannya. Menatap bagaimana mata hijaunya yang melebar antara takut dan kagum. Rambut sebahunya yang terurai berantakan. Pakaian musim dinginnya yang kusut dan tampak usang, seakan menunjukkan siapa gadis ini walau hanya dengan menatapnya saja. "Siapa namamu?" Athena terdiam, menatap Sang Jenderal tinggi dengan sorot takut yang amat besar. "Siapa namamu?" Jenderal kembali mengulang pertanyaannya. "Athena."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
113.7K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

T E A R S

read
312.6K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

Everything

read
277.9K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook