bc

Beautiful Revenge

book_age18+
133
FOLLOW
1K
READ
revenge
possessive
forced
dominant
badgirl
CEO
drama
office/work place
enimies to lovers
humiliated
like
intro-logo
Blurb

Book I (Revenge series)

Pramita, seorang wanita karir yang sukses membangun perusahaan pakaian dalamnya.

Pramita, seorang wanita bertangan dingin dan memiliki lidah yang lebih tajam daripada belati.

Pramita, seorang wanita yang selalu berhasil membawa pria manapun yang diinginkannya ke atas ranjang hangatnya.

Pramita, seorang wanita yang sulit memaafkan dan melupakan orang-orang yang melukainya.

---------------------------------

chap-preview
Free preview
[1]
“Selamat malam, Bu.” Seperti sudah dalam mode otomatis, Pramita akan tersenyum saat satpam di lobi apartemennya menyapa dirinya, baik itu saat Pramita akan berangkat kerja ataupun sepulang kerja seperti saat ini. Setelah membalas sapaan Pak Satpam, berikutnya yang akan menyapa Pramita adalah seorang resepsionis apartemen yang akan pulang pukul delapan malam tepat nanti. Pramita akan menyapa mereka, mungkin dengan tambahan kerlingan mata genit pada resepsionis pria—terlebih yang masih muda. Tidak ada yang tidak mengenal Pramita di lingkup apartemennya, seorang wanita lajang yang sukses dengan perusahaan fasion rintisannya dan setelah hampir empat tahun berjibaku, kini produknya sudah menguasai pasar Asia, serta sedang merambah pasar Amerika. Dimulai dari produk pakaian dalam pria-wanita, tas, sepatu, hingga gaun malam. “Ya, Mbak? Iya, aku mampir ke apartemen dia dulu,” ujar Pramita pada ponsel yang berada di antara pipi dan pundak kanannya. Sedangkan kedua tangannya sibuk menekan tombol lantai apartemen dan yang lainnya menenteng tas belanja. “Iya, tadi udah teleponan, sih. Dia ada kok, enggak kemana-mana. Ini aku udah nyampe lantai apartemennya.” Begitu pintu lift terbuka di lantai sembilan, Pramita langsung melangkah keluar menuju bagian sisi kiri selasar. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu unit apartemen yang berada paling ujung. Pramita buru-buru menyimpan ponselnya sebelum menekan bel dan tak berapa lama kemudian, wajah pria yang sudah setahun tidak dilihatnya, kini tersenyum padanya. Pramita tersenyum hangat seraya mengulurkan tangannya untuk merangkul leher si Pria. Namun, pria itu lebih dulu menarik pinggang Pramita dan langsung menghadiahinya dengan ciuman cepat yang menggebu. Tidak memedulikan lagi isi tas belanja yang berhamburan di lantai apartemen. “Rizal! Berhenti dulu!” “Aku kangen kamu,” bisik Rizal di atas bibir Pramita dan langsung kembali menciumnya. Dengan sebelah kakinya, Rizal menutup pintu apartemennya dan terus mencium Pramita. Hingga akhirnya kaki Pramita terantuk pinggiran kasur dan membuat keduanya jatuh di kasur. “Kenapa enggak bilang kalau langsung ke sini? Mas Damar sama Mbak Intan sampai kelimpungan nyariin kamu di bandara tadi. Dipikirnya—” Rizal kembali membungkam bibir Pramita dengan kecupan-kecupan kecil yang berlanjut ke bagian leher wanita itu dan turun ke tulang selangkanya. “Rizal—” “Kamu tahu, Ta? Selama di Amerika, aku pengennya cepet-cepet kelarin proyek dan pulang buat ketemu kamu.” “Kenapa?” Pramita menahan d**a Rizal yang merapat dan hendak kembali menciumnya. “Kenapa?” tanyanya lagi dengan kepala miring dan terus menatap wajah manis Rizal. “Kamu beneran lupa atau pura-pura lupa?” Kening Pramita mengerut mendengar pertanyaan Rizal. Masalahnya, dirinya benar-benar tidak mengerti topik pembicaraan yang sedang dibicarakan Rizal si Pria dengan senyum manis, baik hati, alim, pujaan hati para wanita di luar sana, dan sangat cocok diperkenalkan sebagai calon suami idaman. Namun, pria dengan kulit cokelat itu akan berubah menjadi singa, setiap kali bersama Pramita. Tidak ada lagi sosok cowok baik-baik di sana, yang tersisa hanyalah seringai dan tatapan nakal serta memuja yang hanya ditujukan untuk Pramita seorang. “Aku beneran enggak inget. Emang apa?” “Kamu belum jawab pertanyaan aku, Ta.” “Soal?” Rizal menghela napas dan menggeram gemas melihat sikap wanita yang ada di bawahnya saat ini. Terlebih dengan wajah polos—entah pura-pura atau memang polos—menatap Rizal dan masih bertanya-tanya dengan jawaban yang dinantikan Rizal sejak mereka berpisah setahun lalu di bandara. “Perasaanku. Aku sayang sama kamu. Aku ingin—” “Kamu yakin mau menjalin hubungan sama aku?” “Kenapa enggak?” “Zal, apa motret model-model seksi di Amerika sana bikin kamu amnesia? Kamu lupa gimana aku menjalani hubungan dengan pria-pria yang biasa kamu sebut sebagai monyetku?” “Aku beda dengan mereka. Kalau mereka monyet kamu, aku adalah pangeran kamu.” Pramita tergelak mendengar kalimat Rizal. “Kamu udah siap kalau suatu hari kita putus hubungan? Apalagi mulai lusa, kita bakal kerja bareng? Kalau suatu saat kita putus, bisa aja kamu kehilangan pekerjaan di Lust.” “Aku enggak akan biarin hubungan kita berakhir.” “Zal—” “Ta, please, kasih aku kesempatan buat buktiin gimana sayangnya aku sama kamu.” Pramita menatap lekat kedua netra Rizal. Dua manik yang berbinar itu sungguh akan bisa membius wanita mana pun untuk jatuh cinta pada Rizal. Namun, hal tersebut sulit terjadi pada Pramita. Rizal adalah tipe pria yang akan menjadi pilihan paling akhir—atau bahkan tidak akan pernah—untuk dicintai oleh seorang Pramita. Mungkin alasan ini adalah alasan paling klise yang sering digunakan oleh siapapun untuk menolak pernyataan cinta, ‘kamu terlalu baik untukku yang blangsak’. Alasan itu bukanlah alasan klise bagi Pramita, karena memang itulah kenyataannya. Pramita masih ingat, bagaimana hubungannya mulai memburuk dengan kakak iparnya—Mas Damar—saat pria itu tahu pengaruh buruk yang diberikan Pramita pada Rizal, adik kesayangan Mas Damar. Semua pengaruh buruk seperti membolos kuliah, nilai C, bahkan tidak lulus salah satu mata kuliah masih bisa ditolerir oleh Mas Damar. Tapi ketika suatu malam Rizal pulang pagi dalam keadaan mabuk, maka di saat bersamaan Mas Damar memberikan ultimatum pada Pramita untuk tidak lagi mendekati Rizal. Jika dipikirkan lagi, Mas Damar tidak salah. Bagaimana mungkin seorang kakak membiarkan masa depan adiknya untuk menjadi fotografer profesional hancur karena seorang Pramita. Namun, perasaan memang sulit untuk dikendalikan. Rizal sudah terlanjur jatuh cinta pada sosok Pramita sejak pertama kali melihat wanita itu menyambut kedatangan keluarganya untuk melamar Mbak Intan. Pramita yang terlihat bosan dengan basa-basi para orang tua, sungguh menarik perhatian Rizal. Membuatnya berani menyusul Pramita yang saat itu lebih memilih menghabiskan waktu di halaman belakang daripada harus berpura-pura tertarik dengan obrolan soal weton dan pasaran hari jawa untuk menentukan tanggal pernikahan kedua kakak mereka. Apa itu cinta pada pandangan pertama? Ya, Rizal percaya bahwa dirinya memang jatuh cinta pada Pramita sejak pandangan pertama itu. Bertahun-tahun setelahnya, segala upaya untuk menunjukkan betapa besar rasa sayangnya pada Pramita, ternyata masih belum cukup membuat Pramita berpaling padanya. Mengesampingkan reputasi buruk Pramita dan peringatan kakaknya untuk menghindari Pramita, justru membuat Rizal nekat menyatakan perasaannya setahun lalu pada wanita pujaan hatinya dengan penuh keyakinan bahwa perasaan itu akan berbalas. Namun, apa yang terjadi saat ini? Alih-alih mendapatkan balasan perasaan yang sama, Pramita justru tidak ingat sama sekali pernyataan perasaan Rizal. Rizal menarik tubuhnya dari atas Pramita dan memilih duduk di sofa yang berada di samping kasur. Helaan napasnya sungguh menandakan bagaimana seorang Rizal kecewa dengan impian yang selama ini menjadi semangatnya untuk segera kembali dari Amerika. “Zal, aku berusaha untuk profesional. Aku enggak mau mencampur adukkan masalah kerjaan dengan pribadi.” “Tapi koleksi kamera kamu di ruang fotografer utama mengatakan yang sebaliknya.” “Kamu mau kamera kesayangan kamu jadi salah satu pajangan di sana juga?” Rizal terdiam. Pramita beranjak duduk di samping Rizal dan mengelus puncak kepala pria itu. “Kamu bisa pilih, mau kerja di Lust atau jalanin hubungan sama aku?” “Enggak bisa keduanya?” Pramita menggeleng. “Khusus untuk kamu, aku enggak bisa. Karena aku enggak mau kehilangan kamu, Zal. Aku enggak mau kehilangan kamu sebagai aset berhargaku, kehilangan kamu sebagai fotografer profesional yang baru saja menyelesaikan proyeknya bersama Vogue dan Elle, dan yang paling penting aku enggak mau kehilangan kamu sebagai sahabat aku.” Ujung bibir kiri Rizal sedikit tertarik mendengar bagian akhir kalimat yang diucapkan Pramita. Selesai sudah penantiannya selama ini, karena Pramita sudah membangun tembok yang bernama ‘sahabat’ tinggi sekali dan wanita itu lebih memilih tinggal di bagian yang berseberangan dengan Rizal. “O iya, aku udah beliin semua yang kamu pesan. Emangnya kamu enggak capek? Mendingan kita pesen online aja, Zal. Zaman sekarang semuanya udah praktis, tinggal klik-klik di hape dan semua makanan yang kamu pengen bisa langsung dianterin.” Pramita melangkah menuju pintu masuk, lalu mengambil tas belanja yang isinya berserakan di lantai. Kembali dia memasukkan barang-barang itu, kemudian membawanya ke dapur. Rizal turut menyusul dan langsung mengambil alih satu di antara dua tas belanja di tangan Pramita. “Kamu duduk aja. Sambil buka oleh-oleh dari aku. Biar aku masakin kamu steak favorit kamu.” “Beneran enggak mau dibantu?” “Yang ada malahan enggak kelar kalau kamu bantuin.” Pramita mencebik. “Kamu lupa kalau pernah hampir bikin satu gedung apartemen ini kebakaran?” “Itu salah kamu ya, Zal! Salah sendiri water heater kamu rusak, jadinya kan aku harus masak air.” “Masak air sampai gosong pancinya,” cemooh Rizal. “Ih!” kesal Pramita seraya memukul lengan Rizal yang masih belum berhenti menggodanya, perkara kejadian beberapa tahun lalu. “Aku buka oleh-oleh dari kamu aja!” Pramita pergi meninggalkan Rizal yang sudah mulai memasak—tentu saja masih sambil menertawakan kebodohan Pramita tahun lalu—untuk melihat barang apa saja yang dibawa Rizal sebagai buah tangan untuknya. Pramita duduk bersila di karpet ruang tamu dan membuka satu per satu kotak-kotak kardus. Hadiah-hadiah dengan nilai harga yang tidak murah, seketika memenuhi karpet ruang tamu Rizal. “Suka, enggak?” tanya Rizal, sesaat kemudian setelah selesai memasak steak dan menghidangkannya ke di atas meja ruang tamu. “Kayaknya aku buka jastip aja kali ya kalau dapet proyek ke Amerika lagi. Soalnya lumayan, kan dapet untungnya. Dari kamu aja bisa bisa nih buat beli play station terbaru.” “Boleh! Apa perlu aku bikin divisi baru di kantor buat bantuin ngurus ini?” Keduanya tertawa, menertawakan rencana penuh omong kosong mereka. Bagaimana tidak? Mengurus Lust, menjadi fotografer sudah menyita waktu mereka. Terlebih ada lima proyek yang harus diselesaikan Rizal bersama Lust untuk kontrak setahun ke depan. Tiga proyek untuk peluncuran desain terbaru produk Lust dan dua sisanya adalah proyek Lust bersama Kementerian Pariwisata yang sedang gencar mempromosikan produk budaya. “Keysha udah setuju buat masuk tim kamu. Dia yang bakal ngurus semua keperluan kamu, baik di kantor ataupun di apartemen nantinya.” Rizal mengangguk paham. “Kamu jangan macem-macem sama dia, ya!” Rizal yang semula sibuk memotong daging merah di piringnya, mendongak, dan tersenyum geli mendengar ucapan Pramita. “Kenapa? Cemburu, ya?” “Dih!” “Tenang aja, Ta. Cinta dan sayang aku masih buat kamu, kok.” “Gombal! Kalau untuk sisa anggota tim lainnya, aku belum nyari. Tapi ada beberapa kandidat yang cocok. Keysha udah buka lowongan, besok pas kamu ke kantor tinggal pilih aja.” “Ok.” “Kenapa kamu enggak pake tim kamu sebelumnya? Malah minta dicariin anggota lagi.” “Mereka udah pada sibuk sendiri, Ta. Aku enggak mau nahan-nahan mereka buat nyari kerjaan lain, selagi aku ngerjain proyek di luar.” Rizal mengunyah sepotong daging steak yang sedikit gosong. “Ada dua orang yang mungkin masih bisa join, tapi sisanya udah dapet kerjaan lain.” “Hm, jadi begitu. Ok. Berarti besok kamu langsung aja dateng ke kantor.” “Ok.” Sepanjang sisa waktu makan malam, Pramita dan Rizal lebih banyak menghabiskan waktu untuk membahas proyek yang akan mereka kerjakan kelak. Meskipun itu sangat jauh dari bayangan Rizal saat dia masih ada di pesawat tadi. Pria itu membayangkan pernyataan perasaannya akan diterima Pramita. Kemudian dilanjutkan dengan makan romantis dan berakhir dengan ciuman panjang—yang mungkin akan berakhir di ranjang. Namun, sepertinya Rizal harus berpuas diri dulu—untuk saat ini—dengan hanya menjadi sahabat dan rekan kerja Pramita. Mungkin tidak sekarang, tapi bukankah Rizal punya waktu yang panjang untuk bersama Pramita selama mereka menjadi rekan kerja? Rizal hanya perlu berusaha lebih keras untuk menunjukkan perasaannya dan menyakinkan Pramita bahwa hubungan yang lebih dari sekedar sahabat di antara mereka, patut untuk diperjuangkan. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

CEO Pengganti

read
71.2K
bc

Loving The Pain

read
2.9M
bc

Married with Single Daddy

read
6.1M
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
256.7K
bc

My Boss And His Past (Indonesia)

read
236.6K
bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

Mas DokterKu

read
238.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook