bc

Kembali

book_age16+
6.3K
FOLLOW
21.0K
READ
one-night stand
pregnant
powerful
dare to love and hate
drama
bxg
city
office/work place
affair
like
intro-logo
Blurb

Meski mendapati dirinya tengah hamil, Binar Rembulan justru melarikan diri alih-alih meminta pertanggungjawaban dari Baskara Arya Dana, ayah si jabang bayi.

Melihat kehancuran rumah tangga umi dan kakaknya, membuat Binar tak mau terikat dengan pernikahan karena tak ingin berujung perpisahan. Apalagi, ia tak akan sudi terikat dengan laki-laki yang sudah menghancurkan masa depannya.

Setelah menjelajahi jalan yang cukup panjang, apakah Binar akan kembali ke keluarga dan mengubah pola pikirnya?

chap-preview
Free preview
Bagian 1
 “Oi, cewek jadi-jadian!” Suara bariton milik seorang lelaki menghentikan langkah seorang gadis berseragam putih abu-abu yang terlihat tergesa-gesa. Gadis itu berbalik, menghampiri lelaki jangkung yang berdiri di depan pintu kelas seraya melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Gadis itu sudah tak lagi memikirkan tujuannya buru-buru berangkat ke sekolah—menyontek tugas Fisika milik temannya karena dia belum mengerjakan satu pun. Masalah hukuman bisa belakangan, tetapi masalah harga diri itu nomor satu, pikirnya. “Lo bilang apa tadi?” Gadis bernama Kirana Dewi Purnama itu menyingsing lengan kemeja, menunjukkan lengannya yang berisi. “Cewek jadi-jadian, hah?!” Suaranya semakin meninggi, membuat siswa yang berada di koridor memusatkan atensi kepadanya. Gadis yang kerap disapa Kiran itu melirik name tag di d**a kiri pemuda itu. Dewangga Putra. Nama itulah yang tertulis di sana. “Iya, kenapa?” Pemuda itu mengangkat dagu tinggi-tinggi. “Kenapa? Lo tersinggung? Emang benar, ‘kan, kalau lo itu cewek jadi-jadian? d**a rata dan sukanya berantem mulu,” ejeknya seraya tersenyum sinis. Kiran mengepalkan tangan kuat-kuat, kemudian mencengkeram kerah kemeja Dewangga dan melayangkan tinju ke arah hidung hingga membuat tubuh pemuda itu tersungkur. Dengan brutal, dia mengangkangi tubuh Dewangga dan memukul wajah tampan teman sebayanya itu bertubi-tubi. Siswa-siswa yang berada di dalam kelas pun berhamburan ke luar kelas untuk menyaksikan perkelahian langka tersebut. Beberapa siswa—kebanyakan perempuan—sibuk menjerit histeris dan beberapa yang lain sibuk mendokumentasikannya melalui ponsel masing-masing. “Kiraaannn!” Suara cempreng menggemuruh di seluruh penjuru koridor, membuat Kiran menghentikan aksinya. Para siswa pun terpontang-panting masuk kelas, tak ingin berurusan dengan BK, apalagi guru yang dikenal supergalak itu.  Kiran menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang wanita tambun bermekap tebal tengah memandang nyalang ke arahnya. Masih bertahan di posisinya, dia menyengir ke arah wanita itu, lalu melambaikan tangan tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Ikut saya sekarang,” ujar wanita gempal itu dengan penuh penekanan di setiap kata. *** Seorang gadis berusia seperempat abad tengah sibuk memasukkan ratusan amplop cokelat ke dalam kardus arsip satu per satu. Dia melirik kanan-kiri, melihat teman satu departemennya yang sudah beranjak dari kubikel, bergegas menuju ruang rapat. Gadis itu langsung bergerak cepat sebelum sang manajer mengamuk. Setelah memasukkan amplop cokelat tersebut, Binar—gadis itu—mengambil buku catatan hitam dan ponselnya di sudut meja, lalu meletakkan mereka ke dalam kardus arsip. Dia akan pergi menuju ruang rapat, tetapi dering ponsel membuat langkahnya terhenti. Binar menerima panggilan yang ternyata dari uminya, lalu mengapit ponsel di antara telinga dan bahu. “Halo. Ada apa, Mi? Binar lagi sibuk, nih. Nanti aja, ya, teleponnya.” Dia mematikan sambungan telepon secara sepihak tanpa mendengar jawaban sang ibu terlebih dahulu. Bukannya tidak sopan, tetapi dia harus bergegas jika tidak mau manajernya mengeluarkan sumpah serapah. Apalagi, manajer Binar tidak akan menoleransi karyawannya yang terlambat dan lamban dalam mengerjakan sesuatu. Bekerja sebagai karyawan di perusahaan e-commerce menuntut Binar agar bergerak cepat, tetapi tetap mengedepankan ketelitian.  Gadis itu kemudian mengangkat kardus arsip tadi dan berjalan ke ruang rapat dengan langkah tergesa-gesa. Dia membuka pintu kaca di depannya, kemudian masuk ruangan berukuran 4x5 meter itu. Ruangan itu memang tidak terlalu besar karena hanya dikhususkan bagi Departemen Sumber Daya Manusia yang hanya beranggotakan enam karyawan. Karena perusahaan e-commerce tempat mereka bekerja masih belum sebesar dan setenar e-commerce lain, jadi karyawannya pun tak terlalu banyak. “Maaf saya terlambat, Pak,” ujar Binar lirih seraya menunduk hormat ke arah lelaki jangkung yang duduk di kursi ujung sana. Binar memandang satu per satu rekan-rekan kerjanya. Di meja sebelah kiri, dekat dengan manajer, ada seniornya yang bernama Raymon Gunardi. Lelaki itu seumuran dengan manajer mereka. Sudah bekerja selama lima tahun di perusahaan ini, tetapi belum mendapatkan promosi, justru perusahaan menunjuk orang lain untuk dijadikan manajer dengan alasan manajer mereka itu lulusan S-2 National University of Singapore. Di sebelah kanan Raymon, ada seorang perempuan bertubuh tambun yang saat ini menatap Binar dengan khawatir. Perempuan yang suka mencamil di sela-sela kerja tersebut bernama Puput Puspita Sari. Sedangkan, di meja sebelah kanan ada seorang perempuan bermekap tebal dengan pakaian yang tampak seperti kekurangan bahan. Lihat saja, model kemejanya yang berbelahan d**a rendah, membuat sesuatu yang ada di baliknya seakan-akan ingin menyembul ke luar. Perempuan itu adalah Ayu Monica. Sesuai dengan namanya, dia memang cantik. Di sebelah kiri Ayu ada seorang gadis dengan penampilan yang jauh berbeda dengan dirinya. Gadis bernama Nadia Dwi Anggraini itu terlihat anggun dengan jilbab yang menutupi mahkota kepalanya. Nadia adalah rekan seperjuangan Binar karena mereka diterima kerja di perusahaan e-commerce tersebut di tahun yang sama dan ditempatkan di Departemen Sumber Daya Manusia bagian Recruitment and Training bersama dengan Raymon yang lebih senior, sedangkan dua senior mereka lainnya—Ayu dan Puput—ditempatkan di bagian Personalia. Lelaki yang tampaknya masih berusia tiga puluhan awal itu menatap Binar dengan tajam, kemudian menunjuk kursi nomor tiga dari kursinya menggunakan dagu. Binar mengembuskan napas lega, kemudian duduk di kursi yang berada di samping Nadia, salah satu rekan kerjanya. Saat ini dia cukup beruntung karena tidak melihat taring manajernya keluar. “Kita mulai rapatnya, ya. Saya mulai dari bagian Personalia. Bagaimana payroll bulan depan? Sudah beres?” Lelaki jangkung itu mengarahkan pandangannya ke arah Ayu yang sedari tadi terus menatap wajahnya dengan penuh kekaguman. “Sudah beres, Pak Kara. Karena kita sudah memakai aplikasi payroll, jadi semua yang berkaitan dengan penggajian sudah terselesaikan. Setelah rapat selesai, saya akan segera mengirimkan laporan gaji dan laporan kehadiran karyawan selama bulan Maret. Untuk laporan izin sakit dan cuti karyawan akan dikirimkan Puput, Pak,” jelas Ayu panjang lebar tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah tampan sang manajer. Merasa risi ditatap seperti itu, lelaki yang dipanggil Kara tersebut memalingkan wajah ke arah lain. “Oke. Jangan lupa juga kirimkan laporan dan slip gaji ke departemen keuangan.” “Baik, Pak.”  “Kita beralih membahas masalah recruitment. Sudah berapa yang mendaftar bagian software engineering?” tanya laki-laki bermata cokelat itu sembari melayangkan pandangan ke arah Binar yang masih sibuk mengatur napas. Merasa pertanyaan itu ditujukan kepadanya, Binar pun langsung mengambil buku catatan, membukanya secepat kilat. Namun, ponselnya yang belum dimode diam tiba-tiba berdering nyaring, membuat sang manajer berdeham keras, memberikan kode agar dia segera mematikannya. “Ma-maaf, Pak Kara,” ucap gadis itu setelah menolak panggilan dari uminya. Dia kemudian tersenyum tipis ke arah empat rekan kerjanya, merasa tak enak hati. “Kita lanjutkan rapatnya. Jadi, berapa yang sudah mendaftar, Ray?” tanyanya lagi, tetapi kali ini kepada Raymon. “Sejauh ini sudah 454 pelamar, Pak.” Laki-laki itu menganggut-anggut, kemudian beralih menatap layar laptopnya. “Segitu sudah cukup. Nadia, kamu tutup lowongannya. Mereka yang tidak lolos tahap screening, suruh mengambil berkasnya di kantor. Kalau enggak diambil-ambil, buang aja.” “Baik, Pak.” “Binar, kamu bawa CV para pelamar, ‘kan? Agenda kita sekarang adalah meninjau lamaran mereka.” Ponsel Binar bergetar, ada pesan masuk dari sang ibu. Konsentrasi gadis itu lagi-lagi buyar. Dia khawatir terjadi sesuatu dengan uminya karena wanita baya itu sudah meneleponnya berkali-kali. Dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu, Binar akhirnya membuka pesan tersebut. Umiku Binar, tolong pergi ke sekolah adikmu. Dia dipanggil BK lagi. Umi enggak bisa ke sana karena toko lagi ramai. “Dasar pembuat onar!” gumamnya geram. “Binar?!” “I-iya, Pak?” Binar tergeragap karena suara Kara yang begitu keras. Wajah Baskara memerah. Dia melempar tatapan nyala “Kalau kamu enggak bisa konsentrasi, mending kamu keluar!” Suara lantang seorang Baskara membuat keenam bawahannya menegakkan tubuh dan menatap lurus ke depan, tak berani melirik kanan-kiri, apalagi bergerak. Mereka takut menerima limpahan amarah dari sang manajer. “Ma-maaf, Pak. Tadi umi saya—” “Saya tidak suka orang yang mencari-cari alasan. Keluar kamu. Jangan ikut rapat hari ini.” Baskara menunjuk ke arah pintu. “Keluar!” *** Sebuah Avanza merah berhenti di pekarangan rumah berlantai dua yang terlihat minimalis. Di depan rumah itu juga terdapat sebuah toko roti yang tidak terlalu besar. Seorang wanita paruh baya berkerudung panjang hingga mencapai pergelangan tangan keluar dari toko roti tersebut dengan langkah tergesa-gesa. Bersamaan dengan itu, seorang remaja berseragam putih abu-abu turun dari mobil seraya mencangklong tas di bahu kanannya. Tak lama kemudian, seorang gadis dengan setelan kemeja putih dan celana panjang turun keluar dari pintu kemudi. Binar akan menyusul Kiran yang sudah masuk rumah. Namun, wanita setengah baya tadi memegang lengannya, membuat langkah gadis itu terhenti dan segera menoleh ke samping. “Gimana tadi, Nar? Apa yang dikatakan gurunya?” tanya wanita setengah baya itu. “Dia diskors selama seminggu, Mi,” sahut Binar kemudian kembali mengejar Kiran setelah Umi melepaskan lengannya. Umi bergeming di tempat. Tubuh gempalnya mendadak beku setelah mendengar perkataan putri keduanya. Pasalnya, baru saja sebulan yang lalu Kiran diskors dan sekarang putri bungsunya itu diskors kembali. Padahal, Kiran sudah kelas dua belas dan akan lulus sebentar lagi, tetapi kebiasaan buruknya tetap ada—membuat onar di sekolah. Ya, tidak hanya sekarang saja gadis itu membuat onar, sejak SMP pun, dia menjadi pelanggan guru BK karena bertengkar dengan teman, bolos sekolah, tidur di kelas, dan lain-lain. Umi mengembuskan napas berat. Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Umi merasa tidak becus menjaga dan mendidik anak-anaknya karena terlalu sibuk bekerja. Sejak abi meninggal karena kecelakaan mobil, tepatnya delapan belas tahun lalu, Umi harus merangkap peran menjadi ibu sekaligus ayah. Umi Maira banting tulang pagi, siang, dan malam untuk menghidupi ketiga putrinya. Sekarang, Umi Maira membuka toko roti kecil-kecilan di depan rumah karena untuk membiayai pendidikan si bungsu—Kiran. Dua putrinya sudah menyelesaikan pendidikan sarjana, anak sulung sudah menikah dan ikut suaminya yang bekerja sebagai dokter, sedangkan anak kedua—Binar—sudah bekerja dan bisa mencari uang sendiri. Mengesampingkan keterkejutannya, Umi Maira pun segera menyusul kedua putrinya sebelum kakak-beradik itu terlibat cekcok. Bisa-bisa, hubungan mereka akan semakin renggang. Binar menahan pergelangan tangan Kiran, membuat gadis berambut sebahu itu mengurungkan niat untuk pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. Kaki kanannya yang sudah menapaki anak tangga pertama akhirnya dia turunkan kembali. “Ada apa lagi, sih, Mbak?” Kiran terlihat malas menanggapi sang kakak. “Lo tuh bener-bener, ya, Ran! Selalu aja bikin gue sama umi susah. Lo tahu enggak, gue hampir aja dipecat gara-gara lo! Sampai kapan lo akan bandel kayak gini? Gimana kalau lo dikeluarkan dari sekolah, hah?!” Binar terus mencerocos, tetapi Kiran justru melengos, menghiraukan omelan sang kakak. “Kalau gue lagi ngomong itu didengerin. Punya kuping jangan cuma dijadiin pajangan doang.” Binar menarik bahu Kiran agar gadis itu menoleh ke arahnya. “Kiran!” “Sudah, sudah.” Umi berusaha menengahi agar pertengkaran kakak-beradik itu tidak berlanjut terus-menerus. “Sabar, Nar.” “Umi selalu belain Kiran. Hasilnya, ya, gini, jadi anak manja yang kerjaannya cuma nyusahin orang aja.” Binar melirik tajam sang adik dari ekor matanya. “Lo tuh madesu, masa depan suram, tahu enggak?! Mau jadi apa lo, hah? Masih kecil udah kayak preman!” “Emang kenapa kalau aku jadi preman? Mbak dan umi juga enggak akan rugi, kok. Karena ini hidupku, jadi suka-suka aku! Mending Mbak urus masalah Mbak aja, deh. Jangan sok peduli!” sergah gadis itu, kemudian berjalan menuju kamarnya, tak ingin memperpanjang perdebatan. Namun, langkahnya terhenti saat Binar kembali bersuara, mengeluarkan kata-kata yang begitu menohok. “Ran, inget, ya, bokap sama nyokap lo tuh udah enggak ada. Lo cuma hidup numpang di sini. Jadi, please, jangan buat kami susah. Harusnya, kalau hidup numpang tuh diam-diam aja seolah-olah lo enggak ada di dunia ini!”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Love Match (Indonesia)

read
173.0K
bc

Pesona Mantan Istri Presdir

read
14.1K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.3K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.6K
bc

KUBELI KESOMBONGAN IPARKU

read
45.8K
bc

Pengganti

read
301.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook