bc

The Beast's Revenge

book_age18+
46
FOLLOW
1K
READ
billionaire
revenge
possessive
forced
drama
office/work place
abuse
betrayal
enimies to lovers
cruel
like
intro-logo
Blurb

Book II (Revenge Series)

Haydar Rahandika tidak peduli jika Amita Wijaya terus menolak cintanya. Pria itu yakin, suatu saat wanita itu akan mencintainya.

Melihat Haydar yang tak patah arang, Amita akhirnya luluh. Haydar Rahandika, kini adalah segalanya bagi Amita Wijaya.

Bermodalkan cinta, dan harta yang tak seberapa, Haydar nekat meminang Amita Wijaya, pujaan hatinya yang juga putri dari Antakusuma Wijaya. Seorang pengusaha sukses yang sangat dermawan.

Namun, satu peristiwa masa lalu yang baru saja terungkap, berhasil mengusik kebahagiaan Haydar dan Amita. Apakah cinta keduanya dapat bertahan? Atau keduanya harus menyerah dan berhenti berusaha?

16/9/2020

chap-preview
Free preview
Close To You
Dua tahun lalu ... "Ta, ditungguin, tuh!" Amita menoleh ke arah anggukan Gendis, sahabatnya. Netranya kemudian mendapati sosok Haydar, pria yang tidak kenal lelah mengejar dirinya. "Ngapain sih dia pake nyusul ke sini segala? Lo yang kasih tahu?" kesal Amita, lalu buru-buru menyelesaikan makan siangnya.  Gendis menggeleng cepat mendengar tuduhan Amita. Sahabat macam apa Gendis, jika berkhianat pada Amita? "Sumpah, ngapain gue ngasih tahu dia? Kayak gue enggak tahu, gimana keselnya lo kalau nongol tuh cowok!" Tanpa permisi, Haydar langsung menarik kursi yang berada di sebelah Amita. Membuat wanita itu segera menggeser duduknya menjauh. Namun, Haydar tak patah semangat, dia pun turut bergeser, hingga membuat Amita mentok ke dinding. "Kamu segitunya pengen aku pepet terus?" goda Haydar sambil mengerling genit. "Kamu tinggal minta aja, aku pasti peluk kamu kok."  Amita memutar matanya malas, lalu hendak pergi meninggalkan Haydar. Namun, tangan pria itu lebih cepat menarik Amita duduk kembali. "Kamu jangan macem-macem ya! Kamu lupa siapa aku?" Haydar menggeleng. "Amita Wijaya, anak dari Antakusuma Wijaya yang adalah pemilik Wijaya Group." "Bagus kalau kamu belum amnesia. Jadi sekarang biarin aku pergi!" Haydar masih menggeleng. "Aku mau makan siang." "Lalu apa hubungannya sama aku? Kamu enggak lihat kalau aku udah selesai makan?" Haydar melirik ke arah piring bekas pakai milik Amita. "Masih belum habis tuh. Enggak baik kalau buang-buang makanan. Kamu enggak tahu, di luar sana---" "Berhenti ceramah! Aku enggak butuh ceramah kamu! Yang aku butuhin sekarang adalah kamu pergi atau aku yang pergi?" "Enggak keduanya, karena kita berdua akan makan bareng. Paham?" "Enggak!" bentak Amita seraya menyentakkan tangan Haydar, lalu bergegas bangkit dan melangkah meninggalkan Haydar yang tersenyum. "Lo gila, Hay! Lo bisa dipecat kalau macem-macem sama anaknya bos!" ujar Gendis. "Tenang aja, gue enggak akan dipecat." "Yakin banget lo!" "Yakinlah! Kan gue calon menantunya Antakusuma Wijaya." "Kebagusan deh muka lo!" kesal Gendis sambil melempar tisu bekas pakainya pada Haydar, lalu beranjak menyusul Amita. ---------------------------------- "Papa enggak pulang?" tanya Amita dari celah pintu ruangan papanya, Antakusuma. "Ini udah malem banget, Pa." "Bentar lagi, Sayang. Kamu kalau mau pulang dulu enggak apa-apa. Nanti biar Toni yang anter kamu, abis itu bisa jemput Papa lagi." Amita menghela napas, lalu masuk dan duduk di kursi di hadapan Anta. Matanya terus menatap pada papanya yang masih tenggelam di balik layar laptop, dengan ekspresi wajah yang sangat serius---sepertinya ada masalah. "Serius amat, Pa." Anta tersenyum. "Enggak, kok. Papa cuma lihat-lihat aja. Kamu kok malahan duduk di sini? Enggak jadi pulang?" Amita melirik arlojinya, pukul delapan malam. Sebenarnya malam ini dia ada janji dengan Gatra--kekasihnya--untuk makan malam bersama. Tapi melihat papa yang sepertinya butuh bantuan, apa lebih baik dia batalkan saja janjinya dengan Gatra? "Perlu bantuan, Pa?" "Enggak usah. Bentar lagi selesai kok. Udah, kamu pulang aja. O iya, bukannya kamu ada janji sama Gatra?" "Papa kok tahu?" "Kamu lupa? Kemarin kan kamu cerita sama Papa, kalau malam ini anniversary  kalian yang ketiga." "Tapi ..." "Udah sana. Papa malah jadi enggak enak sama Gatra. Dia pasti udah nungguin di tempat janjian kalian." "Beneran?" ragu Amita, yang langsung mendapatkan anggukan dari Anta. "Ya udah, aku pegi dulu ya, Pa." Setelah mencium pipi papanya, Amita segera masuk lift menuju lobi kantor. Amita pikir, sudah tidak ada lagi karyawan yang berada di kantor, tapi ternyata dia salah. Haydar ada di sana, sedang duduk di sofa tunggu yang ada di lobi--tentu saja menunggu Amita. Hal itu sangat membuat Amita jengah, upaya Haydar untuk mendapatkan Amita perlu segera dihentikan. "Aku anterin," tawar Haydar. "Enggak perlu. Ada Toni." "Toni kan anterin papa kamu." Amita menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuhnya menghadap Haydar. Tangan wanita itu terangkat untuk membenarkan dasi Haydar yang longgar dan berkerut. Kemudian merapikan kerah kemeja pria berkacamata itu, dan terakhir adalah rambutnya--Amita membuatnya sedikit lebih berantakan dari sebelumnya. "Lumayan." Haydar tersenyum. "Lumayan ganteng?" "Lumayan gila enggak tahu diri!" kesal Amita. Haydar langsung menyambar lengan Amita yang hendak berlalu. "Kamu salah. Aku enggak cuma lumayan gila, tapi tergila-gila sama kamu." "Lepasin!" "Aku antar kemanapun kamu pergi." "Aku mau kencan sama pacarku!" "Bagus. Aku mau lihat sainganku, apakah lebih baik atau jauh di bawahku!" Amita melotot mendengar kalimat Haydar. Pria ini benar-benar tidak tahu diri dan memiliki rasa percaya diri yang berlebihan! Sungguh, Amita hampir hilang akal menghadapi Haydar yang tidak tahu malu ini. "Haydar Rahandika, saya perintahkan kamu untuk melepaskan saya sekarang juga! Atau saya teriak manggil satpam?" "Wow! Kamu tahu nama lengkap aku? Sungguh suatu pencapaian sendiri bagiku. Aku senang, terima kasih." "Kamu sinting! Lepasin, enggak?!" Haydar menggeleng. "Aku antar kamu. Ayo! Kalau dari tadi kamu bilang iya, mungkin kita udah ketemu sama pacarmu." Amita menggeram kesal. Baiklah, dia akan menuruti permainan pria aneh di hadapannya ini--untuk kali ini saja! "Ok! Kali ini aku mau kamu antar!" "Yes!" "Tapi hanya kali ini! Selanjutnya kamu enggak usah deket-deket sama aku lagi." "Aku enggak bisa janji untuk hal itu." "Kalau begitu, lupakan kalau malam ini kamu bakal nganter aku!" "Ok ... ok," ujar Haydar menurut. Amita tersenyum puas mendengar ucapan Haydar, lalu kembali melangkah menuju lift yang membawa mereka menuju parkiran. Haydar dengan cekatan, langsung membukakan pintu mobilnya untuk Amita, dan setelahnya dia segera masuk untuk melaju menuju tempat yang dituju Amita. "Maaf ya, mobilnya kecil," ujar Haydar berusaha memecah keheningan yang sudah berlangsung selama 15 menit perjalanan. "Tapi aku belinya cash lho, enggak pake nyicil. Uang dari hasil kerjaku sendiri." "Kamu nyindir aku?" "Oh, enggak. Siapa yang nyindir?" "Kamu! Siapa lagi?" "Aku kan cuma cerita, biar kita ada obrolan. Daripada diem-dieman gini kan enggak enak." "Aku enggak minat dengerin cerita tentang hidup kamu! Mending dengerin radio aja," kesal Amita seraya menekan tombol tape di hadapannya. Sebuah lagu mengalun mengiringi sisa perjalanan mereka di tengah gerimis yang mengguyur kota. "Aku ada payung kalau kamu nanti mau pakai."  Amita tidak menanggapi dan lebih memilih sibuk dengan ponselnya. "Lagunya romantis banget ya, bener-bener menggambarkan aku ke kamu." "Biasa aja." "Romantis banget tau!" "Biasa aja!" "Romantis, Sayang." "Berisik! Fokus aja nyetir!" Haydar langsung mengunci mulutnya setelah Amita berteriak marah dan kali ini dia fokus menyetir. 20 menit kemudian, mereka sudah sampai di sebuah pelataran parkir restoran fine dining. "Harusnya tadi aku antar kamu beli baju dulu ya." Amita mengerutkan keningnya dan berhenti membuka sabuk pengamannya. "Kenapa?" "Ini restoran fine dining, tapi lihat baju kamu." Amita memerhatikan sendiri pakaiannya. Benar ucapan Haydar, setelannya ini sama sekali tidak cocok untuk dikenakan di restoran fine dining. Tapi mau bagaimana lagi? Dirinya sudah terlambat 15 menit dari waktu janjiannya dengan Gatra, apalagi pria itu sudah sedari tadi tidak berhenti mengiriminya pesan untuk menanyakan keberadaan Amita. "Siapa sih yang bakal ngelarang seorang Amita Wijaya buat masuk?" "Kamu benar juga." Amita tersenyum simpul mendengar persetujuan Haydar, lalu segera melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil mungil dan berisik milik Haydar. "Kamu mau ngapain?" bingung Amita saat melihat Haydar turut keluar dan sudah berdiri di sebelahnya. "Aku mau nganter kamu. Lupa?" "Nganternya cukup sampai di sini, enggak perlu sampai dalam." "Tapi aku mau." "Enggak!" "Ya udah, sampai pintu masuk yang ada mbak-mbaknya itu aja, gimana?" Amita menghela napas, benar-benar kesabarannya diuji menghadapi pria satu ini! Akhirnya Amita menyerah dan membiarkan Haydar mengikutinya sampai ke depan pintu masuk restoran. Seorang pelayan menanyakan beberapa hal pada Amita dan sedikit memandang bingung bercampur tidak suka dengan penampilan Amita. "Apa Nona membawa pakaian ganti? Karena---" "Kenapa? Tidak ada yang salah dengan pakaian saya, kan? Kamu enggak tahu siapa saya? Saya Amita Wijaya!" Amita mencoba membela diri. "Tapi peraturan di restoran kami adalah---oh, baiklah, silakan masuk." Amita mendengus sebal, lalu berlalu begitu saja setelah dipersilakan. Tanpa mengucapkan apapun pada pelayan yang menyambutnya dan juga pada Haydar. Saat sudah sampai di bagian dalam restoran, seorang pelayan langsung menanyakan nama Amita kembali, kemudian mempersilakannya menuju meja, dimana Gatra sudah menunggunya di sana. "Maaf, aku telat," ucap Amita seraya memberi kecupan di pipi Gatra. "Macet?" "Bukan. Aku tadi nemenin papa sebentar." Gatra mengangguk mengerti, lalu memanggil pelayan untuk mulai memesan makan malam Amita. "Kamu udah pesan?" Gatra mengangguk, lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Amita kembali menekuri buku menu di hadapannya, dan setelah memberi tahu menu yang diinginkannya pada pelayan, Amita meraih tangan Gatra. "Happy anniversary." "Happy anniversary." "Aku ada kado buat kamu." Amita mengambil sebuah kotak dari dalam tasnya, dan mengulurkannya pada Gatra. Pria itu menerimanya seraya tersenyum. "Makasih," ucapnya dan kembali fokus pada ponselnya. Senyum Amita tak lagi nampak di wajah manisnya. Gatra bersikap dingin padanya, padahal malam ini adalah perayaan hari jadi mereka. Apakah karena Amita datang terlambat? Tapi biasanya Gatra bisa memakluminya--mungkin tidak dengan saat ini. Gatra meletakkan ponselnya, lalu mendongak menatap Amita. "Amita, ada yang mau aku bicarakan sama kamu." Oho! Apakah ini seperti yang dibilang Gendis kemarin lusa, saat mereka bergosip di ruangan Amita? Bahwa Gatra akan melamarnya? Semoga saja, Ya Tuhan! "Apa?" Gatra menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan melalui mulut. Jemari tangannya meraih milik Amita, dan sedikit basah di sana. Gatra sedang gugup. "Amita." "Ya?" "Aku mau kita putus." "Ya?" "Aku mau kita putus," ulang Gatra lebih yakin. Amita menarik tangannya yang berada di dalam genggaman Gatra, meremasnya di bawah meja. Kali ini Amita yang gugup---bukan, bukan gugup. Marah? Malu? Kecewa? Entahlah, Amita tidak tahu dengan perasaannya saat ini. Dirinya tidak tahu harus bersikap seperti apa atas ucapan Gatra.  ----------------------------------- Amita masih terduduk di sana, sendiri. Gatra sudah pergi semenjak 30 menit yang lalu, tanpa penjelasan. Amita pun tidak menuntut. Lidahnya kelu, bahkan hanya untuk membalas ucapan salam perpisahan Gatra. Matanya menatap kosong pada steak yang dipanggang setengah matang di hadapannya, dan sudah dingin. "Apa ada yang kurang, Nona?" Amita mendongak dan mendapati seorang pelayan berdiri di sebelahnya. Amita menggeleng, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar makanan dan minuman yang sama sekali tidak disentuhnya. Kemudian melangkah keluar restoran. Perasaan gamang menghampirinya tatkala dirinya sudah sendiri di luar. Amita tidak tahu lagi harus bagaimana, matanya kembali menunduk menatap kosong pada rintik hujan yang jatuh. Saat ini yang diinginkannya hanya pulang. Perlahan kakinya melangkah di tengah hujan, Amita tidak peduli lagi jika tubuhnya basah. Saat air hujan membasahi tubuhnya, seolah saat itu juga Tuhan memberinya kesempatan untuk menangis. Air mata Amita sudah tidak terbendung. Wanita yang hampir tidak pernah menangis---semenjak lulus SD---itu, akhirnya menjatuhkan air matanya kembali karena seorang pria.  "Amita Wijaya," panggil seseorang. Amita mendongak dan mendapati sosok Haydar sudah berdiri di hadapannya sembari memayungi Amita. Bahkan pria itu tidak peduli jika kemejanya basah, karena lebih memilih memberikan payungnya pada Amita. "Haydar." "Ya?" "Haydar." Hanya satu kata, satu nama itu yang berhasil keluar dari bibir Amita, di tengah isaknya. Amita melangkah, mengulurkan tangannya untuk meraih tubuh Haydar dan tanpa permisi langsung memeluknya. Haydar sempat terhuyung mundur, tapi kemudian dirinya berhasil menyeimbangkan diri. Tubuh Haydar turut membeku, tidak tahu harus berbuat apa, dan pria itu hanya berdiri dalam diam. Membiarkan Amita menangis dalam naungannya. Bersambung ...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.2K
bc

Naughty December 21+

read
509.0K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

Yes Daddy?

read
797.8K
bc

SHACKLES OF GERALD 21+

read
1.2M
bc

KILLING ME PERFECTLY ( INDONESIA )

read
89.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook