bc

Lovely Complex

book_age16+
252
FOLLOW
1.0K
READ
billionaire
love after marriage
age gap
arranged marriage
dominant
brave
sweet
bxg
campus
like
intro-logo
Blurb

Naura adalah wanita dewasa yang sebenarnya sudah siap menikah. Hanya saja, kegagalan demi kegagalan membuat wanita itu mulai menutup dirinya dari siapa pun pria yang datang.

Hingga suatu ketika, di dalam kelas yang sedang Naura ajar, seorang mahasiswa yang datang telat tiba-tiba tertegun ketika mendapati Naura mengajar kelas yang ia ambil. Tanpa basa-basi mahasiswa itu memanggil nama Naura tanpa merasa perlu menyematkan panggilan hormatnya. Di depan banyak saksi mata, pemuda itu menyampaikan niatnya untuk menyunting dosen wanitanya.

Perbedaan usia yang jauh, krisis kepercayaan yang Naura punya, serta ketidakyakinannya pada pemuda itu membuat Naura berusaha mendorong mahasiswanya itu jauh-jauh dengan berbagai macam cara. Sampai pada tahap, ketika Naura pikir pemuda itu akhirnya sudah menyerah, Naura justru mendapati pemuda itu di rumahnya, Menyampaikan niatnya di depan kedua orang tua Naura untuk mempersunting putri mereka.

Gila. Pemuda itu benar-benar sudah gila, kan?!

chap-preview
Free preview
1. Lamaran yang Datang
“Dengan senang hati saya menyerahkan masa depan putri saya bersama Nak Abi kalau memang Nak Abi serius ingin mempersunting putri saya—Naura.” Suara sang Papa benar-benar membuat Naura yang saat itu tidak mengerti apa yang terjadi dan tidak paham situasinya dibuat melotot ke arah pria itu dan mempertanyakan pernyataan beliau tadi. Seolah tak sadar dengan pelototan putrinya, pria itu dengan asiknya tertawa bersama sang istri yang juga menyambut baik bocah itu atas kedatangannya. Iya, bocah. Naura—wanita yang sejak tadi menjadi bahan perbincangan mereka memang menganggap pria yang datang ke rumah dan bicara dengan kedua orangtuanya itu adalah bocah. Bocah yang entah bagaimana bisa dengan percaya dirinya menghadap kedua orang tua Naura untuk meminta dirinya. Meminta Naura pada kedua orangtuanya untuk menjadi istrinya. Abimana Setiawan, pria berusia 21 tahun yang tidak lain adalah salah satu mahasiswa di kampus tempatnya mengajar. Ya, salah satu mahasiswa Naura kalau memang ingin diperjelas, meski sekarang pria yang dianggap Naura bocah itu sudah mengukuhkan gelar sarjananya beberapa pekan lalu. Dan apa yang Abi lakukan setelah mendapatkan gelar sarjananya? Melamar Naura! Mantan dosennya sendiri. Wow, luarbiasa sekali, bukan? Alih-alih mencari pekerjaan, pria itu malah dengan percaya dirinya datang untuk melamar dosennya sendiri. “Saya rasa saya bisa percayakan Naura pada kamu, Abi. Kamu menunjukan keseriusanmu. Tapi ingat, walau saya bilang begini, jangan harap kamu lolos dari saya kalau sampai membuat Naura terluka baik fisik maupun perasaanya.” Suara Nathan ikut serta, kakak sepupu Naura yang sejak sore tadi memang tengah berada di rumahnya itu terlihat yakin dengan ucapannya. Padahal setahu Naura itu pertama kali mereka dipertemukan. Sulit dipercaya, bahkan sepupu Naura yang terkenal posesif padanya saja bisa mengatakan hal itu? Dengan mudah menyetujui permintaan pemuda itu untuk meminang Naura? Benar-benar sukar dipercaya. “Lalu kapan Nak Abi berencana melamar Naura secara resmi? Membawa serta orang tua Nak Abi—maksud Tante. Ah, apa mulai sekarang lebih baik dibiasakan memanggil Mama saja ya?” Ucap wanita itu kemudian tertawa ketika melemparkan tatapannya pada sang suami. Pria paruh baya yang ditatap kemudian menimpalinya dengan jenis tawa yang sama, tawa yang seolah puas dengan ucapan sang istri entah dengan maksud berguyon atau serius. Sementara itu, Naura hanya benar-benar bisa menatap kedua orangtuanya itu dengan tatapan heran, bertanya-tanya mengapa selera humor mereka seburuk itu kalau memang maksudnya adalah hanya sebagai lelucon. Jangan tanya bagaimana reaksi Nathan, atau bahkan Abi, kedua pria itu hanya mampu menunjukan senyum mereka, meski dua jenis senyum yang berbeda. Nathan dengan senyum canggungnya, sementara Abi dengan senyum macam, “apapun yang dikatakan kedua orang tua Naura adalah kabar baik untuknya, jadi mari tersenyum.” “Ya Tante—eh, maksud saya Mama.” Mendengar balasan dari Abi itu tentu saja membuat Naura melongo dan mengaga tidak percaya. Kenapa bocah ini? Kenapa dengan mudah mengikuti permainan kedua orangtuanya sih? “Cie... yang mau dinikahin sama berondong.” Suara gadis yang lebih muda terdengar dari arah ruangan lain, yang meski Naura jelas sudah tahu suara siapa yang didengarnya itu namun tetap membuatnya menoleh untuk mendapati sosoknya. Naura melotot, melempar tatapan tajamnya itu ke arah sepupu lebih muda yang paling menyebalkan yang pernah ia miliki. Gadis itus—Nigi, tengah mengintip di tembok dan hanya memperlihatkan separuh wajahnya sambil menahan tawa ke arah Naura dan para orang dewasa lainnya berada. Dan bukannya takut melihat pelototan kakak sepupunya, Nigi malah semakin terkekeh merasa respon yang Naura berikan adalah apa yang ia harapkan. Itu berarti upaya Nigi untuk menggoda kakak sepupunya itu berhasil. “Kalau begitu... saya rasa saya bisa secepatnya membawa kedua orang tua saya untuk—” “Tunggu!” Semua mata kini sukses beralih menatap Naura, wanita yang sejak tadi diam dan memutuskan untuk angkat suara. Sudah cukup, rasanya Naura sudah merasa cukup untuk mendengar semua pendapat keluarganya dan Abi yang berkumpul di sana. Naura sudah merasa bahwa dirinya sudah cukup untuk diam, dan ini waktunya ia mengeluarkan pendapatnya sendiri. Toh yang sejak tadi mereka bicarakan adalah Naura, kan? Jadi Naura jelas berhak untuk menyuarakan apa yang ada di kepalanya saat ini. Dengan kedua tangan mengepal, wanita itu meneguhkan diri, bersiap melakukan perlawanaan terakhir yang juga akan menentukan bagaimana kelanjutan cerita di antara dirinya dan Abi berlangsung. Bagaimanapun Naura merasa tidak bisa menikahinya, ia tidak bisa menikahi Abi. Abi adalah mahasiswanya, meski itu sudah beberapa minggu berakhir tapi—demi Tuhan, pemuda itu baru 21 tahun! “Aku mau bicara sama Papa, Mama, Kak Nathan dan lo—Nigi!” Berdiri, memberi isyarat pada semua orang yang disebutkannya tadi tadi, Naura memberikan direksi kemana mereka harus pergi untuk melakukan pembicaraan di antara keluarga. Masa bodoh kalau Abi merasa ditinggalkan atau apa, intinya Naura harus bicara dengan keluarganya terlebih dulu. Tentu saja untuk menghentikan kekonyolan ini, kekonyolan yang menurut Naura benar-benar tidak lucu sama sekali. “Kenapa sih, Ra? Kasian kan Nak Abi ditinggal sendiri gitu.” Ucap sang Mama setelah mereka sudah berada di dapur. Semua orang yang tadi Naura sebutkan berada di sana, tanpa terkecuali. “Papa sama Mama apa-apaan sih? Seenaknya aja nerima lamaran bocah itu tanpa minta pendapat Nana dulu?” Kedua tangan Naura sudah terlipat di depan d**a, menatap kedua orangtuanya sengit dengan dahi penuh lipatan heran. Bukannya menjawab, kedua orang tua itu malah sibuk menyikut satu sama lain. Seolah tengah meminta salah satu di antara mereka untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya pada sang putri. Melihat itu tentu membuat Naura terpancing emosi, pasalnya kalau sudah begini kedua orangtuanya malah sibuk melempar tanggungjawab. Mereka ini memang benar-benar! “Memangnya kenapa, Ra? Toh Kakak lihat dia serius sama kamu, berani lamar kamu langsung di depan Om dan Tante, bahkan tanpa ragu meski Kakak juga ada di sini.” Naura berdecak tidak percaya, melihat Nathan dengan sukarela menjadi perisai untuk kedua orangtuanya. “Kak Nathan juga nih ikut-ikutan lagi! Aku tuh ngebiarin Kakak ikut dalam pembicaraan karena aku yakin Kakak bisa buat dia ngurungin niat bocah gila itu dan batalin lamarannya!” “Hush, Naura! Dia itu calon suami kamu! Nggak boleh bicara kayak gitu!” Omel Mama sewot. Tunggu, tunggu. Seharusnya kan Naura yang marah, kenapa sekarang malah mamanya yang sewot pada Naura, dan bukan hanya itu, Mama juga terang-terangan membela cowok yang ada di ruang tamu mereka itu lagi. “Tahu, harusnya lo seneng ada cowok ganteng, mapan, masih muda yang mau sama lo, Kak!” Timpal Nigi dengan nada suara paling menyebalkan. Refleks Naura melancarkan cubitan kecil di pinggang Nigi gemas, membuat gadis itu langsung menggeliat dan meringis kesakitan. “Udah-udah jangan malah berantem!” Lerai Papa, menatap kedua wanita berbeda usia itu agar tidak sibuk dengan keributan mereka sendiri. Setelah memastikan keduanya diam, kepala rumah tangga itu pun memfokuskan tatapannya pada Naura, mencoba untuk bicara dengan putrinya itu serius. “Naura, kamu kan udah janji sama Papa, Mama, juga Nathan, kalau kami menerima lamaran seseorang maka kamu juga akan menerimanya. Nah sekarang, setelah sekian lama akhirnya ada yang datang. Dan Papa ngerasa cocok kok dengannya, terus kenapa kamu malah nggak mau? Usia kamu itu sudah cukup untuk menikah, Naura. Dan kamu tahu sendiri, kalau ada lamaran baik yang datang kenapa harus ditunda-tunda? Lagi pula Papa tuh yakin kok Nak Abi anak yang baik, nggak usah diragukan lagi.” Jelas saja ucapan papanya itu membuat Naura mengernyit heran. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa papanya itu begitu yakin padahal mereka jelas-jelas baru bertemu dengan Abi hari ini. Atau... memang Naura saja yang tidak mengetahui sesuatu?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook