bc

Song For Unbroken Soul

book_age16+
276
FOLLOW
1.4K
READ
dark
sensitive
CEO
drama
bxg
brilliant
loser
office/work place
secrets
lonely
like
intro-logo
Blurb

Ini semua karena salahnya. Terjebak dalam lautan luka dalam dan rasa bersalah, membuatnya harus terkurung di kegelapan untuk waktu yang lama.

"Bisakah cinta menyembuhkan hati yang rusak?"

chap-preview
Free preview
1
Malam ini, cahaya bintang yang berkilauan tampak menemani cahaya bulan yang bersinar terang menembus kegelapan malam. Menggantikan sang mentari yang kembali tidur diperaduannya untuk beberapa saat sebelum sinarnya kembali menerangi alam semesta. Sama seperti dirinya yang tengah duduk sembari memandangi hamparan langit luas dengan senyum cantiknya, senyum yang membuat dirinya jatuh cinta. Achazia Kalandra mencintai wanita itu. Achazia Hana. Istri sah dari Achazia Mirza, Kakak kandungnya. Ironis, bukan? Tidak usah mengasihaninya, dia sudah terlalu lelah untuk menertawai dirinya sendiri yang menyedihkan karena jatuh cinta pada wanita yang sudah milik orang lain. Dia berusaha untuk menepisnya berkali-kali, tapi tetap saja, rasa itu kembali ada untuknya. Dia sering menangisi dirinya sendiri karena hal ini. Menjalin hubungan selama dua tahun membuatnya harus menanggung luka ini seorang diri. Hana mengetahuinya, tapi tidak dengan Kakaknya. Mirza dan kedua orang tuanya tidak pernah tahu hal ini. Jika mereka tahu, Kalandra yakin, dirinya akan mati mengenaskan nanti. Ironis. Dia berkali-kali mengejek dirinya sendiri yang memalukan. Tapi sekali lagi, cinta tidak bisa dipaksakan. Mau bagaimana pun ia mengelaknya, cinta itu tetap ada. Perasaan tidak bisa dikendalikan. Ia masih bisa menyembunyikan hal ini dari dunia luar, tapi bagaimana kalau mereka akan mengetahuinya suatu saat nanti? "Hana," Wanita dengan rambut hitam sepunggung itu menoleh. Pancaran matanya tampak sendu. Namun, ketika mata kelam itu saling bertemu, sebuah senyum simpul tercetak di wajah manisnya. "Kalandra, ada apa?" Kalandra menggeleng kecil. Ia ikut duduk disampingnya. "Tidak ada. Hanya berjalan-jalan saja." Hana terkekeh kecil menanggapinya. "Ah, kau bosan ternyata." "Kau benar," Kalandra tidak bisa lagi menyembunyikan senyumnya. Lama mereka terdiam. Hana kembali melemparkan tatapannya pada langit luas dan sesekali bersenandung kecil. Memberi kehangatan yang perlahan-lahan mulai menyusup ke dalam hati kecil nan gelap milik Achazia Kalandra. Lelaki itu menoleh, tidak kuasa menahan senyumnya lebih lama lagi ketika wajah manis itu merona merah karena ditatapnya. "Jangan melihatku seperti itu," Hana berkilah dengan memalingkan wajahnya. Ia tahu ini terlarang. Perasaannya masih berpegang teguh pada suaminya, Achazia Mirza. Tapi, ada dimana rasa menyenangkan itu menggelitik perutnya karena tingkah Achazia Kalandra yang menyatakan cinta padanya dua tahun yang lalu. Membuatnya terkejut sekaligus sedih secara bersamaan. Kalandra adalah adik iparnya, tidak seharusnya mereka seperti Ini. "Kalau kau terus bernyanyi seperti itu, aku akan tertidur disini sambil memelukmu," Kalandra menggodanya dan berhasil membuat wajah manis itu mengerut. "Jangan bodoh, Kalandra," jawabnya sedikit ketus. Membuat Kalandra tidak bisa lagi menahan tawanya. Beruntung, Mirza sedang pergi dinas dan akan kembali besok pagi. Orang tuanya tengah berlibur dan akan kembali siang nanti. Ia punya waktu berdua bersama wanita pujaannya. "Aku mencintaimu." Jelas. Bibirnya mengucapkan kata-kata itu secara lugas. Membuat mata kelam Hana basah seketika. Ia ingin menjawabnya, sebelum suara gelas jatuh membuat kepalanya menoleh kilat. PRANG Kalandra menarik jemarinya menjauh dari wajah mungil itu dan menatap kaku pada sosok pria yang kini memandang mereka dengan wajah terkejut dan kecewa secara bersamaan. Hana berdiri, ia melangkah mendekat pada sosok itu sebelum sebelah lengan besarnya menahan langkahnya untuk bergerak lebih dekat lagi. "Tetap disitu, Hana." Suaranya berubah serak tetapi tatapan terlukanya tidak bisa membohonginya begitu saja. Hana menunduk, menyembunyikan oniks yang tengah berkaca-kaca karena melihat wajah hancur itu didepan matanya. "Mirza," Achazia Mirza menoleh dengan pandangan kosong pada sang adik. Adik tersayangnya. Adik yang dicintai dengan sepenuh hatinya. "Mengapa kaulakukan ini padaku, Kalandra?" Mirza tidak bisa lagi menyembunyikan suara paraunya. Ia menunduk. Berusaha untuk tidak menangis didepan keduanya. Tapi dia gagal. Air mata tidak berdosa itu menetes jauh membasahi rumput liar dibawahnya. Ia memalingkan wajahnya, mencoba menguatkan hatinya yang remuk redam karena pemandangan yang tersaji didepannya ketika ia menginjak lantai taman belakang. Mirza mendongak, menghapus air mata di pipinya. Ia tersenyum kecil, melayangkan lambaian tangannya pada kedua anak manusia didepannya dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan satu kata pun. "Mirza!" Hana berteriak, ia mengejar sang suami dengan air mata yang berlinang di wajahnya. Mirza tetap berjalan tanpa menghiraukan teriakan pilu sang istri yang membuat hatinya semakin hancur. Awalnya, ia mengira Kalandra sedang menemani istrinya. Tetapi ketika pernyataan cinta itu meluncur bebas dari bibirnya, Mirza mengetahuinya. Kalandra menyembunyikan hubungan gelapnya bersama sang istri selama ini. Tidakkah mereka tahu kalau ini membunuhnya? Tidakkah mereka tahu kalau itu menyakitinya? Apakah mereka menutup matanya selama ini hanya karena tak ingin dirinya terluka? "Mirza!" Hana tetap bersikeras mengejar suaminya hingga sosok Mirza masuk ke dalam mobil dan mengunci mobil miliknya rapat-rapat. Dengan tangan mungilnya, ia berusaha memukul kaca mobil yang tebal. Berusaha agar Mirza mau bicara padanya. "Mirza, kumohon," Hana terisak kencang. "Biar aku jelaskan, kumohon." Mirza menyalakan mesin mobilnya. Ia menoleh, memberikan Hana senyuman kecil meskipun wajah lembutnya terlihat kaku dan senyumnya terlihat dipaksakan. Kalandra hanya bisa melihat kedua pasangan yang tengah diambang kehancuran itu nanar. Ia tidak menyangka kalau akhirnya secepat ini Mirza mengetahuinya dan bukan dirinya yang menceritakan hal itu pada sang Kakak. Rasa bersalah teramat dalam langsung menghatam ulu hatinya. Ia memandang kosong pada wanita yang tengah berlari mengejar mobil itu keluar dari halaman dengan berteriak histeris ketika panggilannya tidak digubris oleh pria itu. Kalandra berlari mengejar Hana yang semakin berlari hampir ke tengah jalan dan itu berbahaya jika ada mobil atau apa pun yang melintas di kompleks mereka saat malam hari seperti ini. Kalandra menarik Hana untuk masuk ke rumah dan mendapat pukulan di bahunya saat Hana memberontak ketika tangannya menyentuhnya. "Jangan sentuh aku! Kau menjijikan!" Hana berteriak memaki Kalandra yang membeku di tempatnya. Lelaki itu tampak terluka ketika tatapan Hana yang serasa membunuhnya terasa menyakitkan untuknya. "Kita berdua memang menjijikan!" Hana menjambak rambutnya sendiri dan ia masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Kalandra seorang diri yang kini tengah menangisi nasibnya sendiri. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi besok atau sepuluh menit kemudian. Ia tidak tahu. Dan ia berharap, kalau semua baik-baik saja. . . Arkana Liena menopang dagu mungilnya dengan siku tangannya. Ini jam sebelas malam dan ia harus menjalani pergantian shift antar dokter hingga delapan jam kedepan. Memang melelahkan, tapi ia menikmatinya. Terutama, ia memiliki banyak teman yang bisa ia ajak berbincang untuk melepas rasa kantuknya di tengah malam. Ia memandang sebuah pigura foto berwarna emas. Dimana dirinya bersama sosok pria tinggi berambut merah darah yang tengah tersenyum bersama dirinya. Dengan sebelah tangannya merangkul bahunya seolah-olah memeluknya dan dirinya yang juga melingkarkan tangannya di pinggang pria itu. Senyum kecilnya tercipta. Jemari lembutnya mengusap lembut sosok pria itu dengan tatapan mata penuh kerinduan dan kesedihan yang terpancar disana. Ia menghela napas panjang, rasa rindunya yang teramat dalam membuatnya hampir menangis lagi. Ia tersenyum kecil menyadari matanya mulai berkaca-kaca. Dia hanya wanita biasa yang sedang merindukan kekasihnya yang sudah pergi. "Kau berjanji untuk selalu menunggu, kan?" Liena tersenyum parau. Suaranya berubah serak ketika ia sekuat mungkin berusaha untuk tidak menangis karena mengingatnya. Ia sering sekali seperti ini. Hatinya melemah ketika ingatan pilu itu kembali menghatam kepalanya. Memorinya seolah-olah menyimpan dengan baik kejadian mengenaskan itu. Tidak pernah ingin hilang dari kehidupannya. Karena kejadian itu akan selalu diingatnya sampai kapan pun. Sampai dirinya menghembuskan napas terakhir nanti untuk selamanya. "Liena?" Liena mendongak, mendapati teman satu profesi dengannya tengah tersenyum padanya dengan segelas kopi panas di tangan mungilnya. "Ayo, bergabung. Kami sudah membelikanmu kopi yang sama. Masih panas." Liena mengangguk. Ia menarik tangannya menjauh dari foto itu dan bergegas pergi menyusul Shakila yang lebih dulu berjalan mendahuluinya. . . Mirza tidak henti-hentinya menangis sejak tadi. Sudah lima belas menit ia menghabiskan waktunya untuk berputar-putar dan melampiaskan kemarahannya dengan mengemudi diatas kecepatan rata-rata yang ditentukan. Ia tidak peduli jika nyawanya melayang sekali pun. Rasa sakitnya lebih menakutkan saat ini. Ia tidak mampu lagi membendungnya. Ia membanting ponselnya hingga hancur berkeping-keping karena panggilan sang istri yang sejak tadi tidak berhenti mengganggunya. Mata kelamnya mulai memburam. Mirza tidak bisa lagi melihat jalanan dengan benar. Bahkan, ia sendiri tidak sadar ketika mobil yang sedang dikemudikannya berbalik arah hingga menabrak pembatas jalan yang berlawanan arah. Ia mengusap sudut matanya, melihat lampu menyala yang berasal dari sebuah truk didepannya terasa menyilaukan matanya. Mirza membulatkan matanya ketika truk itu memberikannya klakson panjang untuk menyingkir, belum sempat dirinya mengemudikan mobilnya ke arah lain, sebuah benturan keras menabrak bagian depan mobilnya dan membuatnya terlempar hingga lima meter jauhnya. BRAAK Bunyi tabrakan yang keras membuatnya hampir kehilangan kesadarannya. Ia tidak tahu apa yang terjadi nanti. Yang ia tahu adalah mobilnya terbalik dan terguling, lalu perlahan-lahan bensin mulai keluar dari dalam mobilnya, membasahi lantai aspal yang dingin dan setelah itu, kepalanya terasa berat. Dan air matanya dalam sekejap berhenti. Bukankah ini suatu mukjizat kalau Tuhan tidak ingin melihatnya menangis? . . "Aku mencintaimu, Hana. Aku sangat mencintaimu." Sekali lagi Kalandra berusaha meyakinkan wanita yang kini ada dipelukannya dan tengah menangis kencang karena dirinya. Ia tidak tahu harus berbuat apalagi untuk meyakinkan Hana kalau semua akan baik-baik saja dan dirinya yang akan menerima semua resikonya. Bukan wanita itu. Hana masih menangis dan memukul ringan bahu tegapnya karena kekuatannya semakin lama semakin melemah seiring isakannya yang perlahan-lahan mulai mereda. Meskipun, ia masih menangis. Setidaknya, ia tahu kalau ia sudah tidak kuat lagi bertahan. Mirza belum memberikan kabar sejak kepergiaannya. Kalandra semakin cemas dibuatnya. Ia menghubungi ponsel itu namun tidak diangkat. Mirza memilih untuk menyendiri dan tidak ingin diganggu siapa pun. Termasuk dirinya. Tanpa sadar Kalandra mulai menangis. Ia menangisi dirinya sendiri dan juga bagaimana kehidupan wanita yang dicintainya ketika suatu saat nanti Mirza meninggalkannya seorang diri karena dirinya? Kalandra siap menerima resikonya dengan menikahi Hana, tapi bagaimana dengan wanita itu? Hana sangatlah mencintai Mirza. Melebihi hidupnya sendiri. Kalandra semakin erat memeluk wanita itu. Ikut menenggelamkan dirinya di bahu mungilnya dan menangis disana. Menyalurkan duka yang tidak bisa ia tunjukkan pada dunia. Mereka menangis bersama. Menukarkan duka yang mereka alami agar beban di dalam hati mereka hilang dan berdoa kalau ini hanyalah mimpi buruk semata. . . Liena menoleh terkejut ketika rumah sakit digemparkan dengan seorang pria yang tengah berjuang untuk tetap hidup ditengah kondisinya yang parah. Luka robekan di kepala, patah tulang dan beberapa luka berat lainnya yang kini menghiasi tubuhnya. Liena yakin, pria ini adalah korban kecelakaan. Shakila dengan gesit memerintahkan anak buahnya untuk memasukkan pria malang itu ke meja operasi. Ia berlari untuk mengambil stok darah di ruang penyimpanan dan dibantu oleh perawat lainnya yang bergegas turun tangan untuk menangani pasien darurat itu. Liena berlari untuk menemui rekan kerjanya, ia memandangi Shakila yang sedang berusaha tenang mengendalikan situasinya mengingat bagaimana parahnya kondisi pria itu. "Apa yang terjadi? Mengapa dia bisa seperti itu?" Shakila menoleh pada Liena, manik peraknya tampak memohon. "Liena, bisa tolong bantu ambilkan keperluan operas di koridor dua?" Liena mengangguk cepat. "Baik, Shakila." Dan ia mempercepat langkahnya bersama salah satu perawatnya yang juga membantu Shakila. Mengingat ini jam malam, suasana tampak sepi dan para perawat yang berjaga mulai kembali ke rumah mereka masing-masing. Hanya beberapa yang berjaga bergantian untuk menggantikan tugasnya. "Berikan ini pada Shakila, cepat!" Liena menyuruh perawat wanita itu untuk berlari ke ruang operasi dimana Shakila yang membantunya. Wajah Liena memucat seketika. Ingatannya tiga tahun lalu kembali membayanginya. Ini sama seperti keadaan sang kekasih ... "Cukup, Liena," Liena memegang kepalanya yang terasa berdenyut dan hatinya yang kembali berdesir ketika ingatan itu menyusup ke dalam kepalanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencari oksigen sebanyak-banyaknya untuk memasok udara di paru-parunya yang kian menipis dan berjalan melangkah ke luar ruangan. . . "Dokter, bisa kau hubungi keluarganya?" Liena mengerutkan dahinya ketika salah satu perawat keluar dari kamar operasi. Gadis itu menunjukkan sebuah kartu tanda pengenal dan dompetnya yang berisi beberapa lembar uang dalam mata uang Jepang dan dolar didalamnya. "Dia adalah Achazia Mirza. Direktur dari Achazia's Industries yang sangat terkenal itu," perawat itu menambahkan. Suaranya tampak tercekat ketika Liena mendongak untuk menatap matanya. "Apa yang terjadi?" Gadis itu memalingkan wajahnya. Tidak mau bertatapan langsung dengan iris hijau itu. "Jangan katakan kalau dia tidak selamat? Apa Shakila tidak bisa membantunya?" Gadis itu masih diam. Ia memilih untuk mengundurkan diri dan kembali membantu Shakila di kamar operasi itu. Tangan Liena bergetar ketika ia memegang dompet itu beserta kartu tanda pengenalnya. Ia sendiri tahu benar siapa keluarga Achazia ini. Tanpa berpikir panjang lagi, ia memencet tombol angka sesuai yang ada di kartu tanda pengenal itu. Itu adalah nomor publik. Dan artinya, keluarga Achazia memakai telepon rumah untuk ini. Dering ketiga. Liena merasakan napasnya memberat ketika seorang wanita dengan suaranya yang lemah mengangkat panggilannya. "Selamat malam. Maaf mengganggu kalian. Kami dari Rumah Sakit Umum Tokyo. Ingin memberitahukan bahwa Achazia Mirza mengalami kecelakaan berat dan ia sedang kritis." Demi Tuhan, Liena mendengar wanita itu berteriak histeris dari balik teleponnya. Dan suara gelas yang terjatuh serta bantingan gagang telepon terasa menusuk telinganya. Ia memejamkan matanya. Ia tidak tahu siapa yang mengangkat panggilannya. Tapi, yang jelas. Wanita itu adalah keluarganya. Liena menutup teleponnya. Ia menutup mulutnya rapat-rapat ketika bayangan wanita itu yang hancur juga ikut membayanginya. Ini saat dimana nyawa ... ah cukup. Liena mengambil tempat untuknya duduk dengan tatapan nanarnya memandangi pintu kayu itu kosong. Dimana ada tubuh Achazia Mirza yang tengah terbaring berjuang untuk hidupnya. . . "Apa yang terjadi?" Hana melayangkan pandangan membunuhnya pada Kalandra yang berdiri terpaku ketika mendapati tatapan mata kelam itu memandangnya penuh kebencian. Di samping itu, air mata yang sebelumnya telah mengering kembali basah. Ia baru saja mengganti bajunya dan ingin mencari Mirza sebelum ia mendengar suara teriakan Hana yang keras hingga sampai ke dalam kamarnya. "Mirza di rumah sakit," suara Hana tercekat. Ia memalingkan wajahnya untuk menatap lantai yang dingin. Mencoba bangun dari sana. "Dia kecelakaan dan kritis." Kalandra tanpa sadar mengepalkan tangannya. Ia mengambil kunci mobilnya dan berlari ke luar rumah menuju bagasi tempat dimana mobilnya terparkir disana. Dengan napas terengah dan langkah tertatih, Hana mengejarnya. Wanita itu menghadang mobil Kalandra untuk maju lebih jauh lagi. Air mata masih setia mengalir meskipun sudah tidak terdengar isakan apa pun dari bibirnya. Kalandra membukakan pintu mobilnya untuk Hana dan wanita itu bergegas masuk tanpa memedulikan sabuk pengaman yang menjadi prioritas utama untuk keselamatan utamanya. Kalandra semakin melaju kencang di jalan bebas hambatan ini. Mengingat ini adalah jam malam dimana waktu senggang dan mobil jarang melintas, ia bisa sampai ke rumah sakit lebih cepat dua puluh menit. Ia memarkirkan mobilnya sembarang arah dan menarik tangan Hana untuk ikut bersamanya masuk ke dalam rumah sakit. "Dimana ruang UGD?" teriak Hana frustasi. Kalandra menariknya menuju koridor satu. Disana pintu kayu bertuliskan ruang UGD terpampang jelas. Nyawanya terasa runtuh seketika ketika ia melihat dokter wanita keluar dari ruangan itu dengan peluh di dahinya dan pancaran matanya yang terlihat sendu. "Bagaimana dengan suamiku? Apa dia baik-baik saja?" Shakila memandang kedua makhluk berbeda gender itu bergantian. Tatapan matanya tampak menyesal. Ia menggeleng rendah, menunduk menatap lantai sekilas sebelum akhirnya kembali mendongak. "Maafkan kami. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi, golongan darah langka yang dimiliki Achazia Mirza menyulitkan kami dan juga ..." suara Shakila tampak tercekat. "Benturan keras itu membuatnya mengalami pendarahan kepala. Patah tulang berat dan luka-luka di sekujur tubuhnya akibat bergesekan dengan besi mobil yang tajam." "Apakah mobil itu terbakar?" Shakila memalingkan wajahnya pada lelaki yang sekiranya ia anggap adalah adik dari Achazia Mirza. "Kurasa tidak. Menurut saksi mata yang membawanya kemari, mobil itu belum sempat meledak. Mereka sudah menariknya keluar dan segera membawanya ke rumah sakit." Lalu, yang selanjutnya terjadi adalah teriakan Hana yang keras dan jatuhnya wanita malang itu ke lantai rumah sakit yang dingin dalam keadaan tidak sadarkan diri. . . Achazia Kalandra bahkan tidak sanggup menatap tubuh tak bernyawa sang Kakak yang kini ada di ruang penyimpanan khusus. Dia juga tidak sanggup untuk memberitahu orang tuanya. Apa yang akan dikatakannya nanti? Dengan tangan bergetar, ia mencoba mengambil ponselnya. Mengetikkan deretan angka yang sudah diluar kepalanya dan menekan tombol hijau disana. Dering keempat. Suara lembut sang Ibu yang membuat hatinya semakin teriris pedih ketika mendengar Ibunya berulang kali memanggil namanya karena dirinya tak kunjung bersuara. "Ibu ..." Kalandra tidak kuasa menahan air matanya lebih lama lagi. Isakan kecil lolos dari bibirnya. Ia menutup mulutnya rapat-rapat, tidak ingin pihak rumah sakit mendengar tangisan pilunya. "Mirza ..." napasnya terputus. "Mirza mengalami kecelakaan." Dan selanjutnya yang ia dengar adalah teriakan terluka dari sang Ibu dan sambungan telepon yang terputus begitu saja. Meninggalkannya dalam kubangan luka dalam tak berdasar. "Ini salahku ... ini semua salahku." . . Pemakaman Mirza berlangsung tenang. Hana sebisa mungkin menahan isakannya untuk tidak lolos. Dengan berlindung dibalik kacamata hitamnya, para tamu yang hadir tidak tahu kalau dirinya tengah menangis disana. Dengan sang Ibu mertua yang turut hadir dan memeluknya dari samping, luka yang dideritanya begitu berat. Kalandra menunduk. Menatap nanar pada gundukan tanah itu dengan pandangan memburam. Ia sudah menangis semalaman. Ia tidak tidur karena berharap ini hanyalah mimpi buruk yang terasa membunuhnya dari dalam. Seharusnya, ia tahu ini resiko terberatnya. Tapi, tidak pernah terlintas sedikit saja di kepalanya kalau Mirza akan mengalami hal ini. Sang Ayah menepuk bahunya seolah-olah menguatkannya. Kalandra tidak kuasa lagi menahan air matanya, ia jatuh dengan kedua lututnya menyentuh gundukan tanah basah itu dan menunduk dalam-dalam. Menyembunyikan wajahnya yang hancur dari dunia luar. Meremas tanah itu kuat-kuat dan menangis dalam diam disana setelah mereka semua pergi meninggalkannya seorang diri. "Maafkan aku, Mirza. Maafkan aku." . . Kalandra berjalan gontai masuk ke rumahnya. Ia tidak sadar kalau sudah hampir enam puluh menit dia berada seorang diri di makam Mirza tanpa ditemani siapa pun. Kedua orang tuanya beserta Hana sudah kembali. Ia mendengar Hana dan Ibunya menangis keras. Tetapi lebih pada suara sang Ibu yang berteriak histeris dari arah ruang tengah sana. Kalandra berlari, takut mendapati sang Ibu mencoba membunuh dirinya sendiri. "Ibu?" Wanita yang dipanggilnya Ibu itu menoleh tajam. Mendapati tatapan yang terasa menusuk membuat Kalandra diam seketika. Ia merasa perasaannya tidak enak kali ini. Sesuatu akan terjadi. "Kau yang membuat Mirza mati? Kau dalang dibalik semua ini!?" Teriakan dari sang Nyonya Achazia membuat Kalandra memundurkan sedikit langkahnya karena goyah. Ini pertama kalinya ia melihat Ibunya semurka ini padanya. Ia tahu, ini akan terjadi. Tapi, tidak untuk saat ini. Ia masih terpukul dengan kematian Mirza yang tiba-tiba. Tidak dengan kemarahan kedua orang tuanya. "Enyahlah kau dari hadapanku!" Hana jatuh terduduk dengan menangis tersedu-sedu. Kalandra melihatnya. Ia melihat ada bekas tangan yang memerah di pipi kanan wanita itu. Hana sudah menceritakan segalanya dan wanita itu ikut terkena imbasnya. "Hana?" Kalandra menghampiri Hana yang masih terduduk dan menangis disana. Mengharapkan permohonan maaf dari Achazia Aluna, Ibu dari suaminya. Tapi, wajah yang dipalingkan dan tatapan tajam dari wanita itu seakan menjawab segalanya. Achazia Matteo turun dengan dahi berkerut. Kalandra memegang Hana yang tampak lemah untuk menolak uluran tangannya. Aluna menghampiri Matteo yang memeluknya dengan alis bertaut. Tangisan wanita paruh baya itu pecah. Dan dengan terbata-bata, ia mengatakan segalanya. "Hana memiliki hubungan gelap bersama Kalandra dan Mirza mengetahuinya. Lalu, Mirza pergi dari rumah dan ia mungkin menyetir terlalu kencang atau bagaimana ..." Aluna menahan napasnya karena suaranya tercekat oleh tenggorokannya sendiri. "Lalu, kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang mengambil nyawa putraku." Tangisnya kembali pecah. Wajah Matteo berubah kaku dalam sekejap. Ia memeluk Aluna dan mengusapkan tangan besarnya pada punggung bergetar wanita itu. Dalam sekali lepasan lembut, ia mendudukan Aluna pada sofa besar ruangan dan berjalan mendekati Kalandra yang memalingkan wajahnya. "Kemari kau anak kurang ajar!" Selanjutnya yang ia dapatkan adalah tamparan keras hingga sudut bibirnya robek. Kalandra tidak peduli dengan rasa nyeri dan perih di sudut bibirnya. Tamparan sekali lagi di sisi wajahnya yang lain berhasil membuatnya terhuyung mundur ke belakang beberapa langkah dengan kepalanya nyaris terbentur pembatas tangga karena kekuatan tamparan Matteo yang keras. "Bagaimana bisa!? Bagaimana bisa!?" Teriakan Matteo terasa nyaring di telinga Kalandra. Tapi, Kalandra bersumpah, ia bisa mendengar nada suara itu tercekat dan hampir terdengar seperti lirihan putus asa. Kalandra masih tetap diam di tempatnya. Ia juga tidak menyentuh lukanya. Meskipun ia tahu, luka robekan itu mungkin semakin membesar karena rasa perih tidak tertahankan mulai menyerang rahangnya. Matteo memalingkan wajahnya. Tangis Hana semakin kencang begitu juga Aluna yang menyaksikan kejadian brutal itu di depan matanya. Ia memejamkan matanya, meringis ketika menyadari luka di wajah putra bungsunya seakan ikut merobek hatinya. "Kau akan mendapat hukumanmu, Achazia Kalandra!" Lalu, tangisan keras dari ujung tangga serasa menghujam jantungnya. Ibunya pergi bersama Ayahnya yang kini memeluk bahunya untuk membantunya jalan. Bagaikan beribu-ribu jarum kecil yang menusuk ulu hatinya. Meninggalkan bekas luka yang menyakitkan ketika kalimat itu sengaja ditunjukkan untuknya. "Achazia Mirza ... putraku tewas karena dirimu, Kalandra." . . Arkana Liena mendapat panggilan dari ketua yayasan untuk bertemu dengannya siang ini. Semalam, sehabis ia menghubungi keluarga Achazia itu terkait salah satu keluarganya kecelakaan, ia langsung pergi menuju ruangannya. Ia butuh istirahat sebentar untuk melepas penatnya. Lagipula kemarin, jasanya tidak lagi dibutuhkan. Pintu kayu itu terbuka lebar. Liena dipersilakan masuk setelah ia menunggu sekitar lima belas menit karena ketua memiliki tamu penting yang sedang berkunjung. "Selamat siang." Liena menutup pintu dibelakangnya dengan hati-hati. Wanita dengan surai pirang panjang itu mendongak, menyuruh Liena untuk duduk di bangkunya dengan isyarat dagunya. Liena mengerti, ia menarik kursi untuknya duduk dan diam menunggu sang ketua berbicara. "Arkana Liena, mulai besok kau harus dipindah. Pergilah ke rumah sakit South Tokyo. Mereka membutuhkan jasamu. Kau bisa kembali kapan saja kemari," Liena tampak terkejut. Jarak antar rumah sakit itu dengan rumah mungilnya cukup jauh. Memakan waktu hingga dua puluh menit jika jalanan lancar. Lama ia berpikir, akhirnya kepala merah mudanya mengangguk. Ia memberikan senyum kecil pada wanita itu. Mengemban tugas sebagai dokter ahli jiwa, membuatnya harus berkorban banyak untuk berkeliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain untuk memberikan bantuan pada pasien-pasiennya. "Kau terlatih untuk hal ini. Kau sudah bertahun-tahun bekerja di sini dan namamu sudah sangat terkenal. Mereka membutuhkan jasamu. Lalu, setelah selesai, kau bisa kembali kapan saja." Liena tersenyum simpul. "Tidak apa-apa. Aku pernah pergi ke pedalaman Jepang karena tugas ini. Ini bukan masalah." "Jadi, apakah kau bersedia?" Liena mengangguk mantap. "Aku bersedia." . . Kalandra membuka pintu kamar Mirza yang terkunci itu dengan keras. Ia berusaha mendorong pintu kayu itu dengan bahu kuatnya. Namun, rasa sakit karena benturan keras berhasil membuatnya meringis pelan. Sial. Ia menyadari kalau Hana di dalam sejak pagi tadi. "Hana, buka pintunya!" Tetap tidak ada jawaban. Kalandra merasa frustrasi. Takut jika wanita rapuh itu akan melakukan aksi berbahaya nanti. Ia menarik napas panjang, dan mendobrak pintu kayu itu sekuat tenaga. Berhasil. Pintu itu terbuka lebar. Dan pemandangan yang tersaji di depannya bukanlah hal yang baik. "Jangan lakukan itu, Hana!" Achazia Kalandra menjambak rambutnya sendiri ketika melihat kakak iparnya, Hana, tengah berdiri di tengah balkon dengan pistol digenggaman tangannya, wanita itu mengarahkan moncong pistol itu pada pelipis kirinya. "Menjauh, Achazia Kalandra. Menjauh dariku!" Kalandra menggeleng dengan wajah terluka. Ketika teriakan dari wanita itu semakin keras terdengar, ia semakin mendekatkan tubuhnya pada tubuh rapuh wanita itu. "Jangan tinggalkan aku. Cukup Mirza yang pergi, kau tidak boleh melakukannya." Isak tangisnya semakin keras. Kalandra mengepalkan tangannya ketika pelatuk itu hampir ditarik oleh jemari Hana. "Terlambat." DOR! Tubuh mungilnya terkapar tidak berdaya di atas lantai balkon kamar yang dingin. Kalandra berlari mendekat, menyentuh raga yang sudah tidak bernyawa itu dengan tangan bergetar. Tangisnya pecah. . . Bahkan, di hari pemakaman Hana, kedua orang tuanya tidak mau mengantarnya sampai ke peristirahatan terakhir wanita malang itu. Mereka menganggap Hana pantas mati karena berani bermain api di belakang Mirza. Dan Kalandra menyadarinya. Jadi, hanya dirinya sendiri yang menemani wanita itu hingga gundukan tanah yang tebal menutupi raganya. Tepat di samping makam sang suami yang lebih dulu pergi mendahuluinya. Kalandra tahu, mimpi buruk itu akan terjadi suatu saat nanti. Dirinya akan ditinggal pergi dua orang terkasihnya untuk selamanya dan ia akan ... sendirian. Hujan mulai berjatuhan membasahi tanah di bawahnya. Seakan tahu kalau langit juga ikut menangisi nasibnya yang malang. Ia memandang dua batu nisan yang sama dengan pandangan memburam. Ia tidak ingin menangis, tetapi hatinya sudah lelah. "Sampaikan salamku pada Mirza. Dan bilang juga padanya, aku minta maaf. Disa bisa menyeretku ke neraka jika aku mati nanti." Kalandra tersenyum di akhir kalimatnya ketika ia memandang batu nisan bertuliskan nama Achazia Hana disana. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya ditengah terpaan hujan rintik-rintik sore hari. "Maafkan aku. Maafkan aku." Hanya itu yang bisa ia ucapkan sebelum tubuhnya berbalik dan pergi. . . Satu bulan berlalu. Kalandra tidak tahu kalau efek dari perbuatannya membuatnya merasa hina terlalu jauh seperti ini. Ia memang pantas mendapatkannya. Tapi, apakah perasaan itu salah? Apakah cinta itu salah? Dia memandang nanar pada koran yang masih panas memberitakan tentang dirinya. Memberi julukan pemuda pecandu yang tidak tahu aturan. Ia tidak tahu bagaimana wartawan bisa memberitakan dirinya seperti ini. Ia tidak pernah memakai n*****a, ia hanya suka meminum alkohol untuk melepas dukanya akhir-akhir ini. Dan ia melakukannya di rumah. Seorang diri. Orang tuanya pergi dari rumah semenjak pemakaman itu selesai. Kalandra tidak tahu kemana mereka pergi. Yang jelas, ia hanya ditinggali rumah besar ini dengan uang yang ada di bank untuk kebutuhan hidupnya selama satu tahun ke depan. Sisanya? Mereka tidak mau peduli. Bahkan, ketika Kalandra menginjakkan kaki di rumah ini setelah ia pulang dari pemakaman, ia tidak menemukan kedua orang tuanya. Mereka tidak menganggap dirinya ada lagi. Tidak. Mereka tidak berpamitan padanya. Sudah satu minggu, dan Kalandra belum mendapatkan panggilan dari kedua orang tuanya. Ia sudah menghubunginya, memintanya untuk menjawab panggilannya. Tapi, nihil. Mereka mengabaikannya. Dan berita ini ... seakan menampar telak dirinya. Koran ini berisi penuh tentang dirinya. Tentang hubungan gelapnya bersama Hana dan kematian Mirza karena dirinya. Bahkan, disini juga tertulis kalau Achazia Kalandra tidak lagi menjadi pewaris tahta kekayaan dari Achazia Industries yang melegenda itu. Namanya sudah dicoret dari daftar nama keluarga besar. Dia tidak peduli. Kalandra tidak memedulikan harta. Tapi ... kenapa ini terasa menyakitkan? Tidak hanya kedua orang tuanya. Bahkan, pembantu dan pelayan di rumahnya juga satu-persatu mulai meninggalkan rumah besar ini dan memilih untuk berhenti bekerja. Kalandra hanya mengiyakan dan membiarkan mereka pergi. Dan pada akhirnya, dia akan mati sendirian. Tanpa siapa pun tahu. Dia terluka. Pantaskah dia diperlakukan seperti ini? Kalandra menaruh koran itu di atas karpet kamarnya. Ia memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Menatap langit-langit Tokyo pada sore hari yang tampak kelabu. Ia menunduk, mengabaikan bisikan aneh yang terasa merobek hatinya. Bisikan entah darimana yang membuatnya merasa bersalah, merasa terbuang, merasa perasaan yang sangat dalam karena semua ini berawal dari dirinya. "Diam, diam. Jangan katakan apa pun tentang diriku lagi," isaknya pilu. . . Arkana Liena menyentuh nisan yang tertancap pada gundukan tanah kering yang tertanam rumput itu dengan senyum. Ini tahun ketiga, tahun dimana ia kehilangan cintanya, tahun dimana ia kehilangan separuh jiwanya. Dia mengambil segalanya. Semua bagian dari hidupnya telah diambil pria yang bersamanya selama lima tahun itu. Kini ia di surga, bersama kedua orang tuanya. Untuk selamanya. Meninggalkannya seorang diri dengan pahitnya dunia yang dinamakan kehidupan. Ia mengulurkan jemarinya, mengusap lembut nisan yang mulai terlihat rapuh itu dengan lembut. Sebuah senyum simpul tercipta di wajah manisnya. Ia mengusap nisan itu bersama dengan lelehan air mata yang menetes dari sudut matanya. "Aku merindukanmu, Aksa." Liena mengambil telapak tangannya, menyentuh telapak tangan itu pada bibirnya dan kembali mengusapkannya pada nisan itu. Seakan itu mampu menenangkan hatinya. Ia tahu, Aksa sedang melihatnya saat ini. Aksa tahu kalau setiap satu minggu sekali, ia akan selalu datang berkunjung dan membawakan bunga tulip kesukaannya. Aksa menyukainya, sama seperti dirinya. Liena bangun dari duduknya. Ia memperhatikan lokasi sekitar ketika ia tidak mendapati siapa pun tengah berkunjung ke pemakaman sore ini. Ia melangkah menuju pintu keluar. Meninggalkan kekasihnya untuk kembali bekerja. Liena pergi dengan menggunakan taksi yang siap membawanya pergi. Ia menoleh sekali lagi ke arah makam itu. Tersenyum. Dan berlalu pergi. Taksi itu membawanya pergi menjauh. Lalu, tak lama, mobil hitam berhenti dan terparkir sempurna di depan pintu makam. Sosok laki-laki tinggi keluar dari dalam mobil dengan wajahnya yang berantakan dan kusut. Laki-laki itu mengambil napas dalam-dalam sebelum ia menginjakkan kakinya pada tanah pemakaman ini. Ia berjalan mendekati dua nisan yang masih basah. Wajah datarnya tidak mampu membohongi dirinya sendiri karena ia benar-benar seorang diri disini. Achazia Kalandra membuka topengnya, ia mengusap lembut kedua nisan itu dengan pandangan kosong. . . Liena sedang membaca sebuah buku yang berisikan tentang seorang pasangan kekasih yang bersama karena takdir yang membawa mereka bersama. Sebelumnya, mereka adalah orang asing. Tidak saling mengenal satu sama lain. Liena sangat senang membacanya, menurutnya ini tidak terlalu bertele-tele. Ini buku cerita yang bagus untuk menghibur hatinya dikala dia seorang diri. Tidak lama, suara ketukan pintu ruangannya membuyarkan konsentrasinya. Liena bergumam kata masuk dan perawat wanita berbaju putih masuk dengan senyum. "Arkana Liena, kau memiliki pasien baru. Dia harus ada dibawah pengawasanmu selama empat bulan kedepan." Liena mengangguk mengerti. Perawat itu lalu berpamitan pergi untuk kembali bekerja. Liena mengambil jas dokternya lalu pergi ke luar ruangannya untuk menemui pasien barunya. Dengan senyum merekah, ia menghampiri pasien laki-laki yang tengah duduk dengan wajahnya yang menunduk. Menyembunyikannya dari tatapan dunia luar di sana. Liena bisa menebaknya, dia mengalami tekanan mental yang sangat dalam. Sosok itu ... laki-laki itu mungkin berbeda umur darinya. Liena tidak peduli, ia harus bisa membantunya keluar dari masalahnya dan berhasil menyembuhkannya. "Halo." Sapanya riang. Kepala laki-laki itu terangkat sempurna. Membuat senyum merekah yang tersungging di wajah cantiknya lenyap tak berbekas. "Achazia Kalandra?"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
113.6K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.6K
bc

Me and My Broken Heart

read
34.5K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

T E A R S

read
312.6K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook