bc

I Knew You Were Trouble

book_age16+
906
FOLLOW
5.2K
READ
love-triangle
escape while being pregnant
second chance
goodgirl
independent
inspirational
band
comedy
bxg
others
like
intro-logo
Blurb

Mayday! Mayday!

Dispass mengabarkan; aktris sekaligus penyanyi terkaya dalam beberapa tahun ini dikabarkan tengah berbadan dua!

Lantas, siapa ayah bayi itu?

chap-preview
Free preview
IKYWT - 1
Mayday! Mayday!Dispass mengabarkan; aktris sekaligus penyanyi terkaya dalam beberapa tahun ini dikabarkan tengah berbadan dua! Menurut sumber terpercaya, si penyanyi dan tunangannya telah lama berpisah. Lantas, siapa ayah bayi itu?Sunday. Tokyo, 09.00 AM. Kairo tidak bisa lebih jengkel dari ini. Demi Tuhan, ini pagi yang cerah setelah Jepang dilanda badai nyaris satu minggu penuh. Dan apa-apaan ini? Setelah Latisha menyeleZakakan rangkaian tour Begin Again-nya di Asia, berita konyol bin aneh ini muncul? Holy s**t! Kairo akan memaki siapa biang gosip di sini. Napas Kairo berhembus kasar secara berkala. Mendengus masam mendengar suara parau Sharon Den Adel, tidak membuat perasaannya lekas membaik. Demi Tuhan, Demi Dewa Jashin yang sempat Kairo sembah sebelum dia tahu kalau dia masuk ke jalan setan, Kairo mengutuk siapa saja yang memberitakan buruk tentang sahabat baiknya. Magna Latisha. Oke, siapa yang tidak tahu aktris sekaligus penyanyi terkenal itu? Baik, mari kita perbalik. Latisha debut sebagai penyanyi cilik. Bukan penyanyi yang menciptakan lagu Balonku Ada Lima Dor. Bukan. Latisha adalah penyanyi cilik jebolan Disney Asia yang sempat redup setelah memilih untuk fokus pada pendidikan karena desakan keluarganya. Apa dia berasal dari keluarga miskin? Kairo akan bilang TIDAK. Latisha tidak miskin. Demi Tuhan. Sudah berapa kali dia menyebut nama Tuhan? Semua tahu bagaimana kayanya Latisha semenjak dia masih berbentuk cairan. Ibunya pemilik pabrik parfum terbaik di Jepang. Tidak sampai di sana, ayahnya yang keluar sebagai bankir ternama sekaligus trader saham bernilai ratusan ribu dolar sudah malang-melintang di dunia bisnis kelas atas. Latisha tidak pernah kekurangan uang. Sakit? Ibunya yang super lebay itu akan membawa anaknya ke Jerman. Entah. Kairo sempat berpikir kalau Latisha akan didaftarkan menjadi tentara Nazi. Sampai-sampai Latisha remaja tidak bisa membedakan mana Berlin dan mana Tokyo. Gadis itu terlalu buta. Buta karena harta orang tuanya dan hartanya sendiri. Dan sekarang? Latisha kembali ke industri musik setelah belasan tahun vakum. Dimulai dari usianya enam belas, meluncurkan album bertajuk Haunted, lalu berlanjut If This Was A Movie, dan terakhir Begin Again. Kairo berharap setelah ini Latisha meluncurkan album berkonsep dark dan berbau pemujaan satanis seperti akun konspirasi yang pernah menyudutkan dirinya sebagai pemuja setan hanya agar lagunya laris. Meh. Latisha terjun ke dunia akting hanya untuk selingan. Serius. Kairo melihat bakat itu saat Latisha kecil tersenyum centil di depan kamera. Latisha yang masih polos dan riang. Sampai kesan dingin itu tersemat pada dirinya nyaris satu tahun. Sebelum beberapa media memberitakan kalau Latisha adalah Latisha yang ramah dan hangat. Bayarannya cukup fantastis. Walau tidak sebesar pendapatannya sebagai penyanyi papan atas. Latisha menikmati karirnya sebagai penyanyi serba bisa. Albumnya yang semakin laris setiap rilis membuat Kairo tahu, digit pada ATM sahabatnya menggelinding sampai ke lantai. "Hah! Kenapa undur-undur ini melamun?" Suara Shimizu Tara memecah lamunan Kairo. Dia terlalu banyak memikirkan kondisi Latisha dan suara Sharon Den Adel dalam All I Need. Dia benci menjadi pria galau! "Apa?" Tara duduk dengan senyum cerah. Shimizu Tara adalah sahabat baiknya. Bisa dikatakan, Tara layak berteman dengan mereka. Setelah insiden Tara melabrak Kairo karena membuat modulnya basah, mereka menjadi dekat. "Kenapa melamun?" Tara sudah membawa kopi ke atas meja. Meniupnya pelan dan Kairo mendesah. Menatap ke luar jendela yang berembun dan matahari yang belum sepenuhnya naik. Starbucks dua puluh empat jam ini sangat membantu. Dekat dari apartemen Kairo, dekat dengan apartemen Tara dan dekat dengan apartemen Latisha. Cocok untuk berkumpul dan melepas penat. "Latisha mana?" "Lima menit lagi sampai." Kepala pirang itu terangguk. Tara memakai pakaian musim dingin dan syal tebal. Dia juga menggerai rambutnya. Sayang sekali, siluman ular putih ini masih sendiri. Kairo sempat ingin membuka biro jodoh, tapi ancaman Latisha yang akan membunuhnya kalau sampai memberikan kenalan yang salah pada sahabatnya membuat Kairo bergeming. Tidak jadi mengenalkan barisan dokter tampan nan seksi yang sesuai selera Tara. Starbucks belum terlalu ramai. Tongkrongan mereka ada di pojok dekat jendela. Tidak terlalu jauh dari speaker kecil yang terdengar halus dan menenangkan. "Ah, it's her!" Lambaian heboh memaksa Kairo menarik kesal tangan gadis itu. Saat Latisha tersenyum lebar. Memesan kopi bersama camilan untuk dimakan di tempat, dia berjalan menghampiri kedua sahabatnya dengan senyum lelah. "Okay?" "Okay," balas Latisha. "Kenapa?" "Berapa lama kau tidur?" "Dua puluh lima jam." "Kau mati suri?" Kairo mencelos dan Latisha terkikik. Memakan roti isi tuna dengan desisan. Tara membuka ponselnya. Memekik menemukan berita konyol Dispass pagi ini. Mukanya berubah merah dan Kairo mencelos ketus. Alih-alih menuduh Tara bodoh, dia malah mendorong bahu Latisha agak keras. "Tell me now, Latisha. Saat rangkaian tour duniamu, kau bersama siapa?" Alis Tara tertaut. Dia balas memukul lengan Kairo agak keras. "Heh! Kau ini bicara apa?" Kairo mendelik tajam. "Kenapa memangnya?" "Ini," Tara menyodorkan ponsel mahalnya. Bekerja sebagai manajer keuangan dalam perusahaan asuransi membuatnya bisa bergaya cukup tinggi. Tidak kalah dari Latisha yang bisa membeli barang sekali bersin. Bibir Latisha terkatup rapat. Menarik kunyahan dari mulutnya dengan lidah tertahan. "Sialan." "Nah! Sekarang, maki dirimu sepuasnya." "Kau bisa diam tidak?" Kairo menipiskan bibir. Tara kalau sudah marah, garang seperti macan betina hamil besar. "Aku tidak bersama siapa pun." Tara menarik kembali ponselnya. "Calvin sudah tahu tentang ini?" "Abaikan saja model k****t itu," sindir Kairo pedas. Kalau ada haters garis gila Calvin, Kairo akan berdiri paling depan. Tara mengabaikannya jelas. Atensinya berfokus pada Latisha yang mematung. Menarik napas dan menyedot kopi panasnya. "Jadi, apa ini benar?" "Kesalahan." "For God's Sake! Jantungku meloncat sampai b****g. Sialan! Bagaimana mungkin Latisha hamil di luar nikah? Calvin ingin menyentuhnya saja, Mama Tasha sudah mengeluarkan ekor rubah kesembilannya." Latisha mendesah sabar. Dispass sialan! k*****t! Bagaimana bisa media lokal terpercaya dan terbesar di Jepang memberitakan hal buruk ini? "Aku tahu siapa yang bermulut bocor di sini." Alis Tara terangkat naik. "Who?" "Sugus." Latisha memutar mata bosan. Sugus alias Sulana Gusi. Penyanyi modal pas-pasan yang mengandalkan kemampuan ayahnya dalam bermusik. Siapa lagi kalau bukan Gusi Foster? Semua orang tahu bagaimana berpengaruhnya pria itu seperti Anna Wintour pada Vogue. "Ya Tuhan," Tara mencibir kesal. "Kalau mencari masalah, lihat dulu siapa lawannya. Kau pikir dia siapa? Melawan Latisha? Poor her. Dia sudah kalah telak." "Apa dia suka pada Calvin?" Latisha mengangkat bahu. Tampak acuh. Kairo mencebik. Membuka ponselnya dan membaca artikel lain. Sampai di artikel dua kebawah setelah artikel Latisha yang trending, nama band terkemuka di dunia juga ikut terekspos. Black Death jelas bukan band kaleng-kaleng. Saat Latisha masih berkuliah, band ini sudah melintang di dunia musik dengan genre yang mereka bawakan beragam. Latisha sejujurnya tidak suka pria melakonlis, tapi setelah mendengar vokalis band ini bernyanyi, dia merubah pendapat itu dengan tegas. Genre musik mereka tidak jauh dari Alternative Rock yang menjadi selingan Latisha saat dia bosan. Selain mendengarkan musik santai nan klasik, mendengar beberapa genre indie dan jazz membantu. Lalu, saat mendengar Memories milik band itu, Latisha mulai mencari koleksi lain untuk mendengarkan lagunya. "Oh, band ini baru saja menyeleZakakan tur kelima mereka. Wow. Banyak sekali." "Album mereka banyak," tukas Tara. Kairo mengangguk. Menekan layar dan menampikan deretan personil dengan atasan oblong yang keren di atas panggung. Matanya menatap serius pada personil tetap yang belum berubah sejak delapan tahun lalu debut. "Lihat, Zakato Oda masih suka pamer badan," gerutu Kairo. Menuding Oda yang melambaikan tangan di depan mic sebagai vokalis utama. Suara pria itu bisa serak, namun kemayu. Kairo sempat bingung membedakan suaranya dengan Hailey Williams atau Brendon Urie dari Panic! At the Disco. Mata Latisha menelusuri satu-persatu personil dengan dagu tertopang. Pandangan biru Tara ikut turun, mengamati satu-persatu band yang digandrungi banyak perempuan dan menjadi satu-satunya band terkaya sejak debut. Ada Abe Zaka yang memegang drum. Latisha tahu pria itu lulusan hukum dengan titel baik. Selain dijuluki pria manis, sebutan pintar juga mengarah padanya. Abaikan tentang para pria ini yang gemar menebar pesona sembarangan. Lalu pada Ikeda Rain. Pria berkulit tan seksi ini punya tato gambar naga. Kairo sempat bilang kalau tato itu lebih terlihat seperti bayi biawak dari jauh. Dengan kemampuan handalnya bermain gitar, Rain amat digilai. Kairo menahan napas saat tangannya berhenti pada si pemilik kalung salib seksi yang mencuri nyaris seluruh napas semua gadis. Hiroito Jerome. Kepribadian Jerome yang tenang seperti sungai tanpa riak membuat dia digilai. Klise. Para gadis menyukai pria misterius yang mahal senyum. Sekalinya tersenyum, epilepsi di tempat. Jerome bukannya dingin, dia menempatkan dirinya di suasana yang baik. Dia pernah tertawa lepas pada acara malam-malam yang terkenal karena rekan segrupnya diharuskan menjawab dengan hukuman menjijikan. Dan malam itu berakhir dengan Zaka dan Oda imbang karena selalu kalah dalam taruhan. Jerome sebagai sentral. Dia memegang bass. Semua orang sepakat bahwa nyawa ada di tangan vokalis, tapi Kairo dan lainnya juga sepakat kalau minat terbesar ada pada Hiroito Jerome. "Hilih," Kairo mendengus masam saat dia mematikan ponselnya dan Latisha mengerjap. "Si Jerome ini, dia pernah bilang di majalah kalau bermusik hanya hobi. Dia bukan musisi sejati. Dia mungkin lupa kalau ibunya mantan penyanyi musikal." Tara mendesah berat. "Dia sudah kaya sejak lahir," melirik Latisha. "Sama seperti Latisha." "Latisha menjadikan bernyanyi sebagai pekerjaan. Kalau dia? Hobi. Sumpah. Menyebalkan. Dia duduk seharian di toilet duduk sampai ambeien, uangnya sudah banyak." "Kenapa kau kesal? Kalau itu hobi, bagus. Dia bisa mendapatkan uang dari bermusik. Kalau aku tidak salah, berarti lupa, dia ini termasuk composer. Beberapa lagu di album Black Death dia yang menciptakannya." "Sama seperti Latisha," sahut Kairo. Latisha hanya memutar mata bosan. "s****a Jerome sebelum dia lahir campuran emas, tembaga, perak, aluminium dan segala macamnya yang mahal. Aku nyaris lupa kalau dia anak bungsu. Kakaknya pemilik situs belanja nomor satu di Jepang. Ayahnya? Sudahlah. Kepalaku pusing menghitung pendapatan orang." Tara mendesis. Berdecak dengan gelengan geli. "Coba Latisha. Sekali-kali perusahaan ayahmu beradu dengan perusahaan Jerome. Di dalam band tidak jelas ini, hanya Oda yang miskin. Selebihnya kaya semua." "Oda sudah kaya," koreksi Tara. "Iya. Sekarang. Dulu? Dia seperti pemulung." Latisha tidak akan berkomentar. Soal hakim-menghakimi Kairo yang terbaik. Pria itu tahu bagaimana cara menekan musuh dengan benar. Termasuk bersitegang dengan kekasih sahabatnya sendiri. "Kau tidak berpikir mengencani mereka?" Latisha mengernyit. "Kau bercanda? Anak band jelas bukan seleraku." "Oh, ya. Band kampus kita dulu menyebalkan. Sok tampan, padahal wajahnya dibawah rata-rata. Fakboi, tapi pengecut." Latisha mengembuskan napas panjang. Melirik pada jam Fossil di tangan, lalu menatap kedua sahabatnya. "For me, they are not more than just a bastard." Keduanya terdiam. Tatapan Latisha turun pada ponsel Kairo yang masih menyala, menampilkan gambar Hiroito Jerome yang duduk dengan bass di tangan. Bersama rokok yang terselip di sudut bibir. Jerome di mata gadis lain—termasuk penggemar—akan sangat seksi. Tapi tidak di mata Latisha. . . . . . Mengencani Magna Latisha? Coret. Kalau mereka berpikir untuk berkencan dengan para model telanjang, majalah dewasa atau model yang bermain di atas catwalk, mungkin diiyakan. Yang mereka bicarakan Magna Latisha. Si pemilik senyum ramah namun mematikan. Banyak media memujinya. Seolah-olah dirinya adalah one and only. Satu-satunya penyanyi berjiwa besar dan dermawan. Dedikasinya pada musik memang pantas mendapat penghargaan. Tapi untuk kehidupan di luar itu? Jangan harap. Latisha sering menyebut mereka—para pria di luar sana adalah mainan. Tak ubahnya bermain-main di atas blank space yang mengerikan. Gadis itu akan bertindak sebagai kekasih posesif nan sadis. Pecinta b**m garis keras. Yah, itu yang mereka dengar. Karena terlibat langsung dengan penyanyi terkenal itu, mereka mungkin bersikap sopan dan sekadar formalitas. Dan unggahan setelah enam jam berita tentang Magna Latisha yang hamil membuat geger publik, gadis itu mengunggah sesuatu pada laman sosial medianya. Salah satunya adalah Twitter. 'Cause darling i'm a nightmare dressed like a daydream. Beberapa orang berpikir ini adalah clue album baru atau single teranyar gadis itu di musim selanjutnya. Kabar berhembus keras, kalau Latisha akan istirahat untuk waktu yang tidak sebentar setelah melewati rangkaian tur yang padat. Tapi bagi Jerome, ini petunjuk untuk media besar bernama Dispass yang sering membuat para idola meradang. "Wow. Latisha. Really? Pregnant? Siapa ayah bayinya?" Oda yang berisik tidak berhenti mengoceh. Dia pernah punya harapan bisa berkencan dengan gadis itu walau hanya satu minggu. Tapi mengenyahkan semua itu menjauh saat tahu kalau Latisha dilindungi dua malaikat dari neraka. Ibunya dan Kairo, si dokter gila bermulut petasan. Semua orang tahu siapa Kairo. Latisha sering memamerkan kedekatan mereka di laman sosial medianya. Dia pernah menciptakan lagu untuk mereka. Seperti Fifteen dan Long Live. Dan penggalan lirik yang sepertinya mengarah besar pada Shimizu Tara pada single Speak Now. Keduanya bukan artis. Berasal dari kalangan orang biasa. Tapi kedekatan Latisha dengan mereka tidak diragukan lagi. Penggemar gadis itu tahu benar siapa keduanya dengan baik. Jerome mendesah panjang. Melepaskan jemarinya pada senar gitar dan menatap Oda yang masih sibuk dengan ponselnya. "Kenapa kau peduli?" "Kenapa tidak?" Oda balas mencecar. "Latisha penyanyi paling terkenal di sini. Reputasinya bagus. Para pria yang bersamanya selalu mendapat titel b******k. Sekarang lihat? Dia hamil. Di saat dia dan tunangannya sudah putus. Wow. Bagaimana menurutmu?" "Kau terlihat seperti memiliki dendam pribadi padanya," sahut Zaka dari meja sebelah. Menegak birnya dan mendesis. Separuh mabuk saat Ikeda Rain mendengus, menyesap anggurnya sekali lagi dengan mata birunya berkilat. "Kita berempat bahkan tidak mau repot-repot bertaruh hanya karena gadis konyol itu," gusar Rain dengan ekspresi merah karena alkohol. "Kenapa kita peduli? Genre musik kita berbeda. Kalau ini yang dinamakan dendam karena Latisha berhasil menyingkirkan kita dalam tangga lagu, itu karena dia solois. Solois lebih banyak mendapatkan cinta." "Contoh saja dirimu sendiri," Rain menunjuk sahabatnya dengan mata memicing tajam. "Saat kau merilis single tanpa kami, namamu bersinar. Kau tampil sendiri dalam beberapa acara. Dan kau bilang itu membosankan karena kau terbiasa bersama kami." Oda mengembuskan napas panjang. "Aku tidak akan sampai di tahap ini tanpa kalian. Jadi, nikmati saja prosesnya. Aku menyukainya." "Kita akan merilis lagu terbaru bulan depan. Apa kau pikir skandal ini bisa membuat nama Latisha redup?" Sudut bibir Oda terangkat naik. Saat Rain diam-diam mengangkat bahu acuh, dan Jerome melepas gitarnya untuk pergi. Meninggalkan ruangan diiringi pandangan bertanya dari ketiga rekannya dalam diam. *** "Ya Tuhan. Kurang ajar sekali Dispret ini." Kairo menurunkan kembali birnya karena sungkan. Mendengar dampratan Magna Tasha membuat napsu makannya menghilang. Latisha memesankan ayam goreng dan ayam pedas manis untuk mereka. Bersama bir dan soju di atas meja. Ini normal karena usia mereka sudah dua puluh tujuh tahun, mabuk bukan dosa besar. Mereka lebih sering melakukannya di rumah salah satu anggota alih-alih bar malam yang sangat merepotkan. Tapi mendapati kalau ada Magna Tasha di sini, Kairo dan Tara mendadak diam. Mulut bon cabe level tiga puluh harus diredam dahulu sebelum murka Mama Tasha semakin parah. Ini tidak baik dan akan berujung anarkis tiada akhir. Kairo harus menahan diri untuk tidak menunjukkan belangnya meski semua orang mengenal dirinya. Teramat baik. "Kurang ajar!" Tara menahan napas. Bukan apa. Tangan wanita itu nyaris meremukkan bir mereka. Mama Tasha memang separah itu kalau sudah menyangkut putrinya. Kalau perlu uang bicara, maka bicara. Kalau kekerasan, dia tidak segan memukul dan mencakar. Latisha bilang sendiri. Ibunya akan lakukan apa pun untuk anaknya. "Kairo." "Ya?" Kairo mendadak menjadi pria paling kalem sejagad. "Rumah sakit memiliki simpanan cairan suntik mati? Aku rasa, aku membutuhkan itu sekarang." "Mama," Latisha melepas atensinya dari piano mahal di depan sana. Piano yang dibelikan ibunya sebagai hadiah ketujuh belas. Saat Latisha masih duduk di bangku SMA. Latisha belum aktif bermusik, tapi sudah aktif menulis lagu. Piano itu mungkin terlihat murahan, tapi aslinya tidak. Mahal dan berkelas. Kalau Kairo menjual dua ginjal, belum tentu dia bisa membeli. Barang yang Latisha miliki semua luar biasa, bernilai jual tinggi dan terbatas pada setiap bendanya. Yang membuat siapa pun gigit jari, merasa insecure dan minder karena kehidupan perempuan itu teramat berkilau. Selayaknya mutiara yang ditemukan dalam lautan. "Diam, Latisha. Aku serius. Ah, sialan. Kenapa Lei harus pergi di saat genting seperti ini?" Mama Tasha suka mengumpat. Tapi terlihat elegan saat ada kamera wartawan dan di depan teman-teman suaminya. Yang Tara pernah dengar, Latisha pernah melerai pertengkaran antar ibu-ibu sosialita karena mendengar ibunya bersendawa. Ada seseorang yang tidak senang dan bilang ibunya kelainan karena sendawa di depan orang banyak. "Tidak ada, Aunt." Kairo pernah menyebut pronounce yang salah. Dengan bilang ant pada Mama Tasha dan berakhir dengan delikan tajam dari tangan kanan bersifat keju mozarella. "Hah, tidak seru." Kairo menegang. "Bakar saja gedungnya. Aku bisa membantu membawakan truk bensin." "Aku akan bantu berdoa." Latisha menggeleng miris. Teman-temannya tidak normal, dan aneh. Benar, mereka tidak benar-benar waras. "Ide kalian boleh juga," Mama Tasha tersenyum sinis. "Mereka bicara seolah-olah anakku murahan. Aku tidak suka mendengarnya dan merasa jengkel. Kesal sekali." Latisha mendesah tak sabar. Menatap dua sahabatnya dan pada ibunya yang menyilangkan kaki di sofa. "Latisha, aku serius. Apa perlu aku menyeret Calvin kemari?" "Jangan bawa-bawa nama k****t ternama itu, Aunty," sahut Kairo masam. "Aku mendadak merinding mendengar namanya." "Kalian tidak suka padanya?" Tara menggeleng. "Calvin aneh. Aku beruntung dia dan Latisha putus." "Ya Tuhan." "Bagaimana kalau dia ayah dari bayi putriku?" Latisha memutar mata bosan. "Aku tidak hamil." Mama Tasha menoleh. Tersenyum pada putrinya. "Bagus. Karena siapa pun yang berani membuatmu hamil ... seret dia kemari." Kairo mencebik puas. Dia bertepuk tangan seakan-akan mereka baru saja ada di konser tunggal. "Bravo! Bravo! Ini seru. Aku setuju. Kita bisa membuat drama ini menjadi acara mingguan Keeping Up With Magna Family." Mama Tasha setuju dan Latisha menekan tuts piano sampai melengking tinggi. Membuat ketiganya menutup telinga secara refleks dan Latisha pergi begitu saja. Menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar. Berlari ke kamar mandi saat godaan ingin muntah ada. "Latisha?" "Leave me alone!" "Latisha!" Kairo yang panik. Nyaris menggeser Mama Tasha yang terjungkal dan Tara membantu agar bibir wanita itu tidak mencium lantai. "Ya Tuhan, aku minta maaf. Aku sangat excited karena Latisha tiba-tiba mengamruy." Latisha membasuh wajahnya dengan air pada keran wastafel. Menyadari dia sangat pucat, ibunya akan berpikir tidak-tidak. Maka bila perlu, menyiapkan pesawat pribadi untuk membawa Latisha terbang ke Berlin atau Moskow hanya untuk berobat. Padahal dokter di dalam negeri tidak ampas-ampas amat. Lalu di tengah gerungan dan desakan rasa frustrasi itu sendiri, Latisha merasakan perutnya kembali melilit. Dan dia tanpa sengaja menjatuhkan dua test pack yang tersembunyi dengan apik di kotak atas wastafel. Membuat matanya bergulir dan mendadak kehilangan napas. Dadanya berdebar kencang, terlalu keras hingga rasanya dia bisa meledak kapan saja. Ini tidak terduga dan dirinya belum siap, belum benar-benar siap menerima risiko dan konsekuensi atas segalanya. Sial! Mimpi buruk itu lagi. Latisha kembali terjatuh. Memegang dua test pack itu dengan pandangan panas menahan airmata.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

T E A R S

read
312.6K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.7K
bc

Me and My Broken Heart

read
34.5K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

Broken

read
6.3K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.1K
bc

See Me!!

read
87.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook