bc

Be With You

book_age16+
1.6K
FOLLOW
6.7K
READ
love-triangle
independent
brave
inspirational
dare to love and hate
doctor
drama
bxg
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Abe beranggapan bahwa kehidupan berjalan sangat rumit. Pandangannya terhadap cinta teramat minim. Terjebak bersama perjodohan dengan sahabat lama yang membuatnya frustrasi.

Sebelum dirinya bertemu Bianca. Pengantar kopi yang membawanya pada kenangan lima tahun lalu. Saat semuanya masih berjalan sempurna.

Mungkin saja, Bianca hanya teguran. Hadirnya Bianca sebagai kebetulan. Tapi Dokter Abe tidak yakin kalau semuanya akan berjalan sesuai kemauannya.

We had different ideas about what love meant - Be With You.

chap-preview
Free preview
awal mula
Semua orang punya harapan. Sama halnya Bianca yang punya mimpi dan masa lalu. Mereka bersebelahan layaknya air dan minyak. Antara mimpi dan kenangan tidak akan menjadi satu. Tetapi satu hal yang membuatnya beruntung. Ia tidak sendiri. Bianca masih dilingkupi nasib beruntung. Memiliki satu sahabat yang sekiranya bisa berbagi suka dan duka. Cukup satu, itu segalanya. "Bianca?" "Ya?" "Kau sedang apa?" "Lihat, aku menyusun kue-kue yang masuk ke kafe kita hari ini. Kita beruntung." Senyum Aisha lekas melebar. "Tapi untuk sekadar informasi, aku lebih suka kalau yang membuatnya." Bianca diam. Matanya bersinar lebih redup dan sorot biru laut Aisha melembut. "Aku akan mencobanya." "Jangan terlalu dipaksa." *** "Terima kasih. Ya Tuhan, terima kasih. Kau penyelamat. Semoga kebaikan selalu melimpah di kehidupanmu." Abe hanya diam. Memandang datar dengan penuh sisa-sisa keringat yang membungkam kebisuannya. Seulas senyumnya terukir tipis, menatap dua perempuan paruh baya yang penuh airmata dan kelegaan. "Sama-sama." Mereka berhamburan untuk saling memeluk. Mengatakan terima kasih dan penuh syukur pada Tuhan. Abe kembali mundur, melepas sarung tangan dan masker ketika seorang perawat memberikan berkas baru padanya. "Kosongkan." "Tapi—," "Kau mendengarku," lalu pada gerakan kasar membuang bekas operasi pada tempat sampah yang besar. Membiarkan si perawat muda meringis, tidak lagi membantah. "Aku tidak akan kembali sampai besok. Ubah jadwalnya." "Baik, dokter." *** "Selamat datang!" Kafe mereka cukup senggang. Sore hari yang sejuk dan sedikit mendung. Orang-orang berlalu-lalang mencari tempat untuk bersantai sejenak, mencari napas dan melepas penat sebelum kembali ke rumah. "Ini minumannya. Terima kasih." Bianca menyeka sisa keringat di bawah dagu. Saat Aisha menghampiri dengan tepukan lembut, membawa brownis oreo baru ke dalam etalase. Saat Bianca berbalik, mencuci tangan dan membereskan meja setelah pengunjung membubarkan diri. "Selamat datang!" Suara Aisha menyapa telinganya. Saat Bianca bangun, mendengar suara pekikan kecil dan pada kesiap dari para pengunjung yang hadir. Lalu pada bisikan lemah Aisha yang mengalun. "Ya Tuhan." Bianca bergegas. Menaruh nampan dengan mengambil tisu dan lap dari laci. Saat Aisha dengan profesional melayani pembeli lain. "Tidak apa. Kami akan menggantinya dengan yang baru." Bianca membungkuk, membereskan lantai ketika Aisha memutar badan untuk membantu sahabatnya. "Jangan cemas. Kami akan mengganti yang baru." Saat Bianca bangun, menatap siapa sosok dengan kemeja abu-abu yang kotor. Sisa kopi itu membekas dengan noda yang mencolok, napasnya berhamburan. Merasa bersalah. "Ah, itu kemejanya—," "Bukan masalah." Si pria mundur, membuka jarak dengan sorot dingin. "Biar aku yang membayar minuman gadis itu. Berapa totalnya?" "Tidak, dokter. Ini salahku." Dokter? Bianca mendongak, saat Aisha terburu-buru mengatasi dengan pergi ke kasir, membuat pesanan baru dan Bianca membiarkan pengunjung mengurus diri mereka sendiri. "Berapa totalnya?" "Semuanya dengan total tiga dolar." Si pria memberikan uang tunai. Bianca tercenung, mendongak untuk mengamati sang pengunjung dalam diam. Ketika mata mereka bertemu, si pria bermuka datar tidak memberi reaksi apa pun. Kemudian pukulan telak seakan menghantam belakang kepalanya dengan kasar. "Kita pernah bertemu sebelummya?" Si pria mengambil gelas kopi dinginnya, sambil memandang Bianca dengan pandangan sinis yang mengikat. "Tidak." Lalu pergi tanpa menjelaskan apa-apa. . . . . . Lima tahun lalu, ingatannya masih segar akan kenangan malam mencekam yang membawa separuh dirinya terpendam di dalam tanah. Sama halnya bersamaan dengan sisa hati yang merana, terombang-ambing dan belum menemukan jalan pulang. Bianca terduduk, termenung memandang lampu taman dari sisi jendela kafe yang sepi. Tidak ada pengunjung yang datang. Plang telah diputar bertuliskan closed secara nyata. Mereka telah selesai membereskan bangku dan dapur yang berantakan. Kemudian menyisakan diri untuk tenggelam dalam suasana yang syahdu. "Siapa pria tadi?" Bianca menengadah, menatap sahabat berambut pirang manis yang memandangnya tulus. Malam lima tahun lalu mau pun sekarang, Aisha selalu bersamanya. Seperti sumpah mati kalau mereka akan terus bersama sebagai rekan baik. Bianca tidak ingin mengingkari apa pun, sama halnya dengan Aisha. Mereka akan berteman sampai rambut memutih. "Aku salah orang, sepertinya." Bianca berkata ragu, melipat tangan di atas meja bersama erangan pendek. Gelisah menyadari kalau ingatannya masih basah. "Pasti karena gadis tadi menyebutnya dokter." Aisha menautkan alis, menarik kursi untuk duduk dengan raut penuh tanya. "Dia seorang dokter?" "Aku rasa," balas Bianca pelan. Memandang manik sebiru langit di pagi hari milik sahabatnya. "Ingatanku belum pulih dari rumah sakit." Bibir itu terkatup. Aisha tidak memberi suara apa pun saat mereka membiarkan suasana larut dalam senyap. Bianca menunduk, memandang sepatu sandal yang tersemat manis pada kakinya. "Bukan salahmu. Semua memori akan selamanya ada, tidak lekang oleh waktu. Tanpa terkecuali," tegur Aisha santai. Menebar senyum ketika mata mereka bertemu. "Kau butuh istirahat. Ayo, kita harus pulang." "Aku akan mengambil kue pagi-pagi sekali. Berikan kuncinya padaku," sambut Bianca saat dia memakai sling-bag kesayangannya dengan senyum. "Kau bisa sedikit bersantai. Perkiraan cuaca akan mendung besok. Orang-orang akan mampir mencari kopi panas alih-alih dingin." Ringisan muncul dari bibir sahabatnya. "Kau benar. Aku akan merebus air lebih banyak lagi untuk persediaan. Apa kau sudah mencatat keperluan besok?" "Di sini," tepukan pada tas mungilnya membuat Aisha tersenyum. "Aku memastikan semua aman." "Terima kasih banyak, Bianca." Aisha berjalan mendekat, menghampiri dengan tangan terentang lebar. "Aku tanpamu hanya akan menjadi sampah. Kau menyelamatkanku. Aku akan berterima kasih karena mau menjadi temanku." Bianca menunduk, merasakan aroma floral yang menjadi kesukaan Aisha sejak mereka remaja. Kesukaan yang tidak akan berubah. Aisha akan terus mencintai parfum murah yang ia beli di pinggir jalan sebagai koleksi dan teman bedak di meja riasnya. Mereka berpelukan. Bergoyang seperti anak kecil yang senang. Keduanya tertawa, saling melempar canda. Sebelum Aisha bergegas pergi ke motornya, mengantar Bianca sampai ke halte. Dan menyadari mereka memiliki privasi untuk diri masing-masing. "Terima kasih untuk tumpangannya." Kepala pirang Aisha menggeleng. "Aku akan menunggu sampai bismu datang. Kau mau roti?" "Apa ini sisa tadi siang?" "Tentu. Ini masih lembut dan enak," terdengar gumaman senang saat Aisha menyodorkan selembar tisu bersama roti yang baru ia gigit. Bianca mencicipi, ikut senang saat mereka berbagi kue yang sama. "Luar biasa. Aku rasa pantas kue ini menjadi favorit pengunjung kafe kita." "Aku tidak heran kalau pembuatnya selalu kelelahan setiap pagi karena pesanan membludak." Aisha tertawa. "Aku tidak tahu harus berterima kasih padamu atau pada si tangan besi ini. Lidahmu tidak bisa berbohong, dan pembuat kue ini luar biasa." Celotehan Aisha berhenti ketika bis menghampiri halte tanpa mau menunggu. Bianca melambai, dengan senyum lebar Aisha dan tidak lagi terlihat satu sama lain. *** "Apa harapan hidupku tipis?" Goresan tinta pena pada laporan riwayat penyakit si pasien terhenti. Kala Abe mendongak, menatap sorot kelam yang meredup tanpa ekspresi berarti. "Bukan tipis, kita bisa mencari cara untuk membuatmu bertahan lebih lama." "Aku hanya ingin mati secepatnya," tegur perempuan itu masam. "Kau mendengarku, dokter. Secepatnya. Kenapa tidak kau memberiku dosis obat tinggi dan membiarkanku tidur untuk selamanya?" Abe diam. Memandang datar pada pasien yang putus asa di depannya dengan merenung. "Aku belum lupa saat kau memeriksakan diri bersama ibumu tiga bulan lalu. Beliau menangis di depanku. Bertanya soal kondisi putrinya dan berharap bisa menukar kehidupannya untukmu." Seumur hidup, Abe membenci airmata. Satu-satunya ia membiarkan sentimentil itu menyentuhnya saat kematian ibunya. Selebihnya ia tidak membiarkan perasaan bermain peran. Sementara dirinya harus berdiri tegap, menantang semua penyakit di dunia di bawah tangan dinginnya. Dirinya terbentuk karena kesalahan, dan berubah menjadi harapan banyak orang. "Kau pasti berdusta." "Dokter disumpah untuk tidak berbohong." Abe memberikan laporan dari riwayat kesehatan pasiennya yang baru. Saat manik kelam itu memandang, mendengus keras. "Masih dengan dosis yang sama." "Berkunjunglah tiga bulan lagi. Semoga cepat sembuh." Intonasinya seakan menyemangati. Pada dasarnya ia hanya ingin mendorong pasiennya memiliki semangat juang tinggi. Lebih dari tingkatan di atas mereka menginginkan kehidupan yang layak sebagai seorang manusia. Menginginkan kehidupan normal seperti orang sehat pada umumnya. "Selamat siang, dokter." Seorang perawat bertubuh sintal masuk. Memberi Abe sebuah berkas dan menunjuk pada sudut kertas untuk ditandatangani. Abe hanya selintas menangkap judul laporan, memberi bubuhan tanda tangan tanpa bertanya. "Kepala yayasan ingin bertemu." "Dalam hal?" "Saya tidak tahu." "Katakan padanya, aku sibuk." Rambut kecokelatan yang tersanggul itu bergoyang mengikuti irama. "Beliau tahu jadwal Anda kosong sampai satu jam ke depan. Sebelum ada operasi besar, Anda diminta untuk bersantai sebentar." Abe bereaksi dengan dengusan. Menyadari aura muram itu tidak akan memperbaiki apa pun, si perawat pamit. Meski dokter tampan itu terkenal hangat, tapi tetap saja reputasi dingin dan anti sosial terlalu melegenda. Semua orang di rumah sakit menyadarinya secara benar. Dokter Bedah Umum bernama Akram Abe adalah eksistensi yang patut dikagumi, bukan didekati. Usianya baru tiga puluh dua. Kematangan serta kestabilan finansial yang membuat dokter muda itu patut dilirik dua kali. Parasnya serupa dengan aktor dan idola terkenal. Bayaran termahal seharusnya pantas disandang. Terlepas dari reputasi dan dia berasal dari keluarga dengan keuangan yang mumpuni. Kehidupan sang dokter terlalu tertutup. Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu tentangnya sedikit saja. Alamat sang dokter yang sering berpindah-pindah seakan tidak pernah menetap, nomor ponsel yang selalu tersambung ke pesan suara. Dan masih banyak lagi keluhan dari penggemar perempuan yang notabene berasal dari lingkup rumah sakit sendiri. Rumah Sakit Central Tokyo yang menjadi andalan sebagai rumah sakit swasta terbaik. Bayaran yang mahal, perawatan luar biasa berkelas dan petugas yang ramah memberi nilai lebih. Saat Abe pergi dari ruangannya. Menatap sekumpulan pasien yang menunggu dengan sabar di ruang tunggu. Tatapan memuja serta mengagumi kembali muncul. Ia menyugar rambut gelapnya, berbalik tanpa ekspresi dan membuka dua kancing teratas kemejanya. Mencari udara segar untuk merokok. *** "Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?" "Pesanan segelas kopi s**u, tiga kue karamel, dan satu brownis oreo atas nama Alya." "Ah, si Alya. Sebentar." Bianca mengangguk dengan senyum. Mematut penampilan dirinya yang diterpa angin siang saat menjalankan sepeda motornya untuk mengantar pesanan, ia terkekeh kecil. Merapikan anak rambut liarnya yang lepas dari ikatan. Dan melihat perawat bertubuh mungil dengan rambut cokelat sebahu. "Dengan Alya?" "Tentu. Apa ini pesananku?" "Yap. Kau sudah membayar dengan debit sebelumnya. Ini bukti pembayaran bersama totalnya," Bianca mengulurkan tangan untuk memberi bungkusan pesanan. "Terima kasih banyak karena telah memesan di kedai kopi kami." "Hei, sebentar." Si perawat memanggil dengan tatapan cemas. "Bisa bantu aku?" "Ada apa?" "Berikan ini pada Dokter Abe. Tolong. Jangan katakan aku yang membelinya atau dia tidak akan mau melihatku selamanya." Bianca tercengang, bingung harus merespon. "Lantas, apa yang harus aku lakukan?" "Katakan saja dari pengagum rahasia." Selintas, ia mendengar suara tawa dari dalam meja resepsionis. Tentu saja perawat bernama Alya menyukai dokter bernama Abe secara diam-diam. Dan tingkahnya baru saja menyulut lelucon baru di kalangan rekan kerjanya. "Sudah. Sana cepat. Sebelum dia melarikan diri." Bianca meraih kembali bungkusan itu. "Di mana aku bisa menemukannya?" "Parkiran belakang. Mobilnya yang paling mahal sendiri. Kau bisa menebaknya secara langsung karena dia satu-satunya yang ada di sana setiap siang." Sebelum ia bertanya, meja telah diisi dengan pasien baru yang ingin berkonsultasi setelah mencocokkan jam. Bianca segera membungkuk, mencari ke sekeliling rumah sakit dengan perasaan cemas. Seperti apa rupa Dokter Abe itu? Kurang dari lima menit ia berjalan, parkiran belakang dengan lambang khusus untuk pekerja di rumah sakit terlihat jelas. Tidak hanya motor yang ada di sana, tetapi mobil pun berbaris sesuai pada tempatnya. Bianca mengambil napas. Mencoba menenangkan debaran dadanya karena ia tidak terbiasa berbicara dengan pegawai di rumah sakit untuk mengantarkan segelas hadiah dari penggemar rahasia. Ini konyol, tetapi dia tidak bisa menolak. Satu-satunya pria yang bisa ia lihat hanyalah seseorang yang bersandar di sebuah sedan mahal, memainkan kakinya yang terlapisi celana kain mahal dan sepatu dengan warna serupa. Bianca membeku, menyadari siapa Dokter Abe yang Alya sebut. Namun ada satu pemandangan yang membuatnya terkejut. Bayangan dokter bertubuh jangkung, tampan dan berkharisma pupus saat dia menyadari kalau Dokter Abe bersembunyi dengan sebatang rokok terselip di jari. Sepasang kakinya membawa semakin dekat. Saat Bianca menyadari jarak di antara mereka terkikis secara pasti, dadanya tiba-tiba berdebar kencang. Sang dokter pujaan hati para perawat di rumah sakit belum menyadari keberadaannya. Bianca berhasil menguatkan diri. Melangkah semakin mantap ketika alas sepatunya menggesek aspal kasar. Mata mereka bertemu. Sorot kelam itu terlalu angkuh untuk sekadar ia tatap. Seakan ada benteng yang terlalu besar, terlalu kokoh untuk berhasil ia tembus. Toh, ia tidak akan mencoba memanjat. Tipikal pria setampan Dokter Abe hanya bisa membunuh perasaan setiap wanita dalam satu malam. "Ada pesanan kopi untuk Anda." "Siapa?" Bianca mendesah pahit. "Aku tidak bisa menyebutkan namanya. Ini demi pelayanan toko kami," ringisnya. "Terima saja." "Aku tidak terbiasa menerima hadiah dari mana pun dan siapa pun. Katakan saja dari siapa," ujar Abe dingin. Yang membuat Bianca membeku, mendongak untuk menatapnya. Ia kehilangan suara selama beberapa menit berlalu. Keheningan di latar parkir belakang begitu menusuk. "Aku tidak akan bersuara." "Maaf, tapi—," "Pergi saja." Bianca mendengar alas sepatu mahal itu menginjak sebatang rokok yang masih separuh dalam diam. Sebelum dirinya sempat bersuara, Abe lebih dulu beranjak untuk pergi. "Anda tidak mau menerimanya?" Abe berbalik, memandang sosoknya dengan sinis dan ketidakramahan yang mencela. "Biar aku tebak. Alya?" Oh, ya Tuhan. Apa dia cenayang? Atau tidak sekali ini si perawat itu memberikan hadiah? Sudut bibir sang dokter terangkat sinis. "Benar. Alya. Buang kopi itu ke tempat sampah. Atau kalau kau berkenan meminumnya, minum itu untuk dirimu sendiri." "Ini bukan milikku." Bianca tidak tahu pengalaman pahit apa yang melingkupi diri Dokter Abe menjadi sepekat malam. Dokter harusnya terkesan ramah dan terlihat peduli. Tapi dokter satu ini tidak. Dingin dan kesinisannya telah mencemaskan banyak orang. "Kau begitu naif. Tidak sedikit orang yang terbiasa mengambil milik orang lain demi kesenangan mereka. Buang saja gelas itu kalau kau tidak mau," tukas sang dokter dingin, tidak lagi mau berdebat dan memutar tubuh untuk pergi. Bianca tidak ingin bertengkar dengan orang asing. Alih-alih membuangnya, ia kembali menyimpan gelas kopi itu dan berjalan untuk mencari jalan keluar. Motornya terparkir sesuai arahan, dan dia harus kembali ke kafe secepatnya. Aisha bisa kewalahan seandainya kafe ramai siang ini. Nasib kurang beruntung lagi-lagi menghampiri dirinya. Saat Bianca terburu-buru, tidak sengaja menyandung kakinya sendiri dan gelas kopinya terjatuh. Membuat aspal di halaman parkir utama kotor. Yang mengesankan adalah celana jinsnya ikut terciprat tumpahan kopi yang malang. "Kau tidak apa?" Sebuah suara lembut mengejutkannya. Ketika Bianca menengadah dan bangun, meringis dengan senyum tipis. "Aku baik-baik saja. Terima kasih. Ini karena keteledoranku sendiri." "Ini, pakai tisuku. Lihat, cipratannya sampai ke lenganmu. Kopi itu lengket. Kau tidak akan nyaman," kata si perempuan cantik itu ramah. Memberikan Bianca tisu dari dalam tas. "Lain kali hati-hati. Aspal ini cukup keras. Kau beruntung karena tidak kepalamu yang terbentur." "Ini hanya segelas kopi," balas Bianca tak kalah ramah. "Aku baik-baik saja. Terima kasih untuk tisunya." "Sama-sama." Senyumnya melebar. Lalu tidak lama, ada suara lain yang menegur dengan tingkat keramahan yang sama. Saat Bianca menoleh, memandang siapa yang baru saja memanggil perempuan glamor di depannya. "Papa." "Karin, kau datang terlambat." "Mana ada? Aku sedang berbelanja." Bianca terburu-buru membungkuk. Menyadari pria paruh baya dengan jubah lambang rumah sakit termahal di kotanya dengan pandangan segan. Kemudian berbisik lirih untuk pamit. Sebelum ia mendorong motornya menjauh, menyalakan mesin dan melaju pergi. "Kau berbicara dengan siapa?" "Dia tersandung. Aku membantunya dan dia sudah bangun terlebih dulu," balas Karin riang. "Apa Papa sudah makan siang?" "Belum. Aku sengaja menunggu putriku untuk makan siang bersama. Ayo, Abe sudah ada di ruangan untuk menunggumu." "Abe? Serius?" Senyum ayahnya melebar. "Iya. Abe. Aku tidak sabar mendengar kabar bagus nanti." *** "Kalau kau ada masalah, tidak sebaiknya kau pergi begitu saja." Abe tidak pernah peduli, atau sama sekali tidak menaruh perhatian itu pada dirinya. Yang Karin maksud di sini adalah ayahnya. Objek yang berbeda. Berbeda dari subjek dan keterangan. Ia hanya meminta Abe untuk bersikap sopan, bukan semena-mena. "Apa yang kau bicarakan?" "Kalau kau tidak punya masalah, lantas mengapa kau tidak bisa menatap mataku?" Abe bergeming. Dokter muda yang dielu-elukan kaum hawa memang pada dasarnya arogan, batin Karin muram. Membayangkan Abe mematahkan banyak hati perempuan di luar sana seringkali membuatnya bimbang. "Jelas saja. Berhadapan dengan perempuan sama sekali bukan keahlianmu," tuduh Karin kesal. Lagi-lagi Abe diam. Sinar matanya berubah dingin dalam hitungan detik yang melesat bebas. Selagi Karin mengatur napasnya, ia mendengar gerakan tangan Abe yang terburu-buru mencari kunci mobil dan melarikan diri secepatnya. "Aku tidak mengharapkan ini darimu." Kedua kakinya terpaksa berhenti. Sebelum tangannya terjulur menyentuh gagang pintu, Karin berbalik hanya sekadar menanti reaksi. "Aku pun sama. Aku tidak pernah berekspetasi pada apa pun." "Kau berdusta." "Kau berperan sangat bagus. Seakan kau mengenalku luar dan dalam. Bilang pada ayahmu untuk berhenti. Aku muak dengan semuanya." "Dia hanya ingin yang terbaik." Satu desakan cepat membuat Karin berjengit. Ia tidak terbiasa menghadapi amarah Abe yang meledak. Kobaran pada iris gelapnya pertanda sebagai peringatan. "Bukan. Mereka hanya ingin bisnis dan uang berputar sesuai kendali. Kau salah paham tentang apa pun. Aku tahu kau pintar. Dan taktik seperti ini seharusnya tidak memengaruhimu sama sekali. Terlebih kau punya kekasih." "Aku—," "Ada perbedaan yang cukup lebar antara mengartikan cinta menurutku dan menurutmu," ujar Abe dingin. "Kau menyebut cinta itu realita. Aku menyebut cinta itu halusinasi. Mana yang benar?" "Aku paham kalau kau masih berduka atas kematian—," "Kau tidak bisa membahasnya di sini. Tidak sama sekali." Abe mundur, mengepalkan tangan dengan raut keras. Yang membuat Karin mundur, mengambil napas panjang demi mengendalikan debaran dadanya yang mengencang. "Aku tidak mengizinkanmu menyentuh batasan apa pun." "Apakah kita harus bertengkar?" Abe bersiap pergi. Benar-benar akan membiarkannya sendiri. "Tidak. Aku tidak mau bertengkar dengan seorang teman." Karin bersyukur. Atau setidaknya Abe bisa mengendalikan dirinya yang mudah tercabik seperti hempasan badai. Pria itu terluka. Tidak seorang pun mengenalnya secara baik layaknya dirinya. Karin tidak pantas mendapat apresiasi apa pun hanya karena mereka berteman. "Selamat sore, dokter." Alya termangu. Memandang punggung dokter bedah umum terkenal di rumah sakit mereka dalam diam. Sorot matanya meredup. Kala berbalik, menemukan Karin si putri tunggal kepala yayasan yang terhormat baru saja muncul. Perlahan namun pasti, realita menghancurkan ekspetasi secara tipis dan teratur. Saat mata mereka bertemu, Alya tidak punya harapan selain membungkuk. Reaksi wajib yang ia berikan pada petinggi rumah sakit. Perawat hanya kasta terendah, mereka bilang. Sementara Karin hanya memberi anggukan tipis. Tidak lagi bereaksi apa pun atau merespon singkat lain seperti biasa. Kegelisahan menyelimuti wanita itu seperti mendung di siang hari. Bukan perkara baru mendengar hubungan diam-diam yang terencanakan antara putri tunggal kepala yayasan dengan dokter muda bertalenta. Semua orang tahu. Tidak terkecuali pekerja bersih-bersih yang sama sekali tak mampu menatap pahatan Adonis lebih dari satu menit. Tetapi tidak sedikit yang mengatakan hubungan mereka tidak akan berhasil. Tidak akan pernah berhasil. *** "Seorang dokter merokok? Apa masalahnya? Mereka juga manusia." Bianca terdiam. Menghitung uang pecahan kecil di dalam mesin kasir tanpa suara. "Lagi pula, Dokter Abe juga manusia biasa. Apa dia terlihat seperti pecandu?" "Aku tidak tahu," aku Bianca apa adanya. "Aku sempat terkejut, tapi tidak katakan apa pun. Itu urusannya." Aisha bersidekap dengan raut serius. "Kau benar. Itu urusannya. Dokter tampan yang baru dua kali mengunjungi kafe kita memang luar biasa. Dokter Abe tercipta dari ilusi. Terbentuk dari harapan-harapan setiap orang yang mendambakan kekasih dengan paras luar biasa." Sahabatnya memberi reaksi berupa dengusan. Senyum Aisha merekah, memandang Bianca yang sedang mengaduk s**u cokelat dinginnya. "Kau bisa mendapat yang lebih baik. Dokter itu bukan selera kita. Atau kita yang memang bukan seleranya. Semua hanya perkara kasta." "Kau tidak bisa bicara kasta padaku," tegur Aisha berpura-pura jengkel. "Dokter juga manusia." "Pelukis pun sama. Apa bedanya?" "Dia terlalu ambisius." Bianca diam. Tidak ingin membahas masa lalu sahabatnya atau siapa pun. Membiarkan rahasia tetap menjadi rahasia. Membiarkan apa yang pernah terjadi, biarlah terjadi. "Ambil kembali uangmu," kata Aisha terburu-buru. "Kau tidak seharusnya mengganti kopi Alya karena menjatuhkannya. Itu salah dokter tampan yang menolak minuman dari penggemar rahasia." "Bukan rahasia," sahut Bianca santai. "Dia tahu itu dari Alya, perawat di rumah sakit." Pemandangan siluet oranye sebelum senja mengaburkan bayangan Bianca akan kepenatan di jam kerja yang padat. Kafe terlalu ramai sampai sore. Mereka baru bisa bersantai setengah jam setelahnya. Menyisakan pasangan kencan yang saling melempar canda satu sama lain dengan manis. Bianca tidak kuasa menahan lirikan mata. Diam-diam mengulum senyum. Tidak terbesit rasa iri sama sekali. Mereka tampak lucu. Si gadis berambut cokelat kemerahan yang malu-malu. Dan si lelaki mencoba mengalihkan rona itu dengan topik hangat lain. "Selamat datang!" Bianca menoleh mendengar lonceng kecil dari atas daun pintu kaca satu arah mereka berdenting. Dokter Abe muncul dari sana. Siluet tinggi nan tegap dan menawan mencuri perhatian Bianca. Pandangan mereka bertemu. Bianca berharap dirinya tidak memberikan reaksi aneh karena baru saja ditatap satu dari jutaan manusia tampan di muka bumi. "Permisi." "Iya?" "Bisakah kau memutar musik yang lain? Aku tiba-tiba merasa bersalah karena mendengar Ending Scene milik IU ini," sahut si lelaki dari meja bernomor delapan. Bianca mengulum senyum, mendadak ingin tertawa. Suasana syahdu rupanya memengaruhi kencan baru mereka. "Kau mendengarku?" "Oh, astaga. Maaf. Ingin pesan apa?" Abe terlihat letih. "Satu Americano Coffee dingin." "Tadi si perawat Alya juga memesankan satu gelas kopi—," Bianca terburu-buru mengunci rapat bibirnya ketika mata mereka bertemu. Dan ekspresi dingin dokter satu itu sama sekali tidak bersahabat. "—ada tambahan lain?" "Tidak." Manik biru Aisha mengekori sampai sang dokter duduk di salah satu kursi kosong lain. Bianca melirik, membiarkan Abe mencari tempat ternyaman bagi dirinya sendiri. Selagi sahabatnya mencari pilihan bagus, dan pilihannya tepat pada A Little Bit More. Bianca memindahkan segelas es Americano dingin ke atas nampan mungil. Saat ia melirik sahabatnya yang mengangkat bahu, kehadiran dokter itu rupanya sedikit berimbas pada suasana kafe yang lebih tegang. "Nikmati kopinya." Abe sama sekali tidak merespon. Ia memilih melempar pandangannya ke luar jendela. Saat Bianca menaruh nampan, membereskan letak pot yang bergeser karena pengunjung gemas dengan aneka pot mungil hasil karya tangan Aisha saat senggang. Secara perlahan memindahkan mereka dengan hati-hati. Tidak ingin merusak masterpiece kesayangan sahabatnya. "Kau menghalangi pemandangan senja di depan sana." Sebuah teguran mampir. Bianca sontak mundur dengan spontan. Terkejut karena melihat sinar kelam itu begitu tajam menusuk matanya. Sembari menekan perasaan malu, ia mengangguk. "Aku tidak tahu kalau kau sedang melihat senja." Abe kembali membuang muka sinis. Bianca mundur setelah meraih nampannya. Memandang Aisha dengan tatapan nelangsa. Mengingatkan dirinya dengan keras untuk tidak pernah berhadapan dengan dokter es itu lagi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Mas DokterKu

read
238.6K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Sweet Sinner 21+

read
885.0K
bc

The Unwanted Bride

read
111.0K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
525.9K
bc

Bastard My Ex Husband

read
383.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook