bc

A Frozen Flower

book_age18+
272
FOLLOW
1.4K
READ
forbidden
reincarnation/transmigration
manipulative
dare to love and hate
tragedy
bxg
mystery
scary
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

Ini mimpi buruknya. Terjebak di antara konflik antar kerajaan yang memanas. Menimbulkan desas-desus dimana-mana. Menyebarkan teror menakutkan yang menjadi mimpi buruk anak-anak biasa.

Semula ia tidak tahu apa alasan kerajaan itu membawanya dan sang adik untuk menjadi tawanan. Membiarkan ia dan sang kakak terpisah untuk waktu yang lama demi ambisi dan dendam yang tidak berkesudahan. Semua teror, semua ketakutan berbaur menjadi satu. Berembus kencang seperti aroma pinus basah selepas hujan.

Andai saja omong kosong itu tidak benar, mungkin dirinya akan berpasrah dan membiarkan takdir bermain-main. Tapi bagaimana kalau itu benar? Sang Raja selalu membunuh para selir yang tidak lagi berguna dan menjadikannya umpan burung pemakan bangkai. Atau membiarkannya mati membusuk di penjara bawah tanah untuk selamanya.

Dan dirinya tidak pernah tahu bahwa Sang Raja memiliki motif tersendiri atas klaim kepemilikan. Memintanya untuk menerima takdir dan merelakan semua yang ia miliki. Pria itu ... memiliki motif tersendiri atas nama balas dendam. Dendam dalam kobaran api yang membakar pada kakak laki-lakinya. Berniat membunuhnya. Mencoba menumpas habis seluruh klan dan generasinya. Sampai tak bersisa.

Bagaimana nasibnya kini?

chap-preview
Free preview
1
Malam semakin pekat mencekam. Lolongan serigala malam terdengar meraung-raung memekakkan telinga. Cahaya bulan yang masuk menyusupi celah-celah pohon besar tidak mampu membantu dari mereka melawan kesakitan yang pelan-pelan terasa membunuh mereka dari dalam. Beberapa dari mereka bahkan sekarat karena racun yang sengaja diberikan oleh para penunggang kuda hitam itu dengan paksa dan mati mengenaskan. Darah mengucur keluar dari hidung, mulut bahkan telinga mereka. Mereka juga mati dengan mata melotot dan wajah ketakutan. Kengerian tersebar kemana-mana. Beberapa dari mereka memilih untuk diam, menangis memeluk tubuh rapuh mereka yang setiap saat bisa menjadi ancaman dan target selanjutnya dari kekejaman era mereka. Siapa mereka? Mereka yang dipuja-puja kaum hawa. Mereka yang menjadi mimpi buruk warga sekitar. Para gadis yang tertawan memejamkan mata mereka dan menangis terisak saat satu-persatu dari keluarga mereka menghembuskan napas terakhirnya dengan cara mengenaskan. Kepala yang terlepas dari tubuhnya maupun siksaan dari dalam karena racun mematikan itu. Di sisi lain, pria berjubah hitam dengan pedang yang terselip di balik punggungnya menatap pemandangan itu dengan datar. Matanya yang gelap terbakar rasa puas yang membara. Senyum dinginnya terlihat, tampan tetapi mematikan. "Berhenti." Suaranya dalam, bagai dengungan kematian yang merasuk ke telinga mereka. Beberapa dari mereka yang menangis terpaksa menutup mulutnya rapat-rapat agar isakan mereka tidak lolos dan mereka akan mati dengan cara yang sama. "Tinggalkan mereka yang sekarat." Para penunggang kuda itu mundur perlahan-lahan. Menjauhi para tawanan yang diam-diam merintih kesakitan di akhir hidupnya. "Dan ambilah yang tersisa." "Termasuk para wanita, Lord?" Senyumnya terlihat mengerikan. "Tentu saja." Dan teriakan kembali nyaring terdengar. Menembus malam yang sunyi dengan jeritan memilukan yang menyayat batin. . . . . . . . . . . Karen menampar pipinya beberapa kali karena dia baru saja menguap. Sudah ketiga kalinya pagi ini. Jika Ezra melihatnya, dia akan mati di tangan pria itu. Karen memejamkan matanya, padahal hari ini dia sangat senang karena matahari tidak bersinar terlalu terang dan cuaca bersahabat. Karen bisa keluar untuk pergi ke perbatasan. Berbelanja dan berbaur bersama anak-anak lainnya untuk bermain bersama. Atau dia bisa pergi ke peternakan untuk memeras s**u dan melihat domba-domba yang memakan rumput di taman. Mata Karen terbuka lebar saat dia mendengar pintunya terbuka lebar dan suara langkah kaki berlari membuat kepala merah mudanya menoleh. Dia tersenyum saat menemukan Ayyara, adik kecilnya berlari dengan gaun merah marunnya terangkat naik. "Karen, ayo kita pergi ke karnaval." "Sepagi ini?" Senyum Ayyara terlihat. "Tidak, nanti malam. Jam delapan." Mata Karen melebar. Dia menggeleng dengan tegas. "Tidak, Ezra akan membunuh kita nanti," bisiknya. Ayyara hanya tersenyum, dia mendekat ke arah Karen dan duduk di samping gadis itu. "Kakak akan pergi ke perbatasan sore nanti. Kita aman." Karen memutar matanya bosan. "Aman, katamu? Kau tidak melihat mereka?" Karen menunjuk beberapa pengawal berpakaian baja hitam berjaga di sekeliling kastil dengan wajah bertopeng mereka yang seram. Karen bergidik ngeri melihat senjata yang selalu mereka peluk di d**a. Belum lagi senjata yang tersembunyi di balik pakaian baja mereka. "Mereka selalu mengawasi kita." Ayyara menghela napasnya. Berpura-pura merajuk pada Karen. "Terserah. Aku tetap pergi." Lalu, gadis itu melangkah pergi keluar kamar Karen dan membanting pintunya agak kasar. Membuat Karen menggeleng melihat tingkah kanak-kanaknya. *** Malam tiba dan Karen menuruti kemauan adiknya. Karen memakai jubah hitam yang menutupi tubuh mungilnya. Dia sengaja mengikat sanggul rambutnya yang biasa terurai indah kali ini agar tidak mengganggu penyamarannya. Jika mereka biasa memakai pakaian biasa di pagi hari, berbeda di malam hari. Malam biasanya menjadi momen menakutkan bagi wanita bangsawan seperti mereka jikalau ada musuh yang diam-diam mengikuti mereka dan membunuhnya lalu mayatnya akan dijadikan umpan burung pemakan bangkai. Karen tidak sanggup mendengar kelanjutannya. Dia merapikan jubah Ayyara dan melihat senyum gadis itu melebar. Karen merapikan anak rambut pirang Ayyara yang terjatuh di dahinya, ikut tersenyum saat mata biru terang itu menembus hatinya yang hangat. "Ayo, jangan terlalu malam." Ayyara mengangguk. Dengan hati-hati dia memanjat gerbang belakang kastil yang pengawasannya sedang lengah. Karen berjaga di bawahnya, takut-takut jika seseorang melihat mereka dan menangkapnya lalu mengurung mereka di kamar. Karen tidak membayangkan bagaimana marahnya Ezra nanti. Ayyara sudah turun dan dia menunggu Karen dengan antisipasi. Ayyara sedikit bersembunyi di antara semak-semak lebat dan membiarkan Karen turun dari gerbang dan melompat. Karen memejamkan matanya, berharap sepatunya mampu meredam suara langkahnya. Mereka bergandengan tangan, berlari menembus kegelapan dengan tawa Ayyara yang menemani perjalanan. *** Karnaval bulan purnama selalu diadakan dua kali setiap bulannya. Biasanya para warga beramai-ramai datang ke lapangan kosong dan mengadakan perayaan di sana. Menaruh hiasan lampu yang sudah mereka sulap untuk dijadikan penerangan yang terlihat indah. Berwarna-warni memanjakan mata. Ayyara dengan senang membuka tudung kepalanya dan membuat Karen panik. Dia memaksa kembali menutup tudung itu dan membuat senyum Ayyara pudar. Karen mencubit pipi adiknya yang montok dengan gemas dan tersenyum lebar. Karen menggandeng tangan Ayyara dan berhenti di jajaran lampu hias yang beraneka warna. Ayyara tidak bisa menyembunyikan senyumnya lebih lama lagi. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh salah satu hiasan lampu itu dan kelap-kelip warna lampu segera menyambutnya. Membuat tawanya lepas. "Lihat, ini cantik sekali," pujinya. Ayyara kembali menyentuhnya dan Karen mengikutinya. Mereka tertawa bersama saat satu-persatu lampu itu menyala bergantian membentuk warna yang senada dengan pelangi. Ayyara kembali menarik tangannya pergi ke sebuah panggung kecil dimana para gadis menari-nari dengan lincah diiringi bunyi musik pukul di belakang panggung. Ayyara tersenyum, dia menerobos para kerumunan dan berdiri di tengah-tengah mereka. Pertunjukkan berakhir, Karen bertepuk tangan kepada empat gadis remaja yang menunduk sopan sebelum akhirnya pergi menghilang dibalik tirai yang menghubungkan antara panggung dengan ruang ganti. "Mereka cantik sekali," Karen mengangguk mendengar pujian Ayyara. Lalu kembali tiga orang yang Karen taksir berumur sama dengannya naik ke atas panggung. Dengan pakaian yang sudah dihiasi lampu berwarna, mereka mulai menari. Memutar tangan mereka dengan gerakan yang sama berulang-ulang. Ayyara tampak menikmatinya dan Karen juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba jeritan terdengar. Suara ringkikan kuda menggema memenuhi lapangan yang luas. Suara musik tiba-tiba berhenti dan beberapa dari mereka berlari ke hutan, mencari tempat persembunyian. Karen segera menarik tangan Ayyara dan bersembunyi di balik semak-semak yang tidak jauh dari sungai cadaver, sungai dengan air sebening kaca yang menjadi sumber mata air terbesar rakyat klannya. Sungai ini juga terhubung mengelilingi kastil dengan indahnya. Menjadi sumber terbesar pemasokan air di dalam kastilnya. Karen menarik tangan adiknya dan menutup mulutnya. Tubuh kecil Ayyara bergetar di pelukannya. Begitu juga dengan dirinya yang menatap waspada takut-takut mereka melihatnya. Karen melebarkan matanya saat satu-persatu pasukan penunggang kuda hitam memasuki lapangan. Menghancurkan kedai-kedai pedagang dengan sebuah balok kayu berduri yang sengaja mereka bawa dan menginjak siapa saja yang menghalangi langkah kuda mereka. Karen mendengar jeritan dimana-mana. Melihat darah segar yang mengalir hingga sampai ke sungai cadaver, membuat bau amis menyerang hidungnya dengan ganas. Ayyara memejamkan matanya, merasa mual karena bau darah itu. "Siapa mereka?" Karen menggeleng. Dia bergetar begitu juga dengan Ayyara. Karen melihat beberapa dari warga yang tidak berhasil melarikan diri diikat di dalam ikatan yang sama dan begitu menyakitkan hingga mereka merintih. Karen melihat salah satu dari mereka membawa balok kayu berduri dan salah satu dari mereka membawa rantai tajam yang runcing. Membuat Karen harus menahan napasnya. Karen menoleh saat mendengar langkah kaki kuda yang lain. Begitu tenang dan auranya sangat kental terasa. Mematikan. Bagai malaikat kematian yang siap menjemput korbannya. Karen menahan napasnya saat langkah kuda itu mendekat ke arahnya. Ayyara memejamkan matanya saat tiba-tiba kakinya terpeleset dan tercebur ke dalam sungai. Membuat suara gaduh dibalik semak-semak tempat mereka bersembunyi. Karen menarik kaki Ayyara dan memeluk gadis itu yang bergetar hebat. Menyadari kebodohannya. Karen merasa tubuhnya ditarik seseorang dengan paksa dan dijauhkan oleh saudaranya saat jeritan Ayyara terdengar dan berhasil membuat matanya terbuka lebar. Karen menggeleng lemah saat Ayyara dipaksa duduk berlutut di hadapan seseorang yang duduk dengan tenang di atas kudanya. "Ampuni ... aku ..." suaranya bergetar penuh tangis. Karen bergerak mendekati adiknya namun sebuah belati menempel di lehernya membuat langkahnya terhenti. Napasnya berubah pendek-pendek dan satu-satu saat belati tajam itu mencoba menggores lehernya. Karen mendengar ada pasukan lain yang datang dari arah timur. Membuat para penunggang kuda lainnya dengan sigap berlari, membunuh para tawanan dengan sekali tebas seringan bulu saat mereka mengayunkan senjata mereka ke leher mereka. Ayyara menjerit histeris, dan Karen terpaku di tempatnya. Menatap kejadian mengerikan itu dalam keaadan sadar dan tidak tertutup apa pun. Lalu, Karen melihat tubuh Ayyara dipaksa untuk naik ke atas kuda bersama seseorang berjubah yang tidak Karen ketahui siapa dirinya. Ayyara berteriak dan selanjutnya tidak ada suara lagi dari adiknya karena mereka telah membungkam mulut Ayyara, menyuruhnya tetap diam. Lalu bayangan mereka menghilang di balik lebatnya hutan-hutan perbatasan. Karen terduduk dengan wajahnya yang memerah karena tangis. Dia mencengkram jubahnya dengan keras. Meremasnya seolah itu hanyalah satu-satunya kekuatan yang ia punya. Ia tidak memiliki keahlian lain selain memasak, menjahit dan meramu obat. Dia tidak bisa bermain pedang, menghindari pukulan dan berkelahi. Itu sama sekali bukan keahliannya. Karen memejamkan matanya saat bunyi pekikan kuda terasa memecah telinganya. Dia bergetar di dalam duduknya, melihat ada empat atau lima pasukan lain yang berbeda berdiri di depannya dengan wajah kaku. "Apa dia orangnya, Lord?" Mata Karen memutar ke arah mereka dengan bingung. Sebelum Karen sempat menoleh, dia merasa tubuhnya ditarik seseorang dan matanya ditutup paksa. Membuat kesadarannya perlahan-lahan tertelan oleh kegelapan dan semuanya terlihat hitam. *** Karen membuka matanya perlahan-lahan, merasakan aroma bunga-bungaan dan dedaunan yang basah memasuki indera penciumannya. Menarik napas panjang sekali lagi, Karen membuka matanya lebar-lebar. Mendapati kamar dengan nuasana putih gading langsung tertangkap matanya. Karen terduduk, mendapati ada selimut tebal menutupi hingga pinggangnya. Dia mengerjap terkejut saat menemukan sosok pria yang duduk di dekat jendela, memandangnya dengan dingin di dalam kegelapan. Karen mengerutkan dahinya saat langkahnya lamat-lamat terdengar mengerikan. Karen mundur, menabrak kepala ranjang yang besar dan membuatnya meringis. "Kau terluka, hati-hati," ucapnya dingin. Karen mengangkat alisnya dan terkejut saat melihat sosok itu adalah Maritz Azada. Raja keempat dari dinasti klan Maritz yang melegenda karena memiliki mata semerah darah yang menakutkan dan kekejamannya. Karen beringsut mundur, memeluk selimutnya dengan tangan bergetar. "Kenapa aku disini?" Senyumnya terlihat. Wajahnya yang tampan bersinar karena diterpa sinar lampu hias dari nakas samping ranjang. "Aku membawamu kemari." "Kenapa?" Alis Azada terangkat. "Kenapa?" Karen mengangguk cepat. Dia menggeser tubuhnya saat Azada duduk di tepi ranjang, menatapnya tajam. "Adikmu ditawan oleh Matteo Sai," Karen melihat ekspresi itu mendingin. "Dan aku tidak tahu apa mereka membunuhnya atau tidak." Mata Karen melebar. Bayangan tubuh Ayyara yang tergeletak lemas karena kehabisan darah menakutinya. Wajahnya tiba-tiba pucat seketika. Karen menggelengkan kepalanya, berharap Azada tidak melihatnya tapi sayangnya pria itu melihat segalanya. "Apakah ... apakah ... mereka akan membunuhnya dengan kejam?" Suara Karen bergetar di setiap kata. Azada tampak ragu, tetapi kemudian dia mengangguk. "Apa motifnya?" "Aku tidak tahu." Karen memejamkan matanya, menjambak rambut merah mudanya yang terurai indah sebatas punggungnya. Membuat Azada mengulurkan tangannya, menarik kedua tangan kecilnya dan menaruhnya di atas pangkuan Karen. "Berhenti sakiti dirimu sendiri." "Adikku," napas Karen tercekat. "Bagaimana dengan adikku?" Azada menjauhkan tangannya. Wajahnya tiba-tiba dingin dan ekspresi mata gelap itu sungguh tidak terbaca. Karen meremas tangannya dengan gelisah. Takut-takut dengan tatapan pria itu yang terlalu mengintimidasinya. "Aku bisa membantunya kalau kau bersedia menerima tawaranku." Wajah Karen pucat seketika. "Apa?" Azada menunduk, menatap karpet tebal yang berbahan dasar kulit domba dengan sebuah seringai kecil di wajahnya. "Jadilah selirku dan tetaplah disini sampai aku menyelamatkan adikmu. Dan sampai itu terjadi, aku akan membebaskanmu. Mengembalikanmu ke kastil mewahmu bersama adikmu." Napas Karen serasa terhenti saat itu juga. Kilasan memori tentang siapa Maritz Azada terlintas di kepalanya. "Maritz Azada akan membunuh selirnya setelah dia memakainya, membuang mereka di penjara bawah tanah hingga membusuk bersama tanah dan ulat-ulat pemakan bangkai." "Atau dia bisa juga memberikan selirnya pada pengawalnya. Membiarkan mereka beramai-ramai memperkosanya hingga sang selir tidak lagi kuat dan memilih membunuh dirinya sendiri dengan melompati balkon teratas kastil di sayap kanan." "Dan memberikan potongan tubuh selirnya pada burung pemakan bangkai peliharaannya." Karen bergidik ketika mendengar ucapan para warga sekitar dan para petinggi kerajaannya yang berbicara tentang siapa Maritz Azada itu. Karen pernah melihatnya, tapi dia tidak pernah berbicara dengan pria itu. Hanya melihatnya saat ada perayaan karnaval antar kerajaan. Sebatas melihat. Tidak lebih. Bagaimana dia bisa terjebak di sini? "Kenapa harus aku?" Karen akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya yang tertelan rasa takutnya sendiri dengan gemetar. Tatapan Azada kembali dingin. Matanya yang gelap begitu tajam menatapnya. Menembusnya sampai terasa ke dalam hatinya. "Karena aku mau dirimu." Karen menahan napasnya. Meremas selimutnya kuat-kuat hingga kepalan tangannya memutih bagai mayat. Dia membuka matanya yang terpejam dan menemukan oniks pekat itu memandangnya sensual. Dan jika kabar itu benar, apakah Karen akan mati di sini? Tertawan disini sampai Maritz Azada membuangnya dan menjadikannya sampah seperti selir lainnya? Membiarkannya mati dan menggantung janji-janji manisnya di atas langit-langit dan tidak pernah mengabulkannya? . . . . . . . Miura Ezra mengangkat kepalanya. Tatapan mata yang menenangkan itu berubah dalam kedipan mata. Dia menggenggam katananya dengan ekspresi dingin pada empat orang berpakaian baja hitam yang kini berlutut memohon ampun padanya. "Bagaimana bisa?" tanyanya, nadanya rendah mematikan. Membuat para dayang menunduk tak berani menatap depan. Mereka tahu keempat prajurit itu akan mendapati hukuman pancung di belakang istana karena kelalaian mereka yang membuat Ezra kehilangan kedua adiknya yang tertawan entah dimana. "Maaf, Yang Mulia," salah satu prajurit itu maju, dia tertua diantara yang lainnya. Merasa bertanggung jawab. "Kami sedang bertugas berkeliling melihat kondisi istana sejak matahari terbenam. Putri Miura pergi memanjat pagar belakang secara diam-diam. Kami melihat jejak sepatunya di tanah yang basah." "Dan kalian tahu apa yang membuatku marah?" Keempat pria itu mengangguk mantap. "Kami siap menerima hukumanmu, Yang Mulia." Ezra menoleh pada Jenderal terbaiknya, Saveri, memberinya tatapan mata dan dengan patuh Saveri mengangguk. Membawa lima anak buahnya untuk menyeret keempat prajurit itu menuju gudang bawah tanah. Menunggu hukuman mereka ditentukan. Ezra berdiri dari singgasananya, membuat jubah hitam itu menyapu lantai dengan hawa mencekam karena suasana hati sang petinggi sedang kacau. Ezra sungguh tidak bisa berpikir dengan baik karena kehilangan kedua adiknya. Dia sudah berjanji menjaga mereka dengan nyawanya ... apa yang bisa ia katakan pada kedua orang tuanya nanti? . . Karen membuka matanya, mencoba menyesuaikan sinar matahari yang masuk dari jendela kamar yang terbuka. Dia perlahan duduk, bersandar pada kepala ranjang dan memegang kepalanya yang terasa pening. "Selamat pagi." Karen berjengit menjauh, mendapati dayang cantik berpakaian cokelat tengah duduk bersimpuh di sebelah ranjangnya dengan pancaran mata ramahnya. "Tolong bersiap-siap. Kami diperintahkan untuk memindahkan Putri Karen ke Istana Bunga di belakang istana utama." Karen mengangkat alisnya. Perlahan-lahan kesadarannya kembali dan dia bisa mencerna perkataan dayang itu dengan baik. "Aku? Dipindahkan?" "Benar, Putri," dayang itu mengangkat kepalanya sopan. "Mari." Dayang itu berdiri dengan kepalanya tertunduk, menunggu Karen turun dari ranjangnya. Karen membuka selimutnya, mendapati pakaiannya masih sama seperti semalam dia dibawa ke istana ini. Menghela napas, Karen mengikuti langkah dayang muda itu menjauhi kamar. Matanya menelusuri sepanjang lorong yang berlapis batu-batuan yang kokoh dan tampak bersih. Karen menutup mulutnya saat dia melihat anak tangga berlapis emas dimana menuju sebuah lorong panjang yang Karen tidak ketahui tempat siapa itu. "Ini adalah Istana Raja," dayang itu membuka suaranya. Mengerti akan kebingungan Karen yang terus menatap lorong dengan hiasan lampunya yang cantik dan temaram. "Di sana, peraduan Raja Maritz dan segala urusan pribadinya ada di sana. Tempat ini terlarang untuk para selir dan dayang dari Istana Bunga." Karen menoleh dengan dahi berkerut. "Istana Bunga?" Dayang itu mengangguk dengan senyum. Menyadari pancaran mata polos Karen yang kentara. "Benar, Putri. Seperti kami, dayang-dayang berpakaian cokelat dengan corak api berasal dari Istana Bunga. Jika mereka dayang dari Istana Kerajaan, mereka akan memakai pakaian terbuat dari sutra dan memakai gelang emas sebagai pertanda." "Oh?" Karen menyentuh pergelangan mungil dayang itu. "Dan sebagai penanda kau berasal dari Istana Bunga juga dari gelang perakmu ini?" Dayang itu mengangguk sopan. "Benar, Putri." "Ah, begitu," Karen mengangguk mengerti. Dia kembali melemparkan tatapan matanya pada lorong yang seolah-olah menariknya untuk masuk dan mencoba mencari tahu apa saja yang ada di dalam sana. Tapi niatnya tertahan saat dayang muda itu kembali melangkah. "Hana?" Karen menoleh saat dayang itu tersenyum dan ikut membungkuk sama yang dilakukan wanita yang ia taksir berusia sama dengan dirinya. Karen melihat wajah ramah wanita itu, membuatnya mengerutkan dahi. "Apa kau sudah sarapan? Aku sudah menyuruh beberapa anak buahku untuk memberikan makanan terbaik untuk para dayang di Istana Bunga," wajahnya berbinar dengan senyum yang menutup matanya. "Kau harus mencobanya." "Terima kasih, Putri," Hana mengangguk dengan sopan. Senyumnya belum hilang. "Salam Putri," wanita bersanggul itu menunduk dengan sebelah tangannya memegang d**a. Menunjukkan rasa hormat. "Semoga perjalanan Anda menyenangkan di Istana Kerajaan ini." "Namaku Nisaka," wanita itu memperkenalkan diri. "Biasanya calon selir diajak keliling Istana Kerajaan untuk belajar banyak hal agar mereka berhati-hati terhadap langkah mereka." Karen ikut mengangguk. Menyadari ada perlakuan bersahabat dari Nisaka dan Hana yang kini saling melemparkan senyum seolah mereka sudah mengenal lama satu sama lain. "Kau dayang Kerajaan?" Karen tiba-tiba bertanya. Membuat Nisaka mengangguk kecil dengan terkejut. "Benar, aku memegang bagian dapur." "Putri Nisaka mempunyai posisi tertinggi di dapur, Putri," Hana mencoba menjelaskan pada Karen. "Dia memiliki kebebasan untuk memasak makanan baru dan juga untuk Raja serta para selir. Dia memiliki kewenangan penuh selama di dapur." "Ah, begitu," Karen tersenyum. "Senang mengenalmu." Nisaka menunduk sopan. "Juga denganku, Putri." "Sepertinya kita bertiga seumuran," Hana terkejut dengan ucapan Karen yang spontan. Membuat Karen mengangkat alisnya menatap Hana dengan geli. "Aku terbiasa berbicara santai dengan dayangku di istanaku sendiri. Tolong lakukan itu juga padaku." Nisaka menutup mulutnya tak percaya. Dia melirik Hana yang juga terkejut tetapi karena gadis itu telah berlatih bertahun-tahun guna menjadi dayang selanjutnya, Hana mampu mengontrol emosinya. "Anda benar-benar ingin melakukannya?" Karen mengangguk. "Kenapa tidak?" Nisaka tampak bingung menjawab pertanyaan balik dari Karen. Wanita itu segera menunduk, tidak berani menatap mata Karen yang memiliki kedudukan tinggi lebih darinya. "Aku hanya selir. Selir. Bukan permaisuri. Santai saja," Karen mengangkat kimononya, melihat sepatunya yang terlepas. "Tolong berkunjung ke kamarku juga nanti," bisiknya saat dia menunduk untuk memakai sepatunya kembali. "... Nisaka." "Baik, Putri," Nisaka mengangkat kepalanya dengan senyum. Meminta izin untuk undur diri dan pergi menjauhi mereka. Hana masih menunduk menatap lantai kayu yang dingin, tidak mengerti dengan jalan pikiran Karen. . . "Lord," Genggaman Maritz Azada pada katana yang tertancap batu di depannya terlepas saat mendengar seseorang masuk ke dalam ruangannya. Azada mengangkat kepalanya, menatap Jenderal Kelas Satu, Parviz Zidan datang bersimpuh memberi lalu kembali berdiri tegak. "Putri Miura yang tertawan oleh Matteo Sai baik-baik saja. Dia dijadikan selir utama dan malam ini penobatannya," Zidan berbicara lantang, membuat Azada terdiam di kursi kebanggaannya. "Dia adalah b******n m***m yang kukenal," Azada menyeringai setelah berkata. Dia berdiri dari kursinya. Membuat jubah hitam pekat yang dikenakannya menyapu lantai, menimbulkan bunyi gemerisik yang keras. "Tetap awasi dia," Azada berdiri di samping Zidan. "Kita tidak boleh kehilangan harta karun yang berharga." Zidan segera mengangguk, membiarkan Azada berjalan keluar dari ruangannya dengan dua prajurit yang siap dengan katana di d**a mereka mengikuti langkahnya. . . "Itu adalah Istana Putih." Karen menoleh, mendapati sebuah kastil yang besar tepat berdiri kokoh di samping Istana Kerajaan yang megah. Matanya menyipit kala sinar matahari membasahi separuh dari bangunan tinggi Istana Putih dengan indahnya. Membuat Karen tersenyum. "Istana khusus untuk permaisuri beserta dayang pilihannya," Hana tersenyum melihat senyum Karen. Dia kembali melangkah lebih maju untuk menjelaskan. "Sayangnya, Istana Putih kosong semenjak kematian Permaisuri Maritz Nayyira dua puluh tahun yang lalu." Karen menoleh dengan wajah terkejut. Senyumnya lenyap. Tergantikan dengan wajah bingung. "Istana itu dibiarkan kosong?" Hana mengangguk sopan. "Bahkan selir yang memiliki kedudukan tertinggi karena menjadi kesayangan raja tidak bisa menyentuh Istana Putih yang suci itu. Raja Maritz menjaganya dengan baik selama bertahun-tahun." "Rajamu ... dia tidak memiliki permaisuri?" Hana menoleh dengan gelengan kepala. Membuat kerutan di dahi Karen terlihat. "Aku bisa menua disini karena dahiku terus berkerut," Karen mengusap dahinya dan menatap Hana. "Bagaimana bisa seorang raja memimpin tanpa didampingi permaisuri?" "Raja Maritz bisa membuktikannya selama bertahun-tahun," Hana tersenyum kecil. "Kami, para dayang dan para anggota dewan kerajaan selalu menyiapkan pesta setiap satu minggu sekali untuk para selir menunjukkan pesona mereka di depan Raja Maritz. Dan hasilnya selalu sama." "Raja tidak pernah tertarik?" "Semenjak kematian Pemaisuri Maritz dalam perang yang menyerang Istana Kerajaan dan Istana Putih, Raja Maritz seolah tertutup. Terlalu panjang. Aku bisa menceritkannya lain kali pada Anda, Putri," "Aku menunggunya." Karen mengangguk dengan senyum kecil. Matanya tiba-tiba menangkap siluet istana besar yang megah berada agak jauh dari belakang Istana Kerajaan. Hana ikut menoleh, tersenyum menangkap mata Karen yang tengah memandangi Istana Bunga. "Itu Istana Bunga, istana dimana para selir berkumpul." Karen menoleh, bertatapan dengan mata teduh Hana yang menenangkan. "Bisakah aku bertanya sesuatu?" Hana mengangguk. Terdiam menunggu antisipasi akan pertanyaan Karen. "Apa benar Maritz Azada membunuh selirnya dan menjadikannya umpan burung pemakan bangkai?" Hana terkejut dengan pertanyaan Karen. Membuat Karen terdiam menunggu jawaban Hana yang terasa membunuhnya. Karen ingin tahu kekejaman Maritz Azada yang melegenda di desanya. Para dewan di dalam Istana Miura sering membacakan ini terutama anak gadisnya saat mereka berkumpul. Dibalik paras tampan mematikan milik Maritz Azada, tersembunyi sejuta mimpi buruk yang menakutkan. Seperti kegelapan yang tak memiliki dasar. "Maaf," Karen menggeleng sembari memegang kepalanya. "Tidak seharusnya aku bertanya itu, 'kan?" Hana terdiam dengan wajah menyesal. Dia hanya mengangguk, mencoba berucap tapi lidahnya terasa kelu. Seperti terkunci rapat-rapat untuk tidak membicarakan apa pun mengenai kekejaman yang ada di dalam istana pada luar. Dia sudah bersumpah sebagai dayang Istana Bunga. "Lupakan. Ayo pergi, aku ingin membersihkan tubuhku," Karen berjalan mendahului Hana dan pergi melalui jalan yang berlapiskan bebatuan sungai yang sudah dihias secantik mungkin untuk para dayang dan para selir yang hendak menemui raja di Istana Kerajaan. "Maafkan aku!" Karen mengangkat kepalanya mendengar suara tangis. Dia menolehkan kepalanya, mendapatkan sekumpulan para selir bergaun cantik tengah berdiri dari balkon lantai satu menghadap sesuatu di bawah sana. Karen berjalan mendekat dengan Hana yang mencoba berlari mengejarnya. Dengan mengangkat kimono lusuhnya, Karen mencoba menembus kumpulan para dayang yang menunduk menunggu para selir segera pergi dari sana. Karen yakin itu adalah dayang yang ditugaskan untuk menemani selir kemana pun mereka pergi. Sama seperti dirinya. Para dayang yang melihatnya melemparkan tatapan mencemooh sebelum akhirnya menunduk memberi jalan karena melihat Hana dibelakang Karen. Karen tak peduli dengan mereka, dia ingin melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. "Putri Karen, berhenti," Hana mencoba menghentikan langkah Karen yang terburu-buru mendengar suara tangisan itu kembali kencang terdengar. Membuat denyutan di dadanya terasa sakit karena merasakan seperti mendengar suara adiknya. Karen sampai di tempatnya. Melihat empat prajurit kerajaan tengah menggantung seorang gadis dengan kimono putih seperti tahanan penjara dengan kejam. Dua dari mereka mencoba mengikat tali di tangan dan kakinya. Salah satunya mengasah samurai yang tajam, membuat mata Karen melebar. "Apa-apaan ini?" Karen mencoba maju, tapi langkahnya tertahan tangan Hana yang memegang lengannya dengan gemetar dan kedua mata berkaa-kaca. "Jika Anda melakukannya, Anda juga akan dihukum sama seperti dirinya. Kumohon, jangan lakukan apa pun." "Apa salahnya?" Karen hampir berteriak frustrasi. Mendengar bunyi ujung samurai yang diasah oleh salah satu prajurit bertopeng seram itu. "Dia adalah salah satu selir yang menempati Istana Bunga. Raja Maritz dan dirinya bersama dua hari yang lalu. Setelah itu para dewan memerintahkan selir itu untuk mati karena Raja Maritz tidak lagi mau melihatnya. Itu sudah terjadi berkali-kali ..." suara Hana bergetar. "Tolong, mundurlah Putri, kumohon." "Jadi yang dikatakan orang-orang itu benar?" Karen menggigit bibir bawahnya keras-keras. Hana mengangguk dengan gemetar. "Keluarga sang selir diberi anugerah yang melimpah dari kerajaan. Mereka akan hidup berkecukupan dalam waktu yang lama karena kerajaan menanggung hidup mereka." "Dan nyawa sebagai tawaran bukan hal yang baik," Karen meremas kimononya. "Kau tidak berpikir kalau keluarganya mencarinya? Apa emas begitu penting untuk mereka dibanding putri mereka sendiri?" Karen kembali menoleh. Mendengar teriakan meminta tolong gadis itu semakin membuatnya kalut. Dia ingin berlari, membuat keempat prajurit tidak punya hati itu menjauh. Karen mengangkat kepalanya, melihat burung pemakan bangkai terbang di atas mereka. Suara riuh dari para selir mengganggu telinganya. Hana ikut mendongak, menatap sekumpulan burung besar itu di atas kepalanya dengan pandangan ngeri. "Tidak, tidak, ini salah," Karen maju beberapa langkah tetapi langkahnya tertahan oleh salah satu dayang dengan kalung dan gelang perak di tangannya. Pandangan dayang itu begitu menusuknya, seolah mengulitinya hidup-hidup. "Minggir." Dayang itu tetap diam. "Pergi!" Karen berteriak keras. Membuat keempat prajurit itu menoleh padanya. Begitu juga dengan para selir yang tadinya ramai menjadi hening. Semua mata tertuju padanya. "Kau tidak bisa menahanku disini!" Karen kembali maju tetapi langkahnya kembali tertahan dengan dua dayang lainnya. Membuat Hana berlutut ketika tatapan mata dayang itu mengarah padanya. "Pergilah, Putri," nadanya mengancam tetapi Karen tidak gentar. Karen menoleh, mendapati bibir pucat gadis yang terikat itu meminta tolong padanya dalam lirihan kecil. "Bebaskan gadis itu," Karen berteriak pada keempat prajurit yang terdiam mendengar perintahnya. "Biarkan aku yang mengganti nyawanya." Hana melebarkan matanya. Dia menggeleng memohon pada dayang di depannya untuk tidak mendengarkan ucapan Karen. Karen menoleh, mendapati Hana bersujud karena dirinya. Dia kembali mengangkat kepalanya, menemukan salah satu wanita dengan sanggul dan perhiasan mewah di leher dan rambutnya mendekat padanya. Sebuah tamparan mengenai pipinya. "Bangsawan rendahan sepertimu tidak bisa memerintahkan siapa pun disini!" Karen mengusap pipinya yang memerah. Mendengus menahan marah ketika tatapan mata merah itu menusuknya. Tajam dan dingin. "Tolong, Selir Parviz, tolong," Hana kembali bersuara. Membuat Karen geram. "Aku bahkan tidak peduli dengan siapa dirimu disini. Kekuasaaan apa yang kau dapatkan dengan gayamu yang mencolok dari selir lain," Karen mendesis dalam suaranya. Mendapati wajah itu memerah karena marah. "Aku hanya mencoba menghentikan kekejaman yang tidak masuk akal yang terjadi di kerajaan ini. Apa aku berbuat salah?" "Kau melanggar batas yang tidak seharusnya, Putri," wanita itu bersuara dengan nada mencemooh. Merendahkan Karen dengan kasar. "Jika itu yang kau mau, aku bisa membuat prajurit itu menyeretmu dan memenggal kepalamu." Karen tersenyum kecil. "Coba saja." Wajah Selir Parviz memerah mendengarnya. Dia segera menunjuk salah satu prajurit yang berjaga untuk membawa Karen ke tengah lapangan. Suara langkah sepatu yang berlari membuat para selir menoleh. Mereka menemukan Jenderal Kelas Satu, Parviz Zidan berlari memutari koridor dan berhenti tepat di depan Selir Parviz yang menyeringai karena Karen dibawa pergi oleh prajurit itu. "Hentikan!" Suara keras sang Jenderal membuat Selir Parviz menoleh tajam. Dia memandang pria berambut kuning menyala itu dengan dingin dan dibalas sama tak kalah dinginnya. "Kau seharusnya diam, Putri," bisik Zidan. "Raja memerintahkan untuk tidak mengeksekusi Putri Gazala hari ini! Para prajurit diperintahkan untuk mundur!" Para selir berbisik-bisik mendengar perintah dari Jenderal yang terkenal itu dengan pandangan bertanya dan bingung. Selir Parviz mengepalkan tangannya kuat-kuat, menatap Jenderal Zidan dengan pandangan membunuh sebelum akhirnya berbalik pergi. Karen dilemparkan di tengah alas berumput dengan kasar oleh prajurit bertopeng itu. Membuat lengannya sedikit memar karena terbentur bebatuan. Begitu juga dengan ketiga prajurit lain yang pergi. Meninggalkan tempat eksekusi dalam diam. Karen mengusap lengannya yang memerah kemudian berlari menyelamatkan Putri Gazala yang berdiri dengan wajah basah karena merasa lega. "Terima kasih," bisiknya dalam lirihan penuh tangis. "Terima kasih," Karen berusaha membuka ikatan tali yang menggantung kedua tangan mungil Gazala. "Kau tidak apa?" Karen mengusap pergelangan tangan wanita itu. Gazala mengangguk dengan senyum saat semua talinya terlepas. Karen mencoba menggandengnya turun melalui tangga batu dan berhati-hati. Para selir masih memperhatikan mereka dari balkon kamar mereka masing-masing. Seluruh pasang mata menatap mereka dengan pandangan bingung dan kagum dari beberapa orang. Karen mengangkat kepalanya, mendapati sekumpulan selir memandangnya hina dan merendahkan. Kepala merah mudanya menoleh, mendapati Gazala menunduk sembari menggenggam tangannya erat. Mata Karen menyipit saat dia menemukan Maritz Azada dengan jubah kebanggaannya bersandar pada tiang penghubung koridor dan lapangan dengan pandangan yang tak terbaca. Zidan ada disana bersamanya, juga menatapnya dengan pandangan dalam. "Ayo," Karen menarik tangan Gazala masuk ke dalam. Dayang muda itu memberikan Gazala handuk untuk membasuh wajahnya yang basah. Genggaman tangan Karen terlepas saat Hana mendekat dan memberikan kain untuk Karen. Tatapan matanya jatuh pada luka di lengan Karen, Karen menggeleng, membuat Hana mengangguk dan membawanya pergi ke kamar barunya. . . "Siapa wanita berambut merah itu?" Hana menghentikan kegiatannya melipat kimono kotor Karen. Mata teduhnya menatap kedua iris hijau hutan itu dengan pandangan lirih. "Dia adalah kesayangan Raja Maritz." "Oh, kupikir dia calon permaisuri?" Hana menggeleng. "Sudah bertahun-tahun, tetapi Raja Maritz tetap tidak menjadikannya permaisuri." "Jelas saja, dia punya sifat yang buruk!" Karen bersuara keras. Membuat Hana menggeleng padanya. Menghela napas, Karen berbaring di ranjang besarnya. Menatap langit=langit kamarnya dengan sendu. "Aku akan dihukum setelah ini ..." desahnya. "Menurutmu, apa hukumanku?" "Semoga saja tidak, Putri," Hana mendekati Karen dan duduk di bawah. Tepat di dekat kaki Karen. "Yang Anda lakukan benar-benar membuat Istana Bunga heboh. Tidak ada yang berani melanggar batas, termasuk Selir Parviz sendiri jika menyangkut eksekusi itu." "Aku memikirkan adikku saat melihatnya," Karen duduk di pinggir ranjang. Memandang jendela kamarnya yang terbuka. Dia bisa melihat Istana Kerajaan yang besar dan menyeramkan dari dalam kamarnya. Karen berjalan menuju balkon kamarnya, mendapati dia ada tepat di seberang sebuah balkon besar sebuah ruangan di Istana Kerajaan. Hana mengikutinya dalam diam. Berdiri tidak jauh dari Karen. "Selir Parviz menjadi selir dengan pangkat tertinggi di Istana Bunga. Kedudukannya mungkin bisa disamakan dengan permaisuri yang dihormati," Hana membuka suaranya. "Tetapi ada batasan yang Raja Maritz berikan untuk Selir Parviz. Termasuk untuk tidak menyentuh Istana Putih dan masuk ke dalam Istana Kerajaan secara sembarangan." "Dia belum memiliki kekuasaan apa pun," Karen mendengus. "Jika dia menjadi permaisuri, dia bisa berkeliling semaunya. Dan dia tidak bisa melakukan apa pun," Karen menggeleng. "Dia pasti sangat kesal." "Selir Parviz adalah satu-satunya keturunan wanita yang terlahir dalam klan Parviz yang terkenal karena pengabdiannya pada Raja Maritz terdahulu. Dulu, Jenderal Besar Julian juga mengabdi pada Raja Maritz Aristide dalam waktu yang lama. Para dewan juga sebagian besar berasal dari klan yang makmur itu. Mereka menghormatinya." "Dan memberikan Putri Parviz untuk menjadi selir kerajaan?" Hana mengangguk. "Benar. Hanya bangsawan kelas atas yang bisa menduduki posisi selir tertinggi," Hana melirik Karen. "Hanya mereka yang terlahir dari klan dan keturunan kerajaan yang bisa. Parviz termasuk bangsawan tinggi karena kerja keras mereka dan keturunan terdahulu." "Wanita itu menyeramkan," Karen mengusap lengannya. "Aku akan sebisa mungkin menjauh darinya." Karen menatap Hana. "Kau juga sepertinya tidak suka dengannya," alisnya terangkat satu menangkap ekspresi Hana. "Aku benar, 'kan?" "Ah, itu ..." "Tidak apa. Kita menjadi satu sekarang. Kau dan aku tidak akan mencampuri urusan selir satu itu. Jika dia mengganggu kita ..." Karen menggembungkan pipinya. "Mungkin aku punya cara untuk membalasnya." "Tapi selir yang berasal dari rakyat dan bangsawan kelas rendah tidak berani melakukannya!" Hana menyela ucapan Karen. Karen tersenyum. Dia memutar tubuhnya menatap Hana dengan pandangan geli. "Apa bangsawan dari klan Miura tidak bisa melakukan itu?" Lalu, kedua mata cokelat itu sukses melebar karena terkejut. . . "Apa?" Hana mengangguk pada Nisaka yang kini ikut duduk bersamanya di taman belakang dapur. Ini tempat yang aman ketika mereka berbicara dan bertemu satu sama lain karena tempat ini adalah pribadi hak milik Nisaka. Nisaka adalah seorang bangsawan kelas rendah berasal dari desa terpencil bernama Ikeda. Klan Ikeda tidak begitu maju. Hanya saja penghasilan ladang mereka cukup besar dan menjadikan klan kecil itu makmur dengan penghasilan mereka sebagai petani. Nisaka mengabdikan diri pada kerajaan sejak usianya tujuh belas. Ayahnya bekerja sebagai koki utama di Istana Kerajaan dan Istana Putih. Tetapi karena usianya, dia memilih mundur dan Nisaka menggantikannya. "Dia ... maksudku, Putri Karen berasal dari klan Miura yang menjadi bahan gosip di Istana Bunga itu?" Hana mengangguk. "Jika sampai tersebar, aku yakin Selir Parviz akan melukainya." "Aku pikir dia berasal dari bangsawan rendah sama sepertiku," Nisaka memukul kepalanya gemas. "Aku merasa bodoh karena tidak begitu menghormatinya." "Aku juga," Hana mendesah panjang. "Selama ini antar kerajaan dan klan ingin tahu kedua putri cantik keturunan Miura yang melegenda. Para selir juga lakukan hal yang sama. Kenapa Kerajaan Maritz tidak mampu membawa salah satu dari putri itu ke dalam istana mereka ... dan sekarang ..." "Tapi memang dia sangat cantik," Nisaka menoleh pada Hana. "Bahkan tadi saat aku bertemu dengannya dan dia memakai kimono kotor saja, dia sangat cantik." "Dia lebih cantik saat dia marah," Hana tersenyum. "Kau pasti mendengar bagaimana kejadiaan siang tadi, bukan? Dia berusaha menyelamatkan Putri Gazala dari hukuman itu. Selir Parviz menamparnya dan dia tidak kalah." "Itu hebat!" Nisaka bertepuk tangan. "Aku akan mengabdikan diriku untuk berada di pihak Putri Karen, ah, Selir Miura," Nisaka menatap Hana dengan pandangan berbinar. "Itu akan terjadi, bukan?" "Aku belum tahu. Jika itu terjadi ..." "Tidak, Hana, jangan berpikiran macam-macam. Raja Maritz akan melindunginya sama besarnya ketika dia melindungi Selir Parviz. Perebutan kekuasaan permaisuri baru benar-benar akan dimulai jika semua orang tahu siapa Putri Karen sebenarnya." . . Karen mengangkat gaunnya, berjalan memapaki sungai kecil yang bening tanpa alas kaki seorang diri tepat di dekat Istana Kerajaan. Banyak ikan kecil berwarna-warni yang berenang di dekat kakinya. Membuatnya merasa santai. Hana berdiri tidak jauh darinya. Mengawasi Karen yang sibuk dengan dirinya sendiri. Para selir memang diperbolehkan main untuk menikmati anak sungai yang bening dan melihat pemandangan dari taman yang penuh aneka bunga. Hana menawarinya dan Karen mengikutinya. Karen tidak ikut makan malam antar selir di ruang makan Istana Bunga. Hana mengantarkan makan malamnya ke dalam kamar dan Karen mengajaknya pergi setelah menghabiskan makan malamnya. Hana menunduk dalam saat melihat Jenderal Kelas Satu, Parviz Zidan berjalan melewati lorong dan mendekatinya. Tatapan mata birunya jatuh pada Karen yang duduk di batu dan memainkan kakinya di atas aliran air yang bening. "Dia tidak kedinginan bermain air di malam hari?" tanya Zidan pada Hana. "Mohon maaf, Jenderal. Putri Karen bilang dia ingin mencari udara segar. Saya mengajaknya kemari agar pikirannya lebih terbuka." "Tidak apa. Para selir memang diperbolehkan. Hanya saja malam ini seperti akan turun hujan," Zidan menatap langit yang gelap di atas kepalanya. "Setelah selesai, basuhkan kakinya dan ganti pakaiannya. Selir akan sedikit menyusahkan jika dia sakit, bukan?" Hana segera mengangguk dan kembali menunduk saat Zidan berjalan menjauhi mereka. "Kau tidak mau bergabung?" Karen menutup mulutnya karena dia berteriak, membuat Hana menggeleng. "Tidak ada yang lihat. Bergabunglah." "Tidak, Putri." Karen menggeleng dan kembali menoleh, menatap dedaunan yang jatuh di atas air karena tiupan angin. Hana mendengar suara gemerisik jubah yang dekat dengannya. Dia segera berdiri, dan benar saja dugaannya. Raja Maritz datang dari sebelah timur dengan jubahnya dan tanpa pengawasan. Hana berdiri dan menunduk lebih dalam saat langkah kaki itu terhenti tidak jauh darinya. Masih dengan menunduk tidak berani menatap wajah sang raja, Hana melirik Karen yang masih tidak tahu keberadaan seseorang dibelakangnya. "Pergi dari sini." Hana terkejut mendengar titah sang raja. Dengan patuh, dia segera pamit undur diri dan berjalan menjauhi lorong menuju Istana Bunga. Meninggalkan Karen yang menangkap sosoknya tengah berjalan meninggalkannya. "Heh, kenapa dia pergi? Sial, aku terlalu lama bermain." Karen berdiri dari tempat duduknya dan bawah gaunnya terinjak, membuatnya tersandung dan terpeleset jatuh terduduk di atas air. Pakaiannya basah dan rambutnya terkena pancuran air kecil di atasnya. Karen lag-lagi harus menahan rasa dinginnya. "Kau butuh bantuan?" Karen mengangkat kepalanya karena dia sibuk merutuki kebodohannya sendiri. Matanya melebar mendapati Maritz Azada di depannya, mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Karen menunduk, berusaha menghitung mundur apakah dia harus menerima uluran tangan itu atau tidak. "Maafkan aku, Yang Mulia," Karen mengusap tangannya yang basah setelah genggaman tangan mereka terlepas. "Tidak seharusnya aku disini." Karen kembali menunduk meminta maaf dan berjalan pergi. "Ganti pakaianmu." Maritz Azada menarik tangannya menuju suatu tempat yang ada di Istana Kerajaan. Karen yang tahu tempat ini segera menunduk, menyadari kalau dia menyentuh tempat terlarang yang tidak seharusnya. "Ambilkan pakaian untuknya," Karen melihat dayang yang sudah paruh baya itu mengangguk pada Azada dan menghilang di belokan lorong. Masih dengan rambut dan pakaian yang basah, Azada membawanya ke dalam sebuah kamar yang besar. Membuat mata Karen melebar. "Aku tidak seharusnya disini," Karen berbalik hendak berjalan mendekati pintu tetapi Azada menahannya. Membuat tubuh mungil itu kembali jatuh terduduk di hadapannya. "Untuk yang kesekian kalinya hari ini kau melanggar batas yang kubuat, Selir Miura," Azada berlutut menyamakan posisinya dengan Karen yang duduk. "Aku sedang mencari hukuman yang manis untukmu," katanya dengan seringai tipis. Membuat bulu Karen meremang mendengarnya. Pintu terketuk dan dayang tua itu masuk ke dalam. Azada berdiri dari tempatnya, berjalan menuju meja panjang dan membiarkan dayang itu membawa Karen ke dalam bilik kecil dimana Azada biasa berganti baju di sana. Dibantu dengan dua dayang muda lainnya. "Anda benar-benar beruntung masuk ke kamar ini," bisik dayang itu. Karen menggeleng. "Aku tidak mengerti." "Ini kamar Yang Mulia. Tidak ada selir mana pun yang masuk ke dalam kamar ini. Mereka biasanya tidur bersama di Istana Merah tepat di dekat Istana Kerajaan. Kamar ini terlarang selain para dayang Istana Kerajaan." "Aku akan mati," Karen berbisik saat dayang itu menyisir rambutnya. Membiarkannya terurai tanpa menyanggulnya. "Selama Anda tetap diam. Semua akan baik-baik saja," dayang itu segera pamit mengambil pakaian kotor Karen yang sudah tergantikan dengan pakaian yang bersih. Karen keluar dari dalam bilik, menatap jendela kamar Azada yang besar dan balkon yang tak kalah besarnya. Karen berjalan kea rah balkon, dan kedua matanya sukses melebar saat dia melihat pemandangan kamarnya di Istana Bunga. "Ini kebetulan, bukan?" Karen melompat dari tempatnya saat Azada berdiri dan bersandar pada tiang balkon kamar. Raja telah berganti pakaian menjadi pakaian santai untuk tidurnya. Karen kembali menoleh, menatap kamarnya. "Aku bisa melihatmu dari sini. Aku tahu apa saja yang kaulakukan di dalam kamar itu," Azada menunjuk kamar Karen dengan telunjuknya. "Kau senang diawasi?" "Tidak, Yang Mulia." Azada tersenyum tipis mendengarnya. Dia mendekat ke arah Karen, membuat Karen segera menunduk, tidak berani bertemu pandang dengan mata segelap malam yang menghipnotis itu. Mereka benar, Raja dari klan Maritz benar-benar tampan. Sangat tampan. Azada menarik tali dari tirai balkon kamarnya. Membuat tirai yang berlapis sutera emas itu turun menutup jendela balkonnya yang masih terbuka. Karen mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap kedua mata itu saat salah satu tangan Azada menariknya mendekat, membuat jarak diantara mereka tidak ada lagi. "Aku memujamu," "Sangat memujamu saat pertama kali melihatmu di perbatasan beberapa tahun yang lalu ..." Karen mengerutkan dahinya dan menggelengkan kepalanya setelah menyadari apa yang dilakukannya. "Banyak gadis diluar sana yang cantik dan menarik," Karen memundurkan tubuhnya. Menatap wajah tampan itu dengan pandangan tak terbaca. "Tetapi tidak seperti dirimu." Azada menundukkan wajahnya, memutus jarak diantara mereka dengan ciuman di bibir wanitanya. Karen membuka matanya, menyadari apa yang dilakukan sang raja padanya. Tangannya terkepal tetapi segera terlepas saat Azada menggenggamnnya, membawa kedua tangan itu mengalungi lehernya. Ciuman itu terlepas. Azada tidak memaksanya. Hanya ciuman ringan yang membuat wajah Karen memerah. "Seperti janjiku menyelamatkan adikmu, begitu juga kau yang harus berjanji untuk tetap di sini." Karen terdiam, menghitung resiko apa yang bisa dia dapatkan ketika dia berada di lingkungan yang kejam ini. "Menjadi tahananmu?" Azada tersenyum samar. "Jika kau menganggapnya begitu, ya." "Kau akan dihormati di seluruh penjuru istana ini sebagai kesayanganku," Azada kembali menunduk, menggesek hidungnya dengan hidung mungil dipelukannya. "Dan aku akan melihatmu sebagai tawanan manisku. Disini. Untuk diriku sendiri." Dan kembali menciumnya, dengan lumatan dalam dan gairah yang terpendam yang sebisa mungkin dia tahan di depan wanita dengan rambut merah muda indahnya. Karen memejamkan matanya saat tangan pria itu memeluk pinggangnya hingga merapat pada d**a bidangnya. Dan tangan lainnya terselip di antara rambut merah mudanya yang tergerai. Karen merasa dia bersandar pada tembok kamar yang dingin dengan ciuman Azada yang semakin dalam. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain membalas ciumannya dan membuat pria di depannya menyeringai.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

See Me!!

read
87.9K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.1K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

T E A R S

read
312.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook