bc

Love is Like a Snowflake

book_age16+
419
FOLLOW
2.3K
READ
family
independent
confident
inspirational
drama
tragedy
bxg
cheating
friendship
like
intro-logo
Blurb

DIa terluka. Berusaha bangun untuk menyembuhkan hati yang pernah patah. Dan ada seseorang yang berhasil membawa senyumnya kembali.

Tapi bisakah?

chap-preview
Free preview
1
Pagi yang cerah setelah sebelumnya Tokyo selalu dilanda hujan dan badai selama satu pekan lebih. Lena tidak lagi bisa menghitung berapa banyak pakaian yang harus dia cuci dan keringkan karena terkena hujan. Dia berangkat lebih awal pergi menuju halte untuk bekerja. Satu tahun lebih dia bekerja bersama sahabat baiknya, Itoo Nalaya di butik miliknya. Nalaya memiliki bakat sejak mereka duduk di bangku menengah atas. Dan berhasil mewujudkan impiannya. Lena bersyukur setidaknya dia memiliki keterbatasan karena tidak mampu bersekolah tinggi layaknya Nalaya, yang hidup berkecukupan. Nalaya menempuh pendidikan di luar negeri selama lima tahun. Dan kembali setelah berhasil mengembangkan bisnisnya sebagai pemilik butik kenamaan. Menciptakan label sendiri dan beberapa produk lokal yang menjanjikan. Kemampuan yang Lena miliki hanya dua. Menjahit dan membuat kue. Ilmu yang dia dapati dari neneknya semasa hidup dulu adalah bekal yang sangat berguna untuknya. Lena tidak bisa lebih bersyukur karena dia merasa sedikit berguna untuk orang lain. Bis sudah datang. Memilih tempat duduk yang kosong, Lena mengambil tempat di dekat jendela. Tempat favoritnya. Memakan waktu kurang lebih lima belas menit perjalanan menuju butik, Lena mengamati jalan sekitar yang mulai ramai karena orang-orang beraktivitas. Memberikan selembar uang pada sang supir, Lena turun. Tepat di depan butik bertuliskan Itoo Boutique's besar-besar di depan pintu masuk. Dia berjalan santai, menikmati setiap langkah saat Nalaya melambai di dalam dan membukakan pintu untuknya. "Lena!" Lena tersenyum, memberikan sapaan pagi hari yang khas. "Selamat pagi, Nalaya. Kau datang lebih awal," dengan bibir berkerut ke bawah. Kekehan Nalaya terdengar kemudian. Dia menarik tangan Lena dan membiarkan wanita itu masuk ke dalam ruangan untuk menaruh tas dan melepas mantel. "Haruka dan Mara belum datang," kata Nalaya saat dia duduk di kursinya. "Hari ini kita punya dua pesanan untuk diambil minggu depan. Aku minta pendapatmu." Lena maju ke meja, melihat Nalaya yang sibuk membuka kertas gambarnya. "Bagaimana dengan ini? Aku mengarsir beberapa bagian agar perpaduan warnanya sempurna. Ini gaun untuk lamaran nanti." "Hmm, bagus." Lena menyentuh gaun panjang yang menutupi kaki itu hati-hati. "Jika aku menjahit ini sedikit lebih tertutup, mungkin lebih baik?" Sudut bibir Nalaya tertarik. "Ide yang bagus! Aku akan mengubahnya sedikit," dia mulai mengambil pensil dan pensil warna. "Aku sudah memesan bahannya. Sekitar satu jam lagi aku harus pergi mengambil bahan pakaiannya." Lena mengangguk singkat. "Aku akan kembali ke mejaku," menepuk meja Nalaya pelan. "Panggil aku kalau kau butuh sesuatu?" Nalaya tertawa. "Oke, oke." Lena duduk di kursinya. Ada mesin jahit keluaran terbaru yang disediakan Nalaya untuknya. Butik ini tidak pernah sepi pelanggan. Sejak pertama kali ini dibuka, pelanggan kelas atas selalu datang memesan pakaian atau melihat-lihat contoh gaun yang sudah dibuat sebelumnya. Mereka meminta sesuai selera masing-masing. "Aku bangun pagi, tapi jalanan benar-benar macet," keluh Haruka saat dia membuka pintu dan menyapa Lena. Lena tersenyum melihat Haruka masuk ke ruangan karyawan untuk menaruh tas dan jaketnya. Dia keluar dengan rambut terikat. "Lena, di mana bos?" Lena menunjuk ruangan Nalaya yang terbuka. Haruka mengangguk setelah itu pergi ke meja untuk memotong bahan pakaian yang akan Lena gunakan membuat baju. "Mara terlambat lima menit," Haruka berteriak dan Nalaya menggumam tidak jelas dari ruangannya. Sudah menjadi hal biasa melihat Haruka begini setiap pagi. "Kau sudah Sarapan?" Lena menggeleng tanpa melepaskan pandangannya dari gaun model kebaya yang sedang dia jahit. Bunyi mesin menderu di dalam ruangan. "Aku memesan makanan, bagaimana?" "Aku sudah pesan, kalian hanya perlu duduk manis," sahut Nalaya saat dia keluar untuk mencari meteran baju. "Ada di laci nomor tiga, bos," kata Haruka. Nalaya mengedipkan mata dan berlalu pergi. "Dia terlalu baik," Lena berucap setelah menggunting bahan yang berlebih dan mulai kembali menjahit. "Aku ingin makan bubur kerang sebenarnya," Mata Haruka berbinar. "Aku juga! Kuharap bos Nalaya tahu apa yang kita berdua inginkan." *** Jam makan siang tiba. Biasanya mereka memesan makanan untuk mereka makan di dalam butik. Di saat jam makan siang ini, butik akan tutup selama setengah jam lalu kembali buka setelah para karyawan siap bekerja. Nalaya tidak memaksakan untuk karyawannya bekerja terlalu keras, tapi kesepakatan bersama untuk bekerja semestinya membuat wanita pirang itu menyerah. Pintu terbuka, terdengar dari lonceng yang menggantung di atas pintu kaca. Lena menoleh bersamaan dengan Mara yang sedang memakan nasi karagenya. "Raka?" Lena berdiri, melihat sosok Satoo Raka tersenyum padanya. "Nalaya ada di dalam, dia baru saja kembali setelah mengambil bahan baju," kata Lena. Menyuruh pria berambut klimis itu untuk duduk di sofa ruang tunggu. "Kau terlihat pucat pagi ini, Lena," Lena menatap Raka dengan alis terangkat. "Aku? Aku baik-baik saja," jawabnya. "Dia tidak menghabiskan Sarapannya tadi pagi. Pasti sesuatu salah dengan tubuhnya," sahut Nalaya setelah mengalungkan tas dan berjalan mendekati Raka. "Aku akan makan siang di luar, Lena. Titip butik, ya?" Lena tertawa. Dia mendorong punggung Nalaya bersama Raka yang bergandengan tangan keluar butik. "Aku akan menjaganya," Mereka menaiki mobil milik Raka yang terparkir apik di depan butik. Bunyi klakson terdengar, Lena melambaikan tangannya saat mobil itu tidak lagi terlihat di matanya. Haruka duduk dengan segelas cola di tangan. Mara masih sibuk memakan ayam gorengnya saat Lena ikut bergabung. "Aku menunggu bos kita menikah," pekik Haruka saat dia ikut duduk di samping Mara. "Mereka sudah berkencan cukup lama. Sebentar, berapa lama?" Lena berpikir. "Lima tahun? Kurasa," Alis Haruka tertekuk. "Kau ada di sekolah yang sama dengan Nalaya, kan? Raka juga walau kalian tidak ada di kelas yang sama." "Uhm," Lena mengangguk singkat. "Raka berpacaran dengan Nalaya sejak kelas satu menengah atas. Sampai mereka lulus tetap bertahan dalam hubungan itu. Tetapi, saat Nalaya kuliah di luar negeri, aku tidak tahu lagi." Haruka mengangguk bersamaan dengan Mara. "Kupikir hubungan mereka pasang surut. Hubungan jarak jauh cukup sulit. Melihat bagaimana Nalaya yang amat mempesona, Raka tidak bisa melepaskannya sedikit saja, Nalaya akan didapatkan pria lain." Lena mengangguk. "Kau benar, Haruka," dahinya mengernyit. "Nalaya sedikit tertutup dengan kisah cintanya. Aku rasa tidak terlalu banyak walau kita bersahabat." Haruka mengambil remote televisi. Mulai menyalakan televisi karena jam istirahat mereka masih menyisakan waktu lima belas menit lagi. Berganti-ganti tayangan setiap detiknya, dia memutar mata bosan. "Gosip lagi gosip lagi," keluh Haruka. "Kenapa para selebriti selalu saja cerai, cerai dan cerai? Apa mereka menikah karena sponsor? Iya?" Lena terkekeh. "Biarkan saja," Haruka menatapnya bosan. "Pernikahan itu bukan hal yang main-main, Lena. Kalau kau berjanji seumur hidup, itu artinya seumur hidup. Sampai maut memisahkan. Ini tidak seperti yang kita bayangkan. Mereka menganggap pernikahan hanya main-main untuk mendapatkan perhatian publik." Lena terpaku mendengar penjelasan Haruka. Gadis itu tidak peduli dengan terus mengganti saluran televisi sampai berita tentang Katoo Hatta yang berhasil menghentikan sebuah tender karena kasus pencucian uang terkuak ke publik. "Dia ..." Mara melirik Lena yang membeku. Memalingkan wajah ke samping dan tidak melihat televisi. "Cepat ganti, bodoh." Haruka buru-buru menggantinya. Dia mematikan televisi saat Lena berdiri dari sofa dan pergi ke meja kerjanya. Mengabaikan tatapan Haruka dan Mara. "Kau ini bagaimana?" Mara marah pada Haruka. "Katoo Hatta adalah pria yang ingin Lena lupakan." "Aku tidak tahu," Haruka melotot pada Mara. Dia juga merasa bersalah mengingat bagaimana Lena bertahan untuk melepaskan bayang-bayang Katoo Hatta yang menyakitkan. "Aku masih sedih mengingat bagaimana Lena yang bercerai dari Hatta setahun lalu," kata Haruka pilu. "Satu-satunya hubungan yang pernah Lena jalani adalah bersama pria itu. Tetapi b******k tetaplah b******k. Benar?" Mara mengangguk tipis. "Ayo, hibur dia." Haruka beranjak dari sofa dan Mara bergegas mencuci tangan di wastafel. Membantu Lena melupakan rasa sakitnya sementara waktu. *** Lonceng berbunyi. Mara mendorong kursinya dan berdiri menyambut pelanggan pertama mereka setelah butik dibuka. Dia tersenyum, melihat sosok pria berkemeja abu-abu berdiri dengan wajah datar saat memasuki ruangan. "Mori Advan, lagi?" Haruka berbisik pada Lena yang sedang menggulung benang jahit. Dia menoleh, menatap Advan yang tengah menelanjangi ruangan seolah mencari seseorang. "Duduk dulu, Tuan Mori," Mara mundur beberapa langkah saat Advan duduk. Dia menoleh, melihat Haruka yang berdiri. "Ada yang bisa kami bantu?" Advan menatap gadis itu. "Di mana Nalaya?" Lena mendengar suara dalam Advan seakan benar-benar mendesak mencari Nalaya yang masih bersama Raka di luar. Dia berdiri dari kursinya, menyuruh Haruka dan Mara kembali ke mejanya. "Nalaya pergi untuk makan siang. Kau butuh sesuatu?" Mata Advan yang dingin menatapnya. "Dia bilang aku bisa mengambil gaun itu siang ini," dia mendesis. "Pembohong." Mata Lena melebar mendengar gumaman Advan. "Kurasa kau salah," Lena berdiri dari sofa. "Atas nama siapa kau mengambil pakaian itu?" "Fujita Abe," Mata Lena menyipit tidak suka. "Sebentar," lalu pergi ke ruangan penyimpanan pakaian yang sudah jadi. Haruka membantu Lena untuk mencarikan pakaian yang Advan maksud. "Kurasa dia berbicara sendiri dengan bos kita lewat jalur belakang," kata Haruka. Lena menggeleng pelan. "Aku tidak yakin pernah menjahit pakaian itu untuk Mori Advan," Haruka mengangguk. "Ini," dia memberikan bungkusan plastik pada Lena. Mengambil kantung untuk membungkus baju itu, Lena bergegas sekali lagi ke depan. "Pesanan atas nama Fujita Abe," Lena mendorong tas itu ke hadapan Advan. "Pembayaran tunai atau kartu?" "Tunai," Lena menatapnya sebentar, lalu mengambil kwitansi dari laci. Dia menuliskan harga yang harus Advan bayarkan setelah itu tanda tangan, Advan menerima bukti pembayaran itu setelah Mara memberikannya melalui meja kasir. "Aku kembali," suara ceria Nalaya memutuskan seluruh atensi di ruangan. Haruka menoleh, dan melihat Nalaya yang membeku, ada kejanggalan di dalam benak mereka. Lena tersenyum saat Nalaya berjalan mendekatinya. Dia berdiri di samping Lena, menatap Advan. "Mau apa kau?" Advan terhitung sudah tiga kali kemari. Dengan pesanan yang berbeda dan bukan untuk dirinya sendiri. Dan Lena melihat bagaimana ekspresi Nalaya yang mengeras juga tubuh membeku kala melihat Advan datang. Pria itu berdiri dengan senyum dingin. Lena merinding melihatnya. "Mengambil pesanan seseorang," dia mengangkat tas itu ke depan wajahnya. "Abe kemari, kan?" "Aku menerima pesanan atas Fujita Abe, bukan Mori Advan," suara Nalaya mulai meninggi. Lena tidak tahu mengapa Nalaya terlihat kacau setiap Advan ada. Advan berlalu pergi begitu saja. Mengabaikan bagaimana kedua mata biru Nalaya yang mulai menggenang sempurna. Nalaya meremas tasnya dan berlalu menuju ruangannya. "Ini aneh," ucap Haruka pelan. "Dia terlihat aneh saat bertemu Mori itu, kan?" Lena menatapnya. "Aku tidak tahu," Lena menyuruh Mara untuk menyimpan kwitansi itu dan pergi ke ruangan Nalaya. "Nalaya?" Dia menutup pintu, masuk ke dalam ruangan saat Nalaya meremas rambutnya sendiri dan menunduk di atas meja. "Kau tidak apa?" Nalaya mengangkat wajahnya. Menatap Lena dengan berkaca-kaca. "Lena," memanggilnya lirih. "Bisakah kau dan yang lainnya mengusir pria itu jika dia datang lagi?" "Advan?" Nalaya mengangguk samar. "Kenapa?" Lena tidak mengerti. "Apa dia mengganggumu?" "Dia hanya ... membuatku tidak nyaman," kata Nalaya. Mengusap lengannya sendiri. "Ada beberapa hal yang terjadi dengan kita di masa lalu," ada senyum getir di wajahnya. "Sesuatu?" Lena mulai tidak nyaman. "Nalaya, aku tahu perasaanmu. Tapi kalau kau tidak mau membahas ini—" "Dia mantan kekasihku," Mata Lena melebar. "Apa?" Nalaya tertawa pahit. "Kau tahu, aku dan Raka putus saat aku kuliah di luar negeri. Dan saat itu aku menjalin hubungan dengan Advan." Lena tidak tahu harus berbicara apa. "Kau serius?" Nalaya mengangguk. "Tiga tahun." "Nalaya," Nalaya mengusap wajahnya. "Raka tahu. Aku tidak mau menyakitinya," Lena menggeleng melihat Nalaya yang menangis. "Apa kau masih memiliki perasaan padanya?" Nalaya menatap Lena. "Tidak lagi, Lena. Tidak." Lena tidak lagi berkata apa-apa selain diam. Apakah Advan masih memiliki perasaan untuk Nalaya? *** Fujita Abe menahan napasnya melihat pesanan jas untuk lamarannya terbang bebas mendarat tepat di depan matanya. Bersamaan dengan tas khas milik Itoo Boutique's besar-besar di luar tas itu. Abe menarik napas panjang, melepaskannya kasar. "Advan," tegurnya. Melihat sahabat ravennya yang duduk membelakanginya, menatap ke luar jendela. "Sudah kukatakan, kau tidak seharusnya mengambil ini untukku." Mori Advan diam, tidak menjawab. "Hanya karena kau ingin melihat Itoo itu, kau tidak perlu melakukan ini, ingat?" Abe mencoba berbicara pelan, berharap Advan luluh dengan ucapannya yang penuh kehati-hatian. "Tidak," kepala raven itu menggeleng. Dia memutar kursinya, menatap iris biru Abe. "Ini tidak akan berhasil. Dia tidak akan kembali padaku." Mata Abe memutar. Dia membawa tas itu ke pangkuannya dan duduk di depan Advan. Hanya meja besar yang membatasi antara mereka berdua. "Lupakan dia," bisik Abe. Dia tidak ingin Advan terpuruk karena cinta. Karena Nalaya cinta pertamanya, tidak seharusnya dia menderita sedalam itu. "Ingat saja tentang ibumu yang sakit, kau harus ada untuk menemaninya. Ikeda mungkin tertawa melihatmu kacau karena seorang wanita." Iris pekat itu menggelap. Abe berdeham, menyembunyikan rasa bersalahnya. "Tidak, dengarkan aku, Advan, ini tidak baik. Lupakan Nalaya, dia sudah bahagia dengan Satoo Raka." Ah, Advan mendengus mendengar nama pria itu disebut. "Pria itu jelas bukan tipenya," sungut Advan. Abe mendesah, memijit pangkal hidungnya yang memerah. "Dengarkan aku sekali lagi, pecundang," umpat Abe. Advan melemparkan tatapan dinginnya dan Abe tidak gentar balas menatapnya kecewa. "Mereka bersama sejak sekolah, kau yang tidak ada apa-apanya dibanding sosok Satoo Raka di mata Itoo itu. Sudah kukatakan berapa kali? Hah?" Advan memundurkan wajahnya. Tahu berdebat dengan Abe tidak ada gunanya. Pria itu adalah orang terdekat Advan selama ini. Tidak ada lagi selain dia dan kakaknya yang sudah lama pergi. Mori Ikeda, yang tewas karena kecelakaan pesawat tiga tahun yang lalu. Mori Ken pernah membuat perusahaan konveksi semasa muda dulu. Banyaknya Rakangan membuat Ken tertekan, dia memilih untuk bunuh diri karena hutang dan tekanan dari beberapa investor karena kegagalannya dalam perRakangan lokal. Meninggalkan luka mendalam bagi sang ibu, dan juga kedua anaknya. Ikeda berusaha membangun kerajaan bisnisnya untuk memberi pelajaran bagi mereka-mereka yang membuat dirinya dan keluarganya menderita. Kehilangan sosok ayah di waktu kecil membuat mereka tertekan dan kehilangan separuh kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan. "Ikeda mengirimmu sekolah ke luar negeri untuk ini," kata Abe. "Agar kau bisa meneruskan warisan yang ingin dia jaga untuk menghormati ayahmu, untuk membuatnya bangga," Advan menghela napas panjang. Menyinggung masa lalu keluarganya memang membuatnya marah dan sedih. Dia tidak bisa lakukan apa pun selain menggantungkan seluruh harapan pada sang kakak. Hingga dia pergi dan Advan harus berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Untuk melindungi apa yang Ikeda tinggalkan juga ibunya. "Masih banyak wanita di luar sana," Abe berkata hati-hati. "Jika dia tidak kembali padamu, dia bukan milikmu. Itoo Nalaya, tidak lagi menjadi milikmu. Lupakan dia," Abe berdiri, membawa tasnya dalam satu tentengan tangan dan berjalan keluar ruangan. Advan memejamkan matanya, menikmati udara dingin karena pendingin ruangan yang dia nyalakan dalam standar maksimal. Dia berpikir ruangan yang dingin bisa membekukan pikirannya yang kacau. Nyatanya, tidak. *** "Sampai jumpa!" Nalaya melambaikan tangannya sebelum masuk ke mobil miliknya. Mobil silver itu berjalan keluar dari halaman butik dan berbaur bersama kendaraan lainnya di jalan raya. Haruka memakai mantelnya setelah berjalan bersama Lena. Mara sudah pergi lebih awal karena adiknya menghubungi untuk menjemputnya setelah selesai bekerja nanti di rumah temannya. Dia terburu-buru. "Ingin makan ramen?" Lena menawarkan Haruka saat mereka melewati kedai ramen yang sepi. Haruka mengangguk singkat. Mereka masuk ke dalam kedai ramen dan memesan dua mangkuk ramen panas dan ocha hangat. Mencari tempat duduk yang nyaman sebelum menghela napas lelah. "Kau bahkan sampai membawa dua baju pesanan," keluh Haruka melihat isi tas Lena yang menggembung. "Kau tidak lelah?" Lena tersenyum dengan gelengan kepala kecil. "Tidak apa, aku menganggur dirumah, ini termasuk kesibukanku juga." Haruka mendengus, tetapi ada senyum di wajahnya. "Kalau kau butuh bantuan, hubungi aku, ya." Lena mengedipkan mata sebagai respon. Ramen mereka tak lama datang. Uap panas mengepul di atas mangkuk biru bergambar naga dengan sendok dan sumpit di atas nampan. Ocha hangat yang mereka pesan juga sudah tersaji di atas meja. "Tentang Mori Advan ..." Haruka melirik Lena yang meminum kuah ramennya dalam diam. "Kau tahu sesuatu tentangnya?" Lena menatap Haruka, alisnya terangkat naik. "Tidak," Haruka mengangguk singkat. "Tidak sama sekali. Kenapa kau bertanya?" Haruka tersenyum malu. "Tidak ada. Hanya ingin tahu saja," ada rona merah di pipinya. Mulut Lena sedikit terbuka. Melihat ekspresi wajah Haruka yang merona, dia bisa menyimpulkan sesuatu walau hanya sekilas. "Ah," Lena tertawa pelan. "Kau tertarik?" Kepala Haruka menggeleng cepat. Merasa malu karena Lena bisa menebaknya dengan mudah. "Tidak, tidak." Senyum Lena masih tertinggal di wajahnya. "Yang benar?" Haruka menunduk, menatap kuah ramennya yang menyisakan irisan daging dan telur. "Dia tampan, dan mapan. Kurasa banyak wanita yang jatuh hati ketika melihatnya. Benar, kan?" Lena mengusap bibirnya dengan tisu dalam kotak di atas meja. Dia menatap Haruka, kepalanya mengangguk. "Kurasa. Dia tidak buruk," dahinya mengernyit samar. "Visualnya lumayan. Untuk sifat, aku tidak tahu. Kau hanya melihat dari sisi luar saja, kan?" Haruka menatap Lena. Tidak bisa lebih setuju lagi dari ucapan Lena yang memang benar adanya. "Kau benar. Lagipula, aku hanya tertarik karena dia tampan." "Tidak apa, itu normal. Sesuatu yang wajar menurutku," mereka saling bertatapan. "Tapi kurasa Mori itu memiliki hubungan dengan bos kita," tebak Haruka. Lena hanya diam mendengarkan. "Aku tidak mau tahu lebih jauh lagi kalau tebakanku ini benar." Lena hanya bisa mengangkat bahunya, tidak mampu menjawab pertanyaan Haruka karena dia berjanji untuk menjaga rahasia sahabatnya dari orang luar. "Sudahlah, lupakan. Ada atau tidak itu sama sekali bukan urusan kita, kan?" Lena berdiri dari kursi kayu itu, pergi ke kasir setelah membayar ramennya dan ramen Haruka. Sepanjang jalan Lena hanya bisa tertawa mendengar gerutuan Haruka karena dia membayar makan malam mereka. Dan Haruka yang berjanji akan mentraktir Lena nanti. *** Lena duduk dengan celana yang separuh jadi di tangannya. Dia sedikit santai karena butik sepi dan dia bisa melanjutkan menjahit pakaian yang sudah dipesan untuk diambil lusa oleh si pemesan. "Aku muak melihat wajah Hatta di media," Nalaya membanting koran yang dia beli ke tempat sampah. Mara menolehkan kepalanya bersamaan dengan Haruka saat mereka sedang memotong kain untuk membuat gaun. Nalaya mendekati Lena, duduk di samping wanita itu. "Tidak bisakah dia menghilang saja dari dunia ini?" Nalaya menggerutu. Lena tertawa pelan. Dia menarik benang, dan memotongnya dengan gunting. "Kenapa kau kesal begitu?" Lena bercanda. "Aku yang menikah dengannya dulu, kenapa kau yang terlihat tidak suka?" Nalaya menatapnya. Ada kemarahan di kedua matanya. "Lena, dia menyakitimu. Pria b******k itu benar-benar menjual reputasi di depan media agar dipandang lebih baik. Menjijikan," Tangan Lena terhenti di pertengahan jalan. Nalaya menutup rapat bibirnya melihat tubuh Lena yang menegang selama beberapa saat. "Kau tahu, aku tidak bisa lakukan apa pun," bisiknya lirih. Nalaya tidak bisa memasang wajah apa pun selain iba dan sedih. Lena terluka karena bersama Hatta. Tiga tahun lamanya mereka menikah, selama itu Lena harus menahan diri dan hatinya untuk tetap bertahan di sisi pria itu.  "Lena," Nalaya mengusap bahunya. "Aku yakin, Hatta mendapat balasan yang setimpal," Lena mengangkat kepalanya menatap Nalaya. "Bukan darimu, mungkin dari orang lain. Lihat saja," Lena tersenyum melihat senyum di wajah sahabatnya. Nalaya sudah terlihat baik dari kemarin karena Mori Advan. Lena berharap Advan tidak lagi menggangu kehidupan Nalaya bersama Raka nanti. Atau Nalaya akan semakin sedih karena kehadirannya. "Kau yang terbaik," kata Lena. Berterima kasih pada Nalaya yang kini tertawa pelan. Menepuk lengannya gemas. Lonceng pintu kaca berbunyi. Nalaya segera berdiri menyambut tamunya yang datang. Itu istri pejabat negara, Mei, yang datang untuk mengambil gaun malam untuknya dan putrinya. Nalaya menyambutnya dan Lena segera pergi ke mejanya. Melanjutkan pekerjaannya. *** Advan menghentikan langkahnya saat Abe bilang kalau Hatta hadir dalam rapat kali ini. Hubungan Advan dan Hatta tidak baik selama beberapa bulan belakangan ini. Karena Hatta berani mempermainkan tender yang menentukan masa depan proyek perusahaannya. Hatta berhasil mengacau dan membuatnya rugi. "Kenapa dia di sini?" Abe melirik sekitarnya, berbisik agak dekat dengan Advan. "Satoo itu mengajaknya untuk datang ke rapat. Kau pikir dia punya rencana?" Dahi Advan mengernyit. "Apa mereka terlibat masalah sebelumnya?" Abe menatapnya selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangkat bahu dan berjalan lebih dulu, meninggalkan Advan di belakang. "Aku tidak tahu," kata Abe saat mereka masuk ke dalam lift. "Aku akan mencari tahu nanti." Advan mengangguk singkat. Ini adalah kali pertama perusahaannya dan perusahaan yang dipimpin Satoo Raka bekerjasama. Mau tak mau, Advan akan terlibat banyak hal dengannya. Berbicara tentang bisnis dan keuntungan mereka walau Advan enggan. Lift mengantar mereka sampai ke lantai ruang rapat. Abe masuk lebih dulu, melihat para tamu rapat yang sudah hadir, Advan masuk setelahnya. Dia melihat para investor muda yang masih mencari pengalaman memberi hormat padanya dan Satoo Raka ikut berdiri, menyapanya ramah. Raka tersenyum. Dia mengulurkan tangannya pada Advan yang membeku. "Selamat pagi, Mori. Senang melihatmu di awal yang baik ini." Advan ingin menepis tangan itu dari hadapannya. Ingin memukul wajah yang tersenyum seolah-olah Raka menutup mata siapa dirinya. Advan bertaruh, Raka pasti tahu tentangnya dan kekasihnya di masa lalu. Tapi pria itu memilih untuk tidak peduli dan memasang wajah hangat khas pertemanan pada umumnya. "Hn," Advan membalas uluran tangan itu. Berdeham setelah menganguk. Jabatan tangan mereka terlepas dan Advan duduk di bangkunya, melirik Katoo Hatta yang acuh pada dirinya. Raka mulai berdiri sebagai pemimpin proyek ini. Dia menawarkan keuntungan lebih dulu padanya karena Advan banyak mengakuisisi bank-bank besar yang pernah dibawah garis merah. Bank-bank itu sangat berguna sebagai suntikan dana di masa depan nanti. "Keuntungan ini akan kami bagi dua, lima puluh-lima puluh. Aku rasa ini adil, mengingat bagaimana proyek ini memakan biaya banyak, tentu saja tidak mudah mencari dana," Raka tersenyum di depan layar besar. "Apa ada pendapat lain?" "Aku bisa mencarikan sponsor jika itu yang kau butuhkan," mata Hatta melirik Advan yang memasang wajah datarnya. Ciri khas seorang Mori Advan yang dia ketahui. "Bagaimana?" "Oh?" Raka terkejut. "Kalau begitu keuntungan dibagi tiga?" Hatta mengangguk dengan senyum puas. Tapi tidak dengan Abe yang menolak dalam hati tentang ide bergabungnya Hatta dengan proyek ini. Advan mendengus, dia menatap Raka dengan gelengan kepala. Seluruh atensi dalam ruangan menatapnya. "Aku menolaknya, jelas sekali," Advan menatap Hatta. Pandangannya mencemooh. "Aku tidak akan membiarkan ini terbagi lagi. Cukup aku dan Satoo yang mendapat keuntungan." Mata Hatta melebar dan rahangnya mengetat sempurna. Senyum kemenangan Advan mengembang. "Carilah proyek lain yang bisa kau bantu, Katoo Hatta," Advan melirik Raka. "Tuan Satoo memintaku untuk bergabung. Ini proyek skala global miliknya yang pertama. Dia tentu sudah memperhitungkan apa yang harus dia lakukan agar meminimalisir kerugian," Advan menatap Raka. "Apa aku benar?" Raka mengerjap. Dia mengangguk pelan, menyetujui ucapan Advan. "Tentu. Karena perusahaan Mori ini sudah banyak pengalaman memegang proyek berskala global, aku rasa aku mempercayakan ini padanya." Hatta menggeram dalam suaranya. Advan menoleh pada Abe, menaikkan satu alisnya dengan senyum puas dan Abe mendengus. Tidak bisa menyembunyikan wajah senangnya karena Advan berhasil menghentikan Hatta di tengah jalan. "Lalu, kenapa kau mengundangku kemari kalau jelas-jelas menolak penawaranku, Satoo Raka?" Hatta bersuara sinis, tidak suka dengan penolakan yang Advan dan Raka lakukan padanya. Raka tersenyum tanpa rasa bersalah. "Aku hanya mengundang beberapa sponsor yang sekiranya berguna untuk kupertimbangkan lagi. Kau dan Mori Advan cukup kuat sebenarnya. Tapi, aku ingin proyek ini lebih matang lagi. Maafkan aku Tuan Katoo, kalau aku menyinggungmu." Hatta mendesah panjang. Tidak ada gunanya dia bersikap kekanakkan di sini. Di kantor Mori Advan. Ini akan memalukan untuknya. "Tapi aku tersanjung dengan dirimu yang berhasil membongkar sindikat mafia korupsi besar dalam sebuah tender," Raka duduk di kursinya. "Itu menakjubkan. Benar?" Semua orang bertepuk tangan mendengar pujian Raka untuk Hatta. Terkecuali Advan yang memilih untuk diam, tidak peduli. Hatta memilih membuang wajahnya. Setelah rapat dibubarkan, mereka masing-masing mengundurkan diri dari ruangan. Tidak terkecuali Hatta yang memilih langsung pergi tanpa menyapa mereka. Raka hanya bisa tersenyum melihat emosi Hatta yang mudah terpancing. Tidak seperti Mori Advan yang tenang dan lebih banyak perhitungan. Dia menyukai bagaimana cara Advan berpikir dan bertindak. Dia teringat dengan sosok Mori Ikeda yang terkenal karena tingkat ketepatannya yang akurat dalam bisnis. Mereka berdua terkenal cerdas. Mori bersaudara. Abe berdeham, sebelum dia benar-benar bangun dari kursinya, Raka berbicara pada Advan. "Aku berpikir tentang kau yang selalu menemui Nalaya dengan cara lain," kata Raka. Tanpa perlu melihat Advan yang kini menatapnya. Raka memilih sibuk menata berkasnya di atas meja. Abe menatap mereka bergantian. Dia merasakan sesuatu yang buruk antara Advan dan Raka, tapi berusaha dia tepis jauh perasaan itu. "Aku mengerti sekarang," Advan tiba-tiba tersenyum miring. Senyum tanpa arti yang sedikit mengerikan. "Kau tidak mungkin berupaya keras membawaku bergabung kalau tanpa sesuatu di balik itu, kan?" Raka tertawa. Kali ini benar-benar tertawa. "Sudah kuduga," dia menatap Advan. Sesama pemilik oniks itu melempar pandang yang tak biasa. "Aku tahu kau tertarik dengan proyek ini setelah proposal yang kuajukan lewat tangan kananmu," Raka melirik Abe yang duduk dengan kaku di kursi. "Akui saja, Mori," kata Raka santai. Advan memilih untuk diam tidak menjawab. "Aku tahu apa yang terjadi antara kau dan Katoo Hatta. Ini bukan masalah sepele karena meyangkut harga dirimu dan perusahaan," Raka memajukan sedikit wajahnya walau di ruangan ini hanya menyisakan antara dirinya dengan Advan, Abe dan Megane, sekretarisnya sendiri. "Lalu?" Raka tersenyum tanpa arti pada Advan. Tatapan matanya seperti mengisyaratkan sesuatu yang serius pada pria itu. "Jauhi kekasihku dan akan kutawarkan seluruh kemampuanku untuk membuat Katoo Hatta malu dan terpuruk." *** Lena menghela napas berat. Entah helaan napas keberapa yang dia hembuskan. Menunggu hujan reda cukup menguras waktunya. Ditambah bis terakhir yang ia tunggu tidak kunjung datang. Lena merasa kesalahannya tidak membawa payung sangat berat. Walau Nalaya menawarkan diri untuk mengantarnya pulang karena Lena yang memilih untuk lembur, dia menolaknya. Nalaya harus kembali dan bertemu keluarga jauhnya yang berkunjung untuk melihatnya. Walau berat, Nalaya membiarkan Lena pergi dan meninggalkan kunci cadangan yang biasa Lena bawa padanya. Di halte ini, hanya menyisakan dirinya seorang diri. Menunggu bis terakhir bukan sesuatu yang menyenangkan. Bis terakhir pastilah datang lebih lama. Dia takut jika pulang terlalu malam, kejahatan akan mengintainya. Lena tidak terlalu pintar menjaga dirinya sendiri. Hujan yang deras telah berganti rintik-rintik. Lena bertekad untuk mencari halte yang lebih ramai walau dia harus berjalan selama sepuluh menit sebelum bis datang. Dia berdiri, merapatkan mantel dan tas selempangnya ketika dia berjalan menyeberangi jalan yang basah dan licin juga sisa-sisa hujan yang belum reda sempurna sedikit mengaburkan pandangannya. Lena mundur dua langkah ke belakang dengan cepat saat ada sinar lampu mobil yang mendekat dari arah kanan tubuhnya dan berhenti mendadak. Membuat jantungnya berdegup lebih cepat dan wajahnya seketika memucat. Dia hampir tertabrak. Dia ceroboh karena tidak melihat lampu hijau yang menyala dan menyeberang tanpa melihat ke sisi jalan. Lena berpikir karena jalanan sepi, dia bisa sesukanya berjalan tanpa berhati-hati. Lena melirik si pengemudi sedan hitam keluar dari dalam mobil. Dia sedikit takut dan pandangannya tidak jelas karena guyuran air hujan. Saat pemilik mobil itu berdiri menjulang di depannya dengan wajah marah, Lena baru mengenalnya. "Kau tahu? Kau bisa saja mati karena tertabrak mobilku!" Dia membentak agak keras. Lena sedikit mundur ke belakang, takut dengan tatapan pria itu yang marah. "Aku minta maaf," kata Lena pelan. Menunduk. Tiba-tiba kepalanya terasa sakit. "Lain kali gunakan matamu dengan benar," desisnya. Lena tahu ini kesalahannya. Dia hampir membawa pria itu masuk ke penjara karena tindak bodohnya yang tidak memperhatikan jalan dengan baik. Walau pria itu juga salah karena mengebut. Suara klakson dari sisi kiri jalan mengejutkan Lena, dia terkejut saat ada mobil lain melaju ke arahnya dan merasakan ada tangan lain yang menarik tangannya untuk maju agar terhindar dari mobil putih itu. "Sial, pengemudi mabuk," umpat pria itu. Lena memegang dadanya yang berdegup keras. Dia sekali lagi, hampir mati. Nalaya benar sepertinya, dirinya terlihat kacau karena kurang tidur dan kelelahan. Itu bisa membuat fokusnya pecah. "Kau benar-benar," pria itu menatapnya. Lena yakin walau dia tidak melihat pria itu karena kepalanya menunduk. "Kenapa kau ceroboh sekali?" "Sudah kubilang, aku minta maaf!" Lena membalas dengan nada sedikit tinggi. Dia berhasil mengangkat kepalanya menatap pria itu. "Kepalaku sakit dan hujan membuatku tidak fokus melihat jalan!" Pria itu tertegun. Matanya menyipit saat Lena merasakan ada lelehan lain yang keluar dari hidungnya. Lena mengulurkan jemarinya, menyentuh darah yang turun dari kedua lubang hidungnya. "Darah," pria itu mendesis. "Masuk mobil cepat. Kuantar kau ke rumah sakit," dia bergegas untuk masuk ke dalam mobil tapi Lena bergeming di tempatnya. "Kau dengar aku?" Dia berteriak. Lena menatapnya. Mencoba menahan darahnya agar tidak keluar terlalu banyak. Tidak perlu berpikir lama, Lena segera masuk ke mobil hitam itu. Dia merasa bersalah karena mantelnya yang basah dan celananya membuat kursi mobil itu kotor. "Tahan darahmu dengan ini," Mori Advan mengulurkan tisu dalam kotak dari mobilnya yang dia berikan pada Lena. Lena mengambil tisu itu, menekan hidungnya agar darah tidak banyak keluar. Lena berjalan dengan Advan di belakangnya saat dia mencari dokter untuk segera ditangani. Pria itu segera pergi untuk menuntunnya mencari dokter dan Lena masuk ke dalam, diberi pertolongan. Sepuluh menit sudah Advan habiskan untuk menunggu Lena yang sedang diobati di dalam. Setelah dokter memberikannya obat, darah itu berhenti mengalir. Penyebabnya sederhana, Lena kelelahan. Dia kurang tidur. "Terima kasih," Advan melirik dari sudut matanya. Wanita itu duduk agak jauh dari sisinya. Ada dua bangku yang kosong menciptakan jarak di antara mereka ketika Lena menunggu obat atas resep dokter agar tubuhnya kembali sehat. Advan diam tidak menjawab. Dia melihat Lena yang berdiri dan membayar obatnya sendiri. Di depan matanya. Wanita itu mengucapkan terima kasih dengan suara kecil dan menatap Advan. "Maafkan kecerobohanku," kata Lena saat dia kembali duduk. Tapi kali ini di seberang Advan. Dia perlu menjaga jarak dari pria itu. Advan menatapnya datar. "Anggap saja pelajaran untukmu," Lena mengangguk. Merasa bersalah. "Maaf karena mengotori mobilmu. Mantelku basah, dan—" "Lupakan," Lena menahan kalimatnya tetap di ujung lidahnya. Dia menutup bibirnya rapat-rapat mendengar selaan singkat dari Advan. Dia hanya bisa mengangguk dan mereka terjebak dalam keheningan yang canggung. Advan hanya diam. Dan Lena tidak tahu harus berkata apa dengan mantan kekasih sahabatnya. Ini sangat tidak nyaman karena Lena tahu siapa Advan. Saat Lena mengangkat kepalanya, dia melihat sosok Hatta berjalan dengan luka lebam di wajah dan tangannya. Darah itu mengalir. Terlihat telapak tangan Hatta robek. Lena berdiri tiba-tiba. Secara spontan. Mengejutkan Advan yang mendongak melihat tatapan Lena yang mengarah pada sesuatu di belakangnya. Advan menoleh, melihat Katoo Hatta yang berbelok ke ruang Unit Gawat Darurat seorang diri. Mata Advan menyipit, dia menatap Lena yang menampilkan ekspresi bingung dan sedih secara bersamaan. Sesuatu tidak bisa dia dipikirkan sekarang. Melihat ekspresi Lena, dia tidak tahu apa yang dipikirkan wanita itu. Advan tahu Lena bekerja bersama Nalaya sejak butik pribadi Nalaya dibangun. Mereka berteman. Terlihat sekali bagaimana akrabnya Nalaya dengan dirinya. Advan tidak mengenal Lena secara pribadi selain pertemuan mereka yang singkat di butik Nalaya beberapa kali. Dia tahu nama wanita itu karena Nalaya sering memanggilnya saat dia di butik. "Siapa namamu?" Lena tersentak dari lamunannya akan Hatta yang terluka. Dia menatap Advan dengan alis terangkat. "Lena," Advan tiba-tiba berdiri. Pria itu mengusap rambutnya yang sedikit basah dan mengangguk. "Kau bisa pulang dengan taksi. Ada taksi di depan rumah sakit. Kembalilah dengan taksi," kata Advan. Lena menyipit padanya. "Tidak, aku akan pulang dengan bis." "Kau gila?" Mata Lena melebar mendengar hinaan Advan padanya. "Kenapa kau menyebutku gila?" Advan menatapnya datar. "Ini malam. Lihat jam," Advan menunjuk jam besar di rumah sakit. "Kau pikir kau bisa menemukan bis lewat di jam malam begini?" Lena tidak bisa mendebat Advan karena pria itu benar. Menunggu bis adalah sia-sia. Lena yakin bis terakhir sudah lewat dan dia tidak punya cara lain selain pulang dengan taksi atau tidak sama sekali. "Oke," kata Lena pelan. Respon Advan hanyalah alis terangkat saat Lena berjalan pergi melewatinya. "Terima kasih untuk bantuanmu," Lena kembali berbalik. "Maaf merepotkanmu." Menatap mata gelap pria itu sekali lagi dan berbalik pergi. Berjalan menjauh dengan berlari kecil. Advan menatapnya dingin. Wanita itu tidak seharusnya berlari menghindar darinya. Apa karena dia tahu siapa dirinya? Dia bersikap canggung padanya? Advan bisa menebak itu dengan mudah. *** Mata biru Abe menelusuri seisi ruangan guna mencari sosok Advan yang mengirimkan pesan padanya untuk turun dan Sarapan bersama di kafe seberang kantor. Abe tanpa pikir panjang menyusul pria itu. Dia menarik kursi di depan Advan yang menatap luar jendela. Melamun adalah kegiatan yang Advan sukai sepertinya. Mengenal Advan sejak lama, tidak membuat Abe banyak tahu tentang pria itu. "Bagaimana ibumu?" Advan melirik dari ekor matanya. "Membaik," jawabnya singkat. Abe mengangguk dengan senyum. Merasa lega mendengar jawaban Advan. Dia melepas jas abu-abunya, menggantung jas itu di kursi samping yang kosong. "Pagi ini dingin karena semalam hujan deras. Tokyo benar-benar mencintai hujan," gumam Abe. Menikmati kopi panas di meja dan camilan roti isi yang renyah. Advan menghela napas panjang. "Kapan kau akan melamar kekasihmu?" Abe menggeleng tipis. "Masih kupikirkan. Biarkan ini jadi kejutan," Abe menatap Advan. "Kau bahkan mau mengambilkan tiga pesanan bajuku dari butik Itoo," Abe mendengus. "Berlebihan." "Bukan masalah," kata Advan pelan. "Selama aku bisa melihatnya ..." "Oke, cukup sampai di sini pembicaraan kita tentang dirinya," ucap Abe dingin. Advan hanya mendengus sebagai respon. Seseorang datang. Dan dia berhenti di samping Advan. Abe mendongak, melihat sosok asing yang berbicara sopan pada Advan. "Aku sudah mencarikannya sesuai permintaanmu, Tuan Mori," pria itu memberikan selembar map cokelat pada Advan. "Kau boleh pergi," setelah pria itu mengangguk dan Advan menyuruhnya, dia segera pergi. Menaruh map cokelat itu di atas meja dengan tatapan bingung Abe yang jelas terlihat. "Apa itu?" Mata Abe melebar melihat profil seseorang di dalam map yang diberikan pria asing tadi. Dia terkejut karena Advan berani menyewa seseorang untuk mencari info tentang orang lain. "Tanaka Lena?" Mata Abe menyipit melihat nama yang tertulis dalam kertas. "Kenapa dengannya?" Advan memilih untuk diam dan mengabaikan pertanyaan Abe. Sedikit menggeser tempat duduknya, Abe ikut membaca tulisan yang terketik di dalam kertas dalam hati. "Kau gila, Advan," bisik Abe tidak percaya. Advan melipat kertas itu dan memasukkannya kembali ke dalam map. Mengabaikan Abe yang memandangnya marah dan berdecak. "Tanaka Lena, mantan istri Katoo Hatta. Sahabat dekat Itoo Nalaya," ucap Abe membacakan tulisan yang ada di kertas itu. "Ini bukan sesuatu yang coba kau mainkan, Advan," Abe mendesis. "Apa yang kau tahu?" Advan balas bertanya. Tatapan Abe mengeras. "Jangan bercanda," tangan Abe terkepal. "Apa karena Satooi Raka mengancammu? Ini yang coba kau lakukan?" Advan tertawa pelan. "Satoo itu tidak akan bisa menghalangi jalanku," katanya dingin. Kepala pirang Abe menggeleng. Merasa tidak berguna karena tidak bisa menyadarkan Advan. "Aku tahu apa yang terlintas di kepalamu," Oniks itu menajam menatap sepasang mata biru pekat yang tak kalah tajamnya. "Kau mencoba mendekati Tanaka Lena agar kau bisa lebih dekat dengan Itoo Nalaya," kata Abe sinis. "Kau bisa memanfaaatkan sahabat baiknya agar kau tidak kehilangan cintamu." Advan terdiam. "Juga, kau bisa mencari celah darinya untuk menghancurkan Hatta. Kau bisa bertanya tentang Hatta semaumu lalu kau membalaskan harga dirimu yang tercoreng." Advan mendengus mendengar ucapan Abe. "Tidakkah kau berpikir kalau kau bertindak kelewatan dengan menyakitinya? Seseorang yang tidak bersalah?" Advan menatap Abe datar. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. "Itu bukan urusanku. Selama apa pun yang kuinginkan tercapai, aku tidak peduli." Rahang Abe mengetat. Dia memukul meja agak keras karena melihat kelakukan Advan yang membuat emosinya naik. "Oke, bagaimana jika nanti, di masa depan nanti, kau jatuh cinta padanya? Apa yang akan kaulakukan?" Mata Advan menyipit mendengar kalimat Abe. "Itu tidak mungkin," ucapnya. Abe mendengus sinis. Dia memakai jas abu-abunya kembali dan bersiap meninggalkan Advan seorang diri. "Aku dan kau sama-sama tidak tahu," bisik Abe pelan. "Dan jika itu terjadi, jangan menyesal dengan apa yang akan terjadi padamu. Takdir mungkin akan membalas keburukanmu jauh lebih dari apa yang kaulakukan pada wanita ini nanti." Setelah itu, Abe benar-benar pergi. Meninggalkan Advan yang sekali lagi bergelut dengan pikirannya sendiri.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Me and My Broken Heart

read
34.4K
bc

Bad Prince

read
508.0K
bc

The crazy handsome

read
465.2K
bc

Everything

read
277.3K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Marry The Devil Doctor (Indonesia)

read
1.2M
bc

His Secret : LTP S3

read
649.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook