bc

In Too Deep

book_age18+
11
FOLLOW
1K
READ
dark
tragedy
no-couple
genius
game player
male lead
high-tech world
dystopian
weak to strong
like
intro-logo
Blurb

Athena dibangun sebagai bentuk puncak kepuasan pribadi sang penguasa. Mengadu pejuang dari setiap distrik untuk mendapatkan serum regenerasi, yang mempertahankan umur panjang setiap individu yang berjuang. Darah, air mata, berjuang demi bertahan hidup menjadi satu dari sekian banyak alasan mereka tetap hadir sebagai penantang.

Winter hanya satu dari sekian orang yang kurang beruntung mendapatkan kesempatan bertahan. Tidak pernah ada keinginan mendapatkan serum regenerasi sebagai alasannya tetap hidup. Tidak ada alasan untuknya tetap hidup, pikirnya. Sebelum arena Athena membawanya pada sisi rahasia baru, sisi gelap dari Gryfin yang pekat. Tetapi melihat perempuan itu, Violet, memiliki ambisi besar untuk menang, Winter terpacu.

Kalah atau menang, dirinya harus bertahan. Meski darah telah terkuras habis.

chap-preview
Free preview
one - the moment of silence
. . .   Just close your eyes, the sun is going down ... . . .     "Siapa yang kalian benci di dunia ini?" Dalam remangnya cahaya lampu, temaramnya suasana dan udara yang berhembus lirih dari celah jendela. Ventilasi-ventilasi kecil tidak mampu membantu mengurangi intensitas rasa dingin yang memakan tulang. Menyakiti mereka dalam kebisuan, yang perlahan-lahan membunuh tanpa jeritan. Ketidakberdayaan, ketidakmampuan untuk bertahan adalah alasan utama mengapa mereka harus mati. "Bagaimana dongeng tercipta?" "Bagaimana suara lagu terdengar?" "Bagaimana cara burung bernyanyi?" Kalimat-kalimat tanya itu memenuhi kepalanya. Kedua tangannya gemetar, memandangi kerut yang tampak tajam, tidak memudar meski telah bertahun-tahun berlalu. Realitanya, tidak ada yang mampu bertahan dari rasa sakit bernama kesepian. Kegelapan bernama ajal akan menjemput. Cepat atau lambat. "Kau ingin bernyanyi?" Saat mendengar suara tangisan, semua orang berhenti bernapas. Detik itu juga serasa melihat malaikat maut mendekat. Bentuknya yang tinggi besar kehitaman, matanya bersinar merah tajam, tongkat berbentuk sabit layaknya milik penyihir jahat dan seringai lebar memenuhi garis wajah. Semua orang terlihat gelisah, mencoba menahan air matanya sendiri. Tolong, hentikan siksaan ini. "Aku ingin mati." Yang tertua diantara mereka hanya mampu membisu. Suara khas mendongeng miliknya tak lagi terdengar. Yang berbisik hanya napas, samar-samar menciptakan kelam nan mencekam. Tidak ada yang berani menatap, tidak ada yang berani membuka mata. Teror itu terlalu dekat, terlalu lekat. Hidup bersama pembuluh darah dengan sebab. "Aku tidak ingin bertahan." "Kau harus bertahan." Balasan itu terdengar ragu. Meski pada awalnya mereka berpikir itu hanya bermakna klise; sederhana. Namun sorot abu-abu itu mencekik, mencerminkan masa depan yang belum terlihat. "Kau harus hidup." Walau harus mengorbankan daging, tulang dan darah penghabisan. Mereka harus hidup. Mereka harus bertahan. Tidak peduli sekeras apa pun dunia menentang mereka, para penyintas harus bertahan lebih lama. Merasakan udara lebih lama. "Hidup atau tidak sama sekali." Seakan kalimat itu berupa mantra magis yang merusak ekosistem otak dalam sekali serang. Semua kepala kecil tertunduk, termangu dengan ketidaksadaran bahwa mereka hanya pion. Boneka yang siap mati dan terbelah. Kemungkinan tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Kebebasan. Perdamaian. Semu yang mengikat tanpa kepastian. "Bertahan atau tidak sama sekali." Nyatanya, nyawa yang tersisa tidak lagi banyak. Semua berpacu dengan waktu. Mereka telah dicemari, otak mereka telah dicuci. Rasa takut, ketidakberdayaan, terlalu pasrah semua bercampur menjadi satu. Kepingan-kepingan yang terlanjur retak berkumpul, siap terbang tanpa batas mencari rumah mereka kembali. "Siapa pun dari kalian, harus bertahan." Yang terdengar hanya bunyi napas. Kepala-kepala kecil itu tidak berdaya dengan hanya menjawab. Pada dasarnya mereka tidak lagi memiliki hak atas tubuh diri sendiri. Semua sudah tercipta, atas nama-nama yang berkuasa. "Perangi ketidakadilan." "Perangi kejahatan." "Perangi mereka semua yang menorehkan luka." "Kebebasan. Perdamaian." Hanya salah satu yang berani mengangkat kepala. Sorot matanya nampak kosong, tidak memiliki dasar. Sinarnya berenang dalam cahaya yang nysris memudar. Hampa. Seakan tubuh kecil nan rentan itu tidak lagi pantas menerima kehidupan. "Kau mau bertahan?" "Aku ... akan bertahan." Senyum itu merekah manis, lugu penuh harapan. "Oh, Sayangku. Malaikat kecil penuh kebaikan. Hatimu akan dilindungi. Jiwa dan keberanianmu akan dikenang. Harapan, cahaya, matahari kami." Tidak ada sorakan, tidak ada kegembiraan. Yang tersisa hanya kengerian, tatapan kebencian serta kecemasan kental kentara. Tubuh mungil itu merosot mundur, tiba-tiba merasa ketakutan. Serangan panik yang mencekik lehernya dengan kuat, menikam jantungnya. Napasnya berangsur pudar. *** Fifteen years later ... Suara gerungan napas terdengar kencang. Satu-satunya yang terdengar lain bersama racauan lemah memanggil putus asa. Saat salah seorang bangun, duduk melamun di tepi ranjang dan menatap tanpa berniat membangunkan. "Lagi? Kau bermimpi buruk lagi." Peluh dengan deras membasahi wajah. Saat kepalanya tertunduk, melihat ujung kaus yang basah dengan keringat, napasnya berembus kasar. "Pukul berapa ini?" "Dua dinihari. Kita punya waktu lima jam lagi sebelum pengumuman." Kepala itu terangguk. Rautnya yang pucat berubah keras saat menyadari waktu mereka tersisa sebentar. Menggapai udara bebas terasa sangat sulit dan mahal saat ini. Kebebasan itu akan lenyap, terganti dengan ikatan yang keras nan membunuh dalam waktu kurang dari beberapa jam. "Apa kau yakin?" "Ya." "Sepertinya tidak begitu." Teman sekamarnya memandang dengan cemas. Cemas terhadap diri sendiri dan orang lain. Seandainya salah satu dari mereka harus berkorban, bayarannya tidak sedikit. Ada harga yang harus ditebus tinggi. "Kau sendiri?" Satu dengusan meluncur bebas. "Aku tidak yakin. Bagaimana bisa aku menembus Athena dengan segenap kekuatan ini? Aku hanya manusia tidak terlatih." "Kau meremehkan dirimu sendiri." "Saingannya tidak hanya hadir dari distrik kita. Para kandidat kuat juga hadir dari distrik lain. Bagaimana bisa kau berpikir kita akan selamat?" "Mati atau tidak, kita sudah berjuang." Suara itu terucap parau, penuh penyesalan. Tidak seharusnya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Ini tidak benar. "Kita sudah berusaha hingga sejauh ini." "Setidaknya kau bisa bertahan," ucap sosok itu dengan senyum tipis. "Aku percaya padamu, sobat. Kau bisa bertahan." "Kau juga." Mereka kembali berbaring. Menatap langit kamar tanpa suara dan hanya membisu. Temaramnya lampu cukup membantu mereka mengusir kegelisahan. Kecemasan yang menggunung tidak membuat keduanya lekas membaik. Rasa takut sekaligus penasaran mengambil habis semuanya. Tanpa sisa. "Kita tidak akan kalah." "Hm." Gumaman itu bermakna ambigu. Jika dirinya berhenti kali ini, semua orang akan merasa malu dan tertekan. Mati lebih baik daripada harus kembali pulang. Siapa yang mau menerima jiwa kotor seperti mereka? Tempat sampah adalah wilayah yang cocok untuk mereka mendekam. "Kita pasti menang." "Ya." Rasanya hanya waktu berjalan begitu cepat. Kebahagiaan yang sempat hadir perlahan sirna, tanpa bekas. Waktu merubah segalanya dan menggantikan dengan realita baru. Kenyataan bahwa usia mereka hanya tersisa sebentar, tidak bisa bertahan lebih lama. Hanya yang terbaik akan menang. Kalimat itu seharusnya cukup sebagai cambukan. Agar mereka sadar diri dengan batas masing-masing. Agar tidak perlu memaksakan diri seandainya tidak mampu. Pergi ke tempat sampah, membiarkan diri tercabik lebih berharga daripada mati di dalam tempat rahasia, yang tidak tersentuh siapa pun. Kisahnya masih berbentuk legenda, dongeng kematian sekaligus mimpi buruk anak-anak. Tidak ada siapa pun tahu, tidak ada dari mereka yang tahu. "Kau belum tidur?" "Kau sendiri?" Satu kekehan masam terdengar. "Aku hanya sedang berpikir. Apa kita bisa melewatinya tanpa terluka?" Tidak ada jawaban. Tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan mudah itu dengan gamblang. Tidak ada yang bisa memberikan solusi. Mereka semua sama-sama berdiri dalam gamang, keraguan yang tidak berhenti menyakiti kepala dengan beragam asumsi. "Kita harus tidur." "Kau benar," ucap suara itu lirih. "Kita harus tidur." Dan berharap tidak lagi terbangun. *** "Rambutmu cantik sekali." Wanita itu menoleh bersama dengusan. "Ini kutukan." "Siapa yang mau mengutuk rambut secantik ini?" Kepangan itu nyaris selesai, sempurna dengan manis. Sentuhan dari tangan terampil membuat penampilannya tampak mahal dan rapi. Ini lebih dari sekadar siap. Sebentar lagi pengumuman, dan mereka harus segera pergi. "Kalau kau tidak selamat—," "—seandainya aku selamat, kau harus menungguku di depan rumah." Gadis itu menghela napas, memainkan rambut panjang saudaranya dengan senyum. "Aku akan menunggu." Senyum itu tidak sama sekali menular. Yang tersisa hanya ketegangan, mencuri setiap napas tanpa terkecuali. "Kau harus melakukannya. Kenapa terasa sangat tegang? Aku akan kembali pulang." "Kau mau berjanji?" "Kau yang seharusnya berjanji," wanita itu berbalik, memutar kursinya dengan senyum tipis. "Apa pun yang terjadi, kau harus bertahan. Aku sedang berjuang dan kau juga." "Aku hanya takut." Wajah itu tampak sedih. Binar matanya tidak lagi seceria sebelumnya. Seiring usia yang bertambah, seiring ketakutan yang menghantui mereka bagaikan teror mimpi buruk. "Aku hanya takut, sungguh." "Ini semua karena Athena. Arena itu membuatmu cemas?" "Ibu tidak selamat karena tempat tersebut," suaranya terdengar lirih, menahan diri untuk tidak menangis. "Ibu tidak pernah kembali." "Dia mengorbankan diri untuk kita berdua." "Dan sekarang dirimu?" gadis itu menahan air matanya sekuat tenaga. Bibir bawahnya gemetar, tak sanggup menahan isakan kecil saat tangan kurusnya memeluk sang kakak. Satu-satunya saudara, keluarga yang tersisa. "Jangan tinggalkan aku sendiri." "Aku akan bertahan. Arena ini dan semuanya, aku bisa melewatinya." Senyum itu pertanda hiburan. Sang kakak tidak bisa menahan diri untuk mencium pipi adiknya, memeluknya lama. Membiarkan sang adik kecil menangis, meluapkan kesedihannya karena harus melepas dirinya berjuang. Ini tidak akan mudah, tidak akan pernah berjalan mudah. "Tidak ada yang bisa mengalahkan perasaan seseorang terhadap orang lain. Murni. Sosok yang berharga." Air mata itu tidak juga berhenti mengalir. "Wajah cantikmu luntur jika kau masih menangis." Gadis kecil itu mundur, menghapus air matanya dengan isakan lemah. Suaranya terkesan sendu, bisikan yang membuat perasaannya sedikit membaik. "Aku menyayangimu." "Aku lebih menyayangimu." Kecupan singkat itu mampir di pipinya. Sang kakak kembali memeluknya, membiarkan kenangan mereka mengalir memenuhi kepala. Sebelum pengumuman itu ada, sebelum mereka terpisah karena ruang dan waktu. Keterbatasan yang kembali terbangun besar, menghalangi keduanya untuk saling melindungi. "Aku membuat bubur untukmu. Kau mau aku menyuapi?" Gadis kecil itu tersenyum manis. "Kau mau?" "Tentu saja. Siapa yang selalu menyuapimu makan ketika kau sakit?" Satu jam lagi waktu yang tersisa. Mereka memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebelum pengumuman itu tiba. Ketika kursi kayu itu tertarik, bunyi deritnya mengaburkan bayangan. Semangkuk bubur panas mendarat di meja makan, terlihat menggunggah selera. "Aku membuatnya sepenuh hati." Sang kakak mendorong segelas air untuk minum. "Khusus untukmu. Kau harus menghabiskannya." "Aku akan berusaha lebih keras," cicitnya setelah menghabiskan dua sendok bubur. "Sungguh-sungguh berlatih dan mencoba lebih keras. Aku akan terus mencoba tanpa lelah." Sang kakak tersenyum manis. Ikut duduk sembari memerhatikan adik kecilnya memakan habis bubur buatannya. "Aku tidak akan pergi menyusul ibu. Karena aku memilikimu, aku harus berjuang untukmu. Ibu tidak ingin aku menyusulnya." "Karenaku, kan?" "Semua untukmu." Senyumnya menulari gadis kecil tersebut. "Ayo, habiskan. Rotinya sebentar lagi matang." *** Papan pengumuman berupa layar besar menghiasi seluruh tempat. Di dekat markas besar milik The Great Minister, pemimpin nomor satu Kementerian Gryfin. Sebuah negara yang dipimpin oleh loyalitas seseorang dari masa lalu yang mengabdikan dirinya sebagai ilmuwan terhebat sepanjang masa. Semua orang percaya padanya, menjadikan dirinya sebagai pemimpin sekaligus ketua agung. Memiliki kekuasaan tertinggi, seakan tanpa batas. Penduduk menaruh rasa hormat pada sang pemimpin, yang selalu memasang senyum lebar di depan rakyatnya. Menarik simpati mereka dengan cara yang tak biasa dan terkadang berlebihan. Satu-persatu nama disebutkan dan mereka maju untuk menunjukkan diri. Dari batas usia yang pantas mendapat serum regenerasi, mereka akan bersaing untuk bertahan hidup. Jika pun memutuskan saling membunuh, aturan itu diberlakukan. Sebuah keharusan yang semestinya tidak dimaklumi sebagian orang. Dari setiap distrik, akan terpilih salah satunya yang mewakili. Hanya ada lima distrik dari Gryfin. Dan siapa pun yang kalah, akan dilempar dari perbatasan untuk berkenalan dengan The Black Dog, sosok makhluk aneh dari ratusan tahun lalu yang telah bercampur unsur kimia. Bentuknya menyeramkan, satu tubuh bersama empat kepala. Layar menunjukkan satu nama. Dan dari distrik satu adalah perwakilan. Winter. Nama itu tertulis jelas, cukup terang. Semua orang terdiam, saling berbisik untuk menyemangati. Tidak ada yang bersorak atau mendukung Winter saat dia maju. Seolah mereka memang membiarkannya terbunuh dalam arena Athena, kekuasaan The Great Minister yang sesungguhnya. Ini semua karena serum regenerasi. Pemandu acara mengucapkan selamat dengan kekehan nyaring. Nyaris menulikan pendengaran Winter yang rentan. Semua orang tampak mencemooh, melihat jika Winter bukan kandidat yang cocok untuk bertarung di Athena sendirian. Dan hadirnya pesaing baru dari distrik dua adalah perempuan. Sebagian besar menahan napas, turut menatapnya dengan sinar iba sekaligus sedih. Kebanyakan dari pejuang perempuan tidak pernah muncul dalam keadaan utuh. Mereka semua kembali hanya bentuk mayat yang tercabik atau terluka parah. Benar-benar tanpa napas yang tersisa. Hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga atau kerabat yang ditinggalkan. Winter melihat reaksi berbagai macam dari penduduk yang hadir untuk melihat para pejuang dari setiap distrik. Sudah berdiri dua pejuang yang tidak saling mengenal satu sama lain dan harus bertahan untuk memperebutkan serum regenerasi agar mereka hidup lebih lama. Ketiga kandidat lainnya adalah perempuan. Masing-masing dari mereka memiliki kemampuan unik sebagai bekal bertahan hidup. Sementara Winter mungkin hanya mengandalkan kemampuan fisiknya yang lebih daripada keempat pesaing lainnya. Pemandu acara bersorak meminta penduduk bertepuk-tangan untuk mereka. Para pejuang yang akan berjuang mendapatkan serum regenerasi sebagai hadiah utama. Selain itu banyaknya bonus yang menanti dari The Great Minister membuat semua orang penasaran. Kemenangan sebelumnya seolah tanpa bekas karena sang pemimpin menjanjikan hidup layak nan nyaman. Dan mereka semua memilih untuk percaya. "Well, kalian semua terlihat gugup." Saat penduduk membubarkan diri dan Violet melihat adiknya melambai kecil, melemparkan kecup jauh padanya, senyumnya lekas merekah. Satu-satunya alasan dia bertahan, alasan dirinya hidup. Dia akan menang untuk membawa serum itu kepada sang adik. "Aku tidak gugup," sahutnya ketika pemandu acara menyalami mereka secara formal. Dengan senyum manis yang terkesan pura-pura, wanita itu mengangkat bahu. "Serius, aku tidak gugup." "Kau unik, Violet." Sebaris pujian singkat yang membuat Violet memasang wajah masam. *** Tidak ada seorang pun tahu bagaimana Athena. Bentukan arena yang menegangkan serta mencekam hanya menjadi mitos, legenda sebagian penduduk yang melihat Athena sebagai neraka dalam bentuk lain. Itu hanya tempat perantara sebelum malaikat maut menjemput. Sebelum para pejuang pergi ke Athena, mereka dipersiapkan secara mendetail. Dimulai dari kesiapan fisik, mental serta jiwa. Ada beberapa tahapan yang harus mereka persiapkan sebelum pintu utama dibuka. Semua pejuang harus siap, memulai risiko selama berjuang hingga titik darah penghabisan. "Kau satu-satunya perempuan yang kurang beruntung," kata salah satu pemuda dari distrik tiga. Tidak tahu malu melempar celaan itu secara gamblang. "Bagaimana bisa kau mencoba selagi tahu kemungkinannya sedikit?" "Aku belum mencoba, benar?" Winter melirik singkat, mendengar perdebatan bersama tatapan tanpa minat. Saat matanya melihat satu-satunya pesaing perempuan, tekad itu terbentuk jelas dan nyata. Mereka hanya harus siap berhadapan dengan kematian. "Apa kekuatanmu?" "Tekad." "Bermodalkan tekad tidak menjamin kau selamat." Salah satu dari mereka mencibir, tidak senang melihat Violet berbeda dengan lainnya. "Kau tidak pantas menerima serum regenerasi itu." "Kenapa kau berisik sekali?" wanita itu bergumam sarkatis, menghentak kedua kakinya yang selesai terpasang sepatu boot dengan keras. "Apa itu menjadi urusan kalian? Mencampuri keinginan atau kemauan orang lain? Kalian tidak membaca buku tentang hak asasi manusia?" Ketiganya malah tertawa, sama sekali tidak merasa menyesal. Winter menonton perdebatan dalam diam. Saat ketiganya melirik ke arahnya, berbisik bahwa dirinya sosok aneh, Winter membisu. Tidak ada yang salah. Mereka benar. Bunyi gong bergema sampai ke ujung lorong. Winter melihat sekilas cahaya yang muncul saat pintu perlahan terbuka. Gryfin punya sejuta rencana dan pesona untuk membius mereka semua. Termasuk memperdaya para pejuang agar berhenti sebelum memulai. "Tidak diperkenankan bagi jiwa yang lemah untuk menontonnya." Winter melihat layar besar turun, perlahan-lahan menutupi angkasa. Seolah belum cukup, mereka memberi kejutan dengan mengeluarkan seekor naga bertanduk yang terkenal dari negara terdahulu, Irlandia. Ekor naga itu bergerigi, tajam. Sesuatu melompat keluar berupa telur emas yang berkilau. Kedua mata sang naga memancarkan kemarahan serta kebencian. Bagaimana bisa mitos kuno ribuan tahun lalu berada di sini? Naga itu terantai kencang. Tidak mampu banyak bergerak setelah muncul. Yang selanjutnya hadir adalah Phoenix, burung terkuat sepanjang massa. Terkenal dalam mitologi kuno sebagai sang pemimpin, raksasa penyerang tanpa batas. Mereka akan melawan hewan buas tersebut? Basilik turut hadir memeriahkan acara. Sebagai lawan tangguh yang tidak terkalahkan, ular besar yang haus akan membunuh dan dendam benar-benar terlihat hidup. Lidahnya menjulur, menatap para pejuang yang bertahan untuk tidak merasa takut sedikit pun. "Mereka bisa melihat ketakutan kalian," salah satu suara terdengar riang. Ceria penuh alasan. "Aroma darah, debaran jantung, suara napas. Tidak ada yang bisa kalian sembunyikan dari pemangsa mitologi yang hidup ribuan tahun lalu." Menteri Gryfin adalah orang gila, begitu kesan pertama yang melintas dalam kepala Winter. Dia berhasil menciptakan teror dengan membuat hewan-hewan punah tersebut seolah hidup dan siap memangsa mereka semua secara brutal. Mata mereka menebarkan kebencian dalam, menunggu datangnya waktu untuk mencabik. *** Winter termenung. Mengamati kulkas yang menyimpan puluhan aneka minuman kaleng. Saat semua orang pergi untuk beristirahat, dia memilih menyendiri bersama pikirannya. "Kau takut?" "Untuk?" "Uji coba tahap pertama," ucap Violet setelah mencari minuman untuknya sendiri. "Kau bisa melihat hewan buas itu secara jelas. Mereka sempat hidup, mitologi kuno. Kau tidak akan percaya jika belum melihatnya langsung." "Aku sudah melihatnya." "Siapa yang ingin kau lawan?" Winter berdeham. "Basilik, mungkin?" "Aku sebenarnya ingin mencobanya juga. Yah, mungkin naga bertanduk itu tidak buruk." Violet mengernyit setelah ikut duduk, menandaskan separuh isi kalengnya. "Apa kau siap?" Winter tiba-tiba bertanya, didorong rasa penasaran sekaligus canggung. Dia tidak terbiasa berinteraksi dengan banyak orang dan memutuskan menjadi pendiam, sosok terlupakan yang sering menyendiri. Teman satu kamarnya sering membual, dan dia tidak terlalu akrab. Mereka serupa dengannya; senang memilih mati. "Kesiapan hanya perlu waktu. Aku menata diriku untuk berusaha sekeras mungkin, apa pun yang terjadi." Violet terdengar yakin, sama sekali tidak meragu. Suara wanita itu mengandung tekad yang tidak pernah Winter miliki. Harga dirinya menjerit merasa malu, terutama karena mereka tahu perempuan tidak pernah menang dari arena Athena. "Kau hanya mengandalkan fisik, benar?" Raut Winter berubah lebih gelap. Kekuatan fisik yang sembarangan dan tanpa teknik. Sekeras apa pun dirinya belajar, dia hanya menjadi murid paling lemah sekaligus pecundang. Seharusnya tempat sampah terdengar bagus untuknya alih-alih penampungan bagi anak sebatang kara. "Kau sendiri?" "Akal. Selama logika masih berjalan, aku mengandalkannya." Violet menoleh, memberi senyum palsu. Dan Winter menatapnya muak, membenci senyuman orang lain. "Kau terkesan anti sosial. Kenapa? Sosial tidak membutuhkanmu?" "Mereka hanya omong kosong." Reaksi Violet hanya berupa dengusan kecil. "Kita ditakdirkan untuk mati atau menang demi mendapatkan serum regenerasi itu. Mengapa kita harus bertarung mendapatkannya?" pertanyaan yang kerap terlintas dalam kepala Winter juga terlintas pada Violet. Wanita itu dengan gamblang mengungkapkan isi kepalanya tanpa malu. Winter menunduk, menatap bekas lukanya sendiri yang menjalar berbentuk abstrak dari telapak tangan. Ini bekas berjuang, perjuangan seorang anak yang mencoba pergi dari lumpur kecerobohan. "Semoga berhasil." Violet bangun, membuang sampah bekas minuman kalengnya dan berjalan pergi. Sementara Winter mengawasi dari tempat duduknya, melihat eksistensi wanita itu memudar setelah pintu tertutup. Bahkan tidur tidak bisa membuat perasaannya berubah tenang. Winter termakan banyak kejadian traumatis selama hidupnya. Tidak mampu menyingkirkan benang kusut yang kerap merusak isi kepalanya. Tradisi yang berlangsung selama ratusan tahun terpaksa membuatnya turun tangan. Usianya tidak akan bisa mencapai tiga puluh jika tanpa serum regenerasi. Jika dirinya kalah, maka habislah sudah. Mimpi-mimpi yang sempat terangkai akan hancur, tercecer tanpa sisa. Dan Winter akan semakin larut, mati dengan segenap rasa bersalah sekaligus membenci dirinya sendiri. Sampai kapan pun, dirinya tak akan mau memaafkan kesalahannya. Tidak bisa mencintai dirinya sendiri yang kerap membuat kesalahan. Arena Athena adalah pembuktian untuk segalanya. Ini saatnya untuk tidur. Berbeda dari malam sebelumnya, kini dirinya berada di asrama sebelum arena Athena terbuka sesuai waktunya. Semua tahapan sedang berjalan, kemampuan para pejuang sedang dipertaruhkan. Sejauh mana mereka bisa bertahan? Kamar otomatis terbuka dan Winter melihat rekan pesaingnya sudah terlelap. Termasuk Violet yang dengan santai tertidur di ranjangnya sendiri. Wanita itu tidak menganggap dirinya istimewa hanya karena gender mereka berbeda. Ruangan ini kedap suara. Winter tidak bisa mendengar apa pun selain suara napasnya sendiri. Hawa dingin datang dari sela-sela pendingin ruangan, membantunya menarik diri untuk mengurung tubuhnya dalam selimut tebal. Melamun adalah hal yang terakhir Winter lakukan sebelum dirinya jatuh tertidur. Matanya terbuka redup, memikirkan beragam kemungkinan yang hadir mulai esok hari. Apa pun yang terjadi, dia harus bertahan. Kebebasan. Untuk semua penduduk distrik satu, dia akan berjuang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.8K
bc

Time Travel Wedding

read
5.2K
bc

Kembalinya Sang Legenda

read
21.7K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.3K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.0K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook