bc

LOST WHISPERS

book_age16+
270
FOLLOW
1.1K
READ
alpha
dark
forbidden
love-triangle
reincarnation/transmigration
independent
tragedy
bxg
mystery
brilliant
like
intro-logo
Blurb

Perang dunia kelima telah usai. Seluruh spesies makhluk di bumi dinyatakan punah. Tidak ada lagi yang tertinggal selain kekeringan, kekosongan dan sisa-sisa perang dunia yang selamanya akan terus membekas.

Dan disinlah kekuasaan Sang Jenderal selama puluhan tahun mampu membuat Andara, negara yang mereka cintai makmur.

Akan tetapi, bukankah di balik ketenangan selalu ada badai yang siap menggulung?

chap-preview
Free preview
LW - 1
"Wah! Kalian hebat!" Caris Adonia memekik bangga saat dia turun dari atas pohon pinus dan melompat girang pada anak-anak yang berhasil meloloskan anak panah mereka dari busur bambu dengan baik. Walau tidak tepat sasaran, nyatanya arah bidikan mereka membaik dari hari ke hari. Membuat Adonia bangga sebagai guru pemula mereka. "Kakak Adonia! Kami bisa menjadi pelindung Distrik Lily, kan?" Adonia mengangguk dengan senyum terkulum. Rasa bangga terlalu membuncah di dalam dirinya. Anak-anak ini bisa diarahkan menjadi anak-anak yang berguna bagi masa depan kebanggaan distrik mereka. "Kuenya sudah matang! Ayo!" Caris Adonia menolehkan kepala. Menemukan Rin, kakak tertua mereka datang dengan senampan kue kering dan seteko teh hangat. Dia menatap Adonia, tersenyum hangat. "Adonia, kenapa melamun? Kau tidak ingin melewatkan kue manis ini, bukan?" Sebelum langkah Adonia menjauh, dia mendengar suara gemerisik dari seseorang ada di belakangnya. Kepalanya menoleh, menemukan Abria Valerie tengah kesulitan membawa dua ember berisikan buah-buahan dari Departemen Pangan yang dibagikan pada seluruh distrik setiap minggunya pada wadah yang sudah disiapkan, dan para penduduk hanya tinggal mengambil jatah mereka tanpa perlu datang ke Departemen Pangan. "Selalu saja." Adonia berdecak samar. Tetapi dia tetap bergerak mendekatinya dengan langkah ringan, membantu Abria Valerie menandu ember-ember itu dengan kekehan lelah. "Terima kasih, Adonia. Aku selalu merepotkan." "Terlalu berlebihan." Adonia memutar mata dan Abria Valerie mengulum senyum bersalah. Dia berjalan bersama Adonia untuk menaruh buah-buahan itu di keranjang dan duduk di bangku lain menatap anak-anak saat Rin menghampiri mereka dengan kue hangat di piring. "Untuk kalian." Rin tersenyum, menyodorkan piring itu dan Adonia mengambilnya dengan senyum lebar. "Terima kasih! Kau yang terbaik, kakak tertua!" Rin hanya tertawa. Dia kembali mengatur anak-anak agar tidak berebut kue dan saling berbagi satu sama lain. Menegur mereka ketika mereka makan secara sembarangan. Anak-anak ini bukan anak asuhan mereka. Karena Rin tidak membuka panti yayasan. Mereka memiliki rumah dan orang tua. Andara memberikan mereka rumah dan perlindungan langsung atas pengawasan militer hitam yang bernaung di bawah kuasa Sang Jenderal. Abria Valerie menyenggol kakinya dengan ekspresi kemelut luar biasa. Mata birunya yang biasa menyala-nyala terang dan penuh antusias terlihat meredup. "Valerie, jika ini tentang—" "Aku tidak mau percaya ini. Tapi, kau serius? Kau ingin mendaftar militer hitam? Adonia, kau memang kuat. Tapi, saingan di luar sana—" Abria Valerie menggeleng. Memikirkan Adonia—sahabat terbaiknya terluka membuatnya sedih. "—mereka juga kuat. Dan berbahaya. Aku tidak mau melihatmu sia-sia pergi ke Benteng Ankara." Ankara adalah ibukota Andara yang makmur. Di sanalah tempat tinggal Jenderal bersama para petinggi Andara tinggal. Ankara adalah kota yang besar. Kota yang hidup dengan gemerlap segalanya yang ada. Di sana seluruh Departemen ada. Di dalam besarnya Benteng Ankara, seluruh yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup lainnya ada. Caris Adonia mendesah panjang. Matanya menatap anak-anak yang riang kembali bermain dengan kayu dan mainan sederhana mereka tanpa beban. "Aku hanya ingin ... mempertahankan apa yang seharusnya. Aku tidak ingin ada darah lagi tumpah karena keserakahan manusia. Aku bahkan sudah sejauh ini, Valerie. Aku tidak akan berhenti." Adonia turun dari bangku. Mengambil busur dan anak panahnya untuk menargetkan bidikannya pada batang pohon pinus di depan sana. Rin yang keluar setelah memindahkan air masak ke dalam wadah turut menatap keduanya dengan helaan napas panjang. Semua orang—termasuk dirinya sebisa mungkin menahan Adonia untuk pergi mengadu nasib ke dalam Benteng Ankara yang kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Ajaran militer di sana terlalu kental dan tak mengenal bulu siapa yang mereka ajar. Semua harus mentaati aturan yang berlaku. "Kau serius, datang ke dalam benteng dan ikut pertandingan ini hanya untuk menemui Jenderal. Jangan gila, Adonia. Jenderal itu sangat kejam. Dia tidak punya hati. Tidak berbelas kasihan. Aku tidak mau melihat sahabatku kembali hanya dalam bentuk tulang-belulang dan bukan lagi menjadi manusia utuh." Caris Adonia memicingkan mata. Menargetkan kemana anak panahnya akan melesat dengan senyum simis. "Jangan khawatir. Seperti aku yang mampu melenyapkan Nyonya Jenderal Alterio Kaila dengan mudah, aku juga bisa melenyapkan Jenderal tak tahu adab itu tanpa kesulitan." Dan anak panah itu berhasil menancap pada batang pohon pinus dengan dalam. Adonia tersenyum puas. Dia melirik Valerie yang menghela napas panjang dan duduk di bawah pohon dengan mata menyipit marah. "Oke! Kalau begitu, aku akan terus mengawasimu tanpa lengah. Kalau kau bisa masuk ke dalam Benteng Ankara dengan mudah, aku juga bisa masuk ke dalam benteng sialan itu tanpa kesulitan." Rin menggeleng pada Abria Valerie yang memberinya tatapan untuk tetap diam. "Aku akan ikut ujian menjadi salah satu asisten para ilmuwan di Departemen Kesehatan. Jika aku berhasil, aku akan dekat dengan Adonia. Dan jika aku gagal, aku akan terus mencoba." Adonia mengulum senyum menyadari kegigihan gadis di depannya. "Oke. Ide bagus. Tapi, jika kau gagal, kau bisa bekerja untuk Departemen Pangan dan sesekali menyelundupkan makanan bagi penduduk Distrik Lily." Kepala pirang itu menggeleng. Dia mengepalkan tangan penuh tekad. "Tidak. Abria Valerie sudah memutuskan untuk menjadi asisten dokter atau ilmuwan nanti di Departemen Kesehatan. Aku lebih cocok di sana." Rin menatap keduanya dengan sorot lelah. Dia memandang lurus pada Adonia yang melemparkan diri ke atas tanah dan memejamkan mata di saat suara tawa anak-anak bermain kejar-kejaran menemani mereka. "Adonia, Valerie." Abria Valerie menatap lirih saat Rin terseok-seok melangkah karena satu kakinya diamputasi. Dia meringis, memegang tangan Rin dengan lembut saat gadis berwajah manis itu duduk di antara mereka berdua. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Hanya saja ..." "Kakak Rin," Adonia lantas bangkit. Memegang kedua pundak Rin dengan sorot penuh tekad dan yakin. "Aku tidak akan mundur dari keputusanku. Aku akan pergi mencari keadilan. Tentang semua yang terjadi. Tentang semua yang kita alami." Matanya menatap satu kaki Rin yang masih sehat dengan sorot pilu. "Tidak akan lagi ada korban." Rin menggeleng menatap Adonia. Dia balas menggenggam kedua tangan itu di pundaknya. "Dan untukmu, berhentilah berbangga diri karena kau membunuh Nyonya Alterio Kaila. Itu bukan sama sekali hal yang bisa kau banggakan, Adonia. Kau lupa? Kau tidak membunuhnya." Abria Valerie memejamkan mata dan seketika sorot mata Adonia berubah hampa. Dia menggeleng, tertawa pahit. "Aku membunuhnya. Aku sangat yakin." Rin hanya diam. *** Benteng Ankara. Menyebut namanya saja sudah membuat perut Caris Adonia seperti dikocok kuat oleh mesin blender yang tajam, membuat dalam perutnya keluar dan dia ingin muntah. Ini tidak pertama kalinya dia datang ke Benteng Ankara. Saat dirinya masih berusia lima belas tahun, dia pernah datang untuk tahu apa yang terjadi di dalam benteng yang selalu diagungkan para penduduk distriknya. Dan setiap orang ingin berkesempatan masuk untuk tahu isi di dalamnya. Penjagaan super ketat adalah hal yang pertama kali Adonia lihat. Adonia remaja yang penuh ingin tahu berubah menjadi Adonia dewasa yang tangguh. Dia termasuk salah satu gadis pejuang di distriknya. Dan ini adalah suatu kebanggaan karena Caris Adonia bisa membawa nama distrik yang dia cintai dalam ajang kompetisi untuk masuk militer hitam Ankara. Abria Valerie berulang kali menarik napas, membuangnya kasar. Dia yang paling gugup. Sedangkan Adonia berusaha santai. Kemana Caris Adonia yang biasa menggebu-gebu? "Aku pasti lolos. Ya, aku pasti lolos." Adonia mengulum senyum. Tangannya meremas tangan Abria Valerie yang bergetar. Gadis pirang itu menatapnya dengan senyum tipis. "Kau pasti bisa." "Aku akan membawa perubahan untuk kita. Terutama untuk Kakak Rin." Adonia mengedipkan mata. Dia terdiam, menatap puluhan pejuang kompetisi yang berkumpul di lapangan dari berbagai distrik tengah berbincang dan menyiapkan senjata. Abria Valerie menegang. Kedua bahunya tidak tampil rileks seperti biasa. Dia melirik Adonia, menelan ludah gugup. "Adonia, ini pesaingmu?" "Wow," Adonia terkekeh pahit. "Lumayan juga. Aku bisa mengatasinya." "Jangan bercanda." Abria Valerie mengerling saat pengumuman pendaftaran Departemen Kesehatan dibuka. "Aku harus pergi." Mereka saling meremas tangan satu sama lain sebelum Valerie berlari menjauhinya. Caris Adonia menarik napas panjang. Menghitung dalam hati untuk membuatnya tetap tenang. Dia terbiasa berburu, melawan para perampok yang ingin mencuri tambang emas milik distriknya. Tapi, melihat pesaing yang menggunakan senjata lengkap dan canggih? Adonia tidak yakin. Dia hanya membawa busur dan lima puluh anak panah yang sudah dia asah dan menyelipkan sebotol racun kalau-kalau dia membutuhkan untuk menumbangkan musuh yang berbahaya. Dan bisik-bisik itu mulai terdengar. Adonia berdiri di tengah mereka. Tidak peduli dengan pakaian yang mencolok berasal dari distriknya. Distrik Lily, selain terkenal dengan tambang emasnya yang melimpah, para wanita rumah tangga di sana juga terkenal akan hasil jahitan bulu wol dan sutera mereka. Adonia mencintai pakaian khas dari distriknya dan dia tidak keberatan harus bertarung dengan pakaian kebanggaan ini. Suara pistol meletus di atas langit. Semua orang terdiam dan lantas bergerak untuk berbaris di tengah lapangan dalam Benteng Ankara. Semua pesaing ini adalah wanita. Karena militer hitam akan membuka siapa pun yang pantas masuk ke dalam Benteng Ankara secara terbatas dari wanita. Adonia mendongak, menyipit pada kuatnya terpaan sinar mentari kala dia melihat sosok Panglima yang sedang berbincang dengan militer hitam dan Letnan yang tengah memiringkan kepala, memindai para pejuang di bawahnya. Dan terakhir. Yang membuat Adonia berdebar-debar datang. Jenderal datang bersama Komandan Rei di sampingnya. Seolah tahu posisi mereka, Komandan Rei segera beranjak berada di sisi Panglima Sai dan Letnan Aristide di saat Jenderal berdiri paling depan. Seragam militer hitam Ankara sangat mencolok di antara seragam lainnya. Entah kenapa mereka mencintai warna hitam dibanding putih yang suci dan merah yang berani. Adonia menahan napas, menemukan bagaimana tatapan pekat Sang Jenderal kini menusuk ke arahnya. Si gadis yang melawan aturan dengan masuk ke dalam Benteng Ankara tanpa pakaian hitam. "Oh, dia." Panglima Sai tertawa dingin. Menatap di antara ratusan orang memakai pakaian hitam beraneka rupa khas Andara, gadis itu malah memakai pakaian putih khas Distrik Lily dengan bangga. "Lihat tatapan matanya, Jenderal. Dia tidak takut bahkan ketika kau akan memenggal lehernya sekarang." Komandan Rei berdeham. Dia merapikan topi militernya dan melirik Letnan Aristide yang bergeming. "Diam." Panglima Sai mengangkat bahu acuh. Letnan Aristide membuka suara. "Distrik Lily memang mencintai perbedaan, bukan? Sejak dulu." Dia melirik Komandan Rei yang menatap tajam ke arah lain. "Dia murni datang untuk mengikuti kompetisi masuk militer hitam." "Bibit pemberontak, Letnan. Ayolah, jangan tutup matamu." "Jaga bicaramu." Letnan Aristide mendesis dingin pada Panglima Sai yang melempar tatapan datar padanya. Sang Jenderal terdiam sebentar. Tidak ada gunanya berlama-lama menatap gadis manis yang mengikat rambut merah muda panjangnya dengan model sanggul dan memakai pakaian lembut khas Distrik Lily dengan anggun. Bagaimana bisa seorang gadis tampak begitu berkarisma hanya memakai gaun lembut itu? "Militer hitam Ankara hanya memperbolehkan lima puluh pejuang wanita yang akan dilatih menjadi prajurit darat dan udara. Kalian akan dibagi untuk duduk di posisi masing-masing sesuai kemampuan kalian." Jenderal mulai bicara dengan pengeras suara. Semua orang terkesima bagaimana tampannya Sang Jenderal—pemimpin mereka saat ini. Caris Adonia menunduk, mengepalkan tangannya tanpa sadar ketika bisik-bisik memuja terlontar untuk Sang Jenderal bersama ketiga petinggi lainnya yang tak kalah mengagumkan. Tatapan mata Sang Jenderal menjelajah dari balik topi militernya yang khas. Dia menarik sudut bibirnya, menebak-nebak siapa yang akan masuk ke dalam militer dengan mudah dan siapa yang akan masuk ke dalam militer melalui cara licik. "Hanya tiga jam. Kalian memiliki waktu tiga jam sebelum waktu habis dan kalian yang terluka, akan diangkut militer hitam untuk diobati. Aku tidak bertanggung jawab atas kematian siapa pun." Komandan Rei menatap mereka dengan tatapan dingin. Sudut bibirnya tertarik ketika dia berbisik pada Panglima Sai yang sedang bersedekap. "Aku berani bertaruh, hanya akan ada sepuluh orang yang benar-benar selamat dari kompetisi mengerikan ini." "Komandan, kau meremehkan wanita ternyata." Kepala Panglima Sai menggeleng datar. "Mereka bisa berubah menyeramkan saat menginginkan sesuatu dan itu direbut oleh wanita lain. Pesaing ini seperti haus darah dan kekuasaan. Aku yakin, beberapa dari mereka terbunuh karena dibunuh pesaingnya, bukan karena kalah permainan." "Tebakan yang menarik, Panglima." Kepala Panglima dan Komandan menoleh pada Jenderal. Letnan Aristide hanya mendesah pendek. "Jika mereka saling membunuh, itu memudahkan kita untuk langsung membakar mayatnya tanpa perlu mengembalikannya pada keluarga mereka yang gugur." Satu pistol meletus dan membentuk kembang api di atas langit. Adonia menengadah, menandakan mereka sudah siap dan gerbang kematian itu akan dibuka. Mereka hanya perlu mencari lima puluh botol berisikan pin khusus militer hitam Ankara. Jika setiap orang memiliki satu, maka mereka akan dipastikan lolos masuk militer hitam. Semua orang beramai-ramai keluar lapangan dengan antisipasi. Adonia menunduk, menatap senjatanya dengan tatapan kosong selama beberapa saat sebelum akhirnya dia yang menjadi paling akhir keluar dari dalam lapangan. "Suasana hatimu memburuk, manis?" Caris Adonia menolehkan kepala ketika dia menemukan Panglima Sai menyeringai dingin padanya. Bersama Komandan Rei dan Letnan Aristide yang menuruni tangga. "Kau terlihat ... tidak percaya diri karena senjatamu terlalu sederhana?" Komandan Rei terlihat menahan tawa dari ekspresi datarnya yang hampir pecah dan Letnan Aristide hanya memandangnya datar tanpa minat. "Kau bisa menarik semua ucapanmu tentangku saat aku berhasil masuk ke dalam militer hitam tanpa kesulitan, Panglima." Adonia lantas membungkuk, memberi penghormatan pada ketiga petinggi Andara dengan wajah sinis dan berjalan pergi. Panglima Sai mengangkat alis. Menemukan punggung kecil itu semakin jauh darinya ketika dia menoleh, menemukan Sang Jenderal tengah duduk di undakan anak kelima tangga kecil menuju lantai atas lapangan Ankara. "Jenderal." "Panglima," suara Sang Jenderal begitu dalam dan mengancam. Letnan Aristide mengangkat satu alisnya ketika Jenderal berdiri, berhadapan dengan Panglima Sai yang mengernyit tak mengerti. "Lain kali, kau harus mampu menempatkan diri dengan siapa kau bicara. Dia, gadis itu, akan menjadi calon ibu negara." Komandan Rei mendesak maju. Menabrak bahu Panglima Sai yang melebar tak percaya sebelum kemudian ekspresinya berubah dingin. "Jenderal, jadi semua itu benar?" Kepala Jenderal mengangguk pelan. Dia menatap ketiganya dengan sorot tajam sebelum akhirnya berlalu. Berjalan menjauhi mereka diikuti militer hitam lain yang mengawali kepergian mereka dalam diam. *** Caris Adonia masuk ke dalam arena kompetisi. Arena yang sudah disulap seperti kandang yang seluruhnya dilindungi baja tebal tak tertembus ini benar-benar mengurungnya. Seketika keberaniannya sedikit menipis, namun karena tekadnya kuat. Demi Rin dan demi dirinya, Adonia siap melawan apa pun yang menghadang. Satu burung gagak hitam terbang di atasnya. Adonia menengadah, menatap mentari yang menelusup masuk melalui celah-celah daun pohon pinus yang rimbun. Dia menarik napas, mendengar langkah kaki berlari mendekatinya saat Adonia menarik busurnya, bersiap menembak targetnya. Satu letusan pistol menggema dan Adonia mendengar suara rintihan keras. Dia berlari, menjauhi tempat itu sebisa mungkin. Di tempat lain, Jenderal bertopang dagu dengan ekspresi datar ketika layar besar menampilkan seluruh arena kompetisi tanpa terkecuali. Saat mereka menghadapi satu demi satu lawan mereka yang diturunkan langsung untuk membuat mereka tumbang. Panglima Sai bersandar pada tembok. Hanya ada dirinya, Jenderal, Letnan Aristide dan Komandan Rei yang tetap di ruangan khusus memantau jalannya kompetisi saat mereka siap memerintah militer hitam kalau-kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi merusak jalannya pertandingan. Dan layar menampilkan Caris Adonia yang duduk di bawah pohon pinus. Meluruskan kedua kakinya yang menampakkan bilur-bilur merah. Terlihat sekali bahwa gadis itu terjatuh dan dia terguling hingga bekas goresan itu melukai kulit bersihnya. Tatapan Sang Jenderal mengeras selama beberapa detik. Kedua matanya tak lepas dari sosok itu sampai Caris Adonia kembali berlari dan kamera yang terpasang di setiap pohon pinus merekam semuanya tanpa melewatkan sedetik pun. Satu letusan mengarah ke arahnya. Adonia menunduk, dia mempersiapkan anak panahnya ketika menutup sebelah matanya dan menyerang salah satu pesaingnya dengan anak panah yang sudah dia siapkan. Membuat lawannya tumbang dengan anak panah menancap di kaki sebelah kanan. "Sialan!" Dia memaki kasar saat Adonia mendekat dan merampas peta yang dia dapatkan dari perburuan. Adonia terengah-engah dengan senyum dingin. "Kau bisa saja meledakkan kepalaku dengan pistolmu. Sayang, semua meleset." Adonia kembali berbalik dan berlari menjauhinya saat suara raungan itu berubah menjadi kesakitan karena racun yang dia lumuri pada pucuk anak panahnya berhasil merasuk ke dalam darahnya. "Titik ini. Aku harus menemukan titik ini." Adonia mengusap peluh di dahinya. Dia melepas ikatan sanggulnya. Menemukan air bersih saat dia mendongak, menemukan jam besar menunjukkan waktu mereka kurang dari dua jam lagi. Ada kolam kecil yang begitu bening dengan air mengalir dari bebatuan yang berlubang. Adonia membasuh wajahnya dengan air bersih itu, meminum airnya saat dia merasa tenggorokannya kering dan merapikan rambutnya kembali seperti semula. Adonia menatap petanya dengan lokasi bergambar silang merah yang dia yakini dimana tempat botol itu berada. Dia berlari, menembus semak belukar ketika mendengar suara harimau mengaum dari bukit sebelahnya. Harimau itu melompat ke arahnya. Adonia lantas berguling menghindarinya. Dia mengambil anak panah itu, melesatkan salah satunya ke arah tubuh harimau putih itu dan meleset. "Bagaimana bisa meleset?" Adonia memekik tak percaya ketika dia kembali menghindar dan berlari, harimau itu tidak tinggal diam selain ikut berlari mengejarnya. Membuat Adonia memutar otaknya mencari cara melumpuhkan harimau itu. "Sampaikan ucapan selamat tinggalmu pada hewan kesayanganmu, Komandan Rei." Suara Panglima Sai di belakang mengejeknya jelas. Letnan Aristide menggeleng samar mendengar kedua orang ini tidak pernah akur sejak mereka dilatih militer hitam Ankara. Jenderal memiringkan kepala, benar-benar merasa tertarik di saat sudah ada lima gadis berhasil menemukan botol itu sebagai pemenang mutlak. "Aku masih memiliki lima puluh lagi kalau kau mau memelihara salah satunya, Panglima." Panglima Sai tertawa keras. Tanpa melunturkan ekspresi dinginnya yang sudah melekat di wajahnya sejak dulu. "Oh, tentu. Aku dengan senang hati mengurus peliharaanmu dengan baik." "Letnan. Gadis bermata abu-abu itu pantas jika kau bawa ke ranjangmu dan gunakan dia sampai kau puas. Baru, setelah itu kau bisa melemparkannya kembali ke militer hitam." Letnan Aristide menoleh. Ekspresinya sama sekali tidak berubah mendengar ledekan dari Sang Panglima. "Kurasa, dia seleramu. Tipeku sama sekali bukan gadis bermata kucing seperti itu." Panglima Sai tertawa. Diikuti dengusan tajam Komandan Rei yang fokus menatap layar. Meninggalkan kesan bosan di wajah angkuh Sang Jenderal. Harimau itu mengaum keras saat Adonia merintih merasakan luka bekas cakaran membentang di sepanjang lututnya. Dia meringis, mengeluarkan anak panahnya saat dia berlutut, mengarahkan anak panah itu tepat di jantung harimau yang melompat siap menerkamnya. Harimau itu mengerang keras. Adonia bergerak untuk berguling ke sisi lain dan bangun saat harimau itu ambruk dan perlahan tidak lagi sadarkan diri. Adonia mencoba berdiri, menahan luka di lututnya dengan kain yang dia bawa ke dalam tas mungilnya untuk menghentikan darah yang terus mengalir. Sambil terus memegang peta petunjuk, Adonia berjalan tanpa henti hingga dia menemukan sekumpulan burung gagak terbang rendah ke arahnya. Dia melebarkan kedua matanya, saat burung gagak itu semakin brutal hendak menerkamnya dan Adonia kembali dipaksa berlari. Percuma dia tidak akan bisa berhenti. Burung itu tidak mau lepas darinya saat Adonia berbelok guna mencari sumber air terdekat, dan menemukan kolam bundar yang cukup dalam ada di bawah bukit. Tanpa berpikir panjang, dia meremas busurnya dan menceburkan diri di sana hingga burung gagak itu terbang berputar-putar di atas kolam dan Adonia harus menahan napasnya untuk menyelam. Karena kolam itu terlalu jernih, dia melihat ada pantulan dari botol kaca yang tertimpa sinar matahari dari dedaunan pinus yang rimbun. Adonia menyelam semakin dalam, ketika dia meraih botol itu dan senyumnya melebar di dalam air. Kepalanya mendongak ke atas. Menemukan burung gagak itu tidak lagi mengejarnya dan menunggunya, dia naik ke permukaan. Mengambil pasokan udara cukup banyak yang mengisi paru-paru kosongnya dan memekik senang saat dia menemukan botol berisikan pin militer hitam di tangannya. "Aku berhasil." Dan Caris Adonia menjadi gadis ke dua puluh yang berhasil masuk ke dalam militer hitam. Sang Jenderal lekas duduk tegap. Menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi ketika Letnan Aristide duduk di tepi meja, menggoyangkan kakinya dengan kedua mata terpejam. "Ini membosankan. Di antara seratus lima puluh penantang, baru sepuluh yang tewas di tangan pesaing lainnya dan harimau kita." Panglima Sai mendecih sinis saat iris gelapnya tidak lepas memandang Komandan Rei yang termenung diam. "Komandan Rei, katakan saja kau menginginkan seseorang malam ini untuk menghangatkan ranjangmu. Gadis-gadis itu cukup tangguh untuk bertahan dari keperkasaanmu malam ini." "Tiada hari tanpa membicarakan seks, Panglima?" Jenderal memutar kursinya, menatap Panglima Sai dengan topangan dagu bosan. "Tidak adakah satu wanita yang kau tiduri menarik perhatianmu?" Panglima Sai mendecih dengan tawa sinis pada Sang Jenderal. "Menarik perhatianku? Jenderal, kau tahu sendiri aku terlalu mati rasa untuk mencintai seorang perempuan. Terlebih gadis-gadis itu menyulitkanku. Mereka akan merengek, meminta perhatian dan belas kasihan. Aku lebih suka membuang mereka ke tempat seharusnya dibanding menahan mereka di kamarku." "Seperti biasa, Panglima. Terlalu jujur dalam bicara." Letnan Aristide mengangkat bahu acuh. "Setidaknya kau selalu membuang milikmu ke luar bukan di dalam." Panglima Sai tertawa dingin. "Membuat mereka hamil bukan tujuanku." "Tidak ada anak?" Panglima Sai menatap sinis pada Komandan Rei yang tengah mengulum senyum dingin padanya. "Tidak ada anak. Begitu pula kau, Komandan. Bukankah kita berdua ini sama? Kembar berbeda orang tua?" Pintu terbuka setelah mendapat tiga kali ketukan. Panglima Sai lantas menyingkir, memberi akses bagi siapa pun masuk ke dalam karena ini adalah ruangan rahasia milik Jenderal, yang diberikan akses masuk semudah ini pastilah orang yang Jenderal percayai. "Madava Fredella." Komandan Rei menyebutnya dalam bisikan dan kedua pasang mata biru laut milik Letnan Aristide bergulir ke arah lain ketika gadis berambut panjang dengan pakaian militer hitam khas Angkatan Udara berdiri di tengah ruangan tengah membungkuk pada Sang Jenderal. "Aku merekomendasikan beberapa nama untuk ikut bagianku setelah mereka melewati pertandingan ini dengan baik." Jenderal menerima beberapa nama itu dengan menilai seksama. Madava Fredella menunggu dalam diam. Matanya sejak tadi tidak lepas dari laporan dan seolah-olah dia ada di ruangan ini hanya bersama Jenderal. "Coret nama ini." "Maaf?" Madava Fredella menerima berkas itu kembali dengan alis terangkat tinggi. "Mencoret nama Caris Adonia?" Alis Letnan dan Panglima terangkat tinggi ketika Komandan Rei mengintip ke dalam tulisan itu dengan bibir menipis. "Dia lebih pantas masuk ke Angkatan Darat." Jenderal membalas santai. Memutar kursinya untuk menatap layar di saat lima puluh pesaing berhasil lolos masuk ke dalam militer hitam dan mereka kini sedang keluar dari dalam arena pertandingan. Madava Fredella membungkuk setelah mengangguk pelan. Dia melirik Letnan Aristide yang terdiam dan segera pamit untuk pergi dari sana. "Masih seperti biasa, Letnan. Mengharapkan sesuatu yang tidak pasti." Panglima Sai terkekeh pahit saat dia beranjak dari pintu dan duduk di tepi meja. Menatap Letnan Aristide yang mengembuskan napas panjang. Topi militer Sang Panglima sedikit miring ketika pria berwajah dingin itu tersenyum sinis. "Sayang sekali, Madava Fredella milik seseorang." Letnan Aristide melemparkan tatapan matanya pada Komandan Rei yang membisu. Hanya berulang kali diam dan mengangguk saat Jenderal bicara padanya. "Jika sekali lagi kau tetap berisik seperti biasa, tanganku akan merobek mulutmu, Panglima." Seakan ancaman itu bukan lelucon, Panglima Sai hanya mengangkat bahu. Melakukan gerakan seperti mengunci bibir dengan senyum dingin yang menakutkan. *** Semua yang berhasil lolos menjadi anggota militer hitam baru keluar dari arena dengan wajah lelah namun berseri-seri. Senyum tidak lepas dari mereka yang berhasil menggenggam botol berisikan pin militer hitam Ankara di tangannya. Adonia menunduk, menatap botol itu dengan wajah lusuh dan tatapan berkaca-kaca. Adonia mendengar suara berdenging dari arah mimbar yang terletak tinggi di ujung Benteng Ankara. Di sana, Sang Jenderal sudah berdiri dengan seragam militer hitam khasnya yang mencolok bersama topi yang melekat di kepalanya. Ketiga petinggi Andara juga ada di sana. Lengkap dengan seragam mereka dan bintang sebagai lambang kedudukan mereka yang tersemat di d**a seragam militernya. "Jika aku bisa masuk militer hitam dan menikahi Jenderal, aku benar-benar mendapat jackpot." Adonia mendengar bisik-bisik itu. Di samping mereka yang lelah, rasa ingin memiliki Sang Jenderal bertangan dingin itu masihlah sama besarnya. Adonia mendongak, menyipit tajam pada sosok dingin itu ketika dia berdiri angkuh nan tegap, mengintimidasi semua pasang mata yang terpaku ke arahnya. "Seperti yang kalian lihat. Ada dua wanita anggota militer hitam yang berdiri di depan kalian. Mereka adalah Kapten Madava Fredella dan Kapten Rei Davira." Rei Davira? Dia adalah kakak kandung dari Komandan Rei? "Kapten Madava Fredella memegang penuh atas pelatihan dasar kalian untuk Angkatan Udara. Dan Kapten Rei Davira, memegang penuh atas pelatihan dasar untuk Angkatan Darat. Kalian dipersilakan memilih sebelum kalian mengikuti langkah selanjutnya untuk memeriksa apakah pantas masuk ke dalam angkatan sesuai minat kalian." Di saat orang-orang sibuk berhamburan memilih mana yang mereka inginkan. Caris Adonia berbanding terbalik. Gadis itu hanya mengistirahatkan kedua tangannya pada busur yang menancap di atas tanah dengan ekspresi kaku yang kentara hingga dia seorang diri berada di tanah lapang. Alis Sang Jenderal terangkat tinggi. Gadis itu selalu mencolok. Entah pakaian atau sifatnya yang keras kepala dan berkemauan sendiri sesuai keinginannya. Letnan Aristide menatap tak percaya sedangkan Sang Panglima hanya mendengus bosan. "Dia pantas masuk keduanya." Komandan Rei berbicara dan Panglima Sai menoleh dingin ke arahnya. "Jenderal jelas sekali memintanya agar dia di bawah asuhan kakakmu." "Biarkan dia memilih." Sang Jenderal membuka suara untuk membuat mulut kedua tangan kanannya bungkam. Dengan gaun putih yang lusuh. Wajah yang penuh luka dan goresan dimana-mana, Adonia memberanikan diri mendongak, menantang maut di depannya dengan darah berdesir dan tangan terkepal. Tidak peduli bagaimana luka di lututnya sudah mengering atau belum. "Kau tidak mungkin hanya berdiri diam tanpa memilih, bukan? Kesempatanmu hanya satu kali." Letnan Aristide berbicara dingin pada sosok berambut merah muda itu. "Aku ingin keduanya." Semua orang menutup mulutnya dan berbisik mencela padanya. Mulai menghakiminya sebagai gadis serakah dari Distrik Lily. "Aku ingin mengabdi pada Angkatan Udara dan Angkatan Darat militer hitam Ankara." "Wah, dengan banyak lambang di dadamu nanti, kau rupanya ingin pamer?" Panglima Sai mencela dan semua orang tertawa. Terkecuali Kapten Madava Fredella dan Kapten Rei Davira yang memasang ekspresi dingin. Caris Adonia hanya menarik sudut bibirnya. Menatap mata Sang Panglima dengan sorot tak gentar. "Kalau begitu, sampai jumpa." Adonia membanting botol itu ke atas tanah. Membuat botol malang itu pecah berkeping-keping dan pin kebanggaan seluruh militer hitam Ankara terbaring tak berdaya seperti seonggok sampah di atas tanah. Komandan Rei memiringkan kepala. Tersenyum angkuh di sisi lain Sang Letnan yang mendengus dingin menatap keberanian menjengkelkan gadis di bawahnya. Sorak-sorak menghakimi menghunjam Caris Adonia yang berdiri di tengah lapang. Gadis itu bersiap pergi menyeret dirinya untuk kembali pulang saat Jenderal mengangkat tinggi tangannya, membungkam seluruh suara yang membahana di sekitar lapangan. Semua pasang mata bergantian menatap pada Sang Jenderal dengan tatapan ingin tahu. Tidak terkecuali pada anggota militer hitam Ankara yang ikut menunggu dalam diam. Caris Adonia menengadah, memandang Sang Jenderal dengan tatapan berkilat yang tanpa dia sadari, menimbulkan seringai di wajah dingin Jenderal yang kaku. "Tentu. Kau bisa memilih apa pun yang kau mau. Entah Angkatan Udara, atau pun Darat." Caris Adonia terperangah tak percaya. "Karena kau akan menjadi Ibu Negara Andara sebentar lagi, kebebasan itu akan berpihak padamu."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Married With My Childhood Friend

read
43.7K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
113.9K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.1K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
52.9K
bc

Rewind Our Time

read
161.2K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook