bc

Salah Nikah

book_age18+
522
FOLLOW
2.3K
READ
possessive
love after marriage
arranged marriage
arrogant
dominant
tragedy
bxg
heavy
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

Embun Anindira, gadis cantik berusia dua puluh enam tahun, dia dijodohkan ayahnya dengan Arka Adhitama, pemuda berusia dua puluh tujuh tahun anak Pak Haji dari desa sebelah.

Embun gadis mandiri, di usianya yang masih muda, dia berhasil punya rumah sendiri. Meski begitu, Embun tetaplah gadis biasa dari keluarga yang biasa pula. Sangat berbeda dengan Arka yang berasal dari keluarga terpandang.

Satu hal yang pasti, pernikahan bukan hanya tentang dua orang yang menjadi satu, tapi juga tentang dua keluarga besar yang harusnya siap untuk saling menerima.

Layar sudah terkembang, kini dimulailah perjalanan Embun dan Arka dalam bahtera.

Cover by Wong Caem

chap-preview
Free preview
1. Menikah
Embun Anindira, wanita berusia dua puluh enam tahun tersebut terlihat gugup. Duduk bersimpuh dengan kebaya putih yang memeluk lekat tubuhnya. Harum melati segar menguar dari kuncup-kuncup bunga sakral yang terhias cantik di rambut sanggulnya. Suara tabuh rebana terdengar, seiring dengan jerit ramai sanak saudara, “Pengantinnya sudah datang. Pengantinnnya sudah datang!” “Ayo, Embun.” Embun yang duduk di ruang tengah dikeliling sanak saudaranya tersebut diberdirikan, diantar banyak wanita menuju ruang tamu luas beralas karpet. Pas saat Embun mengangkat kepala, rombongan keluarga calon suami Embun masuk rumah, dengan Arka Adhitama, pria dua puluh tujuh tahun yang dalam hitungan menit akan menjadi suami Embun, berada di paling depan. Calon pengantin tersebut terhenyak, terlihat malu-malu menundukkan kepala. “Kok masih malu saja? Sebentar lagi sah kok,” goda kakak perempuan Embun. Penghulu dan para orang tua yang sudah duduk di ruang tamu tertawa. Embun dan Arka diam tak menjawab. Sama-Sama masih menundukkan kepala diantar untuk duduk berdampingan. Di depan mereka, ada meja kecil, terpisah dari penghulu dan para orang tua yang akan menjadi wali dan saksi. Tuhan, jantung Embun berdentum sangat keras. Begitupun Arka, terasa seperti akan meledak dadanya. Wajah kedua calon pengantin itu pucat pasi, memancing tawa para tamu. “Sudah siap?” tanya penghulu, wajahnya jenaka menggoda calon pengantin. “S-Siap,” jawab Arka dengan suara bergetar. Tawa lagi-lagi terdengar di ruang tamu. Maklum saja, Embun memang gadis yang manis, kembang desa kalau istilahnya. Maka tak heran jika Arka teramat gugup hendak menikahinya. Suara musik rebana akhirnya berhenti, diganti dengan rangkaian pembukaan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan bacaan shalawat. Hingga tiba saatnya, saat yang paling Arka dan Embun tunggu-tunggu. Khotbah nikah dimulai, disusul pembacaan syahadat dan istighfar oleh Arka dibimbing sang penghulu. Hingga saatnya, tibalah saat Fauzi, ayah sekaligus wali nikah Embun mengulurkan tangan pada calon menantunya. Tak seperti tadi yang malu-malu, kali ini Arka terlihat mantap membalas jabat tangan calon mertuanya. Fauzi dengan suara lantang berkata, “Saya nikahkan dan saya kawinkan Engkau ananda Arka Adhitama bin Haji Salman dengan anak saya yang bernama Embun Anindira dengan mas kawin berupa emas seberat enam gram dibayar tunai!” Penghulu yang memegang mikrofon cepat mengarahkan mikrofon ke Arka. Arka, sang calon pengantin, mantap menjawab ikrar, “Saya terima nikah dan kawinnya Embun Anindira binti Bilal Fauzi dengan mas kawin berupa emas seberat enam gram dibayar tunai!” “Sah?” tanya penghulu ke keramaian. “Sah!” jawab semua yang hadir. Dan begitulah, telah resmi ikatan suci Embun dengan pria yang ayahnya jodohkan dengannya, sah dalam ikatan agama dan negara. Wanita itu ikhlas memasrahkan diri pada lelaki yang kini menjadi suaminya, dia cium penuh hormat punggung tangan suami barunya. *** Selesai prosesi akad nikah, Embun baru bisa fokus melihat sekeliling. Ayah Embun sudah lama tak bekerja, dan ketiga kakak Embun belumlah berkecupukan di bidang ekonomi. Jadilah pernikahan Embun sangat sederhana, dengan tarup kecil depan rumah beserta kursi-kursi dan meja plastik sewaan yang ditata untuk tamu. Sentuhan lembut di tangan menyadarkan, Embun menoleh, tersenyum pada suaminya yang tersenyum untuknya. “Kenapa?” tanya Arka dengan senyuman. Embun sebenarnya ingin menangis, tapi dia tahan. Wanita cantik itu menggelengkan kepala. “Tidak papa,” jawabnya. Jujur, Embun sedih. Dia mengeluarkan semua sisa tabungan untuk acara pernikahan. Dia pikir, harusnya dengan uang tiga puluh juta, harusnya bisa lebih dari ini, tapi sekarang, Embun dan Arka hanya duduk di karpet, berlatarkan backdrop yang sangat terlihat murah. Embun malu, melihat keluarga Arka dengan baju-bajunya yang mahal harus duduk di karpet lantai, dengan suguhan yang sungguh apa adanya. “Pengantin kok sedih?” Hajjah Rusdiah, ibu mertua Embun menyapa menantu pertamanya. Arka adalah anak pertama, masih ada adik lelaki yang duduk di bangku kuliah dan adik perempuan yang duduk di bangku SMA. Embun malu melihat mertua yang duduk di sebelah kirinya. Saat ini tengah berlangsung prosesi serah terima pengantin, rencananya, Arka akan ikut tinggal di rumah Embun. “Maaf,” bisik Embun pada ibu mertuanya. “Kenapa minta maaf?” balas Rusdiah dengan senyum ramah, wanita itu hangat memeluk ciumi menantunya. Embun merasa bahagia sekali. Ibunya sudah lama meninggal, dan pelukan seorang ibu adalah hal yang sangat Embun butuhkan saat ini. *** Acara ramah tamah berlangsung tak lama, berlanjut foto-foto bersama keluarga dan para tamu. Embun dan Arka berdiri berdampingan, bersalaman dengan para tamu yang berpamitan. “Gila! Tangan lo dingin banget!” teriak teman Arka. Arka tersenyum malu, mendorong temannya pergi. Embun juga, tak luput dari godaan teman-teman Arka. “Duh, cantiknya istri Arka! Bakal punya banyak anak nih!” “Hahaha.” Tawa-Tawa ramai dari teman-teman Arka menambah kebahagiaan untuk sang mempelai berdua. Embun jujur, tidak tahu lagi harus apa begitu para tamu sudah pulang. Dia duduk saja berdampingan di ruang tamu dengan suami barunya. “Arka ajak istirahat atau mandi dulu, Embun. Lalu shalat dan temani makan,” kata Fauzi, ayah Embun. “Baik, Pak.” Embun si gadis manis dan baik-baik, melihat tingkah lakunya yang lembut dan santun, banyak mungkin tidak akan menyangka, kalau Embun pernah mengenyam pendidikan sarjana di ibu kota yang keras, sampai sukses meniti karir juga selepas kuliah. Embun yang lupa kalau rupanya dia masih mengenakan baju kebaya sewaan diikuti penata rias menuju kamar. “A-Apa aku ikut ke dalam?” tanya Arka gugup. “M-Masuk saja,” jawab Embun tak kalah gugup. Para saudara riuh menyorak saat pengantin tersebut masuk ke kamar. Kamar Embun tak luas, hanya berisi kasur lantai dengan lebar tak lebih dari seratus dua puluh senti. Lemari sorogan kecil berdiri di pojok kamar. Arka dalam diam mengikuti istrinya, duduk di tepi kasur. “Saya bantu lepas hiasan rambut, nanti hapus make up sendiri ya?” kata penata rias. “Ya,” jawab Embun. Si penata rias cekatan melepas aneka peniti, juga gelung rambut besar di belakang kepala, terasa lega saat satu per satu hiasan di kepala Embun akhirnya dibersihkan. “Bajunya saya bawa sekarang, atau besok diantar ke rumah saya?” tanya penata rias. “Sekarang saja,” jawab Embun. “Saya tunggu di luar.” “Ya.” Baru juga sang penata rias keluar kamar, Embun teringat, sekarang dia tidak sendirian. Ada suaminya di sebelah. Aduh, jujur Embun tidak tahu harus bagaimana. Arka di sebelah meneguk ludah gugup. Satu sisi dia ingin melihat Embun ganti baju, tapi jujur, dia malu. “B-Biar aku lihat ke tembok,” kata Arka. “T-Terima kasih.” Antara Arka dan Embun, hari ini mungkin kali ketiga mereka bertemu. Pertama saat mereka dikenalkan dulu, kedua saat lamaran, dan ketiga ini, tak sampai tiga bulan mereka berkenalan, Arka mantap mengajak nikah. Embun juga, tak kalah gugup dari Arka. Dia yang tak tahu jika ada jarum pentul di sela kancing kebaya, tertusuk jarinya. “M-Mas, boleh minta tolong?” kata Embun. Arka menoleh gugup. “Y-Ya?” tanyanya. Suaranya serak, wajahnya merah padam. Suara celotehan ibu-ibu di luar kamar tak sanggup mereka dengar. “J-Jariku tertusuk jarum, ada darahnya, aku takut darahku kena kebaya putihnya.” “O-Oh. Lalu?” tanya Arka tak sinkron. Sebenarnya dia tahu apa yang harus dia lakukan, hanya sedang edisi lemot saja otaknya. Apalagi melihat satu kancing kemeja istrinya yang telah terbuka, menampilkan bagian leher dan tulang atas. Sangat memesona. “T-Tolong bantu bukain bajuku,” ujar Embun. “O-Oh. Okay.” Tangan Arka gugup, gemetaran terulur. Apalagi saat tangan itu menyentuh kancing di bagian d**a, mau tidak mau, tangan Arka tetap saja bersentuhan dengan d**a istrinya. Wajah pasangan itu benar-benar merah, malu dua-duanya. Begitu kebaya Embun terbuka, semakin guguplah Arka. Paras cantik, kulit putih bersih, badan berisi di tempat-tempat yang tepat, apalagi yang diharapkan lelaki dari seorang wanita? Arka sudah bisa menguasai diri. Dia tenang membantu istrinya berganti pakaian. Kemudian duduk anteng di pinggir kasur saat Embun melipat baju pengantinnya. Wanita itu lembut, membuka pintu untuk menyerahkan bajunya. Suara istrinya terdengar lembut, kala mengucapkan terima kasih sebelum kembali menutup pintu kamar. Wanita itu duduk lagi di sebelah suaminya. “Mas mau mandi atau makan dulu?” tanya Embun. Jujur, saat ini Arka tak ingin keduanya, ingin satu hal lain dari istrinya. Namun, Arka menahan diri. Tak ingin menakuti istrinya. “Aku biar mandi saja,” jawabnya. Embun mengangguk. Dia siapkan baju ganti suaminya. Mengantar suaminya ke kamar mandi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook