bc

AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA

book_age18+
57.8K
FOLLOW
552.2K
READ
drama
tragedy
twisted
sweet
like
intro-logo
Blurb

Season 1 : Albany & Zanna

Season 2 : Ken & Kinan

Season 3 : Angela & Arga

Seorang calon suami belum tentu adalah jodohmu, bagaimana jika Tuhan mengambilnya sebelum akad?

Itulah yang dialami oleh Za, dia menyerahkan kehormatannya sebelum sah terikat dalam pernikahan. Sebuah tragedi terjadi, sebulan sebelum pernikahan Riko meninggal dalam sebuah kecelakaan. Meninggalkan calon istri yang tengah berbadan dua.

Seorang pengantin pengganti didapatnya. Seorang lelaki sederhana dan pekerja kasar yang ternyata adalah anak haram dari sang calon mertua yang selama ini disembunyikan.

chap-preview
Free preview
Bab 1
--Seorang calon suami itu belum tentu benar-benar akan menjadi jodohmu. Bagaimana jika Tuhan mengambilnya sebelum akad?— *** Dering ponsel terdengar berulang kali. Aku menggeliat malas. Siapa, sih jam segini pake acara nelpon segala? Malas-malasan aku bangkit dan mengambil benda pipih itu di ujung kaki. Entah bagaimana caranya ponsel ini bisa sampai di sana. mungkin karena tidurku yang nggak bisa diem.  Kugeser tombol berwarna hijau dan langsung terdengar isak tangis dari seberang sana.  “Za, sorry, gue harus kasih tau lo … kalau Rico … Rico meninggal tadi malam.” Terdengar suara Kinara di seberang sana. dia adalah saudara sepupu Rico—calon suamiku. “Apa?!” pekikku kaget.  “Iya, Za. Dia meninggal tadi subuh, setelah mengalami tabrakan karena menerobos lampu merah tengah malam tadi.” Entah apalagi yang diucapkan Kinara. Tubuhku mendadak lemas. Rasa mual kian menyerang kuat. Ponsel di tangan merosot begitu saja dari tangan. Teringat dengan hasil test pack seminggu yang lalu yang menunjukan dua garis merah.  Ceroboh memang. Aku menyerahkan tubuh pada laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suami. Malam itu, harusnya kami pulang setelah mengecek lokasi pesta pernikahan yang kami rencanakan out door. Namun, hujan tiba-tiba menerjang di perjalanan. Pantas saja aku ingin berangkat dengan mobil, tapi Rico lebih menyukai naik motor Ninja-nya, dengan alasan agar kami bisa lebih dekat.  Seharian  keliling untuk melihat setiap sudut membuat kami kelelahan.  Aku dan Rico memutuskan untuk menyewa hotel. Awalnya aku memberi saran agar kami memesan dua kamar, tapi Rico menolak. “Sebentar lagi kita jadi suami istri, Sayang. Ngapain harus tidur terpisah? Nanti juga kita tidur seranjang. Hanya tinggal dua bulan lagi,” bisiknya.  Memang masuk akal, walau nuraniku menolaknya.  “Tapi kamu jangan macem-macem, ya,” ancamku padanya.  “Nggak bakalan macem-macem, Sayang. Paling satu macem aja,” candanya saat itu dan membuatku mencubit perutnya hingga dia meringis.  Jadilah malam itu kami tidur sekamar. Udara dingin semakin malam semakin menusuk tulang. Minuman panas yang kami minum tak lagi bisa memberikan kehangatan. Rico mendekat dan menyuruhku bersandar di d**a bidangnya.  “Biar nggak terlalu dingin,” ucapnya lirih. Aku bergeser ragu. Dia lalu memelukku.  “Awas jangan macem-macem,” ancamku lagi.  “Iya tenang aja,” katanya dengan napas yang tersengal.  Namun, sekuat apapun kami malam itu, ternyata godaan setan jauh lebih kuat.  “Kamu sebentar lagi jadi istriku, Zanna. Nanti atau sekarang sama saja, tetap aku yang akan menikmatinya,” ucap Rico parau. Logikaku hilang, aku pasrah dan menyerahkan diri padanya. Ternyata benar apa yang diucapkan Mama. “Awas hati-hati kalian, ya. Godaan calon pengantin itu berat.” Mungkin inilah godaan untuk kami dan kami tidak bisa melaluinya. Aku sama sekali tidak meragukan kesetiaan Rico. Dia selalu membuktikan jika hanya akku yang ada di hatinya. Tidak aka nada wanita lain yang akan merebutnya. Namun, aku lupa jika ada Sang Khalik yang memiliki raga dia seutuhnya. Yang bisa mengambilnya kapan saja. Tangisku pecah. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?  Bagaimana nasib masa depanku, juga janin yang tak berdosa ini? Tuhan, kenapa cobaan ini begitu berat? **Tangisku kembali pecah di atas gundukan tanah merah yang menjadi tempat peristirahatan terakhirnya. Aku mengadu entah pada siapa.  “Ricoo … kenapa kamu pergi secepat ini?” jeriitku seolah tak menerima takdir Tuhan.  Beberapa tangan memeluk dan menepuk pundakku untuk memberi kekuatan. Namun, aku tetap lemah. Aku menyesali segalanya setelah semua tak bisa diubah. **Langkahku gontai tak tahu arah tujuan. Aku tak ingin kembali ke rumah, takut membuat malu Mama dan Papa. Aku juga tidak bisa begitu saja meminta tanggung jawab pada keluarganya Rico, toh calon suamiku itu bukan tidak ingin bertanggungjawab, hanya saja dia pergi untuk selamanya.  Pandangankku kabur karena air mata tak henti berderai. Entah seperti apa penampilanku saat ini. Hanya saja, sudah pasti wajahku merah dengan mata yang bengkak.  Ponselku terasa bergetar di dalam tas selempang. Tak kuhiraukan. Aku tak ingin diganggu siapa pun. Aku ingin pergi, walau entah ke mana.  Semakin lama pandanganku semakin kabur. Sayup terdengar teriakan orang-orang yang entah untuk apa. Hanya tubuhku yang terasa melayang kemudian ingatanku hilang.  ** “Za … Zanna. Kamu harus kuat, Sayang,” terdengar bisikan di telingaku. Kesadaranku mulai kembali. Aku buka mata perlahan. Warna putih mendominasi.  Aku menoleh ke kiri, wajah Mama terlihat di sana.  “Zanna, kamu sadar?” pekiknya gembira. Aku menatap sekeliling, ternyata bukan hanya Mama yang ada di sini. Ada Om Hendro dan Tante Rita—orangtuanya Rico juga sedang menatapku.  “Zanna. Alhamdulillah, kamu sadar,” ujar Tante Rita dan mendekat padaku lalu mengelus pelan lengankku yang tersambung selang infus. Sepertinya aku di rumah sakit. Tapi bagaimana bisa? “Alhamdulillah kamu dan bayi kamu selamat. Apa ini anaknya Rico?” tanya Tante Rita dengan wajah penuh tanya.  Oh, ternyata kehamilanku sudah diketahui mereka. Aku kemudian mengangguk pelan. Tak ada lagi pertanyaan dari mereka, mungkin tahu jika aku masih butuh istirahat.  Tiga hari dirawat, aku sudah diperbolehkan pulang dan langsung disidang. Orangtua Rico memintaku untuk menjaga janin itu karena mereka anggap sebagai pengganti anak mereka yang sudah meninggal.  “Aku malu sekali, Tante. Harus hamil tanpa suami.” Tiba-tiba kalimat itu keluar dari mulutku.  “Tante akan carikan seorang suami untuk kamu. Pokoknya kamu harus mempertahankan janin itu hingga lahir. Biar nanti Tante yang akan merawatnya,” ucap wanita yang selalu terlihat mewah itu.  Aku menunduk. Tak enak rasanya membayangkan jika lelaki lain yang harus bertanggungjawab atas dosa yang tak pernah diperbuatnya.  “Tapi … Tante—“ “Sudah, kamu nggak usah banyak pikiran. Pokoknya, urus diri kamu dan bayi ini biar sehat. Selebihnya serahkan pada Tante, ok!” ucapnya dengan menautkan jempol dan telunjuknya.  Ya, mungkin aku sudah tidak punya pilihan lain. Tidak ada pilihan yang baik untuk pezina sepertiku. Membesarkan anak ini tanpa suami dengan olokan orang, melenyapkan bayi tak berdosa ini, atau menerima tawaran Tante Rita untuk menerima seseorang sebagai pengganti Rico.  Hanya sekali aku bertemu dengan lelaki itu sebelum acara ijab kabul. Wajahnya terlihat dingin dan angkuh. Ingin menolaknya, tapi siapa yang akan bertanggung jawab lagi selain dia? Albany, yang kata Tante Rita adalah kakak dari Rico yang tak pernah aku ketahui.  Dia yang dengan lantang mengucapkan ijab kabul di depan Papa dan para saksi juga keluarga tepat di hari pernikahan yang sudah kurencanakan dengan Rico.  Tak pernah kusangka, siapa yang melamarku ternyata bukan yang menikahiku. Begitulah takdir, tak ada yang bisa menduganya. Namun, aku akan berusaha menerima dia setulus hati. Dia yang mau berkorban menerima getah, walaupun tak pernah memakan nangkanya.  Sesuai permintaan Tante Rita, aku tinggal di rumahnya setelah menikah. Agar dia bisa memperhatikan kondisiku, katanya. Aku pergi ke sana bersama Tante Rita juga Om Hendro, karena Albany mendadak menghilang setelah acara.  “Kamarnya Al yang sebelah sana, Za. Kamu tidur di sana ya,” kata Tante Rita dan menyuruh seorang ART-nya untuk membantuku membawakan tas berisi pakaian.  Aku mengangguk.  Walaupun ragu dan takut, aku menuju kamar itu juga pada akhirnya. Mengetuk pelan dan memutar knopnya perlahan. Tidak dikunci ternyata. Aku meminta bibi ART untuk menyimpan tasku di ambang pintu, selanjutnya aku yang akan membawanya ke dalam. Kosong. Tak ada siapapun di sana.  Aku memindai sekeliling. Ruangannya begitu rapi dan wangi. Warna biru tua mendominasi. Memang cocok untuk kamar seorang lelaki.  Aku duduk di sofa yang menghadap televisi, setelah menyimpan tas di sebelah lemari besar.  Terdengar pintu dibuka. Aku terperanjat. Rupanya Albany yang baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah dengan hanya memakai handut hingga ke pusar.  Aku melengos saat beradu pandang dengan matanya yang tajam.  Dia tampan, memiliki garis wajah yang tak jauh dari Rico, hanya saja calon suamiku dulu sangat periang dan ramah. Bertolak belakang dengan laki-laki yang ada di hadapanku ini. Wajahnya ketus dan dingin. Terdengar dengkusan dari mulutnya.  “Kamu sudah di sini rupanya,” ucapnya dingin. Aku berdiri sambil memainkan jemari karena gugup. “Maaf, tadi tidak ada siapa-siapa,” ucapku pelan.  “Tidak perlu basa-basi. Kamu boleh mentukan dari sekarang mau tidur di mana. Di sofa itu, atau di lantai,” tunjuknya sinis dengan dagunya yang terlihat kehijauan.  Hatiku yang sempat berbunga, mendadak layu seketika.  Apakah pernikahan seperti ini yang harus kujalani  demi bayi yang tak berdosa ini? 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook