bc

Kali Kedua

book_age16+
1.0K
FOLLOW
6.1K
READ
love-triangle
second chance
independent
brave
confident
drama
sweet
bxg
enimies to lovers
cruel
like
intro-logo
Blurb

Dalam kamusnya, tidak ada kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ada. Challista berpikir andai saja masa-masa remajanya buruk, dia tidak akan mau mengulang kenangan yang sama dan pada orang yang sama.

Tetapi mengapa semua berubah saat dia melihat mantan kekasihnya kembali?

chap-preview
Free preview
1
"Ini, undangan pernikahan. Aku menyempatkan datang untuk mampir dan melihat apa bos besar sepertimu bisa datang atau memilih untuk duduk di balik meja dan menitipkan amplop cap bibirnya pada orang lain?" Renhart Challista mendongak. Menatap sepasang manik biru yang berkilat dengan senyum di wajah manisnya. Ransom Ten, menyapanya yang sedang duduk di kedai kopi seberang hotel miliknya. "Hai." Senyum Ten lekas lebih lebar lagi saat dia ikut duduk, menyilangkan kaki dengan gaya khas. Ingatan Challista tidak pernah pudar begitu saja tentang masa-masa remajanya. Termasuk Ransom Ten, pemuda nakal yang gemar bersembunyi di gudang dan perpustakaan saat dia lupa mengejarkan PR atau mendapatkan nilai jelek dalam ulangan. Dia akan melarikan diri dari amukan guru bidang studi atau paling parah; membolos. Dia dan Ten ada di kelas yang sama saat kelas satu, dan berbeda kelas semenjak dia duduk di kelas dua dan kelas tiga. Tapi, pertemanan mereka yang dekat membuat Challista tahu—putra pewaris Ransom Industries ini akan menikah dan melepas masa lajangnya sebentar lagi. Di usia yang matang, dua puluh tujuh tahun. "Kau mengundang semua anak-anak SMA Moorim?" Kepala kuning Ten menggeleng dua kali. "Aku bukan anak tenar di sekolah," jelas sekali kalimat ini bernada sindiran bagi Challista yang menyesap kopi latte dinginnya, memicing pada Ten dengan dengusan. "Tidak semua, Challista. Aku hanya mengundang beberapa yang dekat. Dan guru-guru kita yang masih ada." "Oh." Challista membaca nama yang tersemat di halaman depan undangan cantik ini. Undangan ini layak diberi apresiasi karena Ten meminta deDeonn yang luar biasa. Sesuai selera. Mengingat siapa pria itu sekarang, Challista tidak terkejut. "Nakaya?" Alis Challista terangkat satu. Ekspresi Ten berubah jenaka ketika senyum lima jari dia berikan pada Challista. "Nakaya yang pintar, namun picik?" "Challista," panggil Ten serak. Challista mengangkat tangan. Dia tertawa kemudian. "Oke. Oke. Maaf aku hanya bercanda. Sekali lagi, selamat. Aku tidak menyangka di antara kami, kau lebih dulu menikah. Ini bukan karena gadis itu tengah mengandung atau desakan dari keluarga besarmu, kan?" Ten mencibir. Membuat Challista kembali tertawa. Berbicara dengan Ten akan sesantai ini. Meski semua terasa berbeda. Tidak seperti belasan tahun lalu, tapi semua tetap sama. Sifat seseorang tetap sama. Meski puluhan tahun berlalu. Entahlah. Challista tidak yakin sekarang. Matanya mengerjap saat Ten beranjak bangun, memiringkan kepala. "Usahakan jangan datang sendiri," godanya. Challista tidak bisa meladeni godaan pria berambut nyentrik itu lebih lama lagi. "Kau akan terkejut kalau aku membawa gandengan sekarang." Ten tertawa. Dia memegang perutnya dan menepuk bahu Challista. "Oke. Aku akan menantikannya. Besok malam?" Challista menarik napas. Menyipit pada pria itu dengan lambaian tangan saat dia berdiri, mengantar Ten yang langsung bergegas ke parkiran tamu untuk mengambil Audi miliknya dan berlalu pergi. Challista termangu diam. Menunduk menatap undangan berlapis mutiara di dalam amplop itu dan menghela napas. Ten menikah. Dan itu artinya, dia mengundang orang-orang terdekatnya. Challista memejamkan mata. Menarik napas panjang saat dia meremas undangan itu cukup lama. Sampai dia tersadar, dia harus pergi ke hotel untuk rapat bersama bawahan. *** "Kau datang?" Challista mengangkat alis. Bersedekap dengan anggukan kepala. Ketika Kellan Agnia yang datang tiba-tiba, kembali membuat heboh hanya karena Ransom Ten menikah. Anak tunggal pemilik Tokyo Plaza, Mall terbesar nomor satu di Jepang itu selalu menemui sahabat dekatnya untuk sekedar bergosip atau mengganggu Challista yang terlalu sibuk sampai tidak memiliki waktu untuk pergi keluar. "Dengan siapa? Willy?" Challista cemberut. Melempari Agnia dengan pena hitam di atas map. "Kau pikir dengan siapa lagi? Tunanganku dia." Agnia terkekeh. Gadis itu menyibak rambut panjangnya. Menatap undangan itu dengan alis terangkat. "Aku berpikir Ten akan terjebak perjodohan atau ... dia akan menikahi gadis yang sederajat dengannya. Kenapa pula harus putri dari bandar n*****a?" Challista mengangkat bahu. Ekspresinya berubah dingin saat dia bicara. "Ten mungkin mengancam akan bunuh diri di hadapan Tuan Daniel kalau dia tidak bisa menikahi Nakaya, dia tidak akan mau menikah dengan gadis lain." Agnia mendengus. Dia menatap undangan itu dengan raut sinis. "Ah, Nakaya. Aku jadi ingat saat kita menjebak gadis itu dan bilang kalau Ten meniduri gadis kutu buku di perpustakaan saat pulang sekolah. Kau ingat bagaimana wajahnya saat itu?" Challista tidak bisa menahan tawa saat Agnia tertawa. Gadis pirang itu tidak mampu menahan diri saat dia mengenang masa remaja mereka. "Tidak terasa. Sudah sepuluh tahun berlalu." Challista memajukan kursi kebesarannya. Menatap komputer yang terus bergerak memberi laporan saham setiap menitnya. "Tidak ada yang berubah dari sepuluh tahun kita," kata Challista lemah. Sorot matanya berubah hampa. "Bagaimana denganmu? Kau datang dengan Deon?" Agnia mendengus. Menatap Challista seakan gadis berambut merah muda itu baru saja bercanda. "Kekasihku siapa memang?" "Kau pernah selingkuh dari Deon saat kau berada si Vancouver. Kau lupa? Kau mabuk saat itu. Dan kau—b******a. One night stand?" "Oh. Itu hanya seks biasa," dengus Agnia. Meralat ucapan Challista. "Aku b******a hanya dengan Deon. Yang lain coba-coba." Challista menggelengkan kepala. Tidak percaya bahwa Kellan Agnia sepuluh tahun lalu dan sekarang masih sama. Bitchy. "Kau tertolong dengan keluarga dan tampangmu," kata Challista. Menatap Agnia yang kini tergelak. Menudingnya dengan telunjuk lentik bercat merah muda. "Berisik, gadis gila." "Besok malam pesta Ten. Aku akan menghubungi Willy nanti." Agnia mengangguk. Rambut pirang bergelombang miliknya ikut terayun. Challista sangat yakin, Agnia menghabiskan waktu lebih dari setengah jam untuk membuat rambutnya indah dipandang. "Aku sudah kabari Deon setelah Ten berikan ini," Agnia mengangkat undangannya. "Aku bahkan belum berpikir untuk menikah. Bayangkan! Di antara kita, Ten lebih dulu. Bukannya, peraturan wanita tidak boleh menikah di atas usia dua puluh lima masih berlaku?" "Kau percaya?" Challista mendesis dan Agnia dengan tegas menggeleng. "Persetan. Aku menolaknya. Enak saja," ujar gadis itu tegas. "Aku akan menikah jika aku siap." Challista menurunkan tablet yang dia genggam ke atas meja. "Aku rasa, faktor ekonomi dan segala macam bukan masalah untuk kita. Lagipula, pernikahan harus dilandaskan mau sama mau? Atau cinta sama cinta?" Agnia mendengus tajam pada Challista. "Mau sama mau? Perjodohan, maksudmu?" Rahang Challista mengeras saat Agnia memundurkan wajah. Mengangkat kedua tangannya sejajar dengan d**a dan menghela napas panjang. "Oke. Aku sudah lancang. Aku minta maaf." Challista terhenyak. Dia dengan cepat menggelengkan kepala. "Sudahlah." "Tapi, aku serius. Saat aku datang ke acara amal dua hari yang lalu, ibu-ibu yang aku yakini sebagai orang kaya baru, bergosip tentangku. Tentang gadis-gadis yang hanya senang menghambur-hamburkan uang tanpa memikirkan masa depan," Agnia mengutip orang kaya baru dengan intonasi lebih sinis. "Bukankah, itu yang biasa orang-orang sombong lakukan? Mereka baru kaya saat sudah menginjak besar, dan mereka berpikir yang kita lakukan adalah buang-buang uang. Hhh. Sialan. Jika saja tidak ada Mama dan Papa di sana, aku akan merobek mulutnya." "Jepang sudah maju, tapi tidak dengan penduduknya," Challista menghela napas panjang. Kedua bahunya merosot saat dia bersandar pada kursi kerjanya. "Jangan terlalu dipikirkan. Selama kau yakin Deon akan melamar dan kalian akan menghabiskan waktu bersama, itu bukan masalah." Agnia mendadak tertawa pahit. "Deon tidak lagi bermain-main ketika Papa memergokinya menggerayangi sekretarisnya sendiri. Dia benar-benar menyesal dan terus mengutuk napsu bodohnya berulang kali." Challista menggelengkan kepala. Agnia dan Deon memang pasangan unik. Mereka berkencan di saat Agnia duduk kuliah di semester pertama Universitas Tokyo, dan Deon selaku kakak tingkat yang gemar menebar pesona di hadapan adik kelas, berhasil merebut perhatian Agnia kala itu. Dan kepergian Agnia ke luar negeri untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi dan atas desakan orang tua membuat hubungan mereka sempat renggang. Walau Challista tahu, dua-duanya akan saling memahami. Mana rumah dan mana hanya tempat singgahan. Terkadang, Challista merasa iri. "Paman Haichi hebat dalam urusan ini. Dia mengintimidasi klien-nya dengan cara sama. Apa itu berlaku juga pada Deon?" Agnia tersenyum. "Tentu saja. Kau hanya tidak tahu apa yang sudah Deon lewati untuk mendapatkanku. Dan sampai Mama membuka pintu untuk kekasihku masuk ke dalam rumah. Benar-benar perjuangan." Challista menipiskan bibir. Tersenyum masam pada Agnia yang jauh lebih hidup saat dia membicarakan mantan pembunuh perasaan wanita itu, si playboy Kim Deon. "Aku acungi jempol untuk orang tuamu," Challista memberikan dua jempolnya pada Agnia yang mendengus. "Terlepas bagaimana keluarga Kim yang berpengaruh untuk pasokan obat-obatan dan rumah sakit di Tokyo, keluargamu masih memikirkan reputasi dan putri mereka." "Ayolah, jangan bercanda." "Dan kekasih bodohmu memilih untuk jadi kontraktor di saat dia bisa menjadi dokter umum atau dokter bedah. Kenapa Deon sangat bodoh?" Agnia mendengus keras. Menggelengkan kepala memikirkan kekasihnya yang banting setir menggeluti dunia kontraktor dan sebagainya dibanding menjadi dokter hebat di masa depan. Untuk apa orang tuanya memiliki rumah sakit dan perusahaan yang memproduksi obat-obatan untuk diekspor ke luar negeri? Challista menatap jam di pergelangan tangannya. Sebelum dia beranjak, dia menyempatkan diri untuk mengecek ponselnya dan menemukan satu pesan sejak lima belas menit yang lalu. Willy: Makan malam? Aku akan menjemputmu jam lima nanti. Sampai jumpa. Challista menghela napas panjang. Dia mengetikkan balasan di saat Agnia tengah sibuk mengatur rambut pirang panjangnya yang berantakan—menurut dirinya sendiri. Memandang Challista dengan alis terangkat. "Siapa?" "Willy," balas Challista cepat. Mematikan ponselnya dan menatap Agnia sembari bangkit berdiri. "Aku harus pergi. Aku punya rapat sepuluh menit lagi." Agnia ikut mengangguk. Dia berdiri, mengalungkan tas bermerk Chanel di bahunya dan melambai pada Challista. "Besok malam. Aku akan menunggumu datang. Sampai nanti." Challista mengulum senyum. Melambai pada gadis pirang itu. "Hati-hati di jalan. Sampai jumpa besok." *** Challista menutup pintu Mercedes miliknya saat dia menekan tombol untuk mengunci mobil mewahnya dari luar. Tatapan matanya berpendar ke sekeliling restauran yang menyediakan aneka makan laut dengan datar. Challista berjalan masuk. Disambut baik dengan pelayan yang memakai seragam nahkoda. Dengan senyum, Challista berjalan mengikuti langkah pelayan itu dan sampai di meja VIP nomor delapan. "Silakan." Challista mengangguk. "Sebentar, tolong berikan aku air putih dingin." "Baik, Nona." Challista menaruh tasnya saat dia menarik kursi berbantalan sofa itu di hadapan Willy yang sibuk dengan ponselnya. Ekspresi pria itu terlihat lelah, jauh dari raut bahagia atau berapi-api yang biasa Challista lihat. Ini aneh. "Ada apa?" Willy menggeleng dengan senyum masam. "Bukan apa-apa," dustanya. Challista mengerucutkan bibir, meremas tangan itu di atas meja. "Kenapa? Ceritakan padaku." Willy menunduk, menatap genggaman tangan mereka di atas meja. Seulas senyumnya terbit ketika ibu jarinya mengusap punggung tangan sang kekasih dengan lembut. "Biasa. Urusan kantor. Ini melelahkan." "Ada yang menyabotase milikmu?" "Kau tahu?" Willy terkejut. Dia menatap ekspresi sombong Challista dan seketika pria itu tertawa pelan. "Oke. Aku seharusnya sadar sejak lama kalau tidak ada yang bisa kusembunyikan darimu." Challista ikut tertawa. "Itu kau tahu," yang membuat remasan tangan Willy mengerat di tangannya. Pelayan wanita menaruh air putih dingin di atas meja bersama pesanan Willy sebelumnya. Saat Challista mengangguk dan Willy mengucapkan terima kasih, pelayan itu baru beranjak pergi. Senyum Willy belum juga lenyap ketika dia mengangkat tangan Challista di dalam genggaman tangannya, menatap cincin perak berhiaskan batu berlian kecil yang berkilau karena pantulan lampu ruangan. Challista mengangkat alis. Dia menurunkan gelas minumnya ketika bibirnya ikut melengkung. "Kenapa kau melihatnya?" "Aku berpikir untuk mengganti cincin ini dengan yang baru," kata Willy lembut. Challista mendengus. Menarik tangannya dari genggaman pria itu dan menatap cincin yang tersemat di jari tengahnya dengan senyum. "Ini? Tidak mau. Aku suka ini." Willy tersenyum geli. Dia meminum lemon dinginnya dan mulai memindakan lauk ke atas piringnya. Challista menelan cumi panggang di dalam mulutnya saat dia menatap Willy. "Temanku akan menikah. Aku akan mengajakmu datang bersama. Kau tidak keberatan?" "Aku?" Willy mendengus geli seraya mengunyah daging kepiting di dalam mulutnya. "Kenapa harus keberatan? Kau juga biasanya datang bersamaku saat teman-temanku menikah, kan?" Challista mengangguk dengan senyum. "Besok malam jam tujuh. Kau luang?" Willy mengerutkan kening. Matanya memandang wajah cantik Challista cukup lama. "Ayah memintaku untuk pulang besok malam." Selintas, ekspresi kecewa Challista terlihat. Kedua manik teduh yang membuat Willy jatuh cinta perlahan meredup. Dengan dengusan pelan, Willy mengulurkan tangannya, memberikan usapan sayang di pipi sang kekasih. "Jangan sedih begitu. Aku pasti ikut bersamamu. Aku akan pulang ke rumah malam ini. Jangan datang ke apartemen besok pagi. Oke?" Challista tertawa. "Oke. Maaf?" "Untuk?" "Karena memaksamu ikut?" "Ayolah," Willy tidak bisa menyembunyikan raut gemasnya saat Challista memajukan wajahnya. Dan pria itu mendorong dahi sang kekasih menjauh. Challista dalam mode menggemaskan seperti ini membuatnya ingin mencium gadis itu. "Ini bukan masalah. Aku akan menemanimu. Kapan pun." "Oke. Kapan pun." Challista kembali tersenyum. Memakan potongan udang dan cumi yang dia pindahkan dari piring lauk ke piringnya sendiri. *** Challista mengangkat alis saat petugas hotel membukakan pintu mobil untuknya. Hari ini dia datang. Bersama Willy yang membawa mobil, menggandeng tangannya masuk ke dalam gedung pernikahan terbesar yang ada di Tokyo. Selera keluarga Ten bukan kaleng-kaleng. Pernikahan semewah ini tentu saja menggelontorkan banyak dana dalam semalam. "Challista!" Senyum Challista melebar saat dia menarik Willy untuk mendekat ke barisan Agnia dan Deon, yang berbincang dengan salah satu kawan lama mereka di meja minuman. "Jangan champagne, kau alergi," kata Challista saat Willy mencium gelas mungil berisi cairan sedikit keemasan itu dan mendengus menahan mual. Agnia mendengus. Menahan senyumnya pada Willy yang mengangguk pada Challista dan memilih untuk mengambil segelas jus jeruk di dalam gelas lain. "Hai, Deon. Lama tidak melihatmu," kata Challista formal. Mendapati Kim Deon mengulurkan tangan, dan Challista yang kurang peka hanya tersenyum canggung, membalas jabatan tangan itu dengan tawa pecah Agnia di sebelahnya. "Proyek tol berjalan lancar?" "Sangat lancar, Challista. Terima kasih. Bagaimana denganmu?" "Aku? Semua baik-baik saja," balas Challista dengan senyum. Saat Willy di sebelahnya melingkarkan tangan di bahu Challista, mengulurkan tangan pada Deon yang balas menjabat tangannya secara formal. "Lama tidak melihat kontraktor muda kita," goda Willy dan Deon hanya mengulum senyum malu. Agnia mencibir ke arah Deon. Menatap Willy yang tampil tampan malam ini. Dengan setelan jas hitam juga kemeja putih yang senada dengan gaun pendek Challista, pasangan yang sudah bertunangan selama satu tahun itu benar-benar terlihat sempurna. Bisik-bisik sempat mengarah ke arah meja mereka. Toh, diantara Challista dan Agnia tidak ada yang mempedulikannya. Mereka larut dalam dunianya sendiri. Saat Agnia menyinggung tentang proyek Deon yang hampir gagal dan pria itu ada di ujung tanduk untuk mengganti pinalti bersama denda, dan Challista yang tertawa. "Berapa lama lagi kira-kira akan selesai?" "Bulan depan benar-benar rampung," jawab Deon. Mengangkat gelas anggurnya sedikit lebih tinggi saat dia menatap Agnia tengah memindahkan kue manis ke atas piring kecil. "Menjadi kontraktor tidak mudah. Kau harus pintar-pintar mengambil hati dan mudah bergaul. Deonngannya terlalu banyak. Apalagi ini proyek bernilai tinggi, membayangkannya sudah membuatku merinding." Sikap hangat Willy membuat Deon lebih rileks. Dia jarang bertemu dengan Willy walau Agnia dan Challista bersahabat sejak lama. Kerena keduanya berpikir, membawa hubungan pribadi bukan kewajiban di antara pertemanan mereka yang sudah terjalin erat. Willy berdeham. Menyesap jus jeruknya saat tatapan matanya jatuh pada Challista yang mendekat, menyuapinya dengan sepotong kecil bolu berlapis keju. "Ini kesukaanmu, kan?" Willy mendengus geli. Tentu saja, kelakuan mereka berdua menjadi tontonan. Dan dia tidak peduli. Dia mengunyah bolu yang Challista sodorkan. "Itu juga kesukaanmu," tunjuknya pada manisan yang serupa dengan bolu tadi, hanya saja lebih berwarna. Challista menggeleng masam. "Terlalu manis. Aku tidak suka. Aku akan membuatnya besok. Kau mau?" Jika ini tidak di tempat umum, Willy akan menunduk lalu mencium kekasihnya di sini. Atau dia tidak akan melakukannya sekarang karena Challista akan marah. Gadis itu tidak terlalu suka menjadi pusat tontonan banyak orang. Walau secara tidak langsung, kehadirannya menarik banyak perhatian. "Tentu." Deon menoleh. Menatap Agnia yang menepuk bahu Challista cukup keras. "Itu Ten." Tatapan Challista beralih dari sepasang manik hangat Willy, mengikuti arah pandangan Agnia. Alisnya terangkat saat dia melihat Ten dalam setelan jas pernikahannya. Tengah berbicara bersama seorang pria bersetelan jas hitam. Serupa dengan setelan jas yang Willy kenakan malam ini. Ten tampak lepas. Tertawa lebar. Di saat mempelai wanita ikut bergabung, dan suasana tampak lebih cair. Mereka tertawa bersama. Kedua mata Challista mengerjap. Begitu juga dengan Agnia yang langsung menutup mulutnya ketika dia tersentak, melemparkan tatapan matanya pada Challista yang membeku. Wallius Ethan. Agnia terbatuk pelan. Saat Deon menyodorkan air putih dingin ke arahnya, Agnia terus menatap Challista yang tampak enggan memindahkan matanya ke arah lain. "Ah, itu Ten," suara Willy memecahkan pikiran gila Agnia. Gadis berambut pirang itu mengangguk, menatap Willy dengan senyum bersalah. "Kalian ingin menyalaminya sekarang? Atau nanti?" Willy mengerutkan kening. Dia menatap Agnia sebentar, lalu pada Challista yang masih setia memandang Ten bersama istrinya—tidak, bukan mereka. Tapi objek lain yang tengah Challista lihat sekarang seakan membuat dunia gadis itu runtuh di bawah kakinya. "Kau mau menghampiri Ten untuk memberikan selamat?" Challista menarik napas panjang. Dia sudah menaruh hadiah dan amplop di depan pintu masuk saat pegawai yang berjaga membantunya menaruh hadiah dan menunjukkan dimana dia harus memasukkan amplop untuk Ten. "Ayo, kita kesana." Kedua mata biru Agnia melebar. Dia hampir saja mengumpat bahwa Challista sudah kehilangan akal, lalu tertelan begitu saja ketika gadis berambut merah muda itu hanya menatapnya dengan satu senyuman tipis. Dan Agnia mendengus keras. "Kau kenapa?" Agnia menggeleng. Mengusap pelipisnya saat dia menatap manik gelap Deon lekat-lekat. "Apa kau bertemu mantan kekasihmu juga di sini?" "Apa maksudmu?" Deon terkejut bukan main. "Mantan apanya? Aku tidak pernah benar-benar menjalin hubungan serius selain denganmu." Agnia memutar mata. Meraup wajah sang kekasih sebelum dia akhirnya berjalan pergi mengikuti langkah Challista di depannya. Dan Deon lagi-lagi hanya bisa bersabar menghadapi tingkah aneh Agnia malam ini. Challista meremas tangan Willy di dalam genggaman tangan mereka. Napasnya berubah sesak dan berat ketika langkahnya hanya tinggal menghitung jari. Challista tersentak saat Ransom Ten melambai ke arahnya. Menatap Challista dengan senyum lebar, dan membuat atensi mereka berpindah ke arahnya. "Challista!" Challista memberikan satu senyuman untuk menenangkan perasaannya yang berhamburan tak tentu arah. Dia menatap Willy yang membungkuk pada Ten, mengucapkan selamat pada pria itu. Dan dengan formal, menyalami Nakaya yang hanya tersenyum. Diam-diam matanya melirik Challista yang membeku. "Aku bahkan bertaruh kalau kau tidak datang malam ini karena sibuk," cibir Ten. Challista memiringkan kepala, mengejek pria itu dengan matanya. "Aku datang. Lagipula, ini pernikahan pertama dan terakhirmu, bukan? Kalau kau ingin menikah lagi, aku tidak akan datang." Ten tertawa keras saat dia menepuk bahu Challista. Tingkahnya satu itu tidak berubah. Meski bertahun-tahun berlalu. Challista hanya tersenyum. Menatap Nakaya. "Selamat untukmu. Aku ikut senang. Semoga kalian langgeng sampai maut memisahkan." "Terima kasih," balas Nakaya sekenanya. Challista sama sekali tidak peduli dengan Nakaya atau siapa pun di sini. Dia datang untuk Ten, kawan lamanya. "Ten, aku akan pergi ke meja minuman." Sebelum suara yang sudah sepuluh tahun tidak dia dengar kembali mengalun, Challista tahu dan teramat tahu. Wallius Ethan sejak dulu—hingga kini akan memberi efek tersendiri bagi dirinya. Bagi akal sehatnya, bagi debaran jantungnya dan bagaimana napasnya bekerja. Challista menolehkan kepala. Mata mereka bertemu. Dan Challista merasa seluruh napasnya tersedot habis. Dunia yang dia genggam tidak lagi sama, semua hancur di bawah kakinya. Bukankah, sudah dia katakan sebelumnya? Seseorang tidak akan berubah walau bertahun-tahun berlalu. Dan Ethan mungkin pengecualian. Tidak untuk tatapan mata dan bagaimana bibir itu mengatup rapat, menipis. Seakan ada makna tersendiri. "Ayo, sayang. Aku haus." Suara manja di sebelah Ethan membuat mata Challista melarikan diri ke objek lain. Menghela napas panjang ketika dia hampir limbung karena fantasinya sendiri. Ethan ikut menarik napas. Kepalanya hanya terangguk, tanpa kata. Wallius Ethan akan selalu sama. Netra hijau Challista terpaku pada gadis bersulur kecokelatan yang terlihat sedikit kurus dan bawah matanya berkantung. Dia cantik—sangat. Hanya saja, cekungan di rahangnya dan tulang selangka gadis itu yang menonjol membuat Challista berspekulasi yang tidak-tidak ketika menilai penampilan gadis yang Ethan bawa bersamanya. "Ten, selamat untuk pernikahamu." Suara desakan Kellan Agnia di sebelah Challista berhasil menarik kewarasannya kembali. Challista menatap Ethan yang membawa gadis itu menuju meja minuman. Menggenggam tangannya. Seakan tidak mau melepasnya. Challista mendengus tanpa sadar. Menunduk saat dia menoleh, menemukan Willy menatapnya dalam diam. Challista tersentak. Sudah berapa lama pria itu menatapnya? Challista berdeham. Dia mundur saat si berisik Kellan Agnia tengah memeluk Ten dan mendengus sinis pada Nakaya yang tidak bisa menutupi dirinya pada Agnia. Ketidaksukaan Nakaya pada Challista mungkin berimbas pada Agnia yang seakan tidak peduli dan malah mencubit pipi Ten. "Selamat ya! Sial, kenapa kau harus menikah lebih dulu? Kau lupa? Seharusnya aku, Challista baru dirimu." Agnia mencibir dan Deon di sebelahnya hanya tersenyum canggung. "The Rich Gucci Gang bubar, ya?" Agnia mengangkat alis. Dan Ten tertawa sembari merangkul Nakaya semakin rapat ke arahnya. "Siapa bilang? Selama aku, Agnia dan Challista masih kaya, kami tidak akan bubar." Nakaya hanya mendengus. Dan Agnia tertawa puas. Memukul lengan Ten gemas saat dia menolehkan kepala, memandang Challista yang tengah berdiri berhadapan dengan Willy di depannya. Mereka hanya diam. Dan Agnia yakin, sesuatu yang salah terjadi. Dan itu semua karena pertemuan antar mantan kekasih lama. Challista dan Ethan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.4K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Broken

read
6.3K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
113.7K
bc

Nur Cahaya Cinta

read
358.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook