bc

Together Again

book_age18+
230
FOLLOW
1.6K
READ
family
confident
drama
tragedy
bxg
ambitious
city
office/work place
friendship
rebirth/reborn
like
intro-logo
Blurb

Vania tidak pernah berpikir kematian sahabatnya akan menyeretnya ke masa depan dan masalah-masalah baru yang hadir. Termasuk bertemu dan terperangkap bersama pria dingin nan angkuh bernama Fagan.

Pertemuan Fagan di suatu bar malam, kembali bertemu di suatu pesta ternama membuat Vania kalut. Sisi lain kehidupan Vania akan terungkap. Begitu pula dengan Fagan, yang berpotensi besar memporak-porandakan kehidupannya.

chap-preview
Free preview
one
Selama tiga puluh tahun, ia sudah merasa lelah dengan semuanya. Kesibukan, bagaimana ia mengumpulkan pundi-pundi uang untuk memperkaya diri sendiri—dan selayaknya, itu semua tidak akan pernah cukup. Keputusasaan bercampur frustrasi telah membawanya sampai ke titik mendidih. Titik rendah untuk melemparkan diri ke sarang buaya. Bar malam ini luar biasa—oh, tentu. Dia patut membanggakan diri. Penghasilannya lumayan. Berkedok dengan penyamaran dan sedikit bumbu trik sana-sini, ia telah sukses. Kebutuhan mendorong semakin tinggi. Rasa-rasanya ia harus sedikit bermain kotor untuk bisa mencapai hidup maksimal. Dan merasakan bagaimana orang-orang glamor hidup di tempatnya. Vania berhenti untuk mencintai dirinya sendiri. Merasa tidak pantas, tidak berguna dan terlalu banyak cacian. Tapi sekarang dia di sini. Bertopang dagu cukup bosan. Memandang para pejantan yang bisa ia beri uang sangu untuk melayani seorang perawan tua, cengeng, dan berbadan seperti lembu untuk tidur bersama. Bartender sejak tadi menatapnya. Cukup geli melihat sang bos duduk seperti kambing tersesat. Dia menawarkan segelas vodka, Vania tidak menolak. Pada dasarnya, ia hanya butuh akal warasnya pergi untuk sementara. "Siapa yang kau cari?" "Seseorang yang bisa memanaskan ranjangku," bisiknya parau, mencintai vodka bukan bagian dari dirinya. Vania mungkin nakal karena membangun bar malam, tapi dia cukup tahu diri untuk menjauhi kehidupan buruk semacam ini. "Aku butuh mereka." "Kau kepanasan sekarang?" Si bartender seksi menyeringai, menyembur dengan kekeh muram. "Well, aku bisa membantu. Dua tahun aku di sini, mungkin beberapa pria seksi ini bisa menjadi kandidat." Vania memutar kursi, menatap sorot cokelat penuh binar karena tertimpa lampu rak. "Aku tidak ingin yang sama-sama terpuaskan. Hanya aku. Okay? Kau dengar. Aku tidak ingin dia merasa puas, lalu mencariku dan kita mengulang kejadian panas itu. Hanya satu malam. Dan aku ingin pria itu dapat bayaran." "For God's Sake!" Suaranya nyaris membelah lantai dansa dan Vania menggeram. "You mean, gigolo?" "Um, ya. Semacam itu. Ada rekomendasi? Aku benar-benar buta dengan tempatku sendiri. Semua diatur oleh asistenku. Dan dia bilang, ada beberapa yang cocok sesuai seleraku." "Tampan," sungut si bartender cepat. Selama bartender itu mencari, Vania dilanda gelisah. Bibirnya terus membuka kecil, seakan memasok oksigen dari hidung saja pun tak cukup membantu. Sinar matanya meredup. Sebentar lagi ia terkapar karena alkohol dan meradang di tempat tidur. Bukan terkapar karena seks hebat satu malam. "Kau serius tidak mau pergi malam ini?" "Tidak, sayang. Lain kali." Suara seksinya menyapa Vania dalam ketukan liar. Sesaat dunia seakan berhenti berputar. Suara musik tidak membuat telinganya sakit. Hingar-bingar yang pecah di lantai dansa perlahan memudar. Semua terjadi begitu pas. Sempurna. Matanya menangkap bayangan pria yang duduk membelakangi, dengan bisep kuat yang kokoh memegang gelas, menatap datar pada lantai dansa yang penuh, dan membiarkan si perempuan berbaju mini untuk menyingkir pergi dari pangkuannya. Oh, telinganya masih berfungsi dengan baik. Sebelum si perempuan pergi, Vania mendengar kalau mereka baru saja bicara tentang uang, bayaran dan kamar. Perfect! "Bos, aku menemukan—," "Sssh, aku menemukan yang terbaik," senyum sensual muncul dan si bartender menatap serius. "Lihat ini. Kita akan berakhir di kamar hotel." "Oh, ya ampun. Good luck. Aku harap si p***s kecil itu memakai pengaman." "Aku rasa dia besar," balasnya ambigu dan bartender seksi itu tertawa. Menegak gelas vodka sekali lagi, Vania bangun dari kursinya. Merasa gugup dan dilanda cemas berlebih. Kakinya nyaris lumer seperti mozarella yang dilelehkan, hampir membuatnya ambruk di lantai dansa. "Halo," sapanya. Satu tatapan tajam menggiringnya sampai ke tempat duduk. Vania tidak pernah merasa ingin mati seperti sekarang ini. Ketika mata mereka bertemu, sengatan lain itu muncul dan membara. Membuat setiap inci kulitnya terasa panas. "Hai." "Aku melihatmu duduk di sini hampir sepuluh menit yang lalu. Berapa lama kau sebenarnya duduk?" "Satu jam. Di sini terasa sangat pas." Oh, ya, sempurna. Vania memberi senyum. "Apa kau pelanggan tetap?" "Mungkin," katanya sedikit sinis. "Aku juga bekerja. Jadi ini imbang. Sebagai pelepas setres." "Kau tahu, tempat ini memiliki kamar pribadi dengan harga yang tidak murah. Biasanya, penikmat kursi VIP yang mencarinya. Yang mencicipi pelayanan ekstra di sini." Si pria mengangkat alis, menatap Vania dengan sorot meremehkan. "Tentu, aku tahu. Aku pernah memesannya sebelum ini." "Benarkah?" Vania tidak bisa berhenti kagum pada dirinya sendiri. Dari segi apa pun, pria ini cocok. Tuhan tidak tidur saat membuatnya. Semua bagian dari dirinya, berhasil membuat jiwa keringnya mendamba. Seakan menemukan oasis di tengah gurun, Vania merasakan dirinya gemetar penuh antisipasi. Sekelebatan pikiran liar mampir, menghantamnya bagai badai. "Apa kau punya acara malam ini?" Satu kerutan mampir. Dan itu membuat kesan tampannya bertambah berpuluh kali lipat. Vania menunduk, tidak kuasa menahan dirinya untuk merona. Sembari menunggu si seksi bersuara, ia menjilat bibirnya. Berusaha untuk tampil santai walau dirinya merasa terbakar. "Tidak." "Oh, bagaimana dengan perempuan tadi? Dia sepertinya ingin menghabiskan waktu bersamamu." Si pria mengangkat alis. Sepenuhnya menatap Vania datar. Yang justru dari matanya, membakar tanpa ampun. "Kau benar. Hanya saja, dia tidak memiliki uang sebanyak itu untuk mempertahankanku tetap di kamar." Lidahnya mendadak kelu. Vania berdeham singkat, mengedarkan pandang ke segala penjuru dengan satu senyum lemah. "Aku punya penawaran bagus untukmu." Si pria mulai tertarik. "Katakan." "Sejujurnya, aku mau menghabiskan malam. Kamar apartemenku selalu dingin, dan aku berniat untuk mencari udara panas di luar. Dan yang kau tahu, aku terdampar di sini." Vania kembali melanjutkan sebelum keberaniannya pudar. "Aku butuh partner untuk seks. Satu malam. Tidak ada permintaan lebih." Seketika senyap meliputi mereka berdua. Vania menautkan alis, memerhatikan ekpresi pria itu yang keras. Dari matanya yang tajam, ia tidak bisa melihat adanya gairah selain rasa geli. "Kau serius?" "Seratus persen serius," balasnya cepat, ingin meminta vodka lagi, tapi itu tidak mungkin. Dia ingin terbuka dan tidak mabuk saat melakukannya. "Kau tidak perlu cemas. Aku akan membayarmu. Katakan saja berapa nominalnya." Selintas, paras tampan itu sedikit bergidik. Antara pecah ingin tertawa atau malu karena si perempuan menyatakan bayaran dan seks di muka. "Kau sangat lucu," Komentar itu berhasil membuat pipinya merah padam. "Dan sedikit aneh." Untuk sebaris kalimat singkat yang terakhir, Vania tidak mau peduli. Oh, ya. Dia memang aneh. Semua orang tahu itu. "Aku membayarmu sekarang. Kau tidak perlu merasa sungkan." "Untuk?" "Untuk?" Kerutan itu muncul, mengantarkan mereka berdua pada kecanggungan alami. "Untuk membayarmu. Kau seorang gigolo, kan?" *** "Fagan." "Kalau begitu, permisi. Aku harus pergi untuk urusan kecil yang tak bisa ditinggal." Sesaat setelah para pria berjas membubarkan diri, satu dengusan mampir lebih keras. Fagan mengangkat alis, menatap sang ayah yang melempar raut sinis padanya. "Kau tidak tahu ini apa? Pesta. Dan apa yang kau lakukan? Tiada hari tanpa membicarakan bursa saham dan pekerjaan. Kau sinting." Ini bukan kali pertama ayahnya melemparnya dengan kalimat seperti itu. Erland Kenta memang kerap melucu. Seperti sekarang. Yang kesal karena putranya sibuk berbicara dengan rekan bisnis, bukan mencari pasangan dansa. "Ayah, ini penting. Pesta hanya sebagai pengalihan. Semua orang mendapatkan kesenangan mereka sendiri." "Termasuk kau?" ekspresinya berubah lebih sebal. "Dasar menyebalkan. Bisa tidak kau fokus dan berhenti mengurusi perusahaan sialan itu? Kau butuh refreshing, nak. Astaga. Ibumu akan menangis di surga karena melihat putranya gila kerja." "Ibu akan bangga padaku." Sang ayah mencibir keras. "Percayalah. Empat puluh tahun kami bersama, aku mengenalnya lebih baik dari kau." Erland Fagan, pria lajang berusia tiga puluh dua tahun yang terlampau mandiri. Satu-satunya penerus yang memutuskan untuk tinggal di Tokyo. Satu hal yang Fagan tahu, yaitu mengurus ayahnya yang cerewet untuk tetap sehat dan hidup. Kakaknya telah berkeluarga. Memutuskan untuk tinggal di luar negeri setelah mendapat nasihat untuk terus hidup bahagia dimana kau berada. "Aku sudah tua. Dan seharusnya aku menggendong cucu sekarang." "Kau sudah mendapatkannya dari Ivan dan Alena. Mau apa lagi?" "Aku belum mendapatkannya darimu," dengus sang ayah muram. "Tidak lengkap rasanya. Dan kau hanya bermain-main dengan perempuan berbadan lidi yang bahkan membenci makanan enak. Bagaimana bisa kau melakukan kesalahan sejak awal?" Fagan mendesah berat. Dulu saat usianya lima belas, ia memutuskan untuk pergi melancong ke negara orang. Dari satu tempat ke tempat lain. Berbekal dengan uang yang ayahnya berikan. Ayahnya sangat sukses. Terbilang cemerlang sebagai pengusaha dengan segudang prestasi. Tapi rasanya berat ketika menggunakan marga itu tanpa memberi kontribusi. Fagan remaja harus pergi, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sekolah yang berantakan dan kembali meneruskan hidup dengan mencoba peruntungan. Dan sekarang? Semua orang melihatnya sebagai bank berjalan. "Kau menghalangi pemandanganku. Oh, Tuhan. Kemana bidadari itu?" "Siapa?" Fagan mulai panik. "Perempuan berbadan bagus. Yang sepertinya menyayangi makanan lebih dari barisan mantan kekasihmu. Oh, dia sempurna. Aku ingin berkenalan." Fagan mendengus, mencengkeram bahu sang ayah bermaksud sebagai peringatan. "Kau mengalami kegagalan dengan menikahi perempuan muda. Kau ingin usahamu bangkrut karena mendapati perempuan seperti itu hanya bisa mengeruk hartamu dari jalan perceraian?" "Aku berusaha mencari cinta lagi." "Tidak. Tidak bisa begitu," tegur Fagan masam. Membayangkan kehidupan pernikahan orangtuanya sangat indah. Sebelum ibunya sakit parah dan akhirnya pergi untuk selamanya. "Aku pernah melihat cinta dalam hidupmu, dan itu hanya ada pada ibu. Perempuan muda itu hanya ingin mencicipi uang, bukan tubuh rentamu." Kenta mendesah berat. Menatap sang anak dengan pandangan tajam. "Mulutmu tajam sekali. Apa ini hasil dari pelancong kaya yang bersikap mandiri dengan membangun bisnisnya sendiri? Omong-omong, aku tidak butuh kau ceramah. Aku butuh kau memiliki pendamping." Fagan memberengut. Menatap sang ayah yang memilih untuk pergi dengan tongkat dan menyapa beberapa orang. Aksennya yang ramah membius. Meski tubuhnya terlihat bugar, sebenarnya ia tidak begitu. Semua hanya kamuflase. Sebelum dirinya berpikir buruk sekali lagi, ia tengah berencana untuk pergi dan menarik orang lain untuk bergabung dengan bisnis barunya di tanah ini. Sebelum seseorang menabrak punggungnya, menciptakan kekacauan kecil dan ia segera menoleh untuk melihat siapa pelakunya. *** Vania terasingkan. Benar. Pesta ini luar biasa. Begitu amat luar biasa dan rasanya ia hanya bagian kecil yang terlihat ada dari sederet para tamu yang merasa dirinya layak menjadi bintang malam ini. Pandangan orang-orang tidak terpusat pada dirinya. Dan selintas perasaan bersalah itu ada, merayap di dalam hatinya. Memanjat sampai membuat otaknya mati rasa. Vania menepi, mencari minuman untuk dirinya sendiri. Semestinya ia tidak perlu memungut tiket sialan itu dan berpikir bahwa dia akan tampil beda malam ini. Karena pesta ini dirancang untuk manusia berkelas dan mahal, bukan seseorang sepertinya. Krisis kepercayaan diri itu muncul. Vania merasa dirinya kerdil ketika perempuan glamor dengan busana terbaik mereka melintas di depannya bagai supermodel. Napasnya berantakan dengan cara kasar. Dan dia harus mencari cara untuk pergi sebelum seseorang mengenalinya. Di dalam tiket tertulis hanya tamu undangan eksklusif yang boleh masuk. Vania yakin, pihak penyelenggara tidak mengenal semuanya secara keseluruhan. Dan memberikan undangan secara acak, cuma-cuma atau berdasarkan segelintir saran orang yang menganggap bahwa diri mereka berpengaruh. Seratus orang dan Vania tidak yakin kalau tamu pesta ini lebih dari itu. Karena di dalamnya, didominasi pria paruh baya dengan jas mahal dan mentereng. Dari jarak sejauh ini, Vania bisa mencium aroma dompet mahal dan uang yang menumpuk di bank. Incaran kaum perempuan yang menginginkan kehidupan maksimal dengan usaha minimal. Matanya tertambat pada perempuan dengan gaun cokelat menyala tengah berbincang. Selama kurang lebih sepuluh menit, bergerak mencari minum dan mata mereka bertemu. "Hm, sepertinya aku tidak asing denganmu." Oh, ya Tuhan. Dunianya begitu kecil dan sempit. "Tidak. Kau pasti salah mengenaliku," balasnya pelan, hampir seperti gumaman. Vania sendiri berusaha untuk tidak dikenali malam ini. "Benarkah?" Alisnya yang terpoles menukik tajam. Pandangannya menyapu setiap inci, membuat intensitas itu membakar Vania seperti api membakar kayu. "Siapa kau? Apa kau datang karena undangan atau karena hal lain?" "Aku—," "Megan." Sebuah suara menyelamatkannya dari neraka. Vania menoleh, menemukan sesosok pria yang sekiranya berusia lima puluh tahun melingkarkan tangan di pinggang rampingnya. Kemudian menarik mundur setelah berbisik, yang membuat Vania mendesah. Paham apa arti tatapan sensual itu pada si wanita. Dirinya harus kembali. Apartemen adalah pelarian terbaik dari segala omong-kosong dunia ini. Sebelum Vania menyentuh batasan haram lebih jauh, ia harus mundur. Namun, sebuah punggung yang keras layaknya benteng itu membentur punggungnya. Ringisan kecil meluncur. Vania merasa dirinya seperti terantuk dinding beton yang keras. Kemudian bergegas untuk meminta maaf, lalu melarikan diri. Tetapi saat dia berbalik, napasnya terserap habis. Otaknya mendadak kosong dan kedua matanya melebar. Pemandangan di depannya melebihi semua ekspetasi dan rencananya sendiri. "Kau?" Ya Tuhan. Mengapa gigolo mahal ada di sini? Demi Tuhan, Vania bahkan tidak tahu nama pria yang tidur bersamanya. Yang membantunya melepas rasa kesepian selama semalam, yang memberikannya kepuasan serta memuja dirinya dalam sepi sampai pagi tiba. Semuanya berputar bagai piringan hitam. Dan Vania mendadak pening. *** Dalam benaknya, Fagan tidak akan pernah lupa pada perempuan aneh yang menawarkan harga tinggi hanya demi tidur dengannya. Seorang perawan pula. Ditelisik dari sisi putus asa, wanita itu hanya depresi karena jam kerja dan asmara yang hancur berulang kali. Walau tidak ada satu pun yang mereka bicarakan selain bahasa tubuh. Karena Fagan tidak b*******h malam itu, tapi melihat wanita itu telanjang di kamar, membuatnya pusing. Dan yang membuatnya terkejut adalah dia tidak menyebut namanya. Memanggil atau apa pun sebutannya. Mereka hanya berbicara formal satu sama lain. Walau kaku, Fagan akui seks mereka luar biasa. Dia hanya tidak bisa membayangkan perempuan sinting ini melemparkan diri padanya dengan transaksi harga yang tak biasa. Cih, Fagan gigolo? "Kau?" Bibir penuhnya kembali terkatup. Fagan merasakan sentakan lain ketika dia membayangkan wanita ini kembali ke tempat tidurnya dan menggeliat. Meminta agar dia mempercepat permainan mereka dan melepas bebas satu sama lain. Rintihan itu bahkan masih membekas di ingatannya. Gaunnya mungkin bukan yang termahal. Bukan pula yang terbaik. Atau mungkin ini gaun murah yang pernah Fagan lihat sepanjang pesta di hidupnya. Namun saat wanita itu memakainya, semua terasa sempurna. "Halo, sweetheart. Selamat malam. Aku melihatmu hampir serangan jantung karena perempuan kurus tadi. Dan sekarang kau melihat pria ini seperti baru saja bertemu hantu tanpa kepala. Siapa namamu?" Sebuah suara mengejutkan Fagan dalam lamunan. Saat dia menelisik raut wanita itu dari dekat. Sisi feminim yang muncul berhasil menggeser sisi liarnya yang terkubur saat berada di ranjang. Fagan berdeham, mengaburkan bayangan erotis itu dan segera mengambil minuman. "Aku akan kembali," katanya, memaksa untuk menatap Vania sekali lagi. "Ya, silakan. Dasar lintah. Kau pergi begitu saja membiarkan perempuan secantik ini sendiri?" Vania mulai panik. Dirasa kedekatan antara dua pria ini cukup ekstrim, ia bergerak mundur. "Aku rasa, aku harus pergi." "Please, jangan terburu-buru. Aku tidak ingin seseorang meloloskan diri hanya karena pesta ini membosankan. Tata krama nomor satu. Oh, ya, namaku Kenta." "Vania." Senyum pria itu melebar. "Nama yang bagus. Ya Tuhan, saat aku melihatmu aku seperti melihat menantuku lima tahun lalu. Canggung, kaku dan tidak tahu harus berbuat apa. Tapi sekarang dia luar biasa. Melahirkan sepasang anak kembar yang lucu. Keluarganya lengkap." Vania bergeming. Bingung harus bereaksi seperti apa. Karena ini pertama kalinya, dan otaknya belum selesai mencerna apa pun. Kenta tidak serta-merta berhenti sampai di sana. Menyadari Vania menghindari seseorang, ia mencoba membaur. "Perempuan di sini tidak suka makan. Percuma putraku mengatur jamuan sebanyak ini, mereka semua memilih untuk puasa. Ini hanya formalitas. Dan berujung petugas hotel yang menghabiskan atau membawa sisanya pulang." "Aku tidak percaya dengan hal semacam itu. Semua orang suka makan," cicit Vania pelan, menyadari kalau dia hampir mencuri dua bolu manis ke dalam tas. "Kuenya pun lezat." "Tuhan, diberkatilah tamu putraku malam ini. Kau menyukai makanan ini? Silakan, makan saja sepuasnya. Kalau kau ingin membungkus, aku mengizinkan." Vania memberi cengiran malu. Ia masih berharap kalau pria ini tidak melihatnya menyantap banyak makanan tadi. "Tidak, terima kasih. Aku berkenan akan mencicipi aneka minuman." "Aku harap kau tidak mabuk sampai harus membiarkan seorang diri menyetir." "Oh, tentu tidak. Aku tidak pergi dengan mobil." "Lantas?" "Aku pergi dengan taksi." "Maaf?" "Taksi," aku Vania pelan, menyadari perubahan itu kontras melumuri wajah keras di depannya. Ia seketika merasa bersalah, berdeham dan mencoba mencairkan suasana. "Aku tidak terbiasa mengemudi. Malam bukan jam yang tepat untuk aku membawa mobil." "Ah, benar." "Apa kau bersama seseorang malam ini?" Kepala itu menggeleng. "Tentu tidak. Aku sendirian. Dan tidak berpikir untuk membawa pasangan. Yah, aku tidak berkencan." "Apa ini serius? Perempuan dari abad mana yang belum berkencan dan masih melajang di tahun ini? Apa kau kesepian? Tuhan, aku seperti berkaca pada diri putraku. Sama-sama mencintai kesendirian," ujar pria itu masam dan Vania tertawa. Kemudian suasana kembali mencair, pria itu ikut tertawa. "Aku tidak berpikir untuk menutup diri. Tapi kemungkinannya cukup besar. Waktuku dihabiskan untuk bekerja dan menyibukkan diri. Aku tidak sempat melakukan hal remeh semacam itu." "Apa yang kau bicarakan? Kencan bukan perkara hal remeh," tegur Kenta dengan senyum. Matanya menerawang lurus ke depan. "Saat aku muda, aku berpikir hal yang sama. Perempuan itu merepotkan. Sampai aku berpura-pura mengabaikan eksistensi seorang perempuan di sisiku. Kami saling mencintai selama empat puluh tahun." Vania menyukai topik tentang kebahagiaan orang lain. Tapi tidak sampai berpikir untuk mengalami hal yang sama. "Itu terdengar luar biasa. Bagaimana bisa?" "Tentu saja. Cinta. Dan istriku sudah pergi lima belas tahun lalu. Masih membekas dalam kepalaku," ujar Kenta pelan, mencoba tersenyum dan gagal. Fagan kembali. Membawakan dua minuman dan tersentak melihat betapa akrab wanita itu dengan ayahnya. "Aku hanya tidak akan membiarkan kejadian pahit bertahun lalu kembali terulang," sindir Fagan tajam pada ayahnya yang terkejut. "Lagi pula, semua perempuan sama saja." Sesungguhnya Vania tidak paham. Mengapa pria ini terlihat marah dan kesal sekarang? Kepala Kenta meneleng. Dengan senyum, ia memberikan gelas itu pada Vania. Memintanya untuk mencoba. "Rasanya sangat segar. Kau bisa meminumnya sembari membayangkan pantai yang bersih dan ombak ringan yang menyapu bibir pantai. Ini luar biasa." Fagan mendengus keras. Menyadari bahwa ia masih menyimpan seamplop uang yang wanita itu berikan di laci meja kerjanya, membuatnya mencibir. Apa dia berencana menarik hati ayahnya dan kembali mengeruk uang? Permasalahan yang sama. Yang berhasil mengguncang finansial keluarganya. Yang membuat Fagan dan Ivan harus turun tangan demi membereskan semuanya. "Kau harus tahu, Fagan. Dia suka makan. Badannya tidak seperti barisan mantanmu yang berpuasa keras dan seperti pelancong kekurangan dana. Dia mencintai makanan sehat. Lihat, dia tidak kurus. Dan semua sempurna. Apa kau tidak melihatnya?" Vania terkesiap. Menyadari pria ini baru saja menyebut gigolo itu dengan Fagan. Namanya luar biasa, dan berhasil membuat Vania kembali gemetar. Kenta memutuskan untuk duduk saat Fagan membantunya mencarikan tempat baru. Sebelum Vania benar-benar pergi, ia merasakan cengkeraman lain mampir, dan membuatnya membeku. "Aku hanya tak mau kau meracuni pikiran ayahku dengan isi kepalamu yang konyol." "Hah?" Vania membeo, menyadari pria itu sekarang mengancamnya. "Apa maksudmu? Aku tidak bicara apa pun. Kami mengobrol santai. Ayahmu menyenangkan." Fagan mendengus. Merasakan jika Vania mencoba menepis tangannya. "Kau membayarku malam itu. Apa kau berniat membayar ayahku juga?" Demi Tuhan. Vania meradang sekarang. "Semoga ayahmu masih sehat dan tidak terkena serangan jantung kalau tahu putranya adalah simpanan. Seorang gigolo di bar malam." Fagan terkesiap. Terkejut ketika Vania berjalan, menabrak bahunya dan tidak lagi menoleh ke belakang. Memilih untuk melarikan diri dari pesta dan tidak lagi kembali.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
101.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook