bc

Seducing The Queen

book_age18+
823
FOLLOW
4.2K
READ
family
goodgirl
inspirational
king
queen
comedy
bxg
royal
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

Valerie mencintai peternakan lebih dari hidupnya. Setelah kematian kedua orangtuanya dalam masa pesakitan yang panjang, ia menemukan jalannya untuk berkembang dan hidup bersama paman dan bibinya yang berubah menjadi orang tua pengganti.

Awalnya baik-baik saja. Sebelum Putra Mahkota dari Andera datang dengan dalih warisan terkutuk yang mengatasnamakan Valerie sebagai pewaris terakhir. Omong-kosong itu berupa perjanjian kuno. Yang meminta agar bangsawan terakhir Adissia menikahi calon raja Andera di masa depan.

chap-preview
Free preview
1
"Valerie!" Kejengkelan dari suara Paman Raito memenuhi indra pendengarannya. Mungkin pria paruh baya yang punya semangat tinggi itu lelah karena harus terus-menerus memikirkan kondisi peternakan yang nyaris lumpuh karena terlilit utang. Atau membantu sang istri mengurus domba-domba nakal yang kerap berlarian ke bukit karena mencintai rumput liar dan segar. "Iya?" "Apa yang sedang kau lakukan?" "Memerah s**u sapi." Valerie mundur untuk mengintip ekspresi sang paman yang terlihat kikuk. Barulah saat dia mengerti, gadis itu tertawa hambar. Bangun dari kursi kayu kecil berbentuk kubus dan menyeka keringat. "Apa yang terjadi? Anjing gembala itu tertidur di ladang?" "Bukan," raut masamnya masih terpancar. Saat sorot mata cokelatnya yang muram membuat Valerie memasang tampang geli. "Istriku memintaku berbelanja bahan makanan ke kota. Aku harus mengurus mesin pengolah s**u dan menjemur bulu domba setelah ini. Kau mau pergi?" "Oh, tentu saja. Apa dia mau menunggu selama aku membersihkan diri dan berpakaian?" "Kau tidak bisa lebih cepat?" "Itu yang paling cepat. Aku bau kandang sapi." Paman Raito menghela napas. "Kalau begitu, biar aku saja. Kau mau mengurus pekerjaanku?" "Tentu! Itu terdengar bagus. Aku tidak suka aroma perkotaan yang glamor dan sesak!" Paman Raito memutar bola mata. Melepas sarung tangan dan bunyi decit pada sepatu boot menghampar luas di dalam kandang. Bunyi raungan sapi yang mengantuk, dan Valerie yang mencoba memindahkan ember penuh s**u ke dalam mesin. Langkahnya berdiri di depan pagar kayu yang melingkari pekarangan dan ladang. Saat mendongak, memastikan domba-domba sehat itu tidak berbuat kekacauan yang membuat Valerie dan anggota keluarga lain kelimpungan. "Valerie, kami akan pergi." Valerie menoleh untuk memberi senyum. Saat dia menurunkan topinya, mengangguk dan melambai pada perempuan cantik dengan riasan seadanya. Menjadi istri Paman Raito selama nyaris dua puluh tahun dan tanpa anak, pernikahan mereka baik-baik saja. Paman Raito mencintai istrinya dari sekadar hubungan intim. Mereka saling mencintai. Sama seperti orang tuanya. "Hati-hati di rumah!" Paman Raito bersuara lantang dari dalam mobil yang berisik. Sebab suara mesin tua dan knalpot usang yang meminta agar segera diperbaiki. Paman Raito mengesampingkan perbaikan pada mobil bututnya demi memenuhi urusan dapur dan peternakan. Lalu, samar-samar suara bising dari bukit membuat Valerie tersentak. Beberapa domba berlarian turun, diikuti si anjing yang sigap mengatur domba nakal itu untuk tetap pada barisan. "Siapa?" Ini peternakan desa. Sangat jauh dari kota. Memakan waktu nyaris dua jam untuk sampai di kota gemerlap dengan mobil tua. Peternakan ini seperti harta tersembunyi. Rumah yang berdiri pun jauh dari kata kokoh dan layak. Tetapi Valerie mencintainya. Kemiskinan yang membuatnya lebih tabah. Paham bahwa mungkin si penunggang helikopter akan bertemu kepala desa, dia berpikir santai. Tidak akan ada satu pun yang berkepentingan terkecuali penagih utang dari bank dan koperasi yang bangkrut. Seketika palu godam menghantam jantungnya. Apa mereka debt collector? Ya Tuhan! Perutnya terasa dipilin. Valerie tidak terbiasa bicara dengan sekumpulan pria berbadan besar nan tangguh yang terbiasa mendobrak pintu dan menghancurkan meja dengan satu tangan. Tapi melihat tiga pria besar yang ikut turun, jantungnya berdetak keras. Mencoba untuk tetap tenang sulit rasanya. Valerie berbalik untuk masuk, setidaknya dia bisa berpura-pura pingsan karena kelelahan. Atau para pria pemburu itu akan mencekiknya sampai mati karena tidak memberi mereka uang sepeser pun. Ide tentang melarikan diri sampai di otaknya. Sebelum benar-benar terealisasikan sementara keringat dingin menyapa telapak tangannya, kakinya yang gemetar menyandung kaki lain. Dan berakhir dengan kebodohan yang sama saat kepalanya terbenam ke dalam kubangan lumpur. *** "Kau yakin?" "Sangat yakin, Yang Mulia. Ini peternakan milik keluarga pewaris Putri Ardissia." Tidak sulit untuk mencapai rumah yang dikelilingi perkebunan luas berhektar-hektar. Peternakan ini mempunyai dua kandang besar. Entah apa yang mereka pelihara di dalam, Liam sama sekali tidak peduli. "Ada seseorang di sana. Mari, kita bertanya." Derap langkahnya semakin mantap. Di dalam kepala hanya bercokol perempuan anggun yang bersembunyi di balik tembok kemiskinan karena terbuang dari silsilah keluarga. Seperti bangsawan Ardissia yang menuntut harga diri dan martabat, ini sepertinya berjalan menarik. Dia membutuhkan istri penurut yang berkompeten, menarik dan tidak membangkang. Itu semua akan mudah sesuai kontrol dirinya terhadap apa pun. Kalau bukan demi kerajaan, dia tidak akan turun dari kastil untuk menjemput iblis. Kedua tangan bertaut di belakang punggung. Manakala matanya jatuh memandang sosok gadis yang tengah membungkuk, terasa intim dan rapuh. "Selamat siang." "Siang." Sang Pangeran berdeham tanpa ekspresi. "Bisakah kau berbalik untuk menatap mata lawan bicara?" Itu permintaan mutlak. Terdengar nyaris seperti otoriter dan memaksa. Valerie bertarung dengan napasnya sendiri karena takut. Saat dia mengusap pipinya yang masih basah akibat lumpur, matanya menyipit. Asisten bersama Sang Pangeran tersentak. Menatap gadis yang cemberut di balik masker cokelatnya. "Kau sedang apa?" Valerie masih diam. "Masker cokelat bagus untuk kulit," kata Liam rendah. "Ini bukan masker cokelat. Ini lumpur! Kakiku tersandung dan aku jatuh ke kubangan ini," tunjuknya dengan napas berantakan. Saat dia mendekat, mengangkat alis dan tampak menimbang apakah baru saja pria lain yang berdiri di belakang pria berpakaian ala pangeran ini sedang menahan geli? "Kau baik-baik saja?" "Ya." Valerie menoleh untuk memastikan bahwa mereka bukan penagih utang. Biasanya mereka membawa mobil mengkilap yang menyakitkan mata. Tapi sekarang membawa helikopter. Tidak mungkin para penagih rela mengocek uang sementara untuk meminta Valerie dan keluarga membayar utang, kan? "Alamatnya sudah benar. Kalau begitu, ini adalah rumah dari Putri Ardissia yang hilang." Jantung Valerie serasa diremas sekarang. "Putri Ardissia?" Sang Pangeran yang berbalut pakaian monarki mahal tampak sangat elegan. Valerie berpikir, apa pahatan dewa baru saja tersenyum atau memasang raut dingin yang membunuh. Dia tidak pernah menduga—atau sama sekali mengenal dunia luar tentang siapa dirinya dan siapa pria tampan yang banyak bertebaran seperti biji jagung di luar sana. "Valerie dari Ardissia." Oksigen terasa habis. Napasnya bergejolak dengan cara menyakitkan. Valerie mencoba mundur dan berakhir membentur meja kayu. Mata kelam Sang Pangeran membuntutinya seperti pemangsa buas. Valerie tidak tahan. Atau dia akan menampar. "Kau tak apa, Madam?" "Tidak." "Kalau begitu, kau bisa memanggilkannya untukku?" "Kau mau apa?" "Ada beberapa hal penting yang harus aku bicarakan dengannya. Salah satunya sebagai pewaris gelar bangsawan dari provinsi Ardissia yang kehilangan pemimpin berkat kecelakaan pesawat satu tahun lalu." Suara Sang Pangeran serak dan dalam. Ada lelah yang mengitari kelopak mata. Bibirnya tebal, tampak penuh serta terasa dingin. Iris matanya yang tajam mampu melelehkan. Bahu kokoh yang mungkin Valerie pikir hanya bisa ditemukan pada atlit atau penjaga pantai. Fantasi aneh itu mengusiknya. Valerie mengerjap untuk menarik jiwa normalnya kembali dalam kepala. "Itu aku. Valerie." "Valerie?" "Ya. Valerie. Tanpa embel Putri dari Ardissia." Valerie bersumpah atas nama ibu dan ayahnya yang telah berpulang, ia menemukan sorot kecewa dan kesal di mata tajam pria itu. *** Saat Liam mengekori kemana gadis itu melangkah, alisnya saling bertaut satu sama lain. Mendapati gadis itu memakai topi jerami, rambut panjang dengan warna merah muda lembut terkepang. Celana jins dan kemeja flanel yang kotor karena lumpur dan berbau ... sapi? Apa yang sebenarnya dia kerjakan? Kernyitan tak sopan mampir pada keningnya. Saat si gadis menoleh, menatap muram pada mimik wajahnya. Liam tersentak, membuang napasnya dengan dengusan samar. Gadis ini sama sekali tidak menarik. "Kau mendengarku?" Liam mengangkat satu alisnya naik. Pewaris takhta dari Andera itu hanya diam. "Aku rasa kita bisa bicara untuk mendengarkan surat wasiat dari mendiang kakekmu dulu." "Tidak." Dadanya naik, kemudian turun dengan napas berantakan. "Sekali tidak, tetap tidak." Liam menemukan kedua mata hijaunya bersinar terang layaknya hutan di musim semi. Bermandikan sinar mentari dan tampak syahdu. Mungkin kedalamannya memikat. Seperti pesona gadis pada umumnya. Putri yang terbuang ini tidak pandai bersolek. "Jangan keras kepala." "Ini diriku." Memindahkan ember berisi air, membiarkan pancuran kecil itu mengucurkan aliran air yang membasahi telapak tangannya. Valerie menunduk, menangkup air untuk membersihkan sisa lumpur di wajahnya. "Tidak ada yang tersisa dari keluarga bangsawanmu. Ardissia benar-benar hanya menyisakan kastil bersama ratusan pelayan." Valerie masih diam. Saat Liam menoleh, memyentak pandangan dua asisten kepercayaan dan memghela napas. Mengamati peternakan dengan sorot menilai. "Itu tidak akan menguntungkanku." "Bagaimana dengan uang dan warisan? Keluargamu menimbun emas untuk ahli waris mereka." Kompromi ini tidak akan berakhir. Apa yang diharapkan keluarga miskin selain uang untuk menutupi utang dan memajukan perekonomian keluarga yang jalan di tempat? Rupanya, ide spontan tentang uang dan emas berhasil menarik gadis keras kepala yang masih berkacak pinggang. Memandang lurus pada hamparan ladang yang dipenuhi padi menguning. "Berapa banyak?" Suara gadis itu tersapu oleh semilir angin sejuk di siang hari. Matahari tidak bersinar terlalu terik seperti biasa. Memasuki musim dingin, ladang ini akan mati sebentar lagi. Domba-domba akan bergelung dan mereka akan menimbun kayu bakar untuk perapian. "Berapa banyak?" Sekarang, atensi gadis itu terpusat padanya. Saat Liam menoleh, mengangkat satu alisnya naik dan memandang paras yang kini telah bersih dari lumpur seutuhnya. Perasaan asing mengetuk pintu hatinya dengan sensasi tak nyaman. Membuatnya berdeham, lalu merubah posisi agar lebih dekat. "Aku menyimpan berkas itu di kastil. Kau bisa melihatnya saat kau ikut bersamaku pulang." "Pulang?" Valerie mendengus dengan celaan dingin. "Rumahku bukan di sana. Ini rumahku. Peternakan ini, domba-domba dan anjing, semua keluargaku." "Apa kau baru saja mendeklarasikan bahwa kau adalah pecinta binatang?" Rahang rapuh itu mengetat dengan sorot tajam tanpa ampun. "Sama sekali tidak lucu. Seret kakimu pergi dan jangan pernah kembali." Valerie tidak akan peduli jika air muka itu berubah lebih pekat. Seumpama Sang Pangeran adalah kolam, ia akan berubah warna dengan intensitas gelap yang menakutkan. Seakan awan mendung baru saja tertarik masuk untuk melingkupi atas kepala. "Gubuk itu yang kau sebut rumah?" "Kau tidak sedang dalam kapasitas bisa mencelaku, pria asing." Valerie bisa melihat dua asisten berbadan tegap itu tersentak. "Rumah yang kau sebut gubuk memiliki perapian, ranjang yang nyaman, dan lentera minyak. Kami punya kulkas untuk menyimpang daging." Kalau ini tetap diteruskan, mereka akan saling mencakar. Liam mungkin membawa senjata di balik rompi kenegaraannya. Tapi tidak diperbolehkan memakai senjata. Karena tidak sesuai protokol. Kemudian alasan kedua, kondisinya tidak terancam. Oh, benar. Gadis ini punya ancaman untuknya. "Kau mungkin akan menyesal bicara seperti ini padaku setelah melihat betapa luasnya Ardissia. Apa kau mengenal Andera?" "Dalam mimpiku?" Valerie mengulum senyum. Bukan senyum manis atau ramah sekali pun. Gadis itu masih saja berkacak pinggang, menekan alas boot cokelat yang berlumpur ke atas rumput dan mendesis. "Sama sekali bukan urusanmu, Pangeran." "Kau punya pengalaman pahit karena dibuang dari ningrat bangsawan Ardissia. Benar?" Liam tidak seharusnya tersenyum. Tapi dia melakukannya. Sekadar untuk mencuri satu atau dua reaksi jengkel dari gadis keras kepala dan berprinsip di depannya. Valerie mungkin akan jauh dari kata penurut dan menarik untuk kehidupan rumah tangganya. Tetapi kepribadiannya bagaikan angin segar di dalam istana. Liam sudah berpikir terlalu jauh. "Aku pergi ke Andera saat usiaku lima belas tahun." Liam mengernyit dengan pandangan menajam. "Aksenku berhenti setelah aku angkat kaki dari negara makmur dengan penduduk ramah yang gemar berbagi. Semua orang tampak manis seperti malaikat. Terkecuali pers yang bertingkah seperti gurita gila." "Semua pers dari penjuru dunia memang bertingkah anarkis dan semena-mena." "Mereka hanya bekerja. Aku mengakuinya. Atasan adalah segalanya. Kuasa melebihi Tuhan. Tapi percayalah, itu membuatku muak. Mereka memuat kabar tentang ibuku. Yang pergi bersama pria miskin dari Jepang dan hidup susah karena termakan omong kosong bernama cinta." Valerie terus bicara. Berusaha menampik rasa terbakar yang membara di dadanya. Panas itu menyentak sampai ke ulu hati. Sementara si pria asing masih setia mendengarkan curahan hatinya. "Pers benar-benar keterlaluan. Ibuku mencintainya. Mencintai ayahku. Dan keluarga bangsawannya menolak. Mereka membuang ibuku dari daftar keluarga. Mencoret nama dan membuang marganya!" "Kakekmu hanya menggertak." "Kau bercanda," geram Valerie. Berusaha mengusir perasaan tak nyaman karena pria itu menatapnya intens. Seakan intensitas tatapan matanya mampu membakar, mampu membuatnya menjadi abu. "Aku rasa tidak ada satu pun dari mereka percaya bahwa kematian secepat itu menjemput. Surat itu diberi cap dan tanda tangan. Pangeran dari Ardissia memberikan hartanya padamu. Dia bahkan menulis namamu dengan jelas. Tahu bahwa ibumu telah lama pergi karena sakit keras." Valerie berpaling. Mengusir panas pada matanya. Ini menyakitkan. Ibunya sudah tertidur dalam damai. Dia tidak lagi merasa sakit dan sedang berjalan bersama sang ayah. "Kenapa pria tua itu mengusikku dari dalam kubur? Apa dia tidak tenang?" Liam menuruni undakan tanah dan Valerie bergerak mundur. Sebelum gadis itu kembali tersandung tali ember, tangannya terulur untuk meraih tangannya. Merasakan sensasi kuat dan lembut secara bersamaan. Perhatian si putri yang hilang mungkin tercurahkan sepenuhnya pada peternakan yang hampir mati. "Kau ingin tahu apa alasanku datang?" Valerie memandang dengan raut cemas. Saat dia menggeleng, bergerak mundur dan kakinya terantuk badan ember. "Tidak." Sorot mata Liam berubah tajam. Penuh ancaman dan seakan tidak mau mengulang kalimat sakral yang membuatnya muak setengah mati. "Aku harus membawamu pulang. Karena setelah kita sampai di Andera, aku akan menikahimu." *** Paman Raito sejak tadi bungkam. Menemui sosok menjulang dengan pakaian khas sebuah kerajaan membuat kepingan masa lalunya kembali. Saat adiknya, Zou, menikahi seorang putri bangsawan yang melarikan diri atas nama cinta. Konyol. Tetapi Raito memberi restu karena cinta mereka membara begitu kuat. "Anda akan membawa Valerie kembali?" "Putri," koreksi Liam muram. "Dia memiliki gelar di negaraku. Seharusnya ia pulang. Dan tidak menetap di gubuk yang nyaris hancur ini." Ame, sang istri muncul dengan nampan berisi teh tawar dan piring berisi gula kubus. Mata cokelatnya bergantian menatap sang suami dan Liam yang duduk tegang. Suasana di antara mereka tercipta canggung satu sama lain. "Aku tidak tahu harus katakan apa, Yang Mulia. Tapi yang terpenting semua tentang Valerie—Putri Valerie. Dia mencintai rumah ini dan sapi-sapi yang ada di kandang. Ia mencintai kegiatannya berkebun, memerah sapi, dan terkadang bermusik." "Bermusik?" "Ya, Yang Mulia," sapa Ame lirih. "Adik suamiku adalah pemusik. Dia bermain untuk teater dan pertunjukkan opera setiap satu tahun sekali di negara tetangga. Ibu Valerie adalah pelukis handal. Mungkin Andera mengenalnya dengan baik dari kami." "Tidak sepatutnya seorang bangsawan memerah sapi." Raito menghela napas cemas. Cengkeraman tangan sang istri di bahunya pertanda gelisah. Membiarkan Valerie yang dititipkan mendiang adiknya untuk pergi mungkin bukan jawaban yang bagus. "Dia mencintai segalanya tentang peternakan ini." Liam bungkam. Alisnya bertaut satu sama lain ketika dia berpikir. Otaknya meresapi semua kelemahan dengan baik. Sempat terpikir untuk memberi Valerie ancaman yang membuatnya ketakutan. Tapi dengan tatapan mata saja Valerie tidak gentar, Liam kesulitan mencari alternatif lain untuk menyeret gadis itu kembali ke rumah sebenarnya. "Aku harus membawanya kembali. Ardissia dan Andera membutuhkannya." "Kalau itu membuatnya terbuka dan senang, kami tidak akan menahannya lebih lama." Ame bersikap tegas dengan cara keibuan yang membuat Raito tersentuh. Berat melepas pekerja sebaik Valerie. Yang tanpa lelah mengurus peternakan, ladang, dan berkebun. Valerie mencintai semua masakan Ame tanpa pernah mengeluh. Mendengar Raito mendekur di ayunan papan. Dan banyak lagi. Bahkan hanya masalah sepele tentang domba yang tidak bisa berbaris rapi, dia akan mengurusnya. "Kehidupannya akan berubah. Aku berdoa semoga dia baik-baik saja." Liam bangun dari kursi kayu dengan decitan cukup keras. Membuat pasangan itu membeku dengan raut penasaran. Sang Pangeran berwajah datar tidak menunjukkan emosi apa pun. Walau dalam kilasan atau sekelebat yang membuat mereka berhasil menerka. "Aku akan mencoba bicara padanya sekali lagi." "Silakan, Yang Mulia." Saat Liam keluar dari gubuk yang pengap dan sempit, rasa lega membanjirinya bagai air panas di pancuran. Matahari tak lagi bersinar terik. Hari mulai sore. Para domba menuruni bukit bersama anjing berbulu cokelat yang tampak senang dan lepas setelah bermain. "Datanglah kemari Loki!" "Kau memberinya nama Loki?" Perpaduan aroma murni dari floral dan buah cranberry peras membuat Liam membeku selama beberapa detik menegangkan. Selain ada aroma pekat berasal dari kandang sapi, dan sedikit bau s**u busuk dari kemejanya, itu sama sekali tidak mengurangi panas pada gadis itu. Yang menulari dirinya dengan sentuhan magis. Senyum gadis itu melebar saat para domba masuk ke kandang dan si anjing melompat girang. Menempel pada celana jins untuk mendapat pujian. "Oh, kau benar-benar anak manis." Liam melihat keakraban itu terbentuk sejak bertahun-tahun. Si anjing yang puas disentuh segera berputar, melingkari kandang dengan berlari. Dan yang mencengangkan, domba-domba gemuk itu merasa tidak terintimidasi sama sekali. Mereka menikmati jam bermain bersama si anjing gembala. Dari sisi wajahnya, Liam bisa mengamati lebih jelas bahwa garis aristokrat mengaliri pembuluh darahnya. Sekeras apa pun Valerie berusaha mengelak dan mengubur semua gelarnya, ia tetap bangsawan. Ia pernah melihat lukisan ibu Valerie yang telah berpulang. Separuh dari bentuk rahang dan hidung menyerupai. Kesempurnaan itu tercetak jelas di wajah sanga anak. Mungkin perpaduan antara kasta bangsawan dan kasta rendah— "Kau mendengarku?" Liam menautkan pandangan dingin yang mencolok ke mata gadis itu. "Apa?" "Minggir. Jangan berdiri di samping kandang. Kau mau domba itu mendorongmu sampai ke lumpur?" Valerie bergeser untuk menepi. Menaruh ember dan s**u perah yang telah diolah. Paman Raito mendekat untuk mengangkut s**u itu ke dalam rumah. Bersama si anjing yang mengekori dengan ceria. "Kita harus bicara." Valerie berbalik untuk memeriksa helikopter yang masih menunggu dengan nyaman di atas bukit. "Apa itu milikmu?" "Ya." "Kau boleh kembali," dagu itu bergoyang angkuh. Pengusiran bentuk halus yang membuat Liam berang. "Jangan harap kau bisa kembali. Ada banyak pekerjaan yang bisa kau kerjakan di dalam istanamu, bukan?" "Aku tidak akan kembali sebelum aku mendapatkan apa yang kumau." Valerie mendengus. Menekan pucuk hidungnya dengan kernyitan gemas. "Jangan keras kepala. Aku saja tidak tahu namamu, Yang Mulia." "Liam." "Yang—," "Liam. Kau bisa memanggilku dengan nama." "Ah, karena kau calon suamiku?" Gadis itu sama sekali tidak terkesan karena menyebut nama suami. Biasanya para gadis akan melonjak, atau banyak dari gadis lain akan bertarung untuk mendapat posisi Valerie sekarang. Tapi gadis itu seakan tidak peduli. Meski pertarungan berdarah tumpah di depan matanya. "Aku tidak pernah bermimpi akan menikahi seorang bangsawan." Liam menyukai perempuan glamor yang tahu etika penampilan. Tidak sampai di sana, ia juga menyukai perempuan menarik dan pintar merias diri. Setidaknya tampil sempurna menjadi nilai lebih. Tapi Valerie sekarang? Hanya tampilan lusuh yang membuatnya tertarik. Apa pesona gadis itu diciptakan untuk memikat? "Aku lakukan ini demi takhta." "Kau bisa menikahi gadis lain!" "Andai saja aku bisa, aku tidak akan mengejarmu sampai sini." Suara pria itu meninggi, dengan cengkeraman tak kasat mata yang hampir mencekik leher Valerie. "Andera memiliki pewaris selain dirimu. Benar?" Liam menarik napas dengan tarikan kasar. "Kakak tewas dalam diplomasi antar perbatasan. Dua tahun yang lalu. Sejak usiaku empat tahun, aku dididik untuk menjadi pangeran dan pewaris takhta. Aku belajar banyak hal. Dan ini adalah kesempatan. Seseorang tidak akan bisa melarangku atau menjegal langkahku naik. Termasuk dirimu." Liam perlu duduk di posisi nomor satu untuk mengurangi kerusuhan antar provinsi. Dia tidak punya kuasa selama kursi kekaisaran kosong. Semua orang akan berusaha menunjukkan taring mereka untuk menjadi yang terbaik. Membiarkan negara menjadi kacau-balau karena perang. "Pulanglah. Urus dirimu sendiri. Aku tidak akan menikah denganmu. Urusan takhta dan segalanya bukan urusanku." Valerie berbalik untuk mengunci kadang domba. Sebelum melepas topi jeraminya dan membiarkan Liam mematung untuk menatap postur tubuhnya dari belakang. "Kita harus menikah." Valerie memutar badan dengan desisan. "Dalam mimpimu!" Liam merasakan kemarahan menjalar dari tangan ke rambutnya. Saat ia menarik napas kasar, berbalik untuk melangkah lebar menuju helikopter yang telah menunggu. "Yang Mulia?" "Cari kelemahan peternakan itu! Beli semua sertifikat utang mereka. Aku akan memakai cara kasar untuk menyeret perempuan keras kepala itu kembali!"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.1K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

Dependencia

read
186.3K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
52.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook