bc

Kopi Yang Manis

book_age16+
569
FOLLOW
4.9K
READ
second chance
playboy
badboy
goodgirl
CEO
boss
drama
sweet
office/work place
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

Kopi akan terasa manis tergantung bagaimana cara kita akan menikmatinya, sama seperti kisah cinta klasik antara Abian Malik Ganendra bersama Lalisa Chasel, wanita yang memiliki penyakit mental Anxiety Disorder.

Lalisa menganggap kehidupannya begitu pilu dan menyedihkan setelah melewati pascatrauma yang di deritanya beberapa tahun yang lalu. Tidak begitu banyak memiliki ketertarikan terhadap apapun, Lalisa hanya membuat dirinya sibuk dengan aktivitas pekerjaannya.

Kehidupan yang nyaris flat perlahan-lahan mendapat warna lain di dalamnya, sejak kehadiran Abian. Lelaki yang pada awalnya hanya ingin memanfaatkan Lalisa untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Apa yang diingin Abian dari Lalisa?

Dan apa yang membuat Abian memutar haluan untuk berjuang mendapatkan hati Lalisa?

chap-preview
Free preview
PART 1. LALISA BATARI CHASEL
Beberapa lembar kertas yang di tumpuk di dalam satu map folder tampak memenuhi meja kaca persegi panjang berwarna hitam tersebut tersusun dengan begitu rapi. Sebuah bingkai dengan foto seorang anak remaja perempuan dengan kedua orang tuanya yang berdiri tepat di belakangnya sedang memegangi punggungnya. Raut wajah yang bahagia terlihat jelas di dalam potret keluarga kecil tersebut. Lalu di samping bingkai foto tersebut terdapat bunga matahari yang berada di dalam sebuah vas transparan. Bunga matahari yang indah dengan warna kuning yang mencolok di atas meja kerja pemiliknya. Dan juga terdapat beberapa pernak pernik serta pajangan lain yang bisa memperlihatkan karakter dari pemilik meja kerja tersebut. Meja kerja yang berada di pojok ruangan yang cukup luas, dimana di belakang meja itu terdapat sebuah papan nama perusahaan menempel di dinding tersebut. Daisy Company, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion terkhususnya pada pakaian, sepatu, tas dan juga perhiasan lainnya. Perusahaan tersebut juga memiliki market share cukup stabil dalam beberapa tahun belakangan ini setelah di pimpin oleh manajer departemen fashion design dengan ide-ide luar biasa yang di milikinya. Suara langkah kaki yang terdengar sedang mengenakan sebuah higheels semakin terasa mendekat masuk ke dalam ruangan kerja tersebut. Seorang wanita dengan rambut cokelat terurai panjang berjalan dengan tegap menuju meja kerja yang di penuhi beberapa map folder di atas meja. Dengan begitu hati-hati ia meletakkan tas kulit berwarna merah dengan merk daisy yang berada tepat di bagian depan tas cantik itu. Perempuan itu duduk di kursi dengan meja yang telah bertuliskan namanya sebagai manajer fashion design di Daisy Company. Lalisa Batari Chasel, lulusan universitas Bunka Fashion College yang berada di Jepang khususnya di kota Tokyo. Lalisa mengambil pendidikan pada bagian fashion design dan juga marketing, walaupun masih banyak pilihan lain seperti fashion teknologi, fashion aksesoris dan juga fashion tekstil. Tampaknya pilihan yang di ambil Lalisa saat itu membawanya pada sebuah perusahaan yang cocok untuk kegemarannya. Lalisa berhasil mengambil alih kursi manajer departemen fashion design berkat kerja keras, ide serta keikhlasan waktu yang telah ia luangkan selama hampir tiga tahun di perusahaan tersebut. Memberikan posisi itu pada Lalisa adalah pilihan yang sangat menguntungkan bagi Daisy Company, dimana setelah itu market sharenya meningkat dan berjalan stabil seiring berjalannya waktu. Namun siapa yang sangka bagi Lalisa itu merupakan pencapaian luar biasa setelah apa yang ia alami beberapa tahun lalu setelah kematian kedua orang tuanya serta omanya. Kecelakaan yang membawa Lalisa mengidap penyakit mental PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau biasa disebut dengan gangguan stres pascatrauma ialah gangguan kecemasan yang membuat penderita teringat pada kejadian traumatisnya, dimana saat itu Lalisa harus merelakan kedua orang tuanya pergi meninggalkannya lebih dulu. Tak cukup dengan itu, Lalisa melewati dua tahun terburuknya setelah kecelakaan itu ia juga harus mengikhlaskan omanya meninggal hingga membuat kondisi mentalnya semakin terpuruk. Lagi dan lagi Lalisa di vonis memiliki penyakit mental Anxiety Disorder yang pada saat itu sangat membahayakan dirinya. Ditinggalkan orang-orang yang sangat di cintainya membuat dunia Lalisa seketika hancur berkeping-keping. Namun semuanya berhasil di atasi oleh Yeri Kinandita. *** Tok.. tok.. tok (suara ketukan pintu) "Ya! Masuk saja!" teriak Lalisa dari dalam ruangannya. Seorang wanita perlahan masuk dan mendekat menuju meja Lalisa dengan membawa sebuah map di tangan kanannya. "Permisi bu.. Saya membawa apa yang ibu minta tadi" ucap wanita itu yang merupakan salah satu staf desain Daisy Company. "Ah! iya. Mana coba Aku lihat?" balas Lalisa meminta map tersebut. Staf wanita yang sedikit lebih muda dari Lalisa itu memberikan map yang di peganginya. Lalisa melihat isi dalam map itu terdapat lima lembar kertas yang masing-masing memiliki desain baju yang berbeda-beda. Cukup lama Lalisa memperhatikan satu persatu gambar tersebut hingga ia menjatuhkan pilihannya pada kertas keempat yang di peganginya. "Ini buatan siapa yah?" tanya Lalisa. "Itu punya mba Indira, bu" balas staf tersebut. "Sampaikan pada Indira, kalau Aku mau di bagian kiri baju ini di tambahkan sesuatu yang lebih menarik yah.." pinta Lalisa dengan wajah datarnya. "Overall, Aku suka hasil desainnya!" lanjut Lalisa memuji. "Baik.. saya akan sampaikan ke mba Indira permintaan ibu" balas staf tersebut mengambil kembali map yang di sodorkan Lalisa padanya. "Dan yah! Tolong sampaikan sama pemilik desain itu kalau mereka harus lebih fokus lagi untuk membuat karya yang bagus. Okay?" pinta Lalisa sebelum staf itu meninggalkan ruangannya. Kepergian staf wanita itu membuat Lalisa melanjutkan pekerjaannya yang tertunda untuk mengecek beberapa map selanjutnya. Dimana di dalam map tersebut juga terdapat beberapa laporan yang harus ia periksa dan tanda tangani. Waktu terus saja berlalu, jarum jam kini menujukkan pukul 12.00 siang. Lalisa merenggangkan otot-ototnya setelah berhasil menyelesaikan beberapa dari tumpukan map yang masih memenuhi meja kerjanya. Suara langkah sepatu milik Lalisa kembali terdengar setelah ia meninggalkan ruangannya berjalan keluar menuju lift untuk ke lantai lima dimana pantry berada. Namun langkahnya tercegat tepat di depan meja milik Indira. "Ra.. lo ga makan?" bisik Lalisa. "Gak bu.. ibu duluan saj---" "Ibu! Ibu! santai aja kali.." sela Lalisa melihat sekelilingnya yang sudah terlihat kosong hanya menyisakan dirinya dan juga Indira. "... santai aja! yang lain udah pada gak ada!" lanjut Lalisa meminta Indira untuk bersikap non formal saja padanya. Lalu Indira juga melakukan hal yang sama melihat sekeliling yang kini tak terlihat siapapun. "Lo duluan aja.. gue masih ada kerjaan. Belum lagi permintaan lo tadi, gue belum selesaiin.. Lis" balas Indira. Lalisa menghela napas kasar menatap kearah laptop milik Indira. "Makan sendiri lagi nih gue?" keluh Lalisa. Melihat Indira tidak menggubris perkataannya membuat Lalisa menatapnya kesal sebelum meninggalkan mejanya. Beberapa staf wanita dan lelaki terlihat menyapa serta menegur Lalisa dengan sopan namun ada juga beberapa staf yang sirik padanya dengan menggosipinya setelah dirinya menaiki lift terlebih dahulu. Terkadang Lalisa mendengar cibiran para staf yang mengomentari sikap aneh yang kadang di perlihatkan oleh penyakit mentalnya, Namun tidak ada yang tau tentang penyakit anxiety disorder yang di derita Lalisa. Lalisa selalu berusaha terlihat baik-baik saja agar tak ada satu orang pun yang mengetahui peristiwa buruk yang telah ia alami. Semuanya ia sembunyikan lewat raut wajahnya yang selalu terlihat tenang. Lift itu berhasil membawa Lalisa menuju lantai lima, dimana pantry tersebut telah cukup ramai di penuhi dengan staf perusahaan. Antrian cukup panjang untuk membawa Lalisa menuju tempat pengambilan makanan tersebut yang di bantu oleh seorang pelayan yang memang di tugaskan untuk melayani para staf pada saat makan siang. Lalisa menunjuk beberapa masakan yang tengah terpanjang di depannya. Dan tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada pelayan tersebut. Langkah dari kaki jenjangnya itu berjalan mencari kursi dan meja kosong yang akan di tempatinya. Tak ada yang melambaikan tangan untuk mengajaknya makan, entah karena mereka segan atau memang tidak ingin makan dengan Lalisa yang tidak lain adalah bosnya. Sebuah kursi di pojok kanan menjadi incaran Lalisa hingga ia berhasil duduk dan menyantap makanannya. Biasanya hanya Indira yang menemani Lalisa makan, dimana Indira adalah satu-satunya orang yang dekat dengan Lalisa saat dirinya pertama kali masuk ke dalam Daisy Company. Namun Lalisa lebih dulu menggapai posisi tinggi hingga terkadang membuat Indira segan untuk dekat seperti dulu dengannya. Pantry semakin ramai di datangi para staf yang akan makan siang. Lalisa menatap sekeliling pantry, melihat para staf yang sedang bercengkrama dengan staf lainnya lalu menunduk kembali menyantap makan siangnya. Suasana hatinya kembali tidak karuan, dadanya terasa sesak, gangguan kecemasan itu kembali menyerang tubuhnya. Lalisa berlari meninggalkan makan siangnya membuat semua orang yang berada di pantry itu menatapnya. Namun hal itu tidak lagi mengejutkan semuanya berbeda saat pertama kali melihat Lalisa melakukan hal tersebut. Kepergian Lalisa meninggalkan pantry itu membuat semua melanjutkan kembali makan siang serta perbincangannya dan mengabaikan Lalisa. Napasnya semakin memburu, Lalisa mempercepat langkahnya menuju lift yang terlihat akan membuka. "Tenang Lalisa.. tenang!" batin Lalisa mencoba menenangkan dirinya. "Lisa!" tegur Indira yang baru saja keluar dari lift yang akan di naiki Lalisa. "Hei.. lo kenapa?" lanjut Indira. "Gak kok, Ra. d**a gue sesak aja" balas Lalisa mencoba mengontrol pernapasannya. "Gue gak apa-apa, lo lanjut makan siang aja" lanjut Lalisa meminta Indira untuk masuk menuju pantry dan makan siang. "Yakin lo?" tanya Indira memperjelas. "Iya.. Ra, gue gak apa-apa. Udah biasa gini.." balas Lalisa berbohong. Indira mempercayai Lalisa dan meninggalkannya di dalam lift untuk menuju pantry. Pintu lift menutup, Lalisa memegangi dadanya yang masih terasa sesak, menekan tombol angka tujuh pada lift yang akan membawanya menuju lantai ruangannya berada. "Lalisa.. lo tuh wanita yang kuat!" batin Lalisa kembali menenangkan dirinya. Suara dentingan lift yang membuka membuat Lalisa berlari menuju ruangannya, membuka pintu dan mengambil tas miliknya, mencari obat yang di berikan Yeri padanya. Obat yang sudah dua tahun ini menemani dan mengatasi kecemasan yang di milikinya. Napas itu mulai sedikit tertatur, rasa nyeri pada dadanya juga perlahan-lahan menghilang. Anxiety disorder itu belum sepenuhnya menghilang dari dalam diri Lalisa, namun Yeri selalu mengontrol keadaan psikologi Lalisa sejak ia menjadi dokter pribadi Lalisa setelah kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Setelah cukup dengan istirahatnya, Lalisa melanjutkan kembali pekerjaannya dan hanya fokus pada tumpukan map itu. Lalisa tak lagi memegangi ponselnya dimana tadi ia sedang saling bertukar pesan dengan Yeri. Kini ia hanya memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya yang harus ia selesaikan hari ini juga. Waktu terus berlalu dimana hari semakin sore dan sebentar lagi matahari akan tenggelam dan hari berganti menjadi malam. Salah seorang staf kembali mengetuk pintu ruangan Lalisa, setelah mendapat persetujuan untuk masuk, staf tersebut masuk ke dalam ruangan Lalisa. "Ini file yang ibu minta" ucap staf itu sembari menyodorkan flashdisk ke arah Lalisa. "Loh.. Aku pikir semuanya sudah pada pulang---simpan saja atau ga sini saja besok akan Aku cek. Oh iya.. sebelum kamu pulang, bisa tolong bawa ini ke ruangan pak Henry? Aku sudah cek dan menyetujui semuanya" pinta Lalisa. "Iya.. baik" balas staf itu mengambil semua map folder yang seharian ini menumpuk di meja kerja Lalisa. "Terima kasih" lanjut Lalisa sebelum staf itu meninggalkan ruangannya. Lalisa kembali merenggangkan otot-ototnya setelah bertempur dengan pekerjaannya hari ini. Ia mengecek ponselnya dan mendapati pesan yang lagi dan lagi di kirimkan oleh Yeri. Pesan yang selalu menanyakan tentang kondisi kesehatannya. Yeri bukan sahabat kecil, teman sekolah ataupun teman Lalisa di Jepang. Yeri adalah satu-satunya orang yang ada saat Lalisa terpuruk. Tepat di hari Lalisa kembali dari Jepang setelah ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di Bunka Fashion College, ia dan kedua orang tuanya mengalami kecelakaan saat ingin kembali pulang setelah menjemputnya di bandara. Kecelakaan itu merenggut nyawa kedua orang tuanya. Kematian itu membuat kondisi psikologi Lalisa terganggu, kakak Yeri selaku dokter yang bertanggung jawab pada Lalisa saat itu dengan sepenuh hati merawatnya. Hal itulah yang mengantarkan Yeri berkenalan dengan Lalisa. Dimana saat itu Yeri adalah anak magang di rumah sakit milik kakaknya. Yeri yang selalu mengajak ngobrol Lalisa perlahan-lahan berhasil membantu Lalisa keluar dari pikiran negatif yang selalu ada di dalam kepalanya. Melihat Lalisa merespon perkataan serta sikap Yeri membuat Sheril sedikit lega karena adanya harapan Lalisa bisa keluar dari depresinya. Bukan perkara mudah bagi Yeri dan juga Sheril untuk mengatasi trauma yang di miliki Lalisa saat itu. Bahkan hingga sampai detik ini, Sheril masih selalu mengabari Lalisa dan juga menanyakan tentang kondisi kesehatannya. Yeri dan juga Sheril adalah orang yang sangat berjasa bagi Lalisa hingga ia berada di posisi sekarang. Lalisa mengirimkan pesan balasan pada Yeri yang menanyakan tentang kondisi kesehatannya, ia juga memberitahu kalau ia akan kembali ke rumahnya setelah menyelesaikan semua pekerjaannya hari ini. "Gue udah mau balik ke rumah.. lo dimana?" ketik Lalisa pada pesan balasannya. Lalisa mengemudikan mobil miliknya menuju rumah peninggalan kedua orang tuanya sekitar lima tahun yang lalu. Dengan laju standar Lalisa berhasil tiba di rumahnya setelah memarkirkan mobil miliknya. Tubuh yang begitu lelah memasuki rumah lalu beralih ke kamarnya. Membaringkan tubuh remuknya di atas tempat tidur berukuran sedang miliknya. Lalisa menatap langit-langit kamarnya dengan segala pemikiran yang berkecambuk di dalam kepalanya. Lalisa melakukan relaksasi yang selalu di ajarkan Yeri saat pikiran-pikiran buruk itu menghampirinya. Cukup lama ia melakukan relaksasi itu hingga pikirannya kembali tenang. Ponselnya berdering dengan menampilkan nama Yeri di dalam layarnya. Lalisa bercengkrama di dalam panggilan Yeri, gelak tawa juga menghiasi percakapannya. Namun Lalisa selalu saja tidak memberitahu Yeri kalau ia merasakan dadanya kembali sesak. Lalisa selalu menjawab kalau dirinya akan baik-baik saja agar Yeri tidak terlalu mengkhawatirkannya. Dimana Lalisa juga sangat tau kesibukan serta pekerjaan Yeri yang terbilang cukup berat. Ia tidak ingin menambah beban Yeri lagi. Keduanya mengakhiri panggilannya dan Yeri meminta Lalisa untuk mengunjungi rumah sakit besok siang. *** Keesokan harinya, seperti biasa Lalisa menyiapkan dirinya untuk menjalani aktifitas kantornya. Dengan mengenakan kemeja berwarna maroon serta di balut dengan blazer berwarna putih dan ia padukan dengan celana kulot yang juga senada dengan warna blazer miliknya, Lalisa menjadikan outfitnya hari ini terlihat sangat cantik dan elegan. Jalan tampak sudah di padati dengan kendaraan para pekerja hari ini, namun Lalisa berhasil tiba di kantornya sebelum jam delapan. Walaupun Lalisa telah menjabat sebagai manajer ia tetap menjadi Lalisa dulu yang selalu menetapkan kedisplinan dalam bekerja. Para staf yang juga datang sebelumnya tampak mengucapkan selamat pagi dengan senyum mereka di wajah masing-masing. Begitupun Lalisa juga membalasnya dengan begitu ramah. Lift itu menuju lantai tujuh tempat departemennya serta ruangan Lalisa berada, disaat yang bersamaan ia tak sengaja bertemu dengan Jeje Samuel yang juga baru saja datang. Jeje Samuel memiliki posisi yang sama dengan Lalisa, namun hanya berada di departemen yang berbeda. "Selamat pagi pak Jeje" sapa Lalisa ramah dan juga sopan. "Iya.. selamat pagi Lalisa" balas Jeje tersenyum tipis sebelum berjalan lebih dulu meninggalkan Lalisa. Langkah itu di lanjutkan menuju ruangannya. Sembari membuka pintu ia melihat kembali beberapa map yang telah tersedia di atas meja kerjanya. Lalisa menduduki kursinya setelah meletakkan tas miliknya lalu meminum teh yang telah di sediakan untuknya. Lalisa tidak meminum kopi karena memiliki riwayat penyakit lambung yang melarangnya untuk tidak menyentuh apapun yang berbau dengan kopi. Seperti biasanya Lalisa meminta seluruh staf di departemen fashion design selalu breafing tiga kali seminggu dan ini adalah jadwal kedua dalam minggu ini. Lalisa meminta Elsa untuk menyuruh semuanya berkumpul di ruangannya sebelum memulai aktifitas hari ini. Sesuai permintaannya, Elsa selaku sekretarisnya meminta semua staf di departemen fashion design berkumpul untuk membahas model-model fashion terbaru, pangsa pasar serta pencapaian minggu ini. Cukup lama Lalisa terlihat sibuk dan juga serius membahasnya dengan para stafnya hingga waktu berlalu sekitar satu jam dan menyudahinya. Semuanya terlihat lega setelah mendapati suasana hati Lalisa yang masih sama saat mereka masuk ke dalam ruangannya. Dimana biasanya suasana hati Lalisa selalu berubah-ubah membuat semuanya menegang. Namun pagi ini, tak ada ocehan serta amarah yang terlontar dari bibir Lalisa. Bahkan market share minggu ini masih dalam kondisi stabil dan baik. Hal itu tentu saja membuat suasana hati Lalisa menjadi sangat baik untuk memulai harinya. Lalisa meminta semuanya keluar dan kembali ke pekerjaan masing-masing. "Indira.. bagimana permintaan ku yang kemarin?" ucap Lalisa mencegat langkah Indira keluar dari ruangannya. Indira melihat sekelilingnya menunggu semuanya keluar untuk menjawab pertanyaan dari Lalisa, dimana Indira adalah salah satu teman dekat Lalisa saat memulai karirnya di Daisy Company empat tahun yang lalu. "Mereka sudah keluar semua" ucap Lalisa sembari tertawa. Kini keduanya bisa berbicara layaknya seorang teman, dimana semua staf telah meninggalkan ruangan Lalisa. "Lo lihat dulu deh desain gue, gue pikir sih lo udah suka" ungkap Indira menyodorkan desain miliknya. Indira menyodorkan secarik kertas di mana di dalamnya terdapat gambar desain baju buatannya. "Gimana?" tanya Indira kembali. "Nah! Seperti ini kan lebih unik.. Ra. Kemarin gue lihat polos banget, kalau sekarang sih gue udah sangat puas lihatnya!" balas Lalisa bersemangat. "Okay! Ntar gue akan ke ruangan pak Jeje liatin desain buat loh, kalau dia setuju kita bisa langsung launching" lanjut Lalisa lebih santai. "Kabarin gue yah.. Lis! Semoga aja pak Jeje seleranya sama dengan lo" balas Indira sebelum meninggalkan ruangan Lalisa. Suasana sepi senyap kini meneyelimuti ruang kerja Lalisa, dimana hanya suara tangan membalikkan satu persatu lembar kertas serta suara keyboard laptop yang tengah serius mengetik sesuatu di sana. Lalisa begitu fokus dalam mengerjakan setiap pekerjaan yang selalu menjadi tanggung jawabnya hingga suara ketukan pintu membuyarkan pikirannya. (Suara pintu terbuka) Lalisa tercekat lalu seketika berdiri bersamaan raut wajahnya yang tadinya serius berubah menjadi lebih ramah dan juga hangat menyambut tamunya. "Selamat pagi.. pak Bata" sapa Lalisa sopan yang terdengar juga begitu ramah. "Pagi.. Lalisa" balasnya melemparkan senyum kearah Lalisa. Bata Haidar Ganendra pemilik dari Daisy Company, dia juga merupakan orang yang secara langsung menunjuk Lalisa untuk menjadi manajer fashion design di perusahaan yang di dirikannya pada saat itu. Lelaki yang sudah paruh baya itu menyukai kesopanan Lalisa kepada orang yang lebih tua darinya, ia juga selalu memuji sikap Lalisa di hadapan semua stafnya. Hal itu lah yang terkadang membuat beberapa orang merasa iri dengan Lalisa. "Gimana kondisinya.. bapak?" tanya Lalisa sopan. Lalisa menunggu Bata untuk lebih dulu duduk sebelum dirinya, dimana ia mempersilahkan namun Bata masih asyik melihat seisi ruangan Lalisa yang begitu berbeda dengan pemilik ruangan sebelumnya. Bata kemudian duduk lalu di susul oleh Lalisa. "Hm.. baik sih, kalau perusahaan baik Aku juga akan merasa baik" canda Bata yang membuat Lalisa tertawa. "Market share bulan ini sih masih stabil seperti sebelumnya pak, tapi Aku pastikan akan meningkat setelah kita akan launching produk terbaru" jelas Lalisa. "Apa boleh Aku lihat desain produk yang akan launching?" ucap Bata. Mendengar hal itu Lalisa beranjak dari sofanya lalu mengambil hasil karya buatan Indira yang tadinya akan ia bawa ke ruangan Jeje selaku manajer promosi. Lalisa menyerahkannya dengan sopan menggunakan kedua tangannya pada Bata. Bata melihat hasil desain milik Indira itu dengan seksama lalu mengangguk setuju. "Apa kamu sudah sudah lihatkan pada Jeje dan juga Henry?" tanya Bata. "Aku baru saja mau memperlihatkannya pada pak Jeje dan juga pak Henry.. pak" balas Lalisa. "Perlihatkan saja sama mereka dan tentukan tanggal launchingnya" pinta Bata dengan wibawanya sebagai presiden direktur di Daisy Company. "Baik pak.." balas Lalisa mengangguk. Kedatangan Bata tampaknya bukan hanya ingin melihat ruangan Lalisa ataupun produk yang akan launching. Namun ia berniat untuk mengundang Lalisa makan malam bersama dengan para jajaran manejer lainnya. Bata juga memberitahu Lalisa kalau ia akan memberitahukan sesuatu pada semuanya. Lalisa menyetujui undangan dari Bata dan mengatakan akan datang untuk makan malam bersama. Setelah menyampaikan maksud kedatangannya, Bata berpamitan pada Lalisa dan akan mengunjungi ruangan manajer lainnya sambil berjalan-jalan di perusahaan miliknya. Lalisa mengantar Bata sampai di ambang pintu ruangannya. Dengan wajah cantiknya yang ramah, Bata selalu memiliki suasana hati yang baik setelah bertemu dengan Lalisa. Kepergian Bata membuat Lalisa melanjutkan pekerjaannya, dimana siang nanti ia akan ke rumah sakit untuk bertemu dengan Yeri. Berbagai macam laporan telah berhasil ia lihat dan meminta Elsa untuk membawanya ke ruangan Jeje. Waktu terus berlalu, dimana Lalisa tengah bersiap untuk kerumah sakit menemui Yeri. "Elsa.. Aku ada urusan sebentar. Kalau ada yang cari Aku bilang aja sedang keluar, jam dua akan balik ke kantor yah.." ucap Lalisa saat mendapati Elsa yang baru saja kembali dari ruangan Jeje. "Baik bu.." balas Elsa segan. Lalisa berjalan dengan sepatu higheels miliknya menuju lift. Disaat yang bersamaan Henry selaku wakil ketua CEO juga sedang menunggu lift. Lalisa menegurnya dengan sopan dan juga melemparkan senyum pada Henry. "Loh.. kamu mau makan di luar juga?" tanya Henry pada Lalisa. "Ngga pak. Hm.. Aku ada urusan sebentar saja" balas Lalisa. Suara dentingan lift membuat Lalisa dan juga Henry masuk ke dalam lift. "Oh iya.. apa tadi pak Bata juga mendatangi mu?" tanya Henry. "Iya, pak. Dia juga datang melihat ruangan ku---hm, sepertinya beliau meminta para manajer dan juga pak Henry untuk makan malam bersama" jelas Lalisa. "Ya! pak Bata juga mengatakan hal yang sama pada ku tadi" balas Henry bersamaan dengan pintu lift yang sudah terbuka. "Kamu datang, kan?" ucap Henry sebelum Lalisa keluar dari lift tersebut. "Iya, pak" balas Lalisa singkat dan berpamitan lebih dulu pada Henry. Lalisa melajukan mobilnya meninggalkan gedung parkir kantornya menuju rumah sakit milik Sheril kakak Yeri. *****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
92.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook