bc

SANG AJUDAN

book_age16+
958
FOLLOW
4.9K
READ
revenge
sweet
lighthearted
serious
expert
realistic earth
crime
war
intersex
like
intro-logo
Blurb

Bagi Satria Tegar Pradipta, tugas sebagai abdinegara adalah sebuah kehormatan. Untuk itu, Satria berusaha menjaga kehormatan atas tugasnya dengan segenap hati dan jiwa hingga mampu membuat Satria bertaruh nyawa. Bagi Satria, menjadi tentara bukanlah sebuah pilihan, menjadi tentara juga bukanlah hanya sebuah pekerjaan semata, tetapi tentara adalah sebuah kecintaan dan pengabdian terhadap bangsa dan negara.

“Saya akan mengabdikan diri pada Bangsa dan Negara ini hingga titik darah penghabisan. Saya seorang tentara yang dengan suka rela menjadi garda terdepan benteng pertahanan negara. Menandatangani kontrak mati dengan bangsa, negara, dan Tuhan. Kontrak yang akan terpatri menjadi sebuah kehormatan dan kebanggaan.” ~ Satria Tegar Pradipta.

______________________

“Menurut ramalan, pangkatmu Cuma sampai Kapten, sekarang kamu sudah Letnan Satu, hati-hati dalam bertugas. Situasi sekarang sedang tidak baik-baik saja,” ucap Adit, senior sekaligus kakak asuh Satria saat masih sama-sama mengenyam pendidikan di Akademi Militer, Magelang. Ramalan iseng yang dilakukan kala itu saat masih menjadi taruna rupanya masih diingat dengan jelas oleh Adit. Satria menatap Adit lalu terkekeh geli seraya memasukkan pistol ke dalam sarungnya dan membenarkan jas hitam yang melekat di tubuh tegapnya.

“Jangan tertawa, saya serius,” ucap Adit kemudian. Satria kembali terseyum lebar seraya menatap Adit.

“Nggak usah khawatir, Bang. Sejak pertama saya jadi tentara, saya tahu apa resiko dari semua ini. Saya sudah bertekad untuk mengabdikan diri pada bangsa dan negara ini. Tidak apa-apa, saya ikhlas.” (*)

chap-preview
Free preview
Sang Ajudan | Bab 1
“Selamat malam, terimakasih atas kehadiran saudara sekalian dalam rapat koordinasi ini, saya Kolonel Yoga selaku Komandan Operasi Pusat Komando yang ditunjuk oleh Bapak Jendral Jordan Sangkara selaku Panglima TNI untuk memberikan tugas pada perwira terbaik. Saya sudah memeriksa latar belakang kalian sejak pertama kali kalian masuk dan bergabung dalam Akademi Militer di Magelang. Kapten Adit, selaku Komandan Kompi Satuan Sandi Yudha telah beberapa kali melaksanakan tugas penyusupan dan sabotase pada beberapa operasi pemberantasan kelompok separatis bersenjata di beberapa daerah di negeri ini. Saya sudah tidak meragukan lagi kemampuan kamu, Kapten. Sementara itu, Letda Satria Tegar Pradipta yang berasal dari Korps Zeni Tempur yang berhasil menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer sebagai lulusan terbaik, dalam tugas di Bukit Barisan juga memiliki prestasi yang menonjol, terlebih saat menjadi komandan pleton pembebasan sandera di Pulau We, teknik sabotase pada alat komunikasi musuh benar-benar membuat kami takjub. Dengan melihat latar belakang anda berdua, untuk itu, saya selaku Komandan Operasi Clandestine Mawar Hitam memberikan tugas khusus pada anda berdua.” Kolonel Yoga menjeda kalimatnya sejenak untuk membuka file dari laptop yang ia bawa. “Operasi Clandestin kali ini menitik beratkan pada sebuah laporan dari intelejen kita yang berada di Lapangan mengenai sebuah kelompok separatis bersenjata yang memiliki camp pelatihan mirip dengan camp pelatihan militer TNI kita. Menurut informasi pula, pimpinan dari kelompok yang menamakan diri Mawar Hitam ini adalah seorang lulusan Akademi Militer, yang dikenal dengan nama Kolonel Guntur Pambudi. Dia seorang mantan pasukan khusus, dia tahu bagaimana strategi kita dalam menyerang, karena selama masih bertugas dia pernah memimpin pasukan khusus untuk melakukan penyusupan ke Pulau Tango guna membebaskan sandera dari para perompak pada masa itu. Kolonel Guntur ini, memiliki sense of defends yang baik selain kejutan serang yang tidak dapat dianggap remeh. Dia memiliki beberapa anak buah yang menjadi kepercayaannya yang juga merupakan mantan anggota yang melakukan desersi militer.” “Kalian berdua saya tugaskan untuk merapat ke Perbatasan dan melakukan penyamaran sebagai anggota relawan. Kalian berdua akan diberangkatkan bersamaan dengan dua puluh orang relawan yang berasal dari bidang kesehatan dan juga pendidikan. Kode sandi kalian adalah Krisan Putih. Saya akan membagikan identitas baru kalian sebagai seorang relawan. Dalam tugas ini, kalian tidak akan dipersenjatai, karena kalian merupakan bagian dari warga sipil biasa. Lakukan laporan rutin tentang apa yang kalian dapatkan dari pemantauan di lapangan. Kapten Adit akan menyampaikan laporan itu langsung pada saya. Apakah ada pertanyaan?” tanya Kolonel Yoga dengan netra yang menatap lurus kearah Adit dan Satria bergantian. “Siap, tidak!” jawab Adit dan Satria serentak. Kolonek Yoga nampak menganggukkan kepalanya. “Lakukan tugas dengan baik. Operasi Clandestine ini merupakan operasi rahasia, tidak ada pihak lain termasuk keluarga kalian yang boleh tahu tentang operasi ini. Kalian diijinkan untuk berpamitan kepada keluarga sebelum berangkat. Saya juga sangat berharap, kalian berdua menghapus identitas diri kalian di social media.” Setelah rapat koordinasi usai, akhirnya Adit dan Satria berjalan bersama menuju barak tempat mereka menghabiskan waktu selama berada di Asrama. Adit dan Satria mempersiapkan diri dan barang mereka masing-masing. Menanggalkan atribut kemiliteran mereka masing-masing. Satria yang telah selesai berkemas segera mengambil ponsel pintar yang ia letakkan diatas meja nakas. Nomor yang pertama kali ia hubungi adalah nomor telepo sang Bunda. “Halo, Bun, lagi apa?” tanya Satria seraya tersenyum kecil saat mendengar suara khas sang Bunda dari ujung teleponnya. “Ya ampun, Satria, mimpi apa Bunda semalam ditelepon sama anak laki-laki Bunda satu satunya. Bunda baru saja bangun mau masak untuk sarapan. Kamu gimana, Nak, sehat?” tanya Bunda. Satria tersenyum. “Sehat, Bun. Berkat doa Bunda dan semua yang ada dirumah. Oya, Satria mau kasih Bunda kabar kalau Satria ada pendidikan lagi di Bogor.” Ucap Satria. Tugas negaranya mengharuskan dirinya melakukan sesuatu yang sangat ia benci, berbohong. Satria bisa berbohong dengan yang lainnya, namun tidak demikian dengan Bunda. “Lakukan tugasmu dengan baik, Satria. Doa Bunda selalu menyertaimu,” ucap Bunda lembut namun terdengar suara yang bergetar dar ujung sana. Satria membulatkan manik matanya. “Satria—“ “Tenang saja, Bunda tahu apa yang akan kamu lakukan kedepan, Tugas negaramu seperti apa Bunda sudah sangat hapal. Almarhum ayahmu dulu juga melakukan hal yang sama. Jaga nyawamu, Satria. Pulanglah dengan selamat,” ucap Bunda. Satria tersenyum dengan airmata yang mengambang di pelupuk matanya. Tidak dapat dipungkiri Satria sangat merindukan Bunda dan juga Asya, adik perempuannya. “Maaf sudah hampir dua tahun ini, Satria masih belum bisa pulang, Bunda,” ucap Satria lirih. “Bunda mengerti, Nak. Saat kamu dinyatakan lolos dan menempuh pendidikan sebagai abdi negara, Bunda sudah menyerahkan kamu pada Negara. Karena sekarang baktimu tidak lagi untuk Bunda, tapi untuk negara. Lakukan yang terbaik, nak,” ucap Bunra. Satria terdiam sejenak, ia nampak menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengakhiri panggilan suaranya dengan sang Bunda. Satria berjalan kembali ke dalam barak dan menghampiri atasan sekaligus seniornya, Kapten Adit. Satria berdiri tepat disamping almari pakaian dan bersedekap disana. Netranya terus memindai Adit yang masih asyik bertelepon ria dengan seseorang. “Sudah dulu ya, Sayang. Kalau ada kesempatan lagi nanti Abang telepon lagi. Ada monyet nih nangkring di deket kamar Abang,” ucap Adit sebelum mengakhiri panggilan vidionya. Satria tersenyum tipis seraya netranya menatap Adit dengan tatapan menggoda. “Pacar baru lagi, Bang?” goda Satria. Adit mendongak sembari menganggukkan kepalanya. “Bukan pacar, tapi calon istri,” jawab Adit membenarkan. Satria membulatkan manik matanya, terkejut dengan penuturan Adit. “Yang kemarin juga bilangnya calon istri tapi akhirnya bubar juga,”ledek Satria. Adit terbahak ditempatnya lalu memukul lengan Satria. “Yang dulu ditikung orang. Kita lagi pendidikan, nggak bisa pegang ponsel untuk alat komunikasi, macam ilang ditelan bumi, niat hati pengen kasih kejutan setelah selesai pendidikan ee malah gue yang kena prank! Dia udah tunangan sama lelaki lain. Gue ini setia, Sat!” ujar Adit. “Iya setia, setiap tikungan ada,” ledek Satria. Adit menatap tajam kearah Satria yag masih saja mengejeknya sebelum pukulan keras melayang diperut pemuda gagah itu. “Kamu sudah telpon keluarga?” tanya Adit kemudian. Satria mengangguk sembari mengelus perutnya yang masih terasa kebas akibat pukulan Adit barusan. “Telpon Bunda, Bang,” jawab Satria. Adit mengangguk, Satria memang sangat cinta pada keluarganya, maklum saja, Satria adalah anak tertua sekaligus anak laki-laki satu-satunya di dalam keluarganya. Setelah ayahnya gugur dimedan tugas, Satria memegang tanggungjawab penuh sebagai pengganti sang Ayah. “Kamu apa tidak kasihan pada Ibu dan juga adik perempuanmu saat memutuskan jadi tentara? Meninggalkan mereka dan pergi ke medan tugas yang bisa saja merenggut nyawamu kapan saja. Kenapa milih jadi tentara? Kamu itu cerdas, Sat, saya yakin kamu bahkan bisa lolos tes kedokteran kalau mau,” ucap Adit. Kini mereka berdua sedang duduk di selaran Barak, menunggu waktu apel pagi yang akan berlangsung beberapa menit kedepan. Mendengar pertanyaan Adit, Satria hanya tertawa. “Sejak kecil saya sudah kepengen jadi tentara, Bang. Saat mendengar ayah gugur dimedan tugas, bukannya membuat saya patah semangat, tapi justru bersemangat untuk meneruskan perjuangan Ayah mengabdikan diri pada negara. Awalnya, Bunda juga tidak mengijinkan. Beliau menangis setiap malam selama tiga hari berturut turut, lebih rajin berdoa dan memohon agar saya tidak meneruskan jejak Ayah. Tapi tekad saya sudah bulat dan ada disatu momen, saat saya lolos masuk Akademi Militer, Ibu berkata bahwa dia ikhlas melepaskan saya menjadi milik negara. Dari situ, saya betul-betul merasakan restu Ibu yang sebenarnya. Makanya, saya tidak ingin mengecewakan beliau, Bang,” ucap Satria. Adit menatap nanar kearah Satria, ada seutas senyum yang terbit di wajahnya saat melihat Satria. Sosok pemuda yang memiliki semangat dan jiwa pengabdian yang besar pada negaranya. “Dalam tugas kali ini, kamu adalah tanggungjawab saya, apapun yang akan kita lakukan disana, langkah yang akan kita jalankan, semua atas komando saya. Ini bukan tugas penyusupan yang pertama bagi saya, tapi bagi kamu, ini adalah yang pertama. Jangan sampai tugas ini menjadi tugas terakhirmu karena kita abai. Paham?” “Siap, paham, Bang. Mohon petunjuknya, Bang,” ucap Satria tegas. Adit mengangguk dan menepuk bahu Satria sebagai dua kali. “Lakukan semua sesuai perintah dan kita harus bisa berbaur secara natural dengan masyarakat. Saya yakin ini tidak terlalu sulit untuk kamu karena kamu orang yang mudah bergaul dan ramah. Pahami peranmu. Kalau begitu lebih baik kita bersiap-siap, setelah Apel pagi, kita akan segera berangkat menuju Lanud Halim Perdanakusuma untuk bergabung dengan relawan yang lainnya dan segera berangkat ke lokasi,” ucap Adit yang segera beranjak dari tempatnya. Satria menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengambil pakaian yang akan ia kenakan nanti. Meletakkan semua barang pribadinya di dalam almari barak termasuk juga dogtag dan identitas asli lainnya. “Kalian akan berangkat menggunakan pesawat Hercules milik TNI AU bersama dengan dua puluh orang relawan yang lain dan enam puluh prajurit yang bersiap melaksanakan satuan tugas di Perbatasan. Saya dapat pastikan jika diantara prajurit tersebut tidak ada satupun yang mengenali kalian sebagai anggota. Jadi berperanlah sesuai dengan tugas kalian masing-masing. Kapten Aditya Saputra sebagai Johan dan Letda Satria Tegar Pradipta sebagai Ali. Jaga nyawa kalian dan selamat bertugas!”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

PLAYDATE

read
118.7K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.6K
bc

Menantu Dewa Naga

read
176.9K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
624.2K
bc

Marriage Aggreement

read
80.8K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.4K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook