bc

Jodohku (Bukan) Duda!

book_age18+
71
FOLLOW
1K
READ
playboy
goodgirl
drama
sweet
female lead
city
highschool
realistic earth
cheating
friendship
like
intro-logo
Blurb

Narnia Sanjaya seorang Freelancer (22 tahun) senang dengan status lajangnya. Hidupnya tidak pernah semenyedihkan tahun ini sebelum-sebelumnya. Setelah tren menikah menyebar bagai virus hidupnya berubah drastis seperti pemukiman diterjang badai.

Pertanyaan kapan menikah dan keraguan para tetangga tentang orientasi seksualnya melukai batin hingga Narnia tak dapat menikmati hidupnya lagi. Sebuah tekad gila membawa Narnia pada pencarian jodohnya.

Narnia memulai pencariannya dari media sosial.

Suatu hari, Narnia mengalami kecelakaan. Dia justru tak sengaja bertemu dengan seorang pria bernama Zayn yang baru saja pindah ke Jakarta. Mereka mulai dekat dan saat itu Narnia baru tahu bahwa pria itu adalah duda.

Apakah Narnia rela mengkahiri masa lajangnya dan menikah dengan seorang duda agar terhindar dari pertanyaan dan keraguan tetangga-tetanggannya tentang orientasi seksualnya atau dia tetap memilih dengan jalan hidupnya yang sekarang?

chap-preview
Free preview
EPISODE| 1|| Orientasi Seksual
Lampu warna-warni terpasang di setiap sudut ruangan bernuansa putih. Kalau saja ini pesta ulang tahun bocah lima tahun. Semua lampu yang ada di tempat ini pasti seperti pelangi. Nuansa elegan di mana-mana. Pesta pernikahan ini membuat semua tamu undangan terkagum-kagum. Aku tidak heran. Arnita dan keluarganya mengeluarkan biaya ratusan juta untuk ini. "Narnia," panggil ibuku dari sudut lain sembari melambaikan tangan. Aku terpaksa mendekat di keramaian yang berada di sekitarnya. "Bisakah kamu mengajak William mengobrol? Dia sendirian di sudut ruangan sejak tadi." Kami memperhatikan pria berpakaian jas hitam itu. Di sudut ruangan tanpa teman dan setiap detik memperbaiki kacamatnya. "Apakah mungkin dua orang seperti kami bisa mengobrol? Maksudku, Ibu tahu aku seperti apa dan William terlalu pemalu untuk memulai obrolan." Sejujurnya, aku tidak cukup baik mengobrol dengan lawan jenis. Apalagi William juga tidak jauh berbeda jauh dariku. "Apakah kamu tidak mau membangun jiwa sosialmu? Lagi pula, William anak baik. Dia menyenangkan dan tidak akan macam-macam. Ibu merasa tidak enak kepada orang tu William kalau kau seperti ini." "Mengapa seolah-olah salahku? Maksudu, aku tidak punya kewajiban harus mengajaknya berbicara," sahutku pada wanita berpakaian gaun putih ini. Ibuku terlihat cantik dengan gaun pesta. Dia pasti sudah mendapat banyak komentar dari Ayah yang sekarang sedang berbincang dengan para tamu yang lain. Setelah penolakan itu. Ibuku tidak menawari lagi. Aku sangat anti berbicara dengan lawan jenis kecuali memang mendesak. Sekarang, aku ingin menikmati pesta ini. Walaupun membenci pernikahan setidaknya ada sisi baik dari pesta ini. Banyak makanan! Di dunia ini apakah ada yang tidak suka pesta? Maksudku benar-benar tidak suka pesta dan segala hal yang berbau pesta? Seperti dentuman musiknya, aroma-aroma makanan yang berbaur dengan aroma parfum para tamu undangan serta keributan dari setiap mulut manusia. Kurasa, pesta adalah salah satu hal yang sulit untuk tidak disukai. Ada banyak alasan mengapa pesta itu selalu menyenangkan. Aku tidak ingin pulang sebelum mencicipi kue brownis cokelat yang sejak tadi menggugah seleraku. Sayangnya, ada seorang pria tampan di sana. Aku canggung jika harus berdekatan dengan pria asing. Padahal mereka tidak menggangguku. Entah penyakit macam apa yang kuderita ini. Aku setengah berlari menuju meja di mana brownis itu berada. Tentunya setelah pria dengan rambut pirang dan kulit putih itu pergi dari sana sembari membawa segelas minuman bewarna merah. Kontras sekali dengan gaunku bewarna putih. Setelah mendapatkan satu potong aku mengamati sekitar. Oh, tentu tidak ada yang memperhatikan. Aku sendirian di sini. Maksudku, siapa yang peduli denganku? Semua sibuk dengan dunia masing-masing. Kurasa karena rumor aku memiliki masalah pada orientasi seksualku. Tidak satupun pria mendekat. Aku juga menjaga jarak. Ada alasan mengapa aku menyendiri di tengah keramaian ini. Hatiku tidak baik-baik saja, sudah panas dan aku takut mesinnya malah rusak. Seputar jodoh adalah topik yang membuatku muak. Dan aku mendengarnya hampir setiap detik. Di Indonesia usia 22 tahun dan masih melajang itu seperti memalukan bagi perempuan. Aku tidak tahu sejak kapan pemikiran itu ada. Seorang Narnia Sanjaya dan ketakutannya pada kata Jodoh serta Pernikahan. Itu bagus untuk sebuah judul film atau buku. Sepupuku Arnita …, dia mungkin satu dari ratusan persen orang yang beruntung. Dia baru saja lulus Sekolah Menengah Atas, lalu beberapa bulan setelahnya seorang pria berkuda besi datang untuk melamarnya. Mendengarnya saja membuatku menghela napas lelah. Sedikit merasa iri, tapi bisa apa selain hanya menggigit jari? Di salah satu kursi aku duduk sembari memandangi satu pasangan yang sedang berbahagia itu. Kue brownisku sudah habis. Kalau saja senyum Arnita adalah pewarna pakaian, kurasa itu cocok untuk mewarnai pakaian hingga ratusan tahun. Tidak pudar sejak tadi. Kalau aku tidak salah, terakhir kali merasa berdebar karena jatuh cinta adalah saat aku menginjak SMP. Kisahnya pun agak memilukan kalau harus diceritakan. Aku masih sendirian di salah satu meja yang penuh oleh makanan. Beberapa kali pasangan lewat di depanku, pria tampan dan wanita cantik. Aku menurunkan kedua bahuku, menundukkan kepala. Pesta memang selalu menyenangkan, tapi jika datang dengan seseorang atau setidaknya kamu punya teman. "Narnia!" Aku yang memang sedang fokus mendengarkan jika ada seseorang yang memanggilku segera mengedarkan pandangan. Sepertinya, aku cukup familiar dengan suara di tengah keramaian itu. Hingga aku menoleh pada seseorang yang sudah berdiri di sampingku. "Susanti?!" seruku setelah beberapa detik mengerutkan kening mencoba mengingat-ingat. Aku menunjuk perempuan yang kini berdiri di hadapanku dengan senyum ala-ala cengiran kuda. Susanti mengulas senyum lebar, memeluk-ku saat itu juga. Sudah lama kami tidak bertemu sejak Susanti pindah rumah saat Sekolah Menengah Atas dulu. Kedatangannya seketika membawaku pada ingatan masa Sekolah Dasar dulu. Kami berteman akrab, satu kelas dan menghabiskan waktu bersama. Cukup panjang ceritanya dan satu fakta lainnya adalah dulu aku cukup populer. Masalahnya, apa pentingnya populer saat Sekolah Dasar? "Kuperhatikan sejak tadi, kamu sendirian saja. Di mana teman pestamu?” Aku punya dua sahabat. Tidak benar-benar kesepian. Kueny dan Tiana adalah sahabatku sejak Sekolah Dasar dan mereka sedang sibuk mengurus tugas kuliahnya. Aku hendak membantu, tapi aku tak punya pengalaman banyak dalam dunia perkuliahan, aku memilih tidak lanjut sekolah untuk beberapa waktu. "Aku datang bersama keluarga,”jawabku antusias menunjuk gerombolan keluargaku yang sedang membantu orang tua Arnita menyambut para tamu yang berdatangan. “Kupikir kamu sudah tahu kalau Arnita adalah sepupuku?” Dia mengibaskan tangan. "Maksudku, kamu datang sendirian? Tidak bawa pasangan?" Susanti terkekeh, sengaja meledek-ku sepertinya. “Aku tahu kamu sepupuan sama Arnita tapi teman yang kumaksud itu pasangan kamu, di mana?” Aku menghela napas pelan. Tentu saja Susanti hanya bertanya dan dia tak salah dengan itu. Aku saja yang mengambil serius atas pertanyaannya. Susanti sudah menikah. Dia juga sudah punya anak. Hampir setiap hari momen bersama keluarganya diunggah di media sosialnya. "Ini sendalku sepasang!" Susanti melirik kesal. "Serius! Sampai kapan kamu sendirian terus atau jangan-jangan kamu belum bisa melupakan Zack?! " serunya menebak-nebak. What?! Aku melotot lebar. "Tidak! Ada-ada saja. Itu kisah cinta masalalu. Lagi pula kamu tahu bagaimana hubunganku dengan Zack dimulai. Dia selingkuhanku dan tidak benar-benar menempati ruang di hatiku. Oh dan satu lagi, itu kisah saat sekolah dasar. Aku bahkan tidak mengingatnya kalau kamu tidak bilang malam ini." Dia mengangguk, tetapi ada senyum menggoda di wajahnya. "Omong-omong, kemana anakmu? Di media sosial kamu selalu terlihat membawa ekormu itu, hahaha!" "Dia bersama ayahnya. Aku penasaran, apakah kamu tidak cemburu melihat orang menikah? Kamu pasti sudah tahu banyak teman kita yang sudah menikah." Aku tersenyum tipis. Menghela napas pelan. "Kalau kamu mau, aku bisa mengenalkanmu dengan seseorang," tawarnya tiba-tiba hampir membuatku tersedak air liur sendiri. Dengan cepat aku menggeleng. Tidak, kurasa untuk hal semacam ini aku tidak butuh belas kasihan. Gengsiku cukup tinggi dan akan lebih baik jika aku menemukannya atas hasil dari pencarian sendiri. "Ayolah ... tenang saja, aku tahu kriteria laki-laki pilihanmu." Iya, 14 tahun yang lalu kamu tahu. Ayolah jodoh bukan oksigen. Aku masih bisa bernapas meski menyesakkan. Aku tetap menggeleng. "Kurasa untuk saat ini tidak dulu." Aku mengerutkan wajah, menolaknya. "Apa sih yang kamu tunggu atau jangan-jangan rumor soal kamu betul ya? Banyak yang bilang orientasi seksual kamu menyimpang? Apakah betul kamu menyukai adik kelas SMA mu dulu?" Mataku melotot lebar. “What?!!” Enak sekali ibu satu ini berbicara. Lagi pula, kenapa rumor itu bisa sampai ke telinga Susanti?!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.4K
bc

My Secret Little Wife

read
93.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook