bc

Antara Wati, Wengi dan Rahasia Dusun Karang Anyes

book_age18+
7.6K
FOLLOW
61.2K
READ
family
second chance
friends to lovers
goodgirl
drama
sweet
mystery
childhood crush
first love
secrets
like
intro-logo
Blurb

Sudah ribuan kali aku menyuruhnya untuk tidak lagi menungguku, sudah lelah aku menyuruhnya diam di rumah tanpa mencariku. Namun, rasa sayangnya kepadaku yang teramat besar membuatnya sangat takut kehilanganku, tidak mau meninggalkanku sedetik pun.

Ibunya Gila!

Anak orang gila!

Dasar gila!

Anak e wong edan ya melu edan!

(anaknya orang gila pasti ikutan gila)

Pernahkah mereka berpikir bahwa Aku tidak pernah meminta terlahir dari rahim seorang ibu yang gila.

Aku menjerit, aku berlari, aku menolak dan tidak menganggapnya pun percuma.

Pada kenyataannya,

Dia yang kau sebut gila,

Dia yang kau hinakan karena gila,

Dia yang terbuang karena dianggap gila,

Dia yang kalian kucilkan karena gila,

Dia tetap Ibuku, darahnya mengalir di tubuhku.

Percuma aku berlari, percuma aku membenci, percuma aku memaki, percuma aku tak mengakui,

Dia tetap ibuku.

Ibu Istimewa,

Meski seluruh dunia memanggilnya, Gila.

Surgaku tetap berada di bawah telapak kakinya.

Wengi Kusuma, usiaku baru menginjak sembilan belas tahun, tapi perihnya hidup seolah bayangan yang menyatu dengan jalan kehidupanku.

chap-preview
Free preview
Ibu Istimewa
Wengi POV Dari jauh aku bisa melihat wanita yang kupanggil Ibu, sedang duduk di bawah pohon mangga yang terletak tidak jauh dari gerbang sekolah, di lehernya tergantung botol-botol air mineral yang diikat tali rafia seolah kalung emas baginya. Mulutnya terkadang menceracau tidak jelas entah apa yang diucapkannya. Di tangannya tergenggam sebuah botol air mineral. Setiap hari, dia selalu menungguku di bawah pohon mangga itu. Meski panas dan hujan, tidak pernah sehari pun dia lewatkan, dia akan selalu ingat dan datang untuk menjemputku Sudah ribuan kali aku menyuruhnya untuk tidak lagi menungguku, sudah lelah aku menyuruhnya diam di rumah tanpa mencariku. Namun, rasa sayangnya kepadaku yang teramat besar membuatnya sangat takut kehilanganku, tidak mau meninggalkanku sedetik pun. Ibunya Gila! Anak orang gila! Dasar gila! Anak e wong edan ya melu edan! (anaknya orang gila pasti ikutan gila) Pernahkah mereka berpikir bahwa Aku tidak pernah meminta terlahir dari rahim seorang ibu yang gila. Aku menjerit, aku berlari, aku menolak dan tidak menganggapnya pun percuma. Pada kenyataannya, Dia yang kau sebut gila, Dia yang kau hinakan karena gila, Dia yang terbuang karena dianggap gila, Dia yang kalian kucilkan karena  gila, Dia tetap Ibuku, darahnya mengalir di tubuhku.   Percuma aku berlari, percuma aku membenci, percuma aku memaki, percuma aku tak mengakui, Dia tetap ibuku. Ibu Istimewa, Meski seluruh dunia memanggilnya, Gila. Surgaku tetap berada di bawah telapak kakinya. Wengi Kusuma, usiaku baru menginjak sembilan belas tahun, tapi perihnya hidup seolah bayangan yang menyatu dengan jalan kehidupanku. Kini setiap hari Senin sampai Jumat aku menjadi penjaga koperasi sekolah. Atas kebaikan kepala sekolah dan para guru, aku diijinkan bekerja disini. Meskipun itu berarti di depan gerbang sekolah mereka pasti ada orang gila yang tidak akan mau pergi menjauh ketika jam pulang sekolah sudah hampir tiba. Mau tidak mau, terima tidak terima, sekarang semua guru dan siswa di sekolah ini tahu bahwa, orang gila itu ibuku, Saraswati. Tetangga dan orang yang mengenal ibuku memanggilnya, Wati. Sekolah sudah lengang karena setengah jam yang lalu bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Setelah mengunci koperasi sekolah, aku berpamitan pada beberapa guru yang masih ada di ruangan. "Wengi, ini ada nasi buat ibu ya." Ibu Gina menyerahkan satu kotak nasi dan snack yang sudah dimasukan ke dalam plastik kresek hitam. "Terima kasih, Bu. Wengi pamit ya, Assalamualaikum." Aku keluar dari ruangan guru dengan senyum bahagia. Ibu pasti sangat senang menerima ini. Guru-guru di sini begitu menyayangiku. Hampir setiap hari selalu ada guru yang memberikan buah tangan yang bisa aku bawa pulang untuk Ibu. Aku melangkahkan kaki mendekati Ibu yang sudah tersenyum bahagia kala dia melihatku berjalan ke arahnya. "Wengi, minum Wengi." Dia menyodorkan air mineral ke arahku. Aku menerimanya dan ku cium punggung tangannya, sekilas aku rasakan tangannya mengusap kepalaku yang tertutup hijab. Meskipun tidak merasa haus, ku teguk sedikit air dari botol tersebut, hanya untuk menyenangkan hati ibu. "Terima kasih ibu, Yuk kita pulang," ajakku. Aku menuntunnya ke arah sepeda mini berwarna merah putih yang kudapatkan dari salah satu guru SMP saat akan melanjutkan sekolah ke SMK ini "Ini dicopot ya, Bu." Aku melepaskan kalung botol air mineral yang tergantung di leher jenjangnya. Dia mengangguk meski terlihat tidak rela saat aku membuang botol-botol itu ke tempat sampah. "Nanti Wengi belikan kalung yang bagus buat Ibu," janjiku membuatnya kembali tersenyum dan mendongak menatapku. "Wengi beli kalung buat Ibu? Ibu sayang Wengi." Dia memelukku. Aku balas memeluknya erat. Aku juga sangat menyayanginya. Aku ingin membuatnya bahagia meski orang lain menghinakannya. Aku ingin membayar semua kesalahanku yang dulu tidak pernah memperdulikannya. Dulu, aku sering berteriak nyaring di depannya. Tak jarang aku terus memakinya. Bagaimana tidak, dia selalu menungguku di depan gerbang sekolah sejak aku duduk di sekolah dasar. Dia selalu mengikuti kemanapun aku pergi hingga aku selalu menjadi bahan ejekan dan olok-olokan teman-temanku.  Sebenarnya, aku tak tega ketika teman-temanku meneriakinya gila, tetapi aku tak punya nyali membelanya. Bahkan, aku pernah sangat membenci ibu ketika hampir seluruh teman sekelasku enggan satu kelompok belajar denganku, hanya karena aku anak orang gila. Hingga suatu hari aku dipertemukan dengan Bunda Lusi. Lusiana nama lengkapnya, dia guru bahasa Indonesia baru di SMK tempatku menuntut ilmu. Ibu Lusi menyadarkanku, betapa aku sangat berarti buat ibuku.oleh sebab itu, dukungan dari aku, orang yang paling dia sayang yang bisa memulihkannya. Ibu Lusi adalah sahabat masa kecil ibu ketika penyakit mental belum melekat pada jiwanya. "Ibu naik ya, pegangan, jangan dilepaskan!" perintahku pada Ibu dengan intonasi dan nada suara seperti guru taman kanak-kanak yang sedang mengajari murid mereka. Ibuku mengangguk, dia naik ke boncengan sepeda. Kukayuh sepeda mini ini menuju arah pulang. Sepanjang perjalanan, aku mengajak ibu bernyanyi. Naik naik ke puncak gunung Tinggi-tinggi sekali Kiri kanan ku lihat saja banyak pohon Mangga. Lagu itu kami nyanyikan berkali-kali, jika pohon mangga yang dilihat ibuku maka dia akan menyebutkan pohon mangga diakhir lirik, begitu juga kalau dia melihat pohon pisang, maka lirik lagu itu berakhir dengan ‘banyak pohon pisang’. Biarlah orang-orang yang melihat kami menganggap kami gila. Aku sudah tidak lagi peduli dengan penilaian orang. Pada hakikatnya, kebahagiaan Ibu adalah ketika dia bisa menghabiskan hari-harinya tertawa bersamaku dan aku ingin selalu tertawa bersamanya. "Wengi es krim." Dia menunjuk pedagang es krim di seberang jalan. "Ibu mau es krim?"tanyaku. Aku menghentikan kayuhan sepedaku dan melihat ke arahnya. Dia menggeleng, "Wengi suka es krim." Aku tersenyum menanggapi kalimatnya. "Wengi sudah gede, Bu. Gak suka es krim lagi. Ini ada makanan dari Ibu Gina, nanti kita makan ya sampai rumah." Dia mengangguk tanda mengerti. Aku kembali mengayuh sepedaku, jarak dari sekolah ke rumahku di tempuh dengan sepuluh menit bersepeda santai. "Wati habis jemput Wengi?" sapa tetanggaku ketika aku membelokan sepeda ke arah gang yang menuju rumahku. "Iya jemput Wengi, Bi," jawab ibu. Aku tersenyum ke arah Bi Irah, pemilik rumah di ujung gang. Kini Ibu sudah mulai bisa merespon pertanyaan dan perintah. Dia tidak lagi sering mengamuk dan melempari orang-orang dengan kerikil atau batu seperti kata orang-orang saat aku  masih bayi. Sekarang, emosinya lebih terkontrol. Ibu Lusi bilang, cinta tulusku pada Ibu yang pada akhirnya akan mendatangkan kesembuhan buat beliau. Aku mengaminkan perkataan ibu Lusi, karena ibu adalah keluarga satu-satunya yang ku miliki setelah nenekku meninggal ketika aku kelas satu SMK. Kami hanya tinggal berdua di rumah sederhana peninggalan nenek.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
10.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
101.0K
bc

My Secret Little Wife

read
91.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
13.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook