bc

Timpang

book_age16+
657
FOLLOW
3.1K
READ
family
goodgirl
drama
comedy
sweet
bxg
office/work place
office lady
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

Spin Off Seistimewa Yogyakarta

Cerita mas Bonar Ardhiyasa dan mbak Safira Pramesti

Bonar dan Safira adalah dua orang yang di lahirkan sangat berbeda, dunia yang mereka lihat juga berbeda. Jika Safira lahir dari sendok emas keluarga, maka Bonar harus bekerja keras untuk menghidupi ibu dan adiknya. Jika Safira cantik dan bisa membuat pria manapun tunduk padanya, maka Bonar adalah pria kelebihan lemak yang berusaha keras memantaskan diri untuk di cintai.

Bonar harus melakukan banyak hal untuk sampai di titik menjadi pantas dan seimbang untuk bersanding dengan Safira, namun bisakah Bonar tetap memperjuangan cintanya ketika perbedaan di antaranya dan Safira semakin terlihat nyata? Bonar hanya memiliki dua pilihan, bertahan atau melepaskan.

Cover by: Camoondesign

chap-preview
Free preview
Bab 1: Bonar Vs Kuda Besi Kesayangan
*** Keluarga adalah gambaran sempurna untuk sebuah kebahagiaan yang begitu nyata *** Menjadi seorang karyawan di PT Maju Sukses adalah hal yang paling Bonar syukuri, dia bisa membantu Emak-nya untuk membayar uang sekolah adiknya yang kini sedang duduk di bangku perkuliahan dan juga di bangku SMA. Walau Bonar tidak bisa menikmati gajinya untuk dirinya sendiri sepenuhnya dan harus menekan semua pengeluarannya namun Bonar sangat bersyukur dia dan keluarganya masih bertahan sampai hari ini. “Nar nggak sarapan dulu?!” itu seruan Emak-nya ketika Bonar tepongoh-pongoh keluar dari kamarnya sembari menenteng sepatu pantofel berukuran besar itu, sebanding dengan tubuh Bonar yang tinggi besar bahkan perut buncit. “Sarapan, Mak, ini mau naruh sepatu dulu di depan,” jawab Bonar. Juleha hanya menggelengkan kepalanya melihat anak sulungnya itu namun dia sangat bersyukur memiliki anak seperti Bonar, walau Bonar makannya segentong, kursi plastik yang ada di meja makan harus di double supaya tidak patah ketika di duduki oleh Bonar, pria itu sangat banyak membantunya. “Enak, Fa?” tanya Bonar pada gadis yang sudah rapi dengan seragam SMA-nya, itu adalah adik perempuan Bonar, namanya Latifa Ardhiyasa. “Kalau gue bilang nggak enak juga pasti bagi lo tetap enak, Bang!” seru Latifa dengan sinis. Bonar langsung nyengir pada adik bontotnya. “Tahu aja lo, Dan nambah?” tanya Bonar pada adik laki-lakinya yang sudah rapi dengan kemeja, siap berangkat kuliah. Namanya Bondan Ardhiyasa, memiliki tubuh yang proposional karena Bondan adalah orang yang sangat pandai menjaga pola makan dan juga tidak malas olahraga seperti Bonar. Sejak awal prinsip hidup Bonar itu adalah makan sampai kenyang, sehat, dan memiliki pekerjaan menetap serta Emak, Bondan dan Latifa bahagia. Hanya itu saja sisanya Bonar tidak terlalu peduli apapun lagi bahkan terhadap berat badannya yang sudah sangat berlebihan. “Buat lo aja, Bang, biar tetap waras walau kerjaan menggunung,” ucap Bondan, walau dia terlihat sedikit ngeri melihat cara Bonar menyantap makanannya. “Emang adik paling pengertian kalian tuh, bangga gue!” seru Bonar cengengesan, pria itu sekarang sudah dua puluh lima tahun. “Bang, lo nggak ada niatan beli kemeja atau batik yang baru, udah beberapa tahun lo nggak kelihatan belanja, itu-itu mulu yang lo pakai?!” seru Latifa. “Ini di beliin emak Jule gue tercinta, jadi masih oke juga buat di pake, ya nggak, Mak?” tanya Bonar pada emak Juleha yang sedari tadi memperhatikan interaksi ketiga anaknya mengangguk pelan, Juleha benar-benar bersyukur ketiganya tumbuh dengan begitu baik dan saling mendukung satu sama lain. “Belanja sesekali, Nar, nikmati gaji, Emak bentar lagi juga gajian kali dan pengeluaran kita bulan ini nggak terlalu besar. Yang di bilang Latifa itu bener, baju lo itu-itu mulu, bosan pasti orang kantor lihat lo begitu-begitu aja mana itu kemeja udah kelihatan lusuh dan tipis banget,” ucap Juleha, menggunakan panggilan lo pada anak sudah sangat biasa bagi orang-orang di lingkungan mereka apalagi mereka sudah sejak lama menetap di Jakarta, Juleha juga orang Betawi asli. “Nanti deh, Mak, lagian masih oke sih, Rindu juga itu-itu mulu tuh bajunya,” jawab Bonar. Rindu Hafshayu, dia adalah sahabat karib Bonar di PT Maju Sukses. Orang-orang di meja makan itu hanya menggelengkan kepala. Mereka mengenal Rindu dengan baik karena terkadang gadis itu sering bergabung untuk makan malam di sini, terkadang juga lembur bersama Bonar atau hanya bermain saja. “Hari ini siapa yang mau gue antar?” tanya Bonar ketika mereka semua selesai dengan sarapan dan sekarang sedang kompak memakai sepatu. “Tifa, Bang, hari ini Tifa ada jadwal piket!” seru Latifa dengan cepat, gadis itu orang paling duluan yang selesai memakai sepatunya. Walau dia hanya akan kebagian sedikit tempat duduk di motor matic kesayangan Bonar yang sering kempes di tengah jalan karena tidak sanggup lagi menahan berat tubuh Bonar tapi itu jauh lebih baik, jarak rumah mereka ke halte cukup jauh dan Latifa akan capek duluan baru sampai di sana. “Oke!” seru Bonar. “Emak berangkat jam berapa?” tanya Bonar. “Ini udah mau berangkat, Emak sama Bondan jalan aja ke halte depan, masih cukup waktu kok, jadi lo nggak usah bolak-balik antar kita ke depan,” jawab Juleha, wanita itu mengunci pintu. Bonar langsung mengangguk dan menyalimi tangan Juleha yang di susul oleh Latifa kemudian mereka beranjak meninggalkan rumah untuk melanjutkan aktivitas mereka. *** “Bang, lo nggak niat punya pacar gitu? Udah dua puluh lima tahun hidup masa sekalipun lo belum pernah punya cewek?” tanya Latifa, gadis itu memegang erat-erat bahu Bonar, ngeri jatuh. Latifa benar-benar kebagian sedikit saja tempat duduk. Motor Beat milik Bonar terus melaju dengan pelan, kalau motor itu bisa berteriak nggak kuat mungkin sudah melakukannya sejak lama. “Ntar lah Fa mikirin begituan, yang penting lo sama Bondan kelar sekolah dulu itu udah bikin gue seneng banget, jadi bagian niat punya cewek, jelaslah gue niat, tapi itu bangian nanti aja,” jawab Bonar dengan begitu santai. Latifa menatap punggung lebar Bonar dengan nanar. Latifa sangat tahu kakak laki-lakinya ini sudah berjuang dengan keras sejak lulus kuliah hampir empat tahun yang lalu. Bonar memang orang yang sangat santai bahkan sama sekali tidak gila hormat pada adik-adiknya, bahkan terkesan tidak serius sama sekali, tapi Bonar adalah orang yang selalu memikirkan segalanya tentang mereka, pria itu nyaris tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. “Bang kalau Tifa lulus SMA nanti nggak usah kuliah juga nggak papa, Tifa cari kerja aja,” ucap Latifa, bertepatan di depan gembang sekolah Latifa. Gadis itu sekolah di salah satu SMA negeri yang ada di Jakarta. Bonar menatap Latifa dengan lekat, dia bahkan menggenggam bahu Latifa dengan kedua tangannya, “selagi Abang masih kerja, Latifa akan kuliah, jangan pernah mikir untuk nggak kuliah, nggak usah kasihan sama Abang, Fa. Abang kerja memang buat Tifa, buat Bondan dan juga buat Emak. Jadi yang harus Tifa lakukan adalah belajar dengan sebaik mungkin, syukur-syukur nanti bisa dapat beasiswa buat kuliah kan bangga banget, Abang, jadi tinggal kasih Tifa uang jajan aja,” ucap Bonar , pria itu terkekeh pelan, lalu mencubit pipi Latifa gemas. “Nggak usah masang wajah kayak gitu deh. Latifa mana wajah galaknya?!” seru Bonar mencoba menggoda Latifa, gadis itu langsung mendengus kemudian langsung menyalimi tangan Bonar. “Tifa masuk dulu, Abang hati-hati di jalan, cek ban motornya, Tifa rasa tadi agak goyang gitu, mungkin bannya kempes lagi,” ucap Latifa, Bonar langsung mengangkat jempolnya pada Latifa. Sepeninggal Latifa, Bonar mengecek ban motornya, pria itu menghembuskan napasnya berat, apa yang Latifa katakan memang benar, ban motornya kurang angin. Bonar mendorong motornya ke tukang angin yang tidak jauh dari sekolah Latifa. Tukang tambah angin yang sudah menjadi langganan Bonar sejak lama. “Kempes lagi, Nar?” tanya abang-abangnya. Bonar nyengir sembari mengangguk. “Kurusin badan dikit, Nar, makanya biar kuda besi kesayagan lo ini nggak enggap mulu, lama-lama turun berok ini motor lo!” seru tukang tambah angin, dia lebih tua dari Bonar sekitar satu tahu tahun. “Ini lagi usaha, ntar gue kurus lo pangling!” seru Bonar sambil terkekeh pelan, sembari fokus pada ban motornya. “Lagian lo udah tahu badan segede gentong tapi beli motor yang kayak begini, mana kuat Nar!” seru si tukang tambah angin. Mereka sudah terbiasa bercanda satu sama lain. Bonar nyengir. “Walau gue yakin dia engap banget, tapi gila, sayang banget gue sama ini motor walau beli bekas juga, gue beli pake gaji pertama gue nih!” seru Bonar dengan bangga, si tukang tambah angin hanya gelng-geleng kepala seolah sudah terbiasa dengan sikap Bonar . Setelah memastikan keadaan motornya membaik, Bonar kemudian melanjutkan perjalanannya menuju PT Maju Sukses. Tempat di mana dia bekerja. *** “Si kuda besi kesayangan lo bikin ulah lagi?” pertanyaan itu menyambut Bonar ketika dia mendorong pintu ruangan divisi keuangan PT Maju Sukses, di sana sudah ada Rindu Hafshayu yang duduk di kursi kerjanya dengan mata sembab namun terlihat berusaha keras fokus pada pekerjaan. Beberapa waktu terakhir Rindu memang memiliki banyak masalah, mulai dari di tinggal nikah oleh kekasihnya, kehilangan ibu untuk selama-lamanya dan sekarang entah masalah apalagi. Sungguh hidup memang seberat itu. “Biasalah, kayaknya gue memang harus rajin olahraga deh, Sistah, gue udah gendut banget ya?” tanya Bonar, dia juga duduk di kursi kerjanya yang ada di samping Rindu, menyalakan komputer lalu menatap Rindu dengan begitu lekat. Gadis itu tampak mendengus dengan mata sembabnya. “Lo bilang mau olahraga, mau diet itu udah dari jaman kita jadi karyawan magang ya, abang Bonar di perusahaan ini dan itu semua hanya hoax doang, alih-alih diet lo malah makan nasi padang dengan lauk double di rumah makan seberang kantor!” seru Rindu tidak santai. Bonar meringis pelan tapi apa yang di katakan oleh Rindu memang benar adanya sih. Bonar susah mengendalikan diri jika sudah ketemu makanan. “Kali ini gue seriusan deh, Sistah, diet, sungguh kalau kata Latifa, gue udah melebihi gentong!” seru Bonar. “Gue sulit percaya sih lo mampu menahan diri dari bau rendang, ayam gulai, bakso, mie ayam, soto pak Min dan sebagainya tapi semoga berhasil sih. Lagian ya, percuma lo akhir-akhir ini rajin nongkrong di Gym kantor kalau lo nggak ada niatan atur pola makan,” ucap Rindu. Bonar mengangguk-angguk kepalanya, emang benar sih tapi ya sudahlah makanan itu sungguh selalu berhasil menggoda iman Bonar yang sangat lemah. “Doian aja udah nasib timbangan gue. Tapi, btw, Sistah, kenapa lagi dengan mata lo kali ini? Masih ribut sama Berondong lo?” tanya Bonar. Dia dan Rindu itu memang sangat dekat sekali bahkan sudah seperti saudara. Bonar kemudian terpaku pada Rindu yang kembali diam. Bonar yakin sekali banyak hal yang mengganggu pikiran Rindu. “Jadi kenapa lo meninggalkan pesta sebelum waktunya malam itu?” Rindu tersentak kaget, Bonar menggeleng pelan melihat reaksi Rindu, gadis itu pasti baru saja sibuk dengan pikiriannya sendiri walau sedari tadi mata Rindu terpaku pada layar komputernya. Gadis itu kemudian memutar kursinya dan berhadapan dengan Bonar. “Gue ngantuk.” Bonar tekekeh mendengar jawaban Rindu yang menurutnya sangat konyol. “Lo bukan tipe orang yang gampang ngantuk ya, Ndu, apalagi di tengah keramaian kayak kemarin. Gue sempat ketemu sama Berondong lo tapi dia malah diam aja kayak orang linglung. Kalian baik-baik aja, kan?” tanya Bonar. Dia menatap Rindu dengan lekat. Gadis itu terlihat menggeleng, di antara mereka jarang sekali ada rahasia jadi sangat mudah bagi Bonar untuk menebak keadaan Rindu. “Gue punya kabar gembira dan kabar buruk buat lo,” ucap Rindu. Bonar menatap dua amplop yang baru saja Rindu ambil dari dalam tas. “Sebelah kanan adalah kabar baiknya dan sebelah kiri adalah kabar buruknya. Terserah lo mau buka yang mana dulu,” ucap Rindu. “Lo bikin gue deg-degan, b**o!” seru Bonar, pria itu menatap amplop di tangan Rindu dengan lekat. “Cepetan, ini kesempatan terakhir lo. Gue nggak akan mengatakan apa-apa lagi setelah ini,” ucap Rindu. Bonar buru-buru mengambil amplop di tangan kanan Rindu. “Gue harap isinya benar-benar kabar baik,” ucap Bonar, dia melihat senyum Rindu melebar. “Lo serius?!” seru Bonar dengan mata berbinar-binar. Pria itu bahkan berulang kali membaca isi amplop itu. “Akhirnya banget nggak sih, Nar?” tanya Rindu dengan senyum lebar. “Gila, lo benar-benar gila sih. Kapan lo daftarnya, ege? Kok lo nggak ajak-ajak gue?” tanya Bonar. Dia kembali melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop. “Udah lumayan lama sih dan gue nggak nyangka akan lolos dengan biaya siswa penuh,” ucap Rindu dengan mata yang berkilat penuh binar. “Jadi kapan lo berangkat ke Jogja?” tanya Bonar setelah mengembalikan amplop yang berisi surat pernyataan bahwa Rindu di terima di salah satu universitas terbaik di sana untuk melanjutkan S2-nya bahkan dengan beasiswa penuh. “Dua hari lagi. Gue sekalin mau ziarah ke makam bokap dan mengunjungi keluarga bokap yang ada di sana. Kuliah gue baru mulai bulan depan,” ucap Rindu. Bahu Bonar merosot ke bawah. “Dan amplop sebelah kiri lo—“ tanpa Bonar buka pun dia sudah tahu apa isi amplop itu. “Surat pengunduran diri.” Rindu menggoyangkan amplop yang berisi surat pengunduran dirinya. “Besok temenin gue main. Gue pasti akan kangen banget sama lo,” ucap Rindu. Bonar langsung menganggukkan kepalanya. Dia pasti akan sangat kesepian jika Rindu pergi meninggalkan PT Maju Sukses namun Bonar tidak bisa melakukan apapun lagi selain mendukung Rindu. Bonar juga bernjanji pada dirinya sendiri untuk melakukan yang terbaik untuk masa depannya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

My Secret Little Wife

read
92.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook