bc

STITCHES

book_age16+
639
FOLLOW
4.6K
READ
friends to lovers
CEO
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Lima tahun bekerja, ini saatnya untuk Alana mengundurkan diri. Memiliki boss arogan, yang sayangnya menjengkelkan, membuat kepala Alana pecah setiap kali mereka bertemu. Memutuskan untuk mengundurkan diri di usia muda, ide yang bagus.

Tetapi, kenapa boss kurang ajar itu menolaknya untuk resign? Hah!

chap-preview
Free preview
Satu
Alana memutar mata, menatap layar komputernya yang berisikan jadwal sang bos, Akira selama jangka tiga minggu ke depan sudah dia tulis dengan rapi dan apik, siap untuk dicetak dan dilaporkan. Dia melirik kertas di samping map. Surat pengunduran dirinya juga sudah siap dan dia tanda tangani dengan sepenuh hati. Sekarang, Alana yang berjiwa bebas akan kembali. Dia akan lepas dari bayang-bayang sekretaris si bos menyebalkan macam  Akira yang senang menyiksanya dengan segala aturan dan perintahnya. Senyum Alana melebar, membuat ruangan tim divisi umum yang berada di sebelahnya berisik dengan bisik-bisik menerka apa yang terjadi dengan sekretaris kesayangan si bos itu. "Dia gila?" Alana mengabaikannya. Walau ruangan mereka hanya dibatasi pintu kaca, dia masih mampu mendengar semua obrolan dengan jelas. Seakan semua panca indera-nya sudah mati, Alana tidak peduli dengan omongan tetangga, yang dimaksud disini adalah rekan sejawat, pegawai, bahkan makian dari si bos sendiri. Alana sudah sangat kebal. Dia berjalan, mengetuk pintu kayu itu dua kali dan bergegas masuk. Tanpa perlu ucapan dari sang bos di dalam. Sebagai sekretaris pribadi, Alana punya akses yang lebih bebas berkeliaran di sekitarnya. Akira mengangkat mata dari tabletnya, dia berdeham, bersandar pada kursinya dengan raut angkuh saat Alana menaruh dokumen di atas meja dengan senyum manis. "Itu jadwal untuk minggu depan," katanya. Akira mengambil dokumen itu dan melempar tabletnya. Alana menghembuskan napas panjang. Kalau-kalau dia harus mencari tablet baru untuk atasan yang ceroboh dan tak sayang barang itu. Akira membacanya dan dia mengangguk tipis. Alana kembali tersenyum. "Dan ini, surat pengunduran diriku." Bagai tersambar petir di siang hari, Akira mengernyit. Dia sepenuhnya menatap Alana yang masih memasang senyumnya dengan dokumen baru di atas meja. Surat pengunduran diri itu terlihat jelas di matanya. Akira mendengus, dia memutar kursinya menatap lekat-lekat sekretaris yang sudah bersamanya lima tahun itu. "Kau waras?" "Sangat waras, Tuan," jawab Alana, masih dengan senyuman. "Lima tahun, aku rasa sampai di sini kerjasama kita sebagai tim." Akira tidak percaya. Dia mendengus sekali lagi, membuka dokumen itu dan membaca lengkap isinya. Surat pengunduran diri itu benar-benar ditulis Alana di sana. "Untuk alasan apa?" Akira menutup dokumennya. Seolah mereka adalah musuh. "Kau terkena penyakit mematikan?" Alana mendengus. Senyumnya lenyap, tetapi sikap profesionalnya kembali mengambil alih. Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum separuh. "Untuk alasan pribadi, tentu saja." "Alasan pribadi?" Akira mendesis. "Apa itu?" "Alasan pribadi," Alana kembali mengulang. "Kau mengerti maksudnya, bukan? Pribadi, itu artinya privasi. Hanya aku yang tahu," Alana kembali tersenyum mendapati ekspresi masam Akira yang kental. "Aku sudah bilang pada pihak HRD, mereka akan membuka lowongan baru untuk posisi sekretaris dari dalam kantor, setelah itu baru membuka untuk publik." Akira melempar tatapannya ke jendela, dia melirik Alana yang masih berdiri membatu. Pikirannya melalang-buana mencari-cari apa letak kesalahannya pada sang sekretaris yang membuat dirinya amat bergantung selama lima tahun ini, tidak, mungkin selama tujuh tahun. "Kalau begitu, aku permisi," Alana membungkuk sebentar kemudian berbalik, langkah sepatunya menggema di ruangan Akira yang senyap bersamaan dengan napas pria itu yang semakin memberat. *** "Jadi?" "Jadi?" Alana mendesah panjang. "Aku sudah bilang pada pihak HRD sehari sebelumnya, malamnya aku membuat surat pengunduran diri setelah diterjang lembur yang tidak ada habisnya," dia bersungut sebal, meminum jus jeruknya dengan kasar. Manata Haru hanya terkekeh pelan. Di jam makan siang yang padat, mereka memilih tempat lain untuk menghindari gosip dari para karyawan 's Company. Mereka tentu akan bergosip tentang betapa tampan aduhai sang direktur utama yang mempesona, dan bagaimana kelainan disfungsi seksual yang sempat merebak menjadi topik panas nomor satu di kantor dan hampir terbit di media cetak, Alana harus bekerja ekstra untuk satu itu dengan pengacara muda handal yang merangkap menjadi sahabat sehidup semati sang bos,  Souma. "Oke, kita luruskan kesalahpahaman ini," Haru mulai serius. Saat ekspresi cemberut Alana benar-benar membuatnya tidak enak hati. "Usiamu dua puluh tujuh sekarang, kau bersama Akira sudah lima tahun," "Tujuh," "Oke, ralat, tujuh," Haru menggeleng. "Dua tahun tidak dihitung karena dia orang asing yang hampir bunuh diri di laut karena masalah pribadi, lima tahun kau bekerja untuknya." Alana memutar mata. "Aku mencintai pekerjaanku, hanya saja, aku ingin bebas. Aku punya uang, aku akan bersenang-senang." "Kau pintar!" Haru memekik gemas. Manata Haru bekerja untuk Shimura Steel, rekan bisnis Akira yang salah satu wakil pimpinannya adalah teman dekat pria itu. Alana mengenalnya saat pesta pria lima tahun lalu, Hiro adalah teman masa kecil Akira bersama Souma. Mereka ada di lingkup para keluarga kaya berdompet tebal. Tipe orang kaya lama yang muak dengan keangkuhan orang kaya baru. Berbeda dengannya, Haru menjabat sebagai kepala bagian divisi keuangan. Dia dan Hiro sering bersama di kala rapat dan laporan tiap minggu, tetapi Hiro menaruh hati padanya. Dan Haru memiliki trauma dengan masalah cinta. Sampai detik ini, cinta pria itu belum terbalaskan. Haru tidak memiliki masalah seksual, dia hanya memiliki ketakutan. "Kau bisa kembali ke rumah orang tuamu, bersenang-senang dengan uang mereka. Kau tahu siapa dirimu, kan? Kau putri konglomerat! Sialan, keluargamu punya tambang emas dan minyak," Haru berkata tak wajar, dia menatap Alana seolah ingin mencubit gemas gadis itu. "Itu yang terus menjadi alasan kenapa pegawai di Akira's Company selalu membicarakan dirimu." "Untuk apa gadis kaya bekerja, begitu?" Alana mendesah panjang. "Aku sudah mendengarnya berulang kali, dan aku bekerja karena—" "Keinginan Akira, iya? Sudahlah, lupakan saja. Kau sudah mengabdi dengan sepenuh hati. Sampai-sampai bank tidak mampu menampung uangmu karena terlalu banyak," Haru menyeringai. Alana mendengus tajam. "Kau berlebihan," "Heh, aku serius, i***t," ucap Haru. "Orang tuamu masih mengirimkan kau uang setiap bulannya. Membayar kartu kreditmu, membelikan mobil setiap keluaran model terbaru. Apalagi? Mereka hanya ingin kau pulang," Alana menunduk, pembahasan ini semakin membuat kepalanya meledak siap pecah. Dia dan Haru adalah sahabat dekat. Sejak menengah atas. Haru mendapat beasiswa karena keluarganya yang memiliki kesulitan ekonomi semenjak krisis keuangan dan pabrik konveksi mereka terbakar hebat saat Haru duduk di sekolah dasar. Ayahnya bekerja sebagai buruh kasar dan ibunya berdagang sayur, Haru mendapat beasiswa karena dia pintar. Sebagai anak tunggal, dia bertugas menggantikan tugas orang tuanya untuk membanting tulang menjadi tumpuan hidup mereka. Karena sekolah mereka adalah sekolah elit dan mahal, Haru tidak mampu membiayai diri sendiri di sana. Juga bergabung dengan para anak orang kaya yang gemar pamer dan merendahkan orang lain. "Ngomong-ngomong, makan siang kali ini, aku yang traktir," Haru mengangkat alis kanan dan kiri bergantian. Alana menatap piring daging panggang mereka dan tersenyum lebar. "Terima kasih karena menghemat pengeluaran makan siangku, cantik," goda Alana dan Haru hanya tertawa. *** Dan di sisi lain, para pria sama kemelutnya karena tingkah Akira yang tak biasa saat makan siang kali ini. Souma melirik Hiro yang sibuk dengan kue dan kopinya. Pria itu sama sekali tidak membantu Akira yang dilanda kekacauan layaknya gedung tingkat tinggi itu sehabis dilanda hujan meteor. "Kau kenapa?" Souma tidak bisa menahan diri untuk tetap diam di saat Akira hanya menunduk, menghembuskan napas kasar dan mendesis. Terus berulang kali sampai Souma malas menghitungnya. "Alana mengundurkan diri," Hiro terbatuk. Dia tersedak kuenya sendiri. "Apa? Alana?" Dia menatap Souma yang dibalas tatapan mencemooh pria itu. "Alasan pribadi," "Tidak bisa diterima," kilah Hiro. Dia menepuk meja dengan dengusan pendek. "Alasan pribadi? Dia keluar untuk menikah?" Akira mengernyit. Tidak terlintas sedikit pun dibenaknya tentang Alana yang mengundurkan diri karena menikah. Dia putri semata wayang dari  Group, bisa jadi itu terjadi. "Jaga bicaramu," Souma mendesis, menendang tulang kering Hiro yang meringis, melotot padanya. Souma kembali berpaling, menatap Akira dengan sorot tajam. "Lupakan ucapan pria bodoh ini. Alana tidak punya hubungan apa pun dan dengan siapa pun, kalian sudah bersama tujuh tahun, kau tidak mengenalnya dengan baik?" Akira terdiam. Dia benar-benar terdiam kali ini. Ucapan Souma ada benarnya. Alana menghabiskan waktu bersamanya. Lebih dari apa pun. Karena urusan pekerjaan, dia tidak punya waktu untuk dirinya sendiri. Bahkan berlibur saja dia habiskan untuk tidur di rumah selama satu hari penuh! Bagaimana bisa dia akan menikah? "Dia bosan denganmu," Hiro kembali berbicara. Souma memutar mata. Hiro terlalu mudah menyulut api yang siap meledak di d**a Akira. Pria ini sedang kalut dan kacau. "Bosan?" "Tujuh tahun, bukan?" Hiro berbicara. Dia tidak lagi tertarik dengan kopi s**u dan kuenya. "Alana menyelamatkanmu dari tragedi itu. Tragedi ingin menghabisi nyawamu sendiri, kau berhutang budi padanya. Lalu, kau menawarkan pekerjaan untuknya. Dia menerimanya. Apalagi?" Souma mengangguk. Dia melipat tangan di atas meja. "Dia punya banyak uang, Akira. Orang tuanya bukan main-main," kata Souma. "Tapi dengan kesederhanaannya, Alana bisa menjadi dirinya sendiri." "Sederhana?" Hiro memekik tak percaya. "Aku pernah mendengar Haru bicara tentang koleksi tas mahal Alana, mobil mewahnya yang berakhir di tangan orang lain karena dia menjualnya. Apartemen mewah kelas satu di jantung kota, kau bilang sederhana?" Souma berdecak sebal. "Gaji Alana jauh lebih tinggi dari pegawai lainnya. Tiga kali lipat, tentu dia bisa beli apa pun yang dia inginkan. Ditambah dia mendapat tunjangan kesehatan dan transportasi dari kantor." Akira mendengus. Menatap Souma dengan ekspresi datar. "Terakhir kali aku membelikannya mobil, dia menjualnya. Alasannya, mobil itu terlalu murah dari yang ayahnya belikan." Hiro menahan tawa dan Souma menggigit bibirnya. "Kau seharusnya memberikan supir juga," "Tidak terpikirkan," Hiro kembali berdeham. "Pada intinya, dia bosan denganmu. Tanpa bekerja pun, dia sudah hidup enak. Dia termasuk di lingkungan kita, para orang kaya lama yang tinggal mengeruk dan mempertahankan kekayaan sebelumnya. Tetapi Alana memilih jalan lain, kau tahu apa alasannya?" Akira menatap Hiro cukup lama. Pandangan itu menyapu lirih sorot mata Hiro yang mengerjap karena mendapati tatapan lain Akira. Kepala pria itu akhirnya menggeleng. "Sudah kuduga," ucap Hiro pelan. "Kalian berdua tidak mengerti diri kalian masing-masing. Alana hanya tau sisi lain dirimu, begitu sebaliknya." Akira menghembuskan napas panjang. Dan Souma terdiam cukup lama. Mereka masing-masing larut dalam pikiran sendiri sebelum kembali ke pekerjaan yang menumpuk. *** "Aku belikan kopi dan camilan," Alana kembali dari makan siangnya dan para pegawai divisi umum segera mengerubunginya bagai lalat, mengambil kopi mereka yang Alana belikan di kantin kantor. "Apa kau pergi ke kantin? Aku tidak melihatmu di sana," kata Hana saat dia mengambil kudapan manis yang Alana belikan. Alana tersenyum dengan gelengan kepala. "Aku pergi makan siang di aneka daging, dekat gedung Shimura Steel," jawab Alana. Dia mendekatkan wajahnya, mengedipkan mata. "Ada diskon dua puluh persen untuk setiap menu, aku mengejar diskon itu." Para pegawai divisi umum cemberut saat Alana melambai dan terkekeh. Berjalan menuju mejanya. Mereka menatap Alana dengan gelengan kepala. "Dia sudah kaya, dan masih mencari disTari? Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya." Alana menahan senyumnya saat dia kembali ke mejanya dan menyalakan komputer. Beberapa laporan balasan masuk dan dia harus mengeceknya. Ponselnya berdenting, Alana melihat nama Haru di sana. "Nanti malam aku datang ke apartemenmu untuk menginap." Alana membalasnya dan kembali larut dalam pekerjaan. Dia menatap jendela ruangan Akira yang terbuka. Pria itu sudah kembali dari jam makan siang lebih cepat darinya. Alana kembali berdiri, membawa dokumen yang selesai Hiro dia periksa dan mengetuk pintu. Akira melepas pandangannya dari layar ponselnya. Dia berulang kali mencari apa arti bosan itu sendiri. Ucapan Hiro ada benarnya, mereka bersama sejak tujuh tahun, tapi benarkah Alana bosan padanya? "Tentang kerjasama dengan Bank Tokyo, untuk pemetaan tanah dan rumah yang siap bangun," Alana menaruh map itu ke atas meja. Akira hanya meliriknya, tanpa minat. Alana mengangkat alisnya, suasana hati atasannya sedang buruk dan dia tidak tahu kenapa. "Maaf?" Alana mendapatkan atensi Akira sepenuhnya. "Kau baik-baik saja?" "Ada yang salah?" Akira tiba-tiba berbicara ambigu. Alana mengernyit. Dia menggeleng pada Akira dengan alis terangkat. "Salah?" "Denganku," "Oh," Oniks itu menajam. Alana tidak memberikan jawaban setelah dia membungkuk dan pergi. Lagi-lagi, Akira tidak mendapatkan jawabannya. Alana kembali ke kursinya. Dia menghela napas, merenggangkan otot bahunya dan menatap layar komputernya. Menampilkan berita harian yang menjadi topik terpanas hari ini. Rei Rei siap menikahi Ara! Tangan Alana terkepal tanpa sadar. Dia menekan mouse terlalu erat hingga tersadar, dia menggeleng kecil, menunduk dengan mengusap pelipisnya berulang kali. Alana terlonjak. Dia berdiri dengan membungkuk sebentar pada  Souma yang menatapnya dengan senyum ramah. "Akira di dalam?" Alana mengangguk. Souma berlalu dari hadapannya dan masuk ke dalam ruangan Akira. Alana kembali melempar bokongnya pada kursi, menatap layar komputer itu dengan mata menggenang siap tumpah. Dia mendesis berulang kali. Mematikan layar komputernya dan mengambil catatan untuk dia lihat sebelum dia laporkan. Sebisa mungkin dia mengabaikan tentang Rei Rei yang menari-nari di dalam kepalanya. Souma melirik Alana dari kursinya. Gadis itu tampak sibuk dengan catatan yang entah apa itu. Dia kembali pada Akira yang memejamkan mata, sedang berpikir. "Kau berpikir tentang Bank Tokyo atau sekretarismu?" Akira mengintip Souma dari sudut matanya dan kembali terpejam. "Alana," akunya jujur. Souma mendesis. Dia bersandar pada sofa dan Akira masih di kursinya. Pria itu kemudian berdiri, ikut duduk di sofa seberang Souma dengan wajah kemelut. "Akira, kau akan mendapatkan sekretaris baru. Yang lebih berkompeten dan baik. Alana akan tergantikan," Souma menipiskan bibirnya. Dia menatap Akira yang memberikan tatapan super tajam untuknya. "Aku salah bicara sepertinya," dia bergumam pelan. Akira mengusap rambutnya yang berantakan. Kemudian menggeleng pelan. "Aku terlalu bergantung pada Alana semenjak kejadian itu. Kupikir, tidak ada yang bisa bertahan di sisiku selain dirinya." Souma terdiam. "Juga tetap mengawasinya kalau-kalau dia membocorkan kejadian mengerikan itu pada publik," kata Akira. "Tapi dia tidak mungkin melakukannya." Souma berdeham. "Intinya, kau terlalu bergantung," dia mencoba menahan diri untuk tidak berkata kalau Akira tertarik pada gadis itu, atau Akira akan mencekiknya di tempat. "Apa ... Alana punya masalah lain di luar pekerjaan?" Akira menatapnya nanar. "Aku tidak tahu," "Mungkin dia muak denganmu. Karena kau terlalu dingin, angkuh, sombong, hobi pamer, dan kurang ajar. Salah satunya mungkin menjadi alasan Alana mundur," Akira mendengus tajam. Dia menatap Souma menuduh. "Aku terlahir dengan bakat seperti itu, tidak bisa dihapus dengan mudah." "Bakat, katamu?" Souma memekik tak percaya. "Demi Tuhan, semua sifat dari iblis neraka itu kau bilang bakat?" Akira hanya mendengus, dia menunduk cukup lama. Sebelum dia menolehkan kepala, menatap Alana dari dalam ruangan yang tengah memangku dagu dengan bosan dengan tatapan fokus pada layar. Souma terdiam, dia cukup menganalisa dalam hati dan pikirannya apa yang terjadi dengan salah satu sahabatnya selain kisah cinta Hiro yang menyedihkan, karena Manata Haru menolaknya ratusan kali. Ternyata ada yang lebih menyedihkan dari itu. *** Alana menatap gelas anggurnya dalam diam. Sedangkan Haru hanya memainkan kulit panggangnya dengan tatapan tak berselera. "Biasanya kulit panggang ini yang terbaik, kenapa rasanya begitu hambar?" Haru mendorong mangkuk itu dengan bosan dan menatap Alana yang tengah melamun. "Apa ini tentang Rei?" Alana mengerjap, dia menatap Haru dengan ekspresi bingung, kemudian menggeleng. "Orang tuamu bahkan muak dengan penjilat macam Rei Rei, dan kau masih sempat memikirkannya?" Alana menatap Haru. Dia menggeleng dengan ekspresi masam. "Aku tidak memikirkannya," Haru mengibaskan tangannya, dia mendesis menatap sahabatnya. "Halah, alasan," dia menuding Alana dengan sorot mencela. "Siapa lagi pria yang bertahta di hati Yang Mulia  Alana ini selain Rei Rei? Pilot muda dan berbakat dari Tokyo Airlines?" Alana memutar mata mendengar kalimat berlebihan Haru. "Dia cocok dengan Ara," Haru mencoba memberi mulutnya pekerjaan dengan berolahraga mengunyah kulit panggang yang alot. "Aktris yang cukup terkenal di Jepang. Popularitas Ara di publik tidak main-main." Alana terdiam. Dia bersandar di sofa empuknya dan mengabaikan Haru sepenuhnya. "Semua bukan salahmu, Alana. Berhenti salahkan dirimu sendiri," kata Haru tiba-tiba. Alana menatapnya dalam diam. "Aku tidak pernah menyebut Rei tampan, bagiku ketampanannya masih dibawah standart." Alana memutar mata sekali lagi. Bel berbunyi nyaring. Alana lompat dari sofanya dan bergegas pergi ke pintu utama. Dia melirik Haru yang berdiri di belakangnya, saat Alana membuka gagang pintu, dia terkejut dengan kedatangan sang ibu yang membawa ayam goreng dan soda kaleng. "Ibu?" Alana membuka pintu lebih lebar dan  Hayate masuk dengan senyum cerah bak di pagi hari. Haru membungkuk berulang kali karena rasa hormatnya pada Hayate, tetapi wanita paruh baya itu menggeleng dan menyuruh Haru untuk tidak lakukan itu padanya. "Aku mampir karena putriku sangat suka dengan ayam goreng," ucap Hayate dengan senyum. Dia menaruh bungkusan ayam goreng di atas meja dan membeku melihat kulit panggang dan ceker basah juga anggur di meja yang sama. Haru bergegas untuk membereskannya dan Alana memutar mata. Dia melempar bokongnya ke sofa, tatapan Hayate mengikutinya. "Kau ingat apa pesan ibu? Jangan terlalu banyak makan makanan yang tak sehat, Alana," dia bersiap mengomel, tetapi Haru lebih dulu membungkuk untuk meminta maaf. "Alana tidak salah, aku yang membawa makanan itu kemari. Maafkan aku." Hayate menghela napas panjang. Dia menatap Haru dengan anggukan kepala singkat. "Lain kali, jangan diulangi. Alana harus memakan makanan bergizi dan sehat untuk tubuh. Kebersihan makanan itu juga harus menjamin," balas Hayate memperingati. Alana mendesah panjang dan Haru mengangguk berkali-kali. Alana berdecak singkat. "Kalau ibu datang hanya untuk melempar ceramah, jangan datang lagi." "Alana," "Usiaku dua puluh tujuh, aku akan lakukan apa pun untuk diriku sendiri," Alana menatap mata ibunya yang terkejut. "Berhenti mengaturku layaknya anak usia lima tahun." Hayate menghela napas. Dia melirik Haru yang terdiam. Gadis pirang itu tampak tidak nyaman di antara suasana canggung mereka. Hayate mengangguk, dia merapatkan mantel mahalnya dan pergi keluar apartemen Alana tanpa bicara setelah menaruh soda dan ayam gorengnya. Haru duduk kembali di lain sofa dengan Alana yang memejamkan mata. Dia menghela napas, entah harus berbicara apa. "Kurasa kau sudah kelewatan pada ibumu sendiri, Alana. Dia benar, seharusnya kau—" "Diam. Jangan katakan apa pun lagi," sela Alana saat dia membuka bungkus ayam goreng itu dan memakan sayap ayam itu dalam diam. Haru menatapnya lirih, bergantian dengan ayam goreng yang tampak lezat itu dan mengambil satu potong untuk dirinya sendiri. *** Alana berjalan gontai saat dia menekan kartu pengenalnya di tempat absen otomatis, dan layar menunjukkan dia terlambat lima belas menit. Dia berjalan, menuju lift yang penuh karena beberapa tamu yang datang untuk mensurvei lapangan sudah siap, Alana terlambat. Dan Akira membenci keterlambatan dari para pegawainya. Itu berarti mereka tidak disiplin, begitu yang sering Akira katakan padanya. Alana menunggu lift terbuka. Dia bersama dua pria asing yang juga menunggu lift yang sama. Saat Alana mengangkat kepalanya, Akira dan Souma ada di lift yang sama. Pria itu menatapnya tanpa bicara. Alana membungkuk, bersama dua pria di belakangnya. Akira berjalan begitu saja dan Souma membalas dengan anggukan kepala singkat pada mereka. "Silakan, Nona," kata mereka mempersilakan Alana untuk masuk ke dalam lift karena sejak tadi melamun. Alana menatap keduanya dengan gelengan kepala. "Aku punya sesuatu tertinggal di mobilku, silakan kalian berdua gunakan lift ini." Dia berlari, mengejar Akira bersama Souma yang sudah lebih dulu masuk ke dalam ruang rapat. Napasnya tersengal, Alana terlambat. Dia mendesis pelan, bergegas kembali ke lift dan menuju ruangannya sendiri. Saat para pegawai lain sibuk dengan urusan mereka masing-masing, Alana ada di dapur mungil divisi umum. Meminum kopi s**u dalam botol yang ada di kulkas dapur. "Hari yang buruk?" Alana menegak kopi keduanya dan mengangguk. Dia melempar botol itu ke tempat sampah dan menatap Hana. "Sangat buruk, ini baru tiga jam setelah aku bangun. Tapi aku ingin lari dan bersembunyi entah kenapa," kata Alana saat dia berlalu dan meninggalkan Hana sendirian di dapur. Dua jam setelah dia bertemu atasan di lantai dasar, Alana tidak melihat sang bos sudah kembali ke ruangannya. Dia mengintip dari jendela, dan benar-benar i***t karena pintu masuk itu hanya satu, Akira tidak mungkin mampu menembus tembok untuk masuk ke dalam ruangannya sendiri. Alana mendapat telepon kalau dia memiliki tamu di bawah. Dia segera berdiri, berjalan untuk menemui tamunya. Dia tersenyum, Haru datang membawa laporan keuangan bulanan untuk dirinya. "Hiro menyuruhku untuk memberikan ini padamu. Kau mau mendapatkan tanda tangan Akira dan menyerahkan laporan ini padaku nanti?" Alana tersenyum. Dia mengambil dokumen itu dan membacanya. Mengangguk pelan pertanda setuju. "Oke," Jika mereka berdua saja, tidak ada kata bos atau tuan untuk kedua atasan itu. Derajat mereka sama, di sini. Tapi jika di keramaian, mereka akan memanggil dengan sebutan formal. Haru kembali berlalu. Ada supir perusahaan yang menunggunya. Alana melambaikan tangan, sampai Haru benar-benar pergi dia kembali naik ke lantai atas. Alana mengintip dari jendela dan Akira ada di ruangan. Dia berdeham, memperbaiki kemeja dan ikatan rambutnya saat dia mengetuk pintu dan masuk. Dia berjalan, memberikan Akira laporan keuangan tentang proyek yang dia bangun bersama Shimura Steel. "Temanmu yang memberikannya?" Akhirnya Akira mau bicara. "Ya," kata Alana dengan senyum. "Laporan bulanan. Aku akan menyalinnya dan memberikan laporan balik padanya." Akira mengangguk. Dia menutup dokumen itu dan kembali pada Alana. "Akan kulihat nanti," "Baiklah," Akira melipat tangannya di atas meja. Alana menatapnya dengan alis terangkat. "Kau terlambat lima belas menit, kau tahu?" "Sangat tahu, maafkan aku," Alana menatap Akira yang masih setia memandanginya. Dia mendesis dalam hati, merasa tidak nyaman. "Untuk surat pengunduran dirimu—" "Kau sudah menandatanganinya?" Akira menatapnya dingin. "Belum," Senyum Alana lenyap. "Aku akan menandatanganinya kalau kau mau memberitahuku alasan pribadimu keluar dari sini," ucap Akira. Alana menghela napas. "Kupikir kau mengenalku dengan baik," kata Alana pelan. Dia menatap Akira lekat-lekat. "Nyatanya, tidak." Dan berlalu pergi, meninggalkan Akira dalam seribu pertanyaan yang mengganjal di benaknya dalam diam.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Broken

read
6.3K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.9K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
113.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook