bc

KILAS BALIK

book_age18+
599
FOLLOW
2.8K
READ
arrogant
badboy
confident
student
drama
tragedy
sweet
genius
highschool
first love
like
intro-logo
Blurb

KILAS BALIK

Ini kisah seorang Samudra, pemuda 28 tahun yang kembali ke negaranya untuk mengenang masa lalunya. Dia ingin mencari seseorang yang telah menghilang dari hidupnya. Samudra juga mempunyai misi untuk menemukan potongan hatinya yang pergi sebelum dia berusaha menyatukannya dulu.

Apakah semua itu akan berhasil?

Temukan jawabannya di cerita ini.

chap-preview
Free preview
00
Kilas Balik — 00 __________________ "Setiap masa meninggalkan cerita. Setiap cerita meninggalkan sebuah kenangan. Dan sebuah kenangan meninggalkan bekas dalam ingatan." ### SUASANA bandara siang ini, cukup ramai. Penumpang dalam maupun luar negeri berseliweran dari ujung ke ujung. Suara berisik dan riuhnya pembicaraan orang-orang membuat aku sedikit terganggu. Perdebatan antara petugas bandara dengan beberapa penumpang pun menjadi konsumsi publik. Dari ngeyelnya si penumpang yang diajak ke kantor, sampai emosi si petugas yang sudah di ubun-ubun. Kalau tidak salah, mereka sedang membahas masalah pesawat yang delay berjam-jam. Terdengar juga dua Ibu-ibu yang meminta refund tiket pesawat karena tidak jadi berangkat. Ada juga suara Mas-mas yang protes karena ketinggalan pesawat. Di sudut bandara, ada beberapa jajaran kursi yang sudah terisi penuh. Satu deret kursi sudah dipenuhi dengan barang bawaan seorang penumpang yang banyaknya tidak terkira. Di kursi lainnya, ada Ibu yang sedang menggendong anaknya sambil mengomel tidak jelas kepada sang suami yang tengah sibuk menelepon. Ada juga anak-anak yang berlarian sambil mendorong koper, namun akhirnya terjungkal di dekat tempat sampah. Petugas berpakaian satpam pun tampak sedikit geram dengan tingkah bocah-bocah nakal namun dibiarkan orang tuanya. Mungkin, jika itu anaknya—sudah memar pantatnya terkena cubitan, pikirku. Sesekali ada orang yang berlarian sambil meminta maaf sepanjang jalan. Aku yakin, dia terburu-buru dan hampir ketinggalan pesawat. Karena aku pun sempat mengalami hal itu, tadi. Aku bangun terlambat, lupa jika ada penerbangan pagi. Akhirnya aku terpaksa tidak mandi dan langsung tancap gas ke bandara. Percayalah, aku pun merasa tidak nyaman. Hanya saja, aku sudah menantikan hari ini. Hari di mana aku bisa pulang kembali ke negara ini. Negara di mana aku dilahirkan, dibesarkan, dan yang selalu aku rindukan setelah beberapa tahun belakangan ini. Lagi-lagi, aku melihat beberapa anak yang berlarian sendirian. Kali ini ditabrak oleh orang yang saat ini sedang terburu-buru. Orang itu langsung kabur, tidak menolong apalagi minta maaf kepada sang anak. Ibu dari anak itu pun marah-marah sambil terus menunjuk-nunjuk ke arah orang yang telah menabrak anaknya. Tetapi, siapa yang peduli? Mungkin mereka semua berpikiran sama denganku. Mengapa membiarkan anak-anak berlarian di tempat sibuk seperti ini? Lagipula, ini bandara! Bukan arena bermain. Dengan langkah pasti, aku mendekat ke sebuah restoran fast food yang ada di dalam bandara. Sudah lama tidak makan makanan seperti ini karena semua makanan yang disediakan untukku hanya makanan sehat dan terkadang penuh dengan sayuran. Mempunyai koki di dalam rumah ternyata tidak seindah itu. Ditambah lagi, ada ahli gizi di dalamnya. Aku sudah berumur 28 tahun, tetapi kehidupanku masih layaknya anak umur 10 tahun yang keinginannya harus ditentukan orang lain. Kita sebut saja dia, Papi dan Mami—orang tua yang selalu menceramahi aku tentang pentingnya makan makanan bergizi setiap hari. Untunglah! Dalam beberapa hari ini, aku bisa bebas memakan makanan junk food sesuka hati. Setidaknya, sebelum aku kembali. Aku seperti orang yang tidak makan berhari-hari. Memesan banyak makanan seperti ayam goreng, burger, hotdog, dan masih banyak lagi. Sampai-sampai, mejaku dipenuhi dengan makanan. Terkadang, aku merindukan nasi kucing yang dijual di angkringan. Rindu dengan soto dan telur puyuhnya. Rindu juga dengan aneka street food yang menggugah selera. "Permisi!" Aku menoleh, menatap seseorang dengan pakaian rapi berdiri di depanku dengan napas yang terengah-engah. Aku mengelap mulutku dengan tisu lalu mengangguk pelan. "Maaf, Mas Samudra, ya?" Ucapnya dengan hati-hati. "Saya yang akan menjemput, Mas." Sambungnya. Aku menepuk keningku pelan, "oh, asisten Pak Alwi, ya?" Dia mengangguk pelan. Astaga, aku sampai lupa jika ada yang akan menjemputku di bandara. Dia ini asisten dari Pak Alwi—orang kepercayaan Papi di sini. "Iya, Mas. Saya ditugaskan untuk menjemput Mas Samudra di bandara." Jawabnya dengan sedikit ngos-ngosan. Aku mengangguk tidak enak, "aduh, maaf ya Mas, saya lupa. Tadi saya lapar dan makan dulu di sini. Lupa kalau ada yang bakalan jemput." "Eh, tidak masalah, Mas. Saya bisa menunggu lebih lama. Saya cuma takut kalau Mas Samudra nyasar atau bagaimana." Jawabnya lagi. "Oh iya, panggil nama saja. Saya Samudra, biasanya dipanggil Sam." Ucapku memperkenalkan diri kepadanya. "Tidak perlu memanggil saya dengan sebutan Mas. Mungkin kita juga seumuran." Sambungku. "Aduh, saya tidak berani, Mas. Takut tidak sopan." Jawabnya tidak enak. Aku menggeleng pelan, "saya tidak suka berbicara formal apalagi kita seumuran. Jadi, anggap saja ini sebagai perintah!" "B-baik, Mas. Eh, S-sam." Ucapnya sedikit kikuk. "Siapa nama kamu?" Tanyaku sambil menunjuk kursi di depanku agar dia duduk di sana. "Agar lebih akrab, kita tidak perlu menggunakan kata baku seperti saya-anda." Sambungku lagi. Dia hanya terdiam lalu mengangguk kemudian, "baiklah! Kenalkan namaku Idris." Aku menawarinya makan, tetapi dia menolak. Karena makananku cukup banyak dan aku memaksa, akhirnya dia mau. Kami berbincang-bincang cukup lama. Membicarakan tentang hal-hal yang seru karena ternyata kami nyambung. Idris dan aku sama-sama kuliah di Manajemen. Kami juga seumuran. Bedanya, aku sudah menyelesaikan S3-ku dan Idris masih semester akhir di S-1. Ada suatu hal yang membuatnya terpaksa menunda kuliahnya. Ah, tapi tidak ada yang terlambat dalam pendidikan. Setelah itu, aku mengajaknya untuk segera bergegas. Aku memasukkan koper ke dalam bagasi dan duduk disampingnya. Aku menikmati perjalanan ini. Perjalanan yang membuatku bernostalgia dengan masa lalu. Setiap kali aku melihat ke beberapa tempat, aku teringat tentang suatu hal yang menarik. Walaupun tidak sama persis, tetapi aku ingat tempat apakah itu, dulu. Semuanya tampak tertata dan cukup manis untuk dikenang. Sesekali aku tersenyum, melihat anak-anak muda berseragam SMA sedang menunggu bus. Aku yakin ini masih pukul enam tiga puluh. Waktu yang pas untuk berangkat ke sekolah bersama dengan teman-teman. Dulu, belum ada bus trans seperti ini. Adanya hanya bus ugal-ugalan yang setiap pagi berebut penumpang. Terkadang, menurunkan penumpang pun sambil jalan pelan-pelan—agar bus di belakangnya tidak mendahului. Bahkan aku ingat betul, temanku pernah ada yang jatuh karena insiden bus yang kebut-kebutan. "Berhenti," pintaku kepada Idris ketika kami melewati sebuah sekolah yang sangat aku kenal. Aku keluar dari mobil, meminta Idris untuk menunggu di mobil sebentar. Aku melangkah maju, mendekat ke arah gerbang untuk berkomunikasi dengan Pak Satpam yang berjaga. Aku meminta ijin untuk masuk. Dengan segala alasan, akhirnya aku diijinkan untuk masuk. Aku menjelaskan jika diriku pernah bersekolah di sini. Aku bercerita panjang-lebar, terkadang mendata nama-nama guru yang katanya sudah lama pensiun. Ada juga yang masih mengajar dan itu adalah guru yang paling muda pada masanya. Lorong-lorong sekolah menyambut, aroma yang tidak bisa aku lupakan begitu teringat di dalam ingatanku. Entah mengapa, aku bisa merasakan suasana yang sudah lama tidak aku rasakan. Riuhnya anak-anak ketika masuk sekolah, cerita-cerita para teman perempuanku yang sedang membicarakan tentang make up atau menggunjing masalah guru baru, heboh teman laki-lakiku yang membahas piala dunia atau game yang baru mereka mainkan. Aku seperti tertarik ke dalam kenangan yang begitu dalam, menjelaskan tentang bagaimana masa SMA-ku berjalan. Sebuah hall sekolah dengan lemari kaca berisi piala penghargaan pun menjadi tempat paling pertama yang aku lewati. Banyak sekali piala di sini, sampai-sampai aku tidak mengenali lagi piala yang lama. Sekolah ini banyak sekali berubah, mungkin direnovasi atau ditata ulang. Konsepnya pun berbeda dengan jamanku dulu—sebuah sekolah megah dengan bentuk kastil yang unik. Sekarang, sekolah ini tampak biasa saja. Maklum, kalah dengan sekolah-sekolah negeri yang lebih baik pada jaman sekarang dan kalah dengan sekolah swasta internasional dengan guru-guru bulenya. Dulu, sekolah ini adalah sekolah yang sangat diidamkan oleh semua anak yang baru saja lulus SMP. Mereka berbondong-bondong untuk masuk ke sekolah ini. Jika sekolah lainnya tidak menerapkan sistem tes seperti standar yang digunakan di perguruan tinggi, maka sekolah ini sudah menerapkannya dulu. Aku pun pernah sekolah di sini, ketika sekolah ini masuk dalam masa keemasan. Sekolah yang populer dan katanya, mempunyai siswa-siswi ganteng dan cantik. Setelah puas memandang piala yang berjajar rapi. Aku melanjutkan lagi langkahku, menuju ke lorong yang terpampang lukisan-lukisan dengan corak tidak beraturan. Ini adalah gambar siswa-siswi yang diminta untuk kreatif. Tradisi melukis pada tembok sekolah, tampaknya tidak pernah hilang. Dulu, angkatanku diminta untuk melukis di dinding ini juga. Kami berkolaborasi waktu itu, membuat gambar dengan konsep pemberontakan. Sekarang, jika mengingat semua itu, rasanya hanya sedih dan sedikit bingung. Di dekat dinding ada sebuah tempat yang telah disediakan untuk Mading (majalah dinding). Biasanya para siswa ekskul Mading akan bertindak seperti reporter koran yang terus meminta wawancara kepada orang yang mereka anggap menarik pada saat itu. Mereka akan memasang nama, biodata, gambar, dan semua tentang narasumber. Tidak lupa dikemas dengan narasi yang ditulis tangan dan dihias dengan spidol warna. Ada juga hiasan yang mereka buat dengan kertas karton warna, lalu ditempelkan. Lalu, ada juga sebuah lapangan di tengah sekolah. Lapangan upacara dengan satu tiang yang kokoh untuk mengibarkan bendera ketika sedang upacara. Aku ingat tentang upacara yang diadakan setiap dua Minggu sekali. Setiap hari Senin, aku selalu bangun lebih pagi. Tidak lupa menggunakan dasi dan topi. Jika tidak, maka aku harus maju ke depan barisan untuk menuliskan namaku di buku point. Belum lagi jika ada anak laki-laki yang ketahuan rambutnya panjang, menutupi telinga. Sudah pasti guru bagian kesiswaan akan dengan senang hati berubah menjadi tukang cukur rambut yang handal. Potong rambut berjamaah selepas upacara. Aku senyam-senyum sendiri, ingin kembali ke masa itu namun tidak ingin mengulanginya lagi. Aneh, bukan? Tapi itu yang aku rasakan sekarang. Aku berusaha untuk menikmati waktu yang ada, ketika aku berada di sini. Mungkin, aku tidak akan melihat sekolah ini lagi dalam waktu dekat. Jika sudah sibuk dengan urusan perusahaan setelah Papi mengumumkan pewarisnya—maka aku tidak bisa kemana-mana. "Pak Antoni," sapaku kepada seorang guru yang baru saja keluar dari ruang guru. Guru itu menoleh lalu tersenyum tipis, "iya. Maaf, siapa?" "Saya Samudra, Pak." Jawabku yang membuat beliau kaget. "Samudra? Sam? Kembarannya Benua?" Tanya Pak Antoni yang mendapatkan anggukan dariku. "Iya, Pak. Itu saya." Tiba-tiba Pak Antoni memelukku. Memberikan sebuah kehangatan yang sudah lama tidak aku rasakan. Pak Antoni adalah guru yang bisa dibilang, paling dekat denganku ketika jaman sekolah dulu. Beliau yang selalu mengarahkan dan memberikan solusi dari masalah yang aku hadapi dulu. Bisa dibilang, Pak Antoni sangat berjasa dalam perjalanan SMA-ku. Aku diminta menunggu sebentar, sedangkan Pak Antoni pergi ke ruang guru kembali. Setelah itu, beliau mengajakku berbincang di sebuah ruangan yang jauh dari ruangan kelas. Dulu, ini adalah gedung olahraga. Tetapi sudah tidak digunakan lagi dan dialihfungsikan sebagai tempat rapat. "Sudah lama sekali," ucap Pak Antoni sambil melepaskan kacamatanya. "Saya datang kesini hanya untuk mengingat semua kenangan selama sekolah dulu, Pak." Ucapku dengan nada sedih. Pak Antoni tersenyum, "bagaimana kabarnya?" "Siapa?" Tanyaku dengan kerutan di dahi. Walaupun tahu siapa orang yang dimaksud Pak Antoni, tetapi aku pura-pura tidak tahu. "First love-mu," jawab Pak Antoni dengan kekehan pelan. Aku tersenyum tipis, "saya sudah lama tidak bertemu dengannya, Pak. Setelah lulus SMA, kami lost contacts. Saya langsung pergi ke luar negeri waktu itu dan setelah itu, saya tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Saya juga jarang mengikutiku grup alumni. Hanya beberapa tahun lalu dan saya memutuskan untuk keluar dari grup." "Beberapa Minggu yang lalu, Laut juga datang kesini. Dia sudah sangat berbeda dengan jaman SMA dulu. Dia pernah masuk tim futsal nasional, tetapi harus mundur saat turnamen. Sehari sebelum diadakan turnamen, dia mengalami sebuah kecelakaan yang membuat kakinya pincang. Sekarang, dia membuka toko kue di dekat sini. Bapak tidak akan menyangka jika seorang Laut pintar memasak karena dulu, dia seperti itulah. Sulit Bapak jelaskan seperti apa perangai anak itu." Cerita Pak Antoni. Pak Antoni menepuk pundakku dua kali, "sepertinya, dia ingin bertanya soal kamu. Hanya saja, dia tidak pernah berani. Berulang kali, dia ingin bicara. Tetapi, menurut Bapak, ada yang mengganjal. Sehingga pertanyaan itu, ditelan lagi." "Bapak meminta saya untuk menemuinya?" Tanyaku kepada Pak Antoni. "Tidak! Bapak tidak ingin melihat dua murid kesayangan Bapak berkelahi seperti ketika jaman SMA kalian dulu. Bapak tidak mau melihat kalian terluka dan pada akhirnya, Bapak akan kehilangan kalian berdua lagi." Jawab Pak Antoni dengan wajah sedih. "Bapak tahu, ini sangat berat untuk kamu. Jadi, Bapak tidak ingin membuat kamu teringat dengan hal menyakitkan itu." Sambungnya. Aku mengambil sebuah amplop dari dalam tasku dan memberikannya kepada Pak Antoni, "saya sudah putus asa, Pak." Nostalgia dengan kenangan memang perlu. Mengambil setiap cerita dan derita dalam suatu kejadian. Tetapi banyak sekali potongan harapan yang hilang karena sebuah penantian panjang. Yang terkadang, hanya menodai ingatan. Aku selalu berusaha untuk menikmati waktuku dengan orang-orang yang berada di dekatku. Berusaha memaksimalkan pertemuan. Agar ketika perpisahan itu tiba, aku tidak pernah menyesal karena sudah melewatkan waktu untuk membangun kebersamaan. ... Sesekali, kita perlu memberikan ruang kepada ingatan untuk memutar kembali memori yang tersimpan. Ini bukan tentang semacam napak tilas namun kilas balik dari sebuah jawaban dari pertanyaan yang belum terjawab di masa lalu. Siapkah? Aku rasa, tidak ada yang siap akan hal itu. Terkadang, dengan menjawab satu pertanyaan, akan menimbulkan pertanyaan yang lain. KILAS BALIK! ••••••••••

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mengikat Mutiara

read
141.9K
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
256.4K
bc

Turun Ranjang

read
578.5K
bc

Akara's Love Story

read
257.6K
bc

Yes Daddy?

read
797.0K
bc

True Love Agas Milly

read
197.4K
bc

TERSESAT RINDU

read
333.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook