bc

Jakarta Underground

book_age18+
102
FOLLOW
1K
READ
others
dark
twisted
mystery
scary
like
intro-logo
Blurb

Aul dan Joni terjebak masuk ke lubang bawah tanah yang membawa mereka ke sisi lain, lubang lain yang ternyata adalah jalan menuju penjara bawah tanah. Ini dikarenakan tanah yang tiba-tiba bergerak. Hujan tak henti mengguyur Kota Jakarta. Bencana di kota itu semakin beragam di tahun 2030. Kota itu diperkirakan akan tenggelam dalam seminggu. Hampir semua penghuni kota sudah mengungsi ke kota lain. Sedangkan mereka terlambat pergi karena selalu penasaran dengan fenomena bencana yang terjadi. Terlalu asyik mengamati.

Aul dan Joni yang terjebak di bawah tanah kemudian mendapati kenyataan yang lebih menakutkan selain terkurung dan tenggelam nantinya. Mereka, dihadapakan pada masalah lain. Pertemuan mereka dengan para tahanan penjara bawah tanah dan cerita seram mereka tentang adanya percobaan militer yang dilakukan pihak rahasia yang telah menyebabkan beberapa tahanan menjadi gila dan tak terkendali.

Para tahanan itu telah sengaja ditinggalkan. Mereka bersembunyi dan memakan makanan sisa yang diberikan sipir sebelumnya. Sementara tahanan-tahanan gila, selalu mengamuk dan akan membunuh siapapun yang ada di hadapannya.

Apakah mereka akan selamat?

chap-preview
Free preview
Jakarta, 2030
Semua hal yang terjadi, semua keadaan yang tercipta, tidak ada yang tiba-tiba. Selalu ada awalnya, selalu ada sebabnya. Jakarta, 2030. Sekawanan semut berkumpul di atas tanah Jakarta. Tubuh mereka yang berwarna merah dan bergerak cepat itu tampak sangatlah kecil. Angin kencang berembus, kemudian disusul hujan lebat. Air mulai meninggi. Kawanan semut itu berusaha untuk tetap hidup, mencari jalan keluar. Namun, air selalu lebih paham perihal cara menghancurkan. Ketika sebuah kota telah kehilangan inti dari keperkasaannya, maka musnah sudah. Dalam beberapa menit saja, para semut itu sudah tak ada di tempatnya. Gedung-gedung bertingkat, perumahan mewah, tempat wisata buatan, lahan sampah yang tak bisa dikendalikan lagi sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Orang-orang banyak mengeluh, orang-orang protes dan berdemo. Mereka tak lagi betah. Bertahun-tahun, Jakarta mengalami hal itu. Kemajuan teknologi tak diimbangi dengan kemampuan mengendalikannya. Orang-orang boleh memiliki ponsel canggih yang membuat pekerjaan mereka lebih mudah, tapi alam tak bisa diperbaiki. Alam terus menua. Jakarta yang pernah diprediksi akan tenggelam rupanya benar-benar akan tenggelam sekarang. Orang-orang yang mencintai kota ini, mungkin tak pernah benar-benar mencintai dengan sungguh-sungguh. Mungkin hanya karena satu kesalahan, hanya karena satu saja, tapi dilakukan banyak orang, bencana itu terjadi. Lima tahun yang lalu, presiden mencabut gelar ibu kota dari Jakarta. Dua puluh tahun yang lalu, tiga puluh tahun yang lalu, Jakarta pernah berjaya. Satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi ini, semarak dengan banyaknya lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi yang pesat, pembangunan yang luar biasa dan kepopulerannya sampai dijuluki J-Town atau lebih populer lagi dengan julukan The Big Durian, karena banyak yang menganggap Jakarta sama dengan New York City (Big Apple). Kemudian, banyak warga dari seluruh daerah berdatangan. Untuk mencari pekerjaan dengan gaji tinggi, untuk mengadu nasib supaya lebih baik, atau untuk jadi pengemis. Perumahan mahal nan elit berjamur. Kaum artis dan pejabat adalah sasaran mereka. Investor asing berlomba-lomba bersaing dengan investor lokal yang tentu masih di bawah mereka. Tak lupa, apartemen dan hotel, restaurant dan kafe, wisata dan mall-mall besar. Semua ada. Lengkap sekali. Sementara kemajuan pembangunan dan fasilitas umum semakin pesat dan beragam, permasalahan kota juga semakin kompleks. Warga-warga perantau yang tak memiliki uang cukup, membangun rumah di bantaran sungai. Di bawah jembatan, di tempat-tempat yang seharusnya tidak dijadikan tempat tinggal. Volume kendaraan semakin tinggi. Setiap rumah memiliki dua atau bahkan tiga kendaraan. Sampah-sampah dibuang di sungai, peraturan pemerintah hanyalah peraturan. Sekali lagi, di Jakarta semuanya ada. Banjir datang terus. Setiap tahun, sejak dulu. Jakarta sudah menjadi langganan. Dan kini, siap tidak siap, Jakarta akan tenggelam. *** Aul mematikan televisi. Berita tentang tanah bergerak yang mengerikan diputar terus berulang-ulang. Tempat kejadiannya, tidak jauh dari rumah Joni, temannya. Namun, ia yakin, Joni baik-baik saja. Buktinya, ia masih terlihat online dan bahkan sempat membuat status di media sosial. Menginformasikan tentang tanah bergerak ke publik. "Ul, makan dulu." Itu suara ibunya. Aul sebenarnya tak ingin beranjak, tapi ia harus segera menghabiskan sarapannya. Ada banyak pekerjaan hari ini. Salah satunya adalah, mengemas barang-barang. Mereka harus cepat, seminggu lagi, Jakarta akan tenggelam. Banyak orang yang telah pergi lebih dulu. Namun, keluarga Aul masih belum siap. Bahkan ayahnya, masih berusaha mengumpulkan berkas-berkas berharga dan kumpulan buku-buku kesukaannya. "Bagaimana dengan Joni?" Joni akan pergi denganku," jawab Aul pelan sambil melahap sarapan. "Kita berangkat bersama?" Aul menggeleng, "Tidak, Ibu bersama Ayah saja, tinggalkan satu mobil. Kakaknya Joni mungkin akan ikut dengan kalian." "Kapan mereka datang kemari?" "Sore ini." "Ayah sebenarnya khawatir, kalian akan melakukan apa, sebenarnya?" "Untuk riset saja, fenomena tanah bergerak," Aul menjawab santai. "Kalian ini, orang-orang sudah mulai pergi, kalian masih mau tinggal." "Untuk melakukan riset, semua orang harus memiliki keberanian," ujar Aul lagi. "Siapa yang bilang? Dosenmu?" Mendengar itu, Aul garuk-garuk kepala. Ibunya selalu tahu, setiap kata yang diucapkan oleh Aul. Kalau bukan tentang ucapan dosen, mungkin kutipan dari buku-buku yang pernah dibacanya. Setelah menyelesaikan sarapannya, Aul naik ke atas, ke tempat ayahnya sedang berkemas. Ia terkejut ketika melihat semua barang yang ayahnya bereskan. "Ayah? Ini semua? Dibawa semua?" Ayahnya mengangguk tanpa menengok ke arah Aul. Ia benar-benar sibuk. Aul mengambil salah satu buku, berjudul 'Unholy Night' karya Seth Graham Smith. "Simpan buku itu di tas cokelat," perihntah ayahnya. "Apa buku-buku ini sangat berharga?" tanya Aul, merasa tidak diperhatikan. "Apa kecemasan Ayah tidak berharga? Apa kabar risetmu?" Ayahnya bertanya balik, sambil melihat ke arah Aul. "Masih nol. Baik, aku akan membantu membereskan semua buku ini. Buku-buku yang sudah Ayah anggap seperti anak sendiri." "Bagus, bereskan yang rapi. Kalau tidak, Ayah tidak akan ijinkan kamu tetap tinggal. Kita seharusnya pergi bersama." Aul tak menanggapi. Ia mencoba mengalihkan pikirannya ke buku-buku tebal milik ayahnya. Risetnya itu amat penting. Lagipula, ia bersama Joni, jadi seharusnya, orang tuanya tak khawatir. "Kakek pernah bicara, bahwa kota ini, kota yang luar biasa. Setiap orang yang tinggal di Jakarta, harus kuat ditempa berbagai macam ujian. Mungkin ini salah satu ujian terberatnya. Aku orang Jakarta, Ayah juga. Dan aku juga ingin mencoba melakukan sesuatu. Semacam mencari tahu lebih jauh tentang fenomena bencana yang terus saja terjadi di kota ini." Ayahnya diam sebentar sebelum menjawab, "Itu seperti kutipan yang dipaksakan menjadi keren, padahal konyol dan bodoh." "Ayah!" "Itu kenyataannya, Aul." "Ini keyakinanku. Keinginanku. Ayah mulai lagi." "Baik, maaf. Lanjutkan risetmu itu. Biar Ayah yang membereskan sisanya. Kemas saja barang-barangmu. Jangan sampai terlambat berangkat nanti, kita hanya punya satu minggu saja." "Jangan khawatir." "Tidak ada orang tua yang tidak takut jika menyangkut keselamatan anaknya." Aul kemudian beranjak pergi. Ia tak ingin berlama-lama bersama ayahnya. Bisa-bisa, ia tidak jadi melakukan riset. Langkahnya cepat menuju kamar. Ruangan yang hampir sama dengan yang tadi. Hanya, rak buku yang dimilikinya, jauh lebih kecil dibandingkan milik ayahnya. Aul merebahkan dirinya di tempat tidur. Untuk beberapa detik, suara dering ponsel ia abaikan. Setelah ingat tentang Joni, barulah ia bergegas. "Halo." "Halo, Ul, Kakakku sudah sampai?" "Ha? Belum sepertinya." "Dia memesan kendaraan online tadi. Meskipun sepertinya sedikit telat, karena semua orang sudah mulai pergi dan macet tentunya." "Apa masih ada yang memesan kendaraan online? Mungkin perngendaranya sudah pergi?" "Entahlah, ia tidak ada di depan rumah. Kupokir sudah pergi." "Kenapa kau biarkan kakakmu pergi sendiri?" Nada bicara Aul meninggi. Kadang-kadang, Joni selalu bersikap bodoh. "Aku akan periksa ke bawah. Mudah-mudahan, kakakmu sudah sampai." Tanpa memutuskan sambungan telpon, Aul turun ke bawah. Pandangannya tertuju ke halaman depan rumah. Tepat menangkap sosok perempuan dewasa membawa banyak tas. "Kakakmu sampai dengan selamat. Cepat berkemas. Keluargaku mungkin akan pergi sore ini. Kita besok saja, aku akan bawa barang-barangku ke rumahmu. Dimana tepatnya lokasi tanah bergerak itu?" "Dekat sekali dengan rumahku. Datang saja dulu, nanti kujelaskan." Aul segera kembali ke kamar. Rupanya, ia juga belum membereskan apa-apa. Buku-buku, baju, tas dan mungkin beberapa foto, serta berkas-berkas penting. Ia bahkan bingung harus mulai darimana. Matanya kemudian menatap foto lamanya dengan Sang Kakek. Potret ketika ia masih berumur tiga tahun, ketika menonton pertunjukkan ondel-ondel. Sekarang, ia bahkan sudah tak pernah menemukan pertunjukkan serupa. Memang, semuanya sudah jauh berbeda. "Ibu tidak yakin tentang ini. Apa kalian benar-benar masih ingin tinggal?" Ibu Aul bertanya. Sementara Aul masih membereskan sedikit demi sedikit barang-barangnya. "Hanya satu hari saja. Sore ini, Ayah, Ibu, dan Kakak Joni bisa pergi dengan tenang, tanpa rasa cemas. Lagipula, kami tidak lama. Masih ada enam hari tersisa untuk lenyapnya kota ini." "Jangan katakan. Itu mengerikan." "Itu kenyataannya, Ibu. Sulit dipercaya memang." "Tebak, apa hari ini, akan hujan?" tanya ibunya lagi, sambil membantu membereskan beberapa barang Aul. "Tentu. Hujan yang sangat lebat sekali. Kita semua tahu itu, Ibu. Jadi, sebaiknya segera pergi. Bagi Ayah, berkendara dalam hujan yang sangat lebat itu sulit, bukan?" "Baiklah, janji pada Ibu, hanya satu hari saja. Oke?" Aul mengacungkan jempolnya tinggi. Menampilkan senyum paling lebarnya. Berharap dapat mengikis kecemasan ibunya. Meskipun ia sadar betul, itu tak akan terlalu berhasil. Hari terasa cepat. Menjelang sore, semua orang sudah siap untuk pergi ke kota lain. Aul juga sudah sangat siap. Untuk pergi ke rumah Joni. "Hati-hati," ucapan Aul terdengar sedikit ragu. Ibunya memeluk Aul dengan erat sebelum pergi. Ini tiba-tiba terasa sulit baginya. "Ayah dan Ibu akan menunggumu. Datanglah secepatnya." "Iya, segera berangkat. Langit mendung, mungkin hujan akan segera tiba. Aku akan menelpon Ayah, kalau ada sesuatu." "Ayah tidak berharap ada sesuatu. Jadilah anak baik dan kembali ke Ayah dengan cepat." Aul mengangguk. Bersama dengan Kakaknya Joni, Ayah dan Ibu Aul pergi ke kota lain. Beberapa menit kemudian, Aul menjejalkan semua barangnya ke bagasi mobi kecilnya. Mobil lawas yang merupakan peninggalan kakeknya. Mobil yang antik tersebut merupakan mobil kesayangan Aul. Bergegas menyalakan mobil, kemudian menelpon Joni. Namun tak diangkat. Berkali-kali, tapi tetap tak mendapat tanggapan. Apa temannya itu baik-baik saja? Aul menambah kecepatan bersamaan dengan hujan yang baru saja turun. Perlahan, rintik-rintik itu semakin menjadi. Hujan lebat. Aul berharap, semoga Ayahnya bisa berkendara dengan baik. Ponsel Aul berdering. Tertera nama Joni di layar. "Halo, sekarang di mana?" "Dasar! Aku di jalan. Tadi ke mana kamu?" "Tidur. Setelah membereskan semua barang." "Bagus. Jadi, besok kita hanya akan melihat lokasinya sebentar. Mungkin hanya mengambil gambar dan mencatat beberapa hal. Masih ada petugas di sana?" "Setahuku masih. Cepatlah, hujan mungkin akan semakin lebat. Itu berbahaya." "Ini sudah lebat, Jon." "Oke, hati-hati. Aku tutup telponnya." Hujan benar-benar lebat. Bahkan disertai angin. Lewat kaca mobil, dapat Aul lihat bagaimana rumah-rumah sudah terlihat kosong. Restaurant dan kafe tanpa pengunjung. Kendaraan juga hanya beberapa saja. Mungkin, sejak diumumkan kota ini akan tenggelam, orang-orang bergegas pergi. Kecuali beberapa yang masih belum selesai berkemas. "Seperti kota yang hampir mati," ucapnya pelan sambil matanya berusaha fokus ke jalanan. Pandangan sedikit terganggu karena hujan, tapi volume kendaraan yang benar-benar sedikit, sangat menguntungkan. Aul sedikit merasa lucu dengan keadaan sekarang. Berbeda dengan beberapa hari lalu, sebelum bencana tanah bergerak mulai terjadi di beberapa tempat dan pemerintah mengeluarkan pengumuman tentang akan tenggelamnya Jakarta, jalanan masih selalu macet. Meskipun hujan lebat, jalan raya Jakarta tak pernah ada matinya. Namun kini, lain lagi. Aul memarkirkan mobilnya tepat di halaman depan rumah Joni. Begitu keluar dari mobil, berlari dan langsung membuka pintu. Tak perlu mengetuk, sudah pasti hanya ada Joni. "Setelah hujan reda, kita langsung ke lokasi." "Kapan hujan reda?" tanya Joni. Ia sedang menonton berita televisi dan mengunyah beberapa camilan. Sekadar memantau perkembangan di pusat kota. "Entahlah. Mungkin malam hari." "Harus hari ini?" "Ya, besok juga bisa, tapi kita harus manfaatkan waktu sebaik-baiknya." "Tidak, Ul. Aku pikir terlalu berbahaya jika malam hari. Kita tidak pernah tahu, kapan tanah akan tiba-tiba bergerak lagi. Iya, kan?" "Apa bedanya? Besok juga kita tidak tahu bisa saja, tanah bergerak lagi." "Benar, tapi malam hari dengan pagi atau siang hari, tentu berbeda suasananya. Malam hari di Kota Jakarta yang sepi dan mati, pasti mengerikan." "Terserah saja, aku ingin tidur." Aul merebahkan tubuhnya si sofa. Matanya benar-benar tak bisa diajak kompromi lagi. Sementara Joni, masih memperhatikan televisi. *** Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, hujan tak menyisakan apa-apa selain genangan air di jalanan. Mungkin di beberapa tempat terjadi banjir, tapi tak apa. Hampir semua orang sudah pergi. Kecuali dua orang ini, yang tengah mengamati kawasan yang terbelah akibat tanah bergerak tempo hari. "Kau bilang, masih ada petugas," keluh Aul sambil terus memotret. "Bukannya, aku mengatakan kalimat itu, kemarin? Sekarang bukan kemarin, kan?" "Para petugas itu? Apa mereka takut?" "Bukan takut, tapi masih waras. Coba pikir, siapapun tak akan berpikir untuk melakukan riset seperti kita di saat seperti ini. Saat genting. Kecuali, sedikit tidak waras." "Hei! Aku tidak setuju. Perlu keberanian untuk melakukan sebuah penelitian." "Itu kata dosen favoritmu?" Aul hanya terkekeh. Sambil menatap jalanan yang terbelah. Lubang kosong yang dalam dan gelap, beberapa bangunan di sekitatnya hancur. Aul memejamkan mata, mencoba membayangkan kekacauan dan kepanikan yang terjadi tempo hari. "Berapa jumlah korban jiwanya?" tanya Aul kemudian. "Sekitar lima orang saja." "Kawasan ini, sepi?" "Ya. Tanah bergerak ini, tidak dibarengi dengan gempa bumi. Dan tidak berlangsung cepat. Perlahan, taoi pasti. Jadi, orang-orang sekitar sempat berlindung. Mereka yang meninggal yang tertimpa bangunan dan memiliki riwayat penyakit jantung." "Begitu." Aul menyusuri setiap retakan tanah. Memotretnya, lagi dan lagi. "Hanya ini, saja. Selesai. Kita bisa berangkat sekarang." "Oke. Hanya seperti ini saja, tidak memakan waktu lama kan?" lanjut Aul. Tak ada tanggapan. "Lihat," ujar Joni. Matanya memandang ke arah langit di arah timur. "Apa itu?" "Gumpalan awan hitam. Kau tahu? Entah apa yang mungkin bisa terjadi di saat-saat seperti ini." "Badai?" "Bisa saja. Kita harus cepat, ini masih pagi, tapi cuaca sama sekali tidak seperti biasanya." Aul dan Joni segera masuk ke mobil. "Untung saja, kita berkemas dengan cepat," Aul berkata sambil menyalakan mobil. "Kita juga harus pergi dengan cepat." Deru mobil tidak terlalu terdengar. Digerus air hujan yang semakin lebat. Lagi-lagi Jakarta hujan. Suara gemuruh kemudian datang entah darimana. "Jon, suara apa itu?" Joni diam, ia tahu sekali suara gemuruh itu apa. "Jon!" "Fokus saja menyetir! Ini suara yang didengar orang-orang di lokasi tanah bergerak!" "Sial!" pekik Aul. Sementara hatinya berdegup tak karuan. Mobil melewati jalanan kosong. Angin disertai hujan lebat dan suara gemuruh tak kunjung diam itu benar-benar memuakkan. Aul bahkan merasa sedang dikerja kereta api. "Apa yang terjadi?" Joni bertanya ketika ia merasa sesuatu yang tak biasa. "Lihat jalanan di belakang kita!" Melalui kaca spion, Aul dapat melihat bagaimana jalanan telah terbelah, mengejar mereka. "Belok kanan Ul!" Kembali menambah kecepatan, mobil dibelokkan. Namun buntu. "Mundur!" teriak Joni. "Gila! Mana bisa!" Suara gemuruh makin mendekat. Membuat sakit telinga. Jalanan amblas. Mobil mereka jatuh ke bawah. Tak terdengar suara gemuruh lagi. Hanya hujan yang bercampur angin. Menderu, terus menderu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.5K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.7K
bc

Marriage Aggreement

read
80.9K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.0K
bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
624.3K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook