bc

Loved By Mr. CEO

book_age16+
3.5K
FOLLOW
23.4K
READ
possessive
love after marriage
goodgirl
CEO
drama
tragedy
sweet
bxg
wife
widow/widower
like
intro-logo
Blurb

Muhammad Sakha Alvarendra, CEO shalih, tampan, kharismatik dan juga seorang hafidz. Ia mencintai seorang perempuan shaliha sejak dirinya menimba ilmu di pesantren milik Abah Ammar. Saat dirinya hendak mengkhitbah Divya, ia terlambat. Divya telah lebih dulu dikhitbah oleh teman baiknya, Agra Mahesa. Sakha pun patah hati.

Beberapa tahun kemudian, saat ia berkunjung ke pesantren lagi, Abah Ammar menawarkan pada Sakha untuk menikahi keponakannya, Divya, yang saat itu sudah berstatus janda. Agra meninggal dalam kecelakaan.

Mampukah Sakha sang CEO menaklukan hati Divya yang masih mencintai Agra?

chap-preview
Free preview
Mr. CEO Mencari Istri
BismillahirrahmanirrahiimAllahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Suara sepatu pantofel pria terdengar beradu dengan lantai gedung bertingkat. Lelaki dengan tubuh tegap, tinggi dan juga wajah khas Asia-nya yang tampan memancarkan aura surga dan juga kharisma yang memesona bagi siapa pun yang memandangnya. Ia menyapa dan tersenyum pada siapa pun yang ditemui dalam perjalanannya menuju ruangannya. “Assalamu’alaikum,” sapanya ramah pada karyawan-karyawan yang berada di lift yang sama. “Wa’alaikumussalam, pagi, Pak Sakha,” ucap mereka serentak dengan sopan. Lelaki itu adalah Muhammad Sakha Alvarendra, seorang CEO di sebuah perusahaan ekspor milik keluarganya. Ia lebih senang menggunakan lift umum dan membaur bersama karyawannya. Ia pikir, dengan begitu ia bisa menyapa dan mengenal para karyawannya lebih dekat. Bukankah, perusahaan keluarganya maju juga berkat loyalitas dan dedikasi tinggi mereka? Jadi, Sakha pikir dirinya juga harus menunjukkan sikapnya yang bersahabat dengan para karyawannya. Ting! Saat pintu lift terbuka, semua karyawan pamit untuk ke luar lebih dulu pada Sakha. Sakha pun menjawab sambil tersenyum lembut. Benar-benar sosok yang murah senyum. Kini Sakha hanya tinggal sendirian di lift. Ia masih harus naik satu lantai lagi untuk menuju ruangannya. Setelah tiba, Sakha langsung menuju ruangannya. Asisten sekaligus sekretarisnya, Alvin, mengikuti Sakha masuk ke dalam ruangannya untuk membacakan jadwal pekerjaan Sakha hari ini. Lelaki bertubuh tegap dan berkacamata itu dengan rinci membacakan jadwal Sakha. “Itu saja jadwal bapak hari ini. Oh ya, saya lupa. Tadi ibunya bapak telepon ingin makan siang dengan bapak di resto biasa.” “Oke kalau begitu. Makasih banyak ya, Vin. Kamu boleh kembali ke meja kamu.” “Baik, Pak. Terima kasih.” Alvin pun kembali ke mejanya meninggalkan Sakha dengan tumpukan dokumen yang harus diperiksa dan ditandatanganinya. === Sakha memarkirkan mobilnya di sebuah resto yang menjadi favorit dirinya dan ibunya. Entah ada maksud apa sang ibu mengajaknya makan siang berdua hari ini. Sakha masuk restoran dan netranya menyisir setiap sudut resto untuk menemukan perempuan paruh baya cantik yang sedang menunggunya. Akhirnya ia menemukan sang ibu yang hari itu menggunakan jilbab warna navy sedang melambai ke arahnya. “Assalamu’alaikum, Ma,” ucap Sakha sambil mengecup tangan ibunya dan lanjut mengecup pipinya. “Wa’alaikumussalam.” “Mama udah lama nunggu?” tanya Sakha yang baru saja duduk di kursinya. “Nggak kok, belum lama. Ayo kita pesan, mama udah lapar.” “Maaf ya mama ganggu jadwal kamu, Kha.” “Nggak apa-apa, Ma. Alhamdulillah jadwalku gak padat hari ini.” Mereka memesan makanan pada pelayan dan mengobrol sambil menunggu pesanannya datang. “Kamu habis ini ada acara lagi nggak?” tanya Ibu Melanie, mama Sakha. “Nggak, memang kenapa? Mama mau aku temenin ke mana?” “Mama minta temenin ke makam papa ya, Kha. Mama lagi kangen sama papa.” Sakha tertegun sejenak. Kemudian ia mengangguk sebagai tanda menyanggupi permintaan sang mama. === Kini, Sakha dan Bu Melanie sedang berada di makam almarhum Bima Alvarendra, ayah Sakha yang sudah wafat satu tahun yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya. Sakha menatap makam sang ayah dengan sendu. Ia merasa belum bisa membahagiakan sang ayah dengan maksimal tapi Allah sudah lebih dulu memanggilnya. Bu Melanie mengusap batu nisan suaminya dengan menitikkan air mata. Ia masih sangat menyayangi sang suami. Sakha dan Bu Melanie memanjatkan doa dengan tulus untuk Pak Bima. Kini keduanya masih terpekur di tempat masing-masing sambil menikmati semilir angin yang berhembus. “Kha, kamu masih ingat dengan Abah Ammar?” tanya Bu Melanie. “Iya dong, Ma. Mana mungkin aku lupa.” “Sabtu besok kita ke sana ya, silaturahmi.” Deg! Sakha menelan salivanya dengan getir. Ia termenung sejenak. Apakah baik baginya jika berkunjung ke tempat Abah Ammar? Ia khawatir akan bertemu seseorang yang pernah menjadi ratu di hatinya dulu. Ah, mungkin sampai sekarang masih menjadi ratu di hatinya. Ah, lupakan Sakha! Jangan bodoh! Dia sudah jadi milik orang lain! Batinnya menegur. “Udah lama gak ke sana. Sekalian siapa tahu kamu bisa ketemu jodoh kamu di sana.” “Maaa,” ucap Sakha merajuk. “Iyalah, Kha. Kamu udah 32 tahun, mau umur berapa nikahnya? Mama takut gak panjang umur buat lihat kamu nikah dan punya anak. Ayolah, Kha,” bujuk sang mama. Sakha diam tak berkutik jika mamanya sudah bicara begitu. Bukan tidak ingin menikah. Ingin. Sakha sangat ingin menikah. Tapi, entah mengapa hatinya masih tertutup setelah patah hati yang dialaminya bertahun lalu. Memang semuanya karena kesalahannya, karena keterlambatannya. === Sakha memandang bangunan pondok pesantren di hadapannya. Tak banyak berubah menurutnya. Sesuai dengan janji pada mamanya, hari ini Sakha dan Bu Melanie bersilaturahmi ke pesantren milik Abah Ammar, tempat Sakha pernah menuntut ilmu dulu. Saat melangkahkan kaki menuju rumah Abah Ammar yang masih terletak di lingkungan pondok, jantung Sakha berdebar keras. Namun, Sakha berusaha menutupi dengan bersikap datar di hadapan sang mama. “Assalamu’alaikum,” ucap Sakha dan mamanya saat tiba di rumah Abah Ammar yang terlihat asri dan terasa sejuk karena ditudungi oleh beberapa pohon besar. “Wa’alaikumussalam,” jawab seorang perempuan paruh baya yang mengernyitkan dahinya. “Apa kabar, Ummi? Masih ingat kita nggak nih?” tanya Bu Mel. Perempuan yang dipanggil ummi terdiam sejenak. Rasanya familira dengan dua wajah di hadapannya, tapi ia lupa dengan namanya. “Aduh, punten. Ibu dan akang teh, siapa, ya? Maklum udah tua begini, suka lupa.” “Saya Bu Melanie dan ini anak saya Sakha, Ummi. Yang dulu dititipin sama Pak Bima ke sini gara-gara dia nakal itu lho, Ummi,” jelas Bu Mel. “Sakha? Sakha ... Sakha. Oh, Ya Allah, Sakha yang itu?” ucap Ummi Fatimah dengan terkejut. “Iya, Ummi.” “Ya Allah, kamu udah besar ya sekarang. Ummi sampai pangling. Ya Allah, hayuk atuh masuk. Tunggu dulu sebentar ya, nanti ummi panggilkan Abah. Beliau lagi di masjid tadi.” Bu Mel dan Sakha duduk di kursi yang ada di ruang tamu. Sakha menatap rumah yang sudah lama tak ia kunjungi. Semuanya masih tetap sama. Sakha lalu tersenyum sendiri. “Heh, ngapain kamu senyam senyum sendiri, Kha? Tadi nemu cewek cantik ya?” “Ih, enggak, Ma. Sakha lagi nostalgia aja.” “Ah, iya juga gak apa-apa kok. Mama malah seneng. Siapa tahu kamu bisa berjodoh sama salah satu ustadzah di sini.” Tak lama terdengar suara salam dari abah dan ummi. “Assalamu’alaikum.” “Waalaikumussalam.” “Masya Allah, ini Sakha? Kamu meuni kasep pisan. Bener kata ummi, abah juga pangling.” “Abah sama ummi bisa aja.” Keduanya duduk di kursi tamu sambil bercengkrama banyak hal. Sakha menceritakan dirinya yang bekerja memimpin perusahaan keluarga setelah sebelumnya menamatkan kuliah magister bisnisnya di Amerika.  Semenjak kuliah di Amerika, lulus dan langsung terjun mengelola perusahaannya, Sakha memang sangat sibuk hingga belum sempat silaturahmi dengan Abah Ammar lagi. Sakha juga sengaja menghindar dari segala yang berhubungan dengan perempuan yang pernah dicintainya, termasuk Abah Ammar dan pondok. Ia takut luka patah hati yang telah ia obati kembali menganga dan menimbulkan perih. Abah dan Ummi sempat menanyakan keberadaan Pak Bima yang tak ikut serta. Saat mendengar jawaban dari Sakha, abah dan ummi turut bersedih mendengar kabar wafatnya Pak Bima. Mereka sempat marah karena tak dikabari. Bu Mel dan Sakha meminta maaf karena mereka berdua begitu kalut saat itu. Abah dan ummi hanya bisa maklum. Lalu, mereka langsung mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain. “Abah, punya stok perempuan yang masih single yang shalihah gak, Bah?” ceplos Bu Melanie tiba-tiba. Sakha yang sedang menyeruput tehnya jadi terbatuk sedangkan abah dan ummi hanya berpandangan sambil tersenyum penuh arti. “Mama,” ucap Sakha dalam dan penuh penekanan. “Ih, gak apa-apa, Kha. Ya kan abah, ummi? Namanya juga usaha. Habis saya kesel banget nih sama dia, umur udah tua begini belum nikah juga. Saya kan takut gak panjang umur ya, Bah. Mana ni bujang satu-satunya lagi,” ucap Bu Mel mendrama. “Lho, kirain saya malah Sakha sudah menikah, Bu. Ya, atau ke sini mau antar undangan, gitu,” canda Ummi Fatimah. “Belum, Ummi. Makanya saya mohon bantuannya, barangkali di sini ada calon buat Sakha.” “Sakha, ikut Abah keliling pesantren yuk, kamu udah lama kan gak lihat ke sini.” “Boleh, Bah.” Keduanya meninggalkan Ummi dan Bu Mel di ruang tamu. Abah dan Sakha berjalan bersisian sambil menikmati suasana pesantren yang tak terlalu ramai saat itu. Sakha mengenang saat ia menghabiskan banyak waktu untuk berbenah di tempat ini. ia bertemu teman-teman yang baik hingga jatuh cinta pada seorang gadis diam-diam. “Oh ya, Agra apa kabar, Bah?” tanya Sakha. Agra Mahesa adalah salah satu teman baik Sakha di pesantren dulu. Ia penasaran dengan kabar Agra. Raut wajah Abah Ammar langsung berubah. Tersirat kesedihan di wajah tuanya. “Agra, dia baru wafat enam bulan yang lalu karena kecelakaan, Sakha,” ucap Abah. “Apa, Bah? Abah serius?” Sakha terkejut tak percaya. Abah Ammar mengagukkan kepalanya lemah. “Innalillahi wa innailaihi raajiun.” “Hidup memang tidak pernah ada yang tahu. Takdir Allah benar sebuah misteri, kita sebagai makhluk hanya bisa mengikuti apa mau-Nya. Rezeki, jodoh, ajal, bahagia dan sedih sudah digariskan-Nya dengan rapi di Lauh Mahfuz.” Keduanya kembali berjalan dengan pikiran masing-masing. Jujur, Sakha masih shock dengan kabar yang diterimanya. “Sebenarnya, saat ibumu bertanya tentang calon buatmu, abah jadi terpikir dengan seseorang.” “Siapa, Bah?” “Keponakan abah, janda dari Agra, Kha. Divya.” Deg! “Apa kamu mau menikah dengan Divya, Kha?” tanya Abah Ammar. Sakha terdiam tak berani menjawab. Sanggupkah dia menerima tawaran abah untuk menikahi Divya? Perempuan yang menjadi cinta masa lalunya? Istri dari Agra yang telah wafat.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Ensnared by Love

read
103.8K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
53.1K
bc

Nur Cahaya Cinta

read
358.7K
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
304.2K
bc

Unpredictable Marriage

read
280.6K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Pengganti

read
301.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook